Sunday, December 9, 2012

Mereka diam

Waktu itu aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi. Kadang sekedar tersenyum kadang tertawa. Entahlah bagiku kau begitu menyenangkan. Representasi sebuah keluhuran akhlak.
Aku cuma sekedar iri, melihat bahwa setiap orang punya kelebihan.

Intinya kamu begitu menyenangkan. Tanpa dusta, bicara seadanya saja, tapi baik untuk di dengar, menutrisi.
Intinya kamu begitu nyaman. Tanpa menyembunyikan, melucu sesuai fitrah saja, sederhana.

Ada juga beberapa orang di sekeliling kita. Mereka duduk di kursi yang dekat. Ikut alur kisah, ikut juga serius mendengarkan kemanjaanku. Ah, tapi kenapa mereka diam? Ah, tapi kenapa mereka diam saja?!

Waktu-waktu berderit, bahwa selain kau, ada aku, ada mereka juga ! Ah, tapi kenapa mereka diam?

Monday, December 3, 2012

Sahabat

Sahabat, entah wajar atau tidak
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu

Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan

Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu

Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan

Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu

Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam

Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan

Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah

Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja

Thursday, November 29, 2012

SEMANGAT ^-^

Bertubi-tubi datang menghampiri. Mungkin karena gelas yang kosong atau mimpi-mimpi yang menghantui. Ah, jadi takut untuk tidur. Perlu diterapi atau diebrikan obat penenang depresi.

Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.

Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.

Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.

Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.

Bukan Pidato

Aku tahu bahwa untuk saling mencintai kita harus saling mengagumi. Entahlah, bahwa setiap kali orang terpesona denganmu itu sama artinya iya atau tidak. Tapi aku, iya. Bagiku ini juga yang menjadi sebab kau tak banyak mencintai. Bahwa bagimu, sama saja. Aku atau yang lainnya.

Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.

Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.

Ngomong apaan.

Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.

Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?

Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.

Siapa yang dikasihanin?

Ya, anti lah! Masa mereka? haha..

Renyah


Friday, November 23, 2012

Ilalang

Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Sayap ilalang. Sayap terbang tanpa kekuatan.
Sayap ilalang. Ilalang terbang tanpa arahan.
Sayap ilalang. Terbang. Angkasa pudar meracau sendirian.

Ini tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Gila durjana. Mati durhaka sampai ke akar-akarnya.
Aku tak terpesona tapi jatuh tanpa makna. Ke tanah.

Tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.

Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Putih ilalang. Putih merona tanpa warna.
Putih ilalang. Ilalang merona tanpa kecendrungan apa-apa.
Putih ilalang. Noda. Kecil menghilang meracau sendirian.

Ini tentang putih ilalangku.
Dijadikannya putih ilalang sungguhan.
Mesra. Lembutan asa menarik segalanya tanpa permisi.
Aku tersihir setiap kali hampir menyihir kembali

Pergi, pergi ke lain ruang dan waktu.

Tuesday, November 13, 2012

Reasonable touch


                Kadang kita tak pernah tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites, keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.           
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
                “Apa yang biasa kau sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam kegiatan social? Bagiku cintaku adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
                Matanya masih terkatup berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya. Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
                Aku suka berkata-kata rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical assumption yang membuatku sedari kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini dan  begitu tak sempat membuatku berpikir sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan “boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
                Sejak kapan aku peduli dengan ibuku?
                Pertanyaan semacam itu jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
                Orang sepertiku, pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
                Pernahkah kalian tahu bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya mampu melakukan sesuatu.
                Dosa yang pertama karena tak bersyukur dengan setting hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar. Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua, bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu segalanya. Haha.
                Keberadaan orang lain di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka. Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu. Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
                Aku bukanlah orang yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup menganggu bukan?
                Aku ingin punya sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku, setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
                Jalan raya kota malang searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka. Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
                Aku suka bertengkar, tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
                Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu. Kata ayahku.
                Tidak, aku sekedar ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA. Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian, dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana, menarik. Aku tidak.
                Di belakang itu, usai jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini tulisan kamu beneran?”
                “Iya bu, coba aja ibu cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
                “Selamat, nilai kamu tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
                “Bukannya Hadi yang nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
                “Bukan, saya hanya berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis, romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
                Seperti virus masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
                Tamat.
xxxxx
                Belum tamat.
                Sebab aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
                Kita bicara tentang hal lain saja. Lain kali.

Sunday, November 11, 2012

Sebuah Pidato

Sebab malam kemarin seorang sahabat kembali mengingatkanku soal kesombongan. Tiba-tiba saja. Mimpiku malam ini seluruhnya full episode tentang sidang dan hari itu.

