Friday, September 13, 2013

Ailona (2)

Namanya Ailona. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Hanya tahu bahwa ia begitu putih, menggigil, biru lebam, kesakitan. Ah, putih, cantik dan manis, seperti tanpa lebam atau kesakitan karena menggigil. Telah lupa ia sebenarnnya apa yang menuansa jadi biru. Apa yang menuansa menjadikannya putih. Wajahnya yang hanya boleh tersapu matahari maksimal 3 jam sehari, jadi kaku membedakan, menarik demarkasi warna dan aliran darah. Bingung, sudah bingung ia.

Sekedar bahwa, namanya Ailona.

Aku pernah menulis tentangnya, sekali. Tapi tidak ada yang komentar. Atau membuang wajah sangar. Seakan sangkar-sangkar melayang jadi hingar bingar, terbang, terbang, pergi berlayar. Sekali. Tapi tidak ada yang komentar.

Karena tidak mengenalnya. Ailona tinggal di tempat yang tidak dikenal mereka. Ia hidup di perbatasan gunung dan lautan, poros manja soal kehidupan. Tinggi dan kedalaman. Sama tinggi sama rendahnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona bertarung di peperangan yang tidak masuk dalam kamus peradaban mereka. Ia berdarah di perbatasan bunga dan sintesa. Asli dan bohongan. Sama kaku sama wanginya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona menggigil di suhu yang tidak dicatat dalam termo logika mereka. Ia membiru dan lebam di perbatasan pujian dan kutukan, tarikan sentrifugal tanggapan orang banyak. Ditarik dan ditolak. Sama terbuka sama tertutupnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Aku baru sekali kemarin menulis tentangnya, Ailona bilang, itu bukan aku. Itu bukan aku. Lalu kau, lalu kau, Ailona namanya.

Tuesday, August 13, 2013

Belum Selesai

Coba saja, menyelesaikan segala yang belum selesai. Tidak akan bisa. Menyelesaikan yang seharusnya selasai pun sama saja, sulitnya. Sebab memang bodoh manusia ini, yang bilang bahwa dirinya mau saja diamanahi. Mau saja menyelesaikan belum selesai, yang harus selesai. Memang siapa dia? Memang punya kekuatan apa dia?

Kata-katanya jadi pecah parau, retak bergemerak, marah rupanya. Tidak selesai, tidak sempurna. Belum selesai, belum sempurna. Masih bisa, matanya merah menyimpan bara, lalu disilangkannya kedua tangannya di depan dada, ujarnya, "Saya bisa melakukannya dengan lebih baik."

Apakah lebih baik artinya selesai, sempurna, bisa. Sama saja?

Sebab kerja-kerja tidak akan selesai. Sebab neraca belum lagi dicanangkan. Belum lagi bingkai-bingkai belum bertebaran. Juga tanpa renungan-renungan yang dibisukan. Berlagak tahu, segalanya.

Gila

Ada sebuah tangga bagi setiap pencapaian. Sepertinya, selayaknya sesuatu yang tinggi, harus digapai dan berundak, bertingkat-tingkat. Saya tak tahu pasti, tapi akhir-akhir ini, saya baru bisa berkata "iya" dengan hikmat pasca menemui beberapa fakta. Ya, mengangguk setuju. untuk ucapan musyrifah saya yang belakangan. Katanya, "mainstream utama semua pemikiran itu, ukhti, tangga-tangga, fase-fase, mihwar-mihwar, satu per satu". Masih saya ingat jelas, saat itu saya balas, "Darimana dalilnya bu? Hahaha"
"Al Insyirah" jawab beliau. Percakapan kami berlalu dan saya masih bersama rumitansi menyebalkan yang sporadis menggerogot, tidak tersistematisasi, tidak terkendali, bikin pusing hati.

Satu per satu, lalu jadilah perubahan, satu per satu maka jadilah sebuah kesyukuran.

Mungkin cukup nista hati saya untuk terilhami hal yang menurut sebagian besar orang, sederhana. Kesabaran, meraihnya. Kesyukuran, membersamainya.

I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I

Dia berjalan lagi dengan tergesa. Membawa beberapa setumpukan buku, kacamata bingkai hitamnya bergerak seiringan, seakan bercahaya, membatasi binar pandang matanya pada dunia. Senyumnya seketika mengembang, menyindir dalam satu tekanan. Dia marah padaku, kata orang-orang tadi.

Lorong itu sepanjang 20 meter jauhnya. Katanya, "Momen yang menguras tenaga sudah selesai. Bagi saya. Bukan anda."
Aku tercengang.

