Thursday, March 10, 2011

Untitled

Sebuah ketulusan adalah sesuatu yang masih jadi amat teramat rumit hingga kini. Menempati sebuah selorok paling pojok di lorong pemikiran konkret. Sebuah kata yang jadi penuh drama dan dilema dimana aku hanya menemukannya tanpa orang lain di sisian kanan kiri.

Ialah sebuah gerakan yang melahirkan energi tanpa peri. Bukan lagi tentang merah yang membara atau kata-kata yang membaca. Bukan juga tentang cinta dan nalar kausa. Ketulusan, bentukan paling putih jika putih berarti suci. Juga, bentukan paling merah muda jika merah muda dianggap suci. Dan juga, bentukan paling biru angkasa jika biru angkasa mengurai makna suci. Ya, bahkan ia prisma yang mendistorsi warna jika yang demikian dinalar sebagai kesucian.

Dan aku mulai merasa, bahwa ia tak perlu warna apapun lagi.
Dapatkah kita jadi hanif tanpa jadi seorang faqih?
Impuls syaraf ku mulai hampir pecah dibuatnya.
Ketulusan, sebuah bentukan paling radict tentang makna.

Pernah kupikir sesekali. Bahwa bulan jadi semakin pucat seiring hari. Mungkinkah karena geli menertawakanku lagi? Premis paling gila yang pernah terselip di loker-loker pikirku, bahwa bulan terbuat dari keju sehingga kucing mati di jalanan.

Tulus adalah sebuah bahasa tentang diri. Tentang satu perhelatan amal besar dan kecil. Tentang saklar paradoks umum penuh dilemma.

Tahukah, bahwa kini tulus jadi momok paling gila menyerangku.

Dan aku mulai merasa, bahwa ia tak perlu daya apapun lagi.
Dapatkah kita jadi hanif tanpa jadi seorang ahli fikrah?
Impuls syaraf ku mulai hampir pecah dibuatnya.
Ketulusan, sebuah bentukan paling radict tentang makna.

Kupikirkan lagi kali ini. Bahwa mungkin aku tak perlu lagi susah-susah berpikir. Sebab mula akhir adalah awalan dan asal parsialisasi adalah generalisasi. Jadi, mungkin saja, artesis pemikiran adalah dengan tidak berpikir. Lagi, sakit gila nomor 33, bahasa Andrea Hirata.

Tulus adalah sebuah mekanisme diksi paling tinggi. Yang penerjemahan thesisnya tak perlu terkata-katakan lagi. Tulus mungkin juga saat kau menahan diri dari ketidaktulusan. Dan saat ini, ketika kukatakan kalimat itu, mungkin aku memang sedang tak tulus.

Dan aku mulai merasa, bahwa ia tak perlu kata apapun lagi
Dapatkah kita jadi hanif tanpa jadi seorang ahli shirah?
Impuls syarafku hampir pecah dibuatnya.
Ya, ketulusan, sebuah bentukan paling radict tentang makna.

Dan aku memang masih berpikir. Bahwa dengan berusaha tetap tulus adalah sebuah kesombongan dalam bentuk lain lagi. Jika dengan itu, mereka masih juga tak mengerti tentang caramu.
Dan kali ini, saat ini, saat aku menuliskan kalimat itu, mungkin aku memang masih tak tulus juga.

Maka bisakah aku jadi hanif tanpa kalian?

No comments:

Post a Comment