Ya, ini tentang kesombongan, juga tentang pidato panjang lebar dari abangku. Sore, di sebuah ruang sidang di Ciputat. Setelah beberapa paman dan kakek berumur 35 - 70 tahun menghampiriku dan mengucapkan, "barakallahu.." sambil tersenyum dan berlalu.
Abangku satu-satunya, berdiri dari kursinya yang di ujung meja di seberangku. "Barakallahu," katanya, lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku. Dan aku, tak pernah menyela bicaranya, bukankah itu luarbiasa?
Katanya,

Apa manuver selanjutnya ibu pimpinan sidang? (menyindir) Apakah tidak sebaiknya kita putar kembali nalar dan berkeputusan ulang? Ini bukan hanya karena anti jadi pembicara termuda di agenda internasionalnya Al azhar minggu lalu atau karena IQ anti dua kali lipat dari kami disini kan?
Siapa juga orang yang mampu untuk tidak sombong. Empatbelas tahun dan hafidzoh, cumlaude di sidang fikrah dan punya orangtua yang bukan orang biasa. Ya, siapa juga yang mampu untuk tidak sombong. Paling dicintai sekaligus didengarkan kata-katanya. Siapa yang mampu untuk tidak sombong? Jadi adik kesayangan, selalu mampu mengulang notulensi dengan error yang paling minim di antara kami? Siapa yang mampu?
Abang kira orang sepertimu tidak mampu kan?

Sarkas. Beberapa wajah berpaling ke arah kami. Sembari katanya, "hmm, lagi dimarahin lagi,".
Jembatan, sandaran dan arahan. Masih tentang kesombongan dan pidato panjang lebar abangku satu-satunya.

Dalam beberapa kasus seorang muslim tidak perlu tahu banyak hal tentang keimanan. Untuk beriman. Lain kali, ia tak perlu tahu banyak fiqih untuk mengerti, tentang syar'i. Banyak orang yang tak banyak mengetahui agama, tapi membelanya. Bahkan Musa tak diperbolehkan bertanya, pada Harun gurunya. Bukankah itu istimewa?
Lalu kenapa seorang anak disini, berlagak tahu tentang segalanya? Bersikeras tahu sebelum memegangnya? Tidak ada lagikah nalar tsiqoh dalam Qur'an yang dihafalkannya?!

Nadanya meninggi dan aku pura-pura tak tahu ekspresi wajahnya. Menakutkan. Sebab orang seperti itu, ketika marah mengutip AlQur'an dan saat bernada tinggi, merendahkan orang dengan ruhiy, tanpa tendensi. Aku ingin jadi seperti abangku. Punya mental seperti itu, tulus dan tanpa topeng. Cerdas tanpa harus tes IQ per enam bulan. Kedua orangtuanya baik, setiap hari ada sarapan bersama dan gelak tawa penuh hikmah, keluarga.

Kesombongan itu membakar kayu sampai jadi debu. Hilang segala cerdas dan ketekunan.
Tidak perlu kemampuan unuk jadi sombong, cuma perlu sedikit hasutan setan, kepada orang yang dibutakan penglihatannya. Menolak kebenaran, merendahkan orang.
Terkadang melihat nyamuk sebagai belalai gajah atau leher jerapah. Kadang melihat kegagalan sebagai ketidakpatuhan orang.. Anti bukan tuhan.

Gila. Masih sakit hati sebenarnya. Tapi ingatan seperti ini mungkin hanya tiba-tiba ada di pagi ini. Gajah dan Jerapah. Itu bagian lucu. Aku tertawa kecil, meremehkan analoginya yang kacau. Ia juga berpaling ke belakang, mungkin tertawa juga. Tudingannya jadi semakin menusuk walaupun tidak menyakitkan.

Beberapa ustadz kami dan musyrifahku menganggap kami punya banyak kemiripan. Kecuali satu hal itu, miliknya, kekacauan analogi. Dan satu hal lagi, milikku, tingkah kekanakan. Gaya bahasa, intonasi suara, permainan logika, puisi favorit, model tulisan, kesukaan makanan, orientasi obrolan, pandangan shirah dan fikrah, hafalan, ibadah harian, persis. Kami selevel tapi bedanya, ia lebih tua 4 tahun. -.-"

Karena sombong itu berasal dari hati yang sakit. Tidak perlu banyak hal hebat untuk sombong, sekedar lupa bahwa adik akan terkalahkan dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan. Mungkin disanalah awal hasutan setan. Untuk mendengarkan, untuk tidak mengacuhkan. Bicaralah atau diam.
Suatu hari ketika saya tidak ada lagi, anti akan banyak terkalahkan, oleh kesombongan adik sendiri. Karena adik begitu rumit dan anti tidak mampu menganggap orang lain dengan lebih dan lebih lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin ini terakhir kalinya ada nasehat seperti ini. 

Karena itu memang nasehat terakhir. :)

Friday, November 9, 2012

Tanpa dengannya

Kepemimpinan itu apa? Di atas dan di bawah sama saja kah? Tentu tidak, bukan?
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.