Wednesday, June 19, 2013

Rumitansi

Tiupan angin sore kota Jakarta masih getir seperti yang ku kenal. Lalu lalang penjara jalanan di persimpangan Senen, Jakarta Pusat. Aku berdiri, seakan jadi bintik kecil yang kebingungan di tengah hiruk pikuk. Memegangi sebotol air minum ionic yang hampir kosong di tangan sebelah kanan. Menatapi langit. “Semoga hujan cepat turun…” bisikku.
            Sebab wangi hujan tak pernah sedatar wanginya yang sebelumnya. Setiap rintikan adalah organisme yang berbeda, identik namun bukan ‘orang’ yang sama. Setiap dari mereka adalah kecintaan. Tulus yang berbuah jadi kemurnian siklus kehidupan. Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan.
Menunggu mereka di pertengahan bulan Maret, saat banjir Jakarta baru saja tinggal landas, hujan melintas menunggu perhubungan siklus tahun depannya yang mungkin akan jadi lebih kacau lagi. Hujan di pertengahan Maret, sesederhana hujan bulan Juni yang arif bijaksana, kata Sapardi Djoko Damono, menahan dirinya, tak dapat menurunkan wujudnya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan. Kemarau.
            Siang tadi, aku baru saja mengambil sebuah titik paling gila dalam hidupku. Bahwa dengan satu goresan tinta, akulah rintik hujan yang tak akan pulang ke rumahnya. Mengakhiri setiap alir liquid-nya, untuk memulai kembali. Sebuah persetujuan gadai rumah. Menggadaikan rumah orangtuaku yang saat ini masih di Paris, tinggal di rumah teman masa kuliahnya, katanya.
            “Missy ! Little Miss !!” sebuah teriakan wanita paruh baya menyelip di situs pendengaranku. Di sebelah kiri, sebrang jalan, di pinggir pasar. Sore yang menguning, tanda polusi industri yang mengambang di awan-awan, tak ada hujan. Aku sama sekali tak menoleh padanya, menyebrang ke sebrang kanan, meninggalkannya yang mungkin mulai kelabakan masuk kembali ke dalam mobil sedan hitamnya, mencoba mengejarku untuk kesekian kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Ia Cuma mahasiswi kurang terpelajar berumur enambelas tahun. Aku tidak pernah suka dengannya. Terlalu kekanak-kanakan, tapi dia bilang dia dewasa. Terlalu banyak merajuk, contohnya, dengan caranya mengurangi kuota pembelian kain di kongsi mitra yang sedang menaikkan harga. Sesekali, aku iri juga. Toh, perempuan itu punya rumah seharga 4 milyar. Tapi, seringnya, aku bersyukur, bahwa aku bukan dia.
            Sekarang wajah lusuhnya kembali menatapi kami satu-satu. Anak enambelas tahun yang jadi mahasiswi semester dua itu, sekarang sok jagoan mengomeli kami satu per satu. Sialan.
            Katanya, hitungan neraca akuntansi yang ku buat masih banyak salah dan kurang detail. Gila,
            “Benar, ada yang sempat ambil uang kasir buat beli dunkin donuts dulu? Saya mau hal-hal seperti itu tercatat juga disini, sekalipun satu rupiah”
            Mata sipitnya meruncing. Omelannya bukan hanya sekitar itu saja,
            “Bagaimana bisa, ini mitra kita sejak 5 tahun terakhir. Saya tidak pernah bermasalah untuk teken kontrak disini !” nadanya meninggi, mata runcingnya itu, memanah Dimas, PR[1] kami – yang 12 tahun lebih tua darinya.
            Semua menjadi tidak becus, di ruangan itu. Maka seperti biasa, buku-buku catatan kami penuh dengan focus-work-list yang menjadi akhir rapat penuh angkara murka itu. Focus-work-list. Kami berkali-kali menertawakan istilah itu saat jam makan siang atau sekedar momen kumpul selama berhari-hari sejak tahun lalu. Istilah itu dimunculkannya saat rapat pertama sebagai pimpinan pengganti ibunya. Anak itu, gosipnya, punya kendala bahasa, semacam autis. Tapi aku tak pernah tahu pasti. Kami tidak ada yang pernah berbicara secara personal dengannya. Begitu dingin, tanpa senyum, ya, kecuali ketika mengajari para shopkeeper baru menyambut tamu.
            “Baik, mari kita lakukan yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Saya tutup rapat kita. Wassalamu’alaykum,” ujarnya beku. Wajah langsatnya nyinyir tak berekspresi. Kami berdiri, melangkahkan kaki keluar dan berharap ia tak memantau hari ini.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Mall Taman Anggrek masih sibuk membenahi rona-rona ramainya. Aku tak pernah suka berada disini. Berisik. Terlalu banyak urusan.
            “Mikirin apa Miss?“ sebuah suara yang kukenal kembali menyapa seperti biasa, dari belakangku, telapak tangan kanannya menyampir di bahuku.
Bu Ranti. Wanita paruh baya yang kemarin kutinggalkan di perempatan Senen. Wajahnya teduh seperti biasa, di balik bingkai kacamatanya yang berat itu, mata bulat kelopak besarnya menatapku ‘kasihan’ seperti biasa. Ia mungkin satu-satunya orang yang dapat kupercaya di dunia ini, kolega mama sejak 30 tahun lalu.
“Soal rumah, hehe,” ujarku sungkan, lalu menyambar lengan kanannya, “Ayo ke dalam bu,” memutus pembicaraan itu, melangkah menyebrangi trotoar yang 5 meter, masuk ke dalam pintu kaca.
………………………………
            Di balik pintu kaca ini bukanlah sebuah tempat yang kelewat mewah, biasa saja. Hanya sepetakan ruang berukuran 30x20 meter. Empat bulan yang lalu tempat ini disebut ‘butik’. Tapi sekarang papan nama itu sudah kuganti dengan istilah ‘The Boutique of Wed’. Ya, disini hanya ada gaun dan jas pesta pernikahan. Ya, ada yang lainnya, tapi tema ruangan ini, kira-kira hanya sebatas itu saja. Kami juga menyediakan jasa pendukung lain seperti tim rias, interior theme design, fotografi, makelar gedung, dan seterusnnya, semacam wedding organizer sungguhan. Anggapan bahwa hidup ini permainan dan kepalsuan, bagiku, banyak benarnya.
            Beberapa orang, secara menyakitkan pernah bergurau disini, di hari ketika papan itu di ganti.
            “Tau nggak kenapa bu Farikha sampai bolak-balik kawin-cerai tiga kali?”
            “Haha.. ya, kan gampang nge-organizenya, pake aja ‘The Boutique of Wed’ ahaha
            “Bukan gitu kali, ada juga kenapa ini ditegesin jadi WO ya karena emang yang punya suka kawin, hahahaha”
            Aku hanya berlalu, ibu kandungku, beliau memang sempat menikah dan bercerai, di luar pengetahuan mereka, bahkan lebih dari tiga kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Aku tahu bahwa tidak ada satu-pun karyawan menyukai pimpinan pelaksana semacam diriku. Bengis, dingin, pemarah, katanya. Terutama karena mereka juga membenci mama. Itu wajar saja sebab dalam pandangan sebagian orang aku adalah anak tunggal tanpa ayah dan ibuku adalah janda yang suka keluar negeri dan menikah sirriy. Lengkapnya, sebagian besar karyawan disini adalah sebagian orang itu. Sekedar bahwa suhu kebencian itu, dapat dirasakan, kan.
Langkahku kembali terhenti, seseorang kembali menyampirkan tangannya di bahuku. Arfika, akuntan butik yang 8 tahun lebih tua dariku itu, wajahnya tergesa. Ia menatapku, berbicara tanpa kata, menggerakkan kepalanya ke belakang. Seseorang yang familiar kontan masuk dapat tangkapan retina mataku. Petugas gadai dari bank.
………………………………
            Kami berdua duduk berhadapan, seakan aku orang dewasa sungguhan. Bapak berperawakan tinggi besar itu tidak menyentuh cangkir kopinya sama sekali.
            “Ini tidak dapat diterima !” katanya tiba-tiba, meninggi. Seberkasan kertas dihamburkannya ke atas meja. Lingkaran merah di identitasku dan coretan di tanda tanganku itu, seakan membuatku menyadari segalanya. Sementara matanya terus mencoba mengintimidasiku dengan sempurna, menodong tanganku untuk membereskan dan mengangkat kertas-kertas itu.
            Tapi aku rupanya memang seorang bocah angkuh, bahkan dalam keadaan selemah ini. Aku hanya tersenyum meremehkan, menatapnya balik, mengintimidasi. Tanganku reflex menyilang dan mendukung aksi sinisku.
            “Anda lambat sekali menyadarinya, pak.” Jawabku sok pintar
            “Jadi kamu sengaja? Hei ! Saya bisa saja dengan serta merta mengambil toko dan rumah kamu atas nama bank ! ”
            “Saya rasa anda mengada-ada. Perjanjiannya kredit modal, bukan gadai, lagipula, toko dan rumah saya bukan jaminannya. Dengan tanda tangan saya?” aku kembali tersenyum penuh kemenangan. Suhu ruangan penuh angkara-murka. Tapi aku tidak perduli, aku akan menang dalam peperangan ini.
………………………………
            Sebenarnya sore ini aku baru menyadari, sederhana saja, bahwa aku masih 16 tahun dan sebuah akta gadai tidak mungkin ditandatangi seorang bocah yang menuliskan NIM[2]  sebagai ganti NIK[3] dengan alasan belum ber-KTP. Bapak itu tidak tahu, bahwa kemarin aku menunggu hujan dan akan berteduh di bawahnya sore ini.
            Hujan yang pergi dan tidak kembali. Aku tidak peduli lagi, bahwa hutang puluhan milyar atas nama ibuku itu masih akan terus gentayangan, menemaniku yang sendirian. Bahwa ibuku pergi ke luar negeri karena menyadari hal ini. Karena aku memiliki sesuatu yang menguntungkan, aku ditinggalkan. Karena aku dapat diandalkan. Mungkin. Aku hanya berprasangka baik.
            “Little Miss?” sebuah suara menyelip di pintu ruangan
            “Ya?” sahutku
            “Saya mau membereskan cangkirnya,” ujarnya. Arfika lagi. “Oh ya, silahkan,”
            Ia masuk dan mengangkat cangkir itu, guratan tanda tanya jelas di wajahnya, terpaku pada kertas-kertas yang telah tercabik-cabik, “tolong beresin ini juga, kak.” Arfika yang lulusan ekonomi UI itu menatapku spontan, mungkin heran karena pertama kali aku memanggilnya dengan sebutan itu. Aku beranjak.
            “Kemana Miss?”
            “Berteduh di bawah hujan,” jawabku, ia kembali keheranan. Sama denganku.




[1] Public Relation
[2] Nomor Induk Mahasiswa
[3] Nomor Induk Kependudukan

Thursday, May 30, 2013

Nashrullah

Kuliah saya agak berantakan.. Sangat berantakan mungkin... Haha. Hanya allah saja yang dapat menolong dan memperbaikinya. Subhanallah.

Wednesday, May 29, 2013

Putih murmer

Putih murmer, bukan kata-kata yang tidak terjaga karena pudarnya. Bukan juga karena kesaksian bisu nyala-nyala lampuku. Aku sekedar, tahu saja, bahwa, kadang kita sekedar tahu. Seperti putih murmer.
Katanya rasanya enak, katanya sesekali aku bermain di lembutannya, seperti padang pasir, kadang, seperti rimba hutan, kadang, kadang-kadang juga seperti bicara pada butiran.

Sejak saat itu aku jadi suka warna putih, ada saja, putihnya, putih yang murmer. Bukan kue, bukan yang enak.

Itu kan anggapan orang saja. Padahal ia benda, padahal ia, sesuatu yang lain. Prestisius.

Saturday, May 25, 2013

Berbeda

Perbedaan itu indah, saat ia tidak hanya memberikan seberkas warna tapi juga duri-duri yang berbeda
Dalam perbedaan, bunga-bunga masih sama punya wangi yang berbeda
Atau cahaya dari bahan bakar yang tidak sama
Suatu kali saya pernah kecewa pada perbedaan
Tapi kematangan diri dan kedewasaan adalah tuntutan kefaqihan, rupanya,
Ya, Allah, faghfirlanaa
Aamiin

Friday, March 29, 2013

Bandung..

Tujuh gelombang demokrastisasi dunia pada perempat akhir abad 20

Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :

1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s; 
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s; 
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s; 
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s; 
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991; 
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and 
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.

-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an

Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..

Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.


Bandung

keberadaan elite dalam setiap struktur kemasyarakatan adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri.. dalam setiap level kuasa, pengaturan, dan pembacaan peta posisi.. ketika disepakati konsep negara modern, konstitusional - demokratis.. setidaknya garis batas penyelenggaraan negara terdiri atas tiga hal : pembatasan dan pembagian kamar kekuasaan, jaminan ham, dan supremasi konstitusi.. *apaansih*

ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..

derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)

Tuesday, March 26, 2013

Judex Factie


Kusadari bahwa ia, ternyata sebuah kebohongan yang akan mewujudkan dirinya dalam kebohongan yang selanjutnya. Seterusnya seperti itu, sampai habis tersakiti, menyakiti, mendapatkan adzab yang sepantasnya. Bahwa itulah kerendahan sampai ke akar-akarnya. Bahwa itulah kehinaan sampai ke ujung jari-jari kukunya. Tidak akan sudi menemuinya lagi.
            Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa perhubungan aku dan dirinya ternyata juga penuh dengan intrik. Bahwa ‘perspective’ itu secara massif juga menjajari ketidakmampuanku dan ketidakmampuanmu menjadikan kenyataan sebagai guru yang berharga. Bukan tentang masa lalu tentu saja. Bukan tentangmu juga. Bahwa betapa ilusi itu jadi motion kebohonganmu yang paling canggih. Aku sekedar. Terkesima saja.
            Orang-orang berkata bahwa sebagian dari orang-orang memang memiliki nasib yang menyedihkan, terpaksa kerdil karena dirinya sendiri sebagai seseorang. Berkubang di noda lumpur dosa-dosanya sendiri. Tenggelam, mati, lalu hidup kembali, mati lagi, hidup hati, dimatikan.
Orang-orang yang seperti seseorang dari sebagian orang itu lalu seutuhnya memenuhi ritual pribadinya terhadap penghambaan kepada keterpurukan. Sementara itu lupa, sementara itu mencicipi sedikit dari yang selainnya. Memakan plafon dan dinding kanan-kirinya. Dijilat, sedikit, sedikit, sampai tak mampu lagi. Keropos gigi-gigi lalu benar-benar membeku jadi mumi. Diwariskan. Dilihat orang banyak, ah, sayang sekali, kata mereka, orang-orang dari sebagiannya seseorang.

            Aku tak berubah. Cuma baru tahu sebuah kebohongan besar. Bahwa ikatan antara aku dan dirinya rupanya Cuma sumbangsih perhelatan darah saja, bukan jiwa, bukan juga soal ini dan itu yang patut jadi soal-soal ikatan orang-orang banyak. Benar-benar butuh kelapangan hati.
            Habis kata-kata. Habis bicaranya.
            Habis nuansa. Habis percaya.
            Bukan imannya, tapi, sekedar. Sebentar saja. Menarik kembali tribulasi akaran perhubungannya. Tapi, sekedar. Sebentar saja. Melihat bahwa, aku adalah putaran diriku, diikat kuat pada tali yang amat kuat, bismillah. Dengan begitu, sisi baiknya, aku benar-benar tak perlu kembali ke rumah. Lupakan.
            Bukan tentangmu. Bukan tentang kau dan aku. Bukan tentang aku. Bukan tentang kita tentu saja. Dia tentu saja, sesuatu yang sengaja dikirimkan dalam tugas kebinasaan, sebagai cobaan, ujian, adzab disini. Sebab tak mungkin kerendahan akhlaq jadi rumus kedua yang beda factorial kali ini. Bahwa, sekedar. Mengilhami, bahwa, tak banyak yang bisa dilakukan manusia, bahwa, tak patut mematutkan diri jadi sejati, bahwa, melaluinya dengan kepicikan. Lebih ‘arus utama’. Lebih ‘sempurna’. Lebih ‘aku’. Rancu.

Sakit

Sakitnya, menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati
Dee Lestari

Sesuatu yang selalu hadir dalam hidup kita adalah cinta, katanya, baik kau sadari atau tidak. Sehingga setiap kejadian hari ini, besok, kemarin dan seterusnya hanyalah sebuah perjalanan cinta. Kolam besar itu, setiap peluh, sakit dan rasa muak. Adalah bagian dari cinta. KasihNya.

Sesekali saya tahu bahwa rahiim itu begitu rumit untuk kucecap. Begitu berliku untuk kusadari. Sebab jika ada dan tidaknya masuk dalam tataran keyakinan. Maka menyadarinya adalah sebuah ketenangan. Bahwa ikhtiarku adalah untuk menguatkan kesadaranku. Menguatkan keimananku.

Bahwa Allah tak pernah meninggalkanku.

Kadang menjadi menyakitkan. Kadang berubah jadi hantu yang mengusir kesederhanaan. Prosesi. Faktor faktual memenangkan diri.

Ya, Allah, aku sesederhana cita-citaku, menghadap kembali kepadaMu.

Thursday, March 21, 2013

Korban Perkuliahan

Dimulai dari subuh yang seperti biasa - tragis. Dan jam-jam kuliah yang harus terabaikan secara biasa - tragis, Gue harus setuju, bahwa setiap perjuangan harus menuai pengorbanan - tragis. Entah lewat mana, untuk apa. Ini adalah sisa-sisa bagian dari hidup dan kehidupan. Bagaimana mempertahankannya, berpikir logis jauh - tragis. After all, ini halaman ppt yang gue capture, sebagai bagian presentasi yang failed secara tidak wajar. Aahahaa.. :)









Saturday, March 9, 2013

No Cure


Bahwa bersedih itu jauh lebih indah. Lebih khusyuk, lebih bersyukur. Bahwa ia Cuma sesaat saja. Kembali menyadari bahwa tak memiliki siapapun, apapun, karena tak mengenali mereka, Karena tak memiliki hak untuk marah pada siapapun, apapun. Untuk memulai kembali. Yang mati suri.

Membuat segala sesuatunya menjadi lebih bermakna. Mengumpulkan energy, membagi-bagi. Bercerita bahwa, hatiku jadi selembab kapas terbang, dihempas udara bermuatan liquid mikrotik, merasuki, hampir saja basah, tapi tidak. Lakukan saja, jangan terlalu dipikirkan, nasehatnya. No action talk only, kan. Haha iya, mungkin banyak benarnya.

Menuliskan, mencari-cari. Bertambah licik lalu menari-nari. Gila kesana kemari.

Memulai segalanya dengan lebih indah, mendekatkan diri kembali padaNya. Tak suka bergumul dengan manusia, cukup pusing mendengar celotehan mereka. Mungkin ada benarnya, aku tak patut dalam banyak hal, tak menyenangkan seperti mereka.

Berbusa-busa bicara soal pemikiran, ternyata tak mampu dicerna dalam akaran. Sampahan.

Wednesday, March 6, 2013

Full Leaving

Well, there's so many things we have to tell the world about.
While the human being turn to some 'egalite' mainstream or whatever, people keeping their ear to hear anything and open their eyes to found everything.
For me, the most to tell is, Islam.
So just see.

Everybody lived the world just like man-kind do. So that the history tell us the cause and many phrase of 'in the first of century' or whatever. I don't like such history that much. So, just listening the air swing, talk to the tree while we need to fly with dragon. :)

We just live on this accuracy setting on behalf of 'first' and 'end'. Then I thought, what a wasted us to think
around or think so deep about how much we make the world so complicated tends of tomorrow.

Whenever, Islam give me the best part of life. Then I'll try to live with it.
How could people lying about the history? How could people keep their minds close to the end of endless?
So that people tryin to make everything comfortable. Well, Islam was the natural reason about  how and why I trust my life, learn to live, full leaving. Alhamdulillah. :)

Saturday, March 2, 2013

Kolam Raksasa??

Biarkan gedung-gedung tinggi yang menjulang
Dan kerlap kerlip malam dirimu yang menjawab
(Resti Pratiwi)

Aku terpana oleh kata-kata, terkadang tersanjung, menjadi sedih, atau muncul kerinduan.
Sebab kata-kata adalah bagian dirimu yang paling bisa ku ingat. Sebab celotehanmu mampu bercokol lebih dalam dari warna suaramu. Retaknya renyah tawamu. Kata-katamu menjadi lebih syahdu dalam suatu waktu, membuatku rindu.

Hilang bicara, hilang kata-kata.
Tapi, Kata-kata adalah semu sementara pemaknaanlah yang sesungguhnya, kata Rumi.
Dan, Cinta saling bicara dengan bahasa Rahasia, tambahnya. 

Maka sesekali kupikir.
Aku adalah orang yang sekonyol itu. Sekonyol semacam keruh hati.
Semacam busuk perasaan. Semacamnya.

Manipulatif.

Maka sesekali kupikir.
Bukan kau yang tak mampu mengerti. Tapi bias frekuensi hati. Hingga tak sampai. Hingga menggantung semampai. Tinggi, menyakiti.

Di depanku ada sebuah kolam raksasa, katamu. Dalam mimpi.
Sebenarnya telah lama ada.
Tapi terlalu biru untuk ku sebrangi.
Terlalu luas untuk ku arungi.
Membawa perahu untuk menyebranginya, iya, untuk bersamamu? Itu hanya kolam saja, terlalu berlebihan
Aku mencari cara. Mencari waktu dan logikanya.
Agar kolam raksasa itu jadi sederhana.
Sesederhana bahasa rahasia cinta.

Tersanjung di mimpi sendiri. Otak gilaku bekerja di kedalaman neuron, menemukan kata-katanya sendiri. Membuat narasi bodohnya sendiri. Dia bukan aku. Siapa? Aku menyebrangi kolam besar untuk apa? Atau siapa menyebranginya untukku? Pelis.

Sekonyol semacam kekonyolan semacam itu. Ya, kata-kata. Sekedar luaran dari sederetan buku-buku yang menjadi friksi-friksi pengetahuan. Meracau, mengganggu hidupku.

Thursday, February 28, 2013

Kerja Paruh Waktu

Ada sebuah dalil, bahwa jiwa lebih prestisius dari ketundukan sebenarnya. SEbab jiwa itu khusyuk dan ketundukan itu kadang cuma manipulasi semata. Kadang cinta itu hany asekedar perasaan dan perbuatannyalah yang dihitung pertanggungjwaban. Gatal. MIris pikiran. Hati-hati terhadap hati, kata Ahmad Dhani.
Bagaimana bisa satu hati berdiam dua kekhusyukan, bagaimana bisa satu jiwa bekerja sendri untuk frekuen getarannya. Kerja-kerja paruh waktu kekhusyukan. Kerja-kerja paruh waktu kesombongan. Kerja-kerja paruh waktu akal dan pikiran. Membangkang, satu dan lainnya.
Bagaimana bisa pengkhianatan cuma hanya sekedar hati saja. Bagaimana bisa keangkuhan dipoles sedemikian rupa. Ah, gila, gila, gila. Aku gila karena terlalu banyak berharap dan merancang kegilaan manusia. Sadar.

Monday, February 25, 2013

Maaf

Maaf untuk setiap hati yang tersakiti. Maaf untuk setiap hati yang terlukai, ikatan yang teruraikan, naif yang bertebaran. Maaf untuk setiap kesedihan, beratnya sesak yang menggumpal jadi pemikiran.
Manuver. Rencana. Kebusukan.
Bukankah manusia, pada titik itu hanya lelucon?
Yang jadi benalu harapan, di ukiran, di persimpangann, di pilihan.
Kosong ketulusan, mati hati. Kemarahan itu. Ibarat aku. Muara kerendahan akhlaq semacam itu.

Wednesday, February 20, 2013

The GAP (2)

Kehinaan karena permulaan menghinakan diri sendiri.
            Sebab marah adalah muaranya kerendahan akhlaq. Kekecewaan yang jadi kemarahan, kesedihan yang jadi kemarahan, kedengkian menjadi kemarahan, iri, sombong, lemah dan kekakuan yang bermuara jadi kemarahan. Lemahnya orang yang sering marah, hinanya mereka, permulaan karena menghinakan diri sendiri.
            Kemarahan itu ibarat aku. Ya, kerendahan akhlaq semacam itu. Ketika kusadari bahwa kemarahan yang ditumpuk menjadi kesedihan itu lebih khusyuk, lebih melankolis, lebih banyak air mata, lebih penuh kesyukuran.
-THE GAP-
Ini tentang hal lain. Tentang sesuatu yang benar-benar lain. Dimana fokus bicara akan menentukan akarnya. Di tempat dimana aku bisa berdiri dan memandangi dilematika faktorial antara aku dan setiap orang.
Biasa saja, sederhana saja. Tidak untuk menjadi beda. Tidak banyak aksesoris. Membuka kembali lembaran kasus demi kasus, dilematika dan perhelatan dunia. Yang dzahir, yang bathin.
Sebab katanya ‘hatiku ini ibarat tanah gersang’. Maka ‘tidak mudah bertumbuh tanaman di atasnya’. Namun ‘sekali mencengkram maka tak akan akarnya tercerabut’. Katanya ‘hatimu itu ibarat akaran tanah gersang’. Untuk ‘menemui akar tumbuhan sejatinya’. Yang ‘tak mampu tercerabut’. Sehingga ‘hatiku pun akaran tanah gersang, hatimu tanah gersang’. Dan ‘bagaimana bisa bertemu akaran dan tanah gersangnya?’.
“The one who confused for you was just the silly one.” Kata seseorang di masa lalu.
“Tidak akan tercurah kecintaan Allah untuk yang hatinya getir mencintai. Barakallah untuk orang-orang yang hatinya penuh kasih sayang.” Ujar seseorang setelahnya.
“I just transfer you the most precious things in life. The named is “perspective”. You just have to look to everything until you die, just found release yourself, you just can face it easily. It’s all the same, both of us” lanjutnya
“itu Cuma hasutan setan, jika kau berpikir sesempit hanya bertumpu pada saya dan ruangan ini. Begitu banyak orang yang dapat dijadikan saudara di luar sana. Bumi Allah begitu luas.” Katanya, khusyuk
            Kini aku telah bertemu tokoh-tokoh yang begitu kuat dalam imajinasiku. Mereka, keduanya, tokoh yang begitu membuatku bersyukur. Yang keduanya bertolakbelakang. Yang keduanya, kata-katanya selalu kudenngarkan sampai jelas, yang kusediakan memori khusus untuk mereka.
            “Bahwa yang ditinggalkan untuk ummat Islam ini hanyalah ilmu. Rasulullah saw bersabda, sebagian dari kalian mengambil banyak, sebagian lagi hanya sedikit. Tapi bahkan bukan imannya. Berdoalah, agar dikuatkan keimanan, agar luntur segala kepalsuan, dalam kuatnya juga hasutan setan.” Suara senyum renyahnya retak, aku merasakan kekhawatirannya walau tak melihat wajahnya
            “Wallahu’alam.” sambungnya
            “I will never confused, while I leave you. Even its on the forest. You just carry yourself by your big head-stone. Haha. Do what you want, on a track, you found what must. That’s all. Just see. It’s all the same about us.” Ujarnya lalu tertawa, memelukku yang di pangkuannya
            “Don’t let people see who’s the really you.” Katanya, mengakar, mencengkram, sebuah mainstream besar yang begitu luxurious, bagiku.
            “So I don’t need to have the-really-me. It’ll bother me so far.” Balasku. Ia terdiam.
            Kata-kataku mungkin telah terijabah pada saat itu juga.

Wednesday, January 30, 2013

Saudara

Baru nyadar banyak film yang gue tonton akhir-akhir ini, refleksinya brotherhood semua..

Asik ya kalo kita punya kembaran, bisa pake kaos yang kembar, terus ngobrol panjang lebar soal apapun. Karena bersaudara, nggak ada yang perlu jadi rahasia.

Asik juga kalo kita punya kakak, bisa minta ajarin ini itu, minta bimbingan, punya ekstase berat soal "kerenistis". Karena dia kakak, jadi apapun yang dilakukan pasti keren-keren aja, kita kan belum melalui masa umur psikis dan fisik, dimensi idiil atau reflect mereka. Setiap orang, butuh orang kharismatik kan - mungkin.

Hmm... asik juga kalo kita punya adik, bisa dijailin, buat usil-usilan, diajak main, mecahin teka-teki busuk seharian atau gue transform jadi mutan gue, ngomong 4 bahasa sambil melakukan hal seru.
Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya nggak ada rahasia. Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya baik-baik aja. Karena beneran asli, kan. :)






Sunday, January 20, 2013

Wangi Hujan

Terkadang hujan punya wangi. Bukan wangi angin atau wangi tanah. Sesekali ia punya citranya sendiri. Wangi hujan.

Ini sejak semburat jingga di penghujung biru langit pagi terpaksa membuatku kembali melantunkan nada-nada melankolis, sebuah soundtrack yang tiba-tiba muncul. Memaknai bahwa peristiwa dan deret-deret pemaknaannya terlalu tinggi untuk disentuh sebuah kehinaan semacam diriku. Memaknai bahwa terkadang hatiku seperti kaca yang tak dapat memantulkan cahaya, sekedar mampu untuk pecah. Terkadang hatiku semacam hujan yang tak dapat menyuburkan, sekedar basah. Ya, terkadang hatiku seperti jingga di pengujung biru langit pagi, salah tempo, lukisan pinggiran.
Kaca yang hanya mampu pecah atau hujan yang sekedar basah. Bukan kaca jika tidak memantulkan cahaya, bukan hujan jika tidak menyuburkan tanah. Bukan salah jingga jika ia jadi lukisan pinggiran, bukan tentang salah tempo. Sekedar salah redefinisi, salah memaknai, katanya, itu wajar karena perspektif manusiawi kita begitu terbatas. Ah, ia begitu bijaksana.
Namanya air dan transliterasinya turun ke bumi. Mengantarkan atau diantarkan, hujan tak pernah tahu redefinsi dirinya, bukan? Sebab ia telah melalui sebuah konveksi panjang kesejarahan hidupnya. Menjadi dirinya, lalu menjadi bukan dirinya. Dari air menuju air yang jatuh dari langit.
Berperan, mengantarkan atau diantarkan. Bukan lagi sebuah dilematisasi perasaan tapi konveksi alam, keberlangsungannya, perwujudannya.
Entah, jadi dirinya atau tidak. Hujan tetap selalu punya wangi, wangi hujan. Wangi kegelisahan.
Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya.
Seperti dakwah siyasi, diseret-seret tribulasi faktual. Sementara mereka bilang ini dan itu sudah beres. Seperti nalar siyasi kontemporer, jokingnya. Sementara mereka bilang, "nanti kami syuro-kan dulu."
Sialan.

Saturday, January 12, 2013

Wangi angin

Wangi angin. Mungkin kasar bila kita memulai sesuatu dengan mengeluh. Bahwa terkadang rintik hujan bisa jadi begitu tajam dan kita terlupa bahwa ia telah menitik basah. Melupakan hakekat keberadaannya karena sensasi yang dibawanya.
Aku masih ingin berdialektika. Masih ingin begitu jauh memahami. Tentang wangi angin dan hujan yang merintik.

Bahwa paradigma umum itu bukanlah seumum yang orang-orang katakan tentangnya. Aku dan kau, dapatkan tulisan ini dengan berbeda. Membaca huruf-huruf hijaiyah lewat aktualita-aktualita yang berbeda. Tidak sampai hati menimbang-nimbang putusan ilmiyyahnya.

Bahwa membawa dan dibawa. Bahwa meminta dan memberi. Kadang kita dibawakan sebuah pembawaan. Sebuah kepalsuan, sebuah klaim, kekosongan pemahaman. Kadang kita memintakan pemberian. Asing terhadap kefakiran diri sendiri. Sebab pada titik itu, hati yang kotor lupa darimana ia berasal.

Ah, aku jadi merasa begitu hinanya. Ah, aku jadi merasa begitu kerdilnya.
Ah, aku jadi lupa bagaimana derivasi-derivasi itu merangkai sebuah kronologi.

Serumitnya wangi angin memberikan ruh pada hujan yang merintik. Semoga menjadikan hikmah begitu mudah untuk disemai.

Thursday, January 3, 2013

Something unusual

Mungkin itu yang asli namanya kecendrungan. Berhadapan dengannya, lalu berbincang tentang kebaikan. Berhadapan dengannya lalu bercita-cita.
Aku tak pernah tahu bahwa cenderung dengan seseorang itu bisa jadi semenarik ini. Mendoakan, melihatnya tertawa lucu, beritikad kuat. Iltizam yang tiba-tiba saja muncul dan berkata,"gue pasti bisa"
Ya, atas dasar iman dan mahabbahNya, gue pasti bisa syiar juga ! #go