Sesungguhnya segala sesuatu itu pastilah bergerak dengan satu harmoni tertentu. Selayaknya pandangan nakhkoda ke arah barat, harmoni laut terbaca walaupun tak terlihat dasarnya. Maka memimpin adalah tentang memahami, mengenali, menguasai ilmu dan mengambil keputusan.
                Adanya jiwa kepemimpinan pada seseorang selanjutnya akan menjadikannya berkualitas berbeda. Ia yang berjiwa kepemimpinan mampu membuat simpul pikirnya dalam setiap perbuatannya. Seorang pemimpin bukan selalu pasti berdiri sebagai pucuk pimpinan. Ia mungkin saja ada di barisan manajerial, level koordinasi maupun pengarah dan pelaksana taktis. Namun yang pasti seorang pemimpin sejatinya ada dalam kesadaran visi. Ia mampu dipimpin dan memimpin orang lain. Sebab baginya pengejawantahan dirinya dalam suatu komunitas bukanlah tentang berdiri paling tinggi di antara mereka, namun menjadi yang paling bermanfaat di setiap tempat.
                Fungsi kepemimpinan dewasa ini semakin minim teraktualisasi dalam banyak lini yang kita jumpai. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi inkonsistensi kebijakan yang dilakukan banyak stakeholder negeri ini. Ambilah contoh dalam skema pelaksanaan pengiriman TKI. Kantor imigrasi, kantor PJTKI maupun ‘distributor’ TKI di daerah-daerah, bersama-sama kehilangan jati diri demi produk kartal semata. Atau ambilah satu kasus penyelewengan dana umat yang anyir di banyak media massa, bulog gate, korupsi century, skandal BI, manipulasi DPR soal BBM, warna-warna politik transaksional berbasis kedudukan, dst. Hal ini tentu saja, menjadi sederetan kasus yang dalam keyakinan publik, memamerkan aksi bunuh diri sebuah negeri yang tanpa aplikasi idealitas sebuah kepemimpinan.
                Maka berbicara kepemimpinan adalah berbicara tentang sebuah vision. Pemimpin ialah yang dapat melihat konteks kasus dalam particular yang seiring pembelajaran termapankan secara holistik. Maka ia adalah seorang pembelajar sejati. Sebab vision, penglihatan dan kepahamannya atas segala sesuatu itu menjadi hal yang begitu berharga. Ia adalah seorang pembelajar sejati yang haus ilmu dalam banyak hal. Ia berbicara tentang arah gerak dan konsepsi kebijakan. Ia selalu memiliki pandangan mengenai putusan-putusan pribadinya. Tidak mengekor ataupun mengikuti selain berdasarkan keyakinan visi.
                Berbicara kepemimpinan maka juga bicara tentang melakukan banyak hal. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa menanggung pekerjaan-pekerjaan dan pertanggungjawaban yang paling berat. Maka barangsiapa mengambil dirinya sebagai pemimpin, bersiaplah jadi yang paling sedikit tidur dan tertawa. Bersiaplah menjadi yang terdepan dalam menghadapi masalah. Dan bersiaplah menjadi yang terakhir bersenang-senang dengan hasilnya. Menjadi pemimpin adalah sebuah koneksi riil dalam sebuah ruang pertanggungjawaban dalam banyak hal yang telah, tengah dan akan dilakukan.
                Tapi siapapun yang undur diri dari sebuah proyek kepemimpinan, maka ia telah keluar dari fitrahnya, dari peruntukan kehidupannya. Sebab kepemimpinan ini telah utuh terserahkan pada segolongan makhluk yang bernama manusia. Kita dengan akal dan kebijaksanaan adalah suatu entitasme yang terlanjur harus memimpin. Inilah akaran nalarnya. Siapkah kita mundur ke belakang peradaban dan membiarkan dunia dipimpin kera atau sejenis tumbuhan cerdas?     Maka kepemimpinan adalah juga sebuah tugas pembenahan.
                Kita kini sama tahu, bahwa tiada langkah lagi selain mempersiapkan diri untuk mematangkan kepemimpinan diri. Tiada alasan untuk mundur sebab tiada yang dapat menggantikan satupun di antara kita. Kepemimpinan itu, jiwa yang mengisi rongga-rongga dada, jiwa yang tak membiarkan seorang insan terpuruk dalam keterbelakangan dan kemiskinan kepribadian. Ia adalah jiwa yang mengisi rongga dada yang menjadikan nyala kebijakannya sebagai penerangan bagi orang sekitarnya dan bahkan seluruh dunia. Tidak ada yang diharapkannya kecuali keuntungan yang banyak akibat perbuatan baiknya, keuntungan yang ia-pun tak akan mampu membuat draft-nya.
                PEMIMPIN ITU ADALAH KAU!

SALAM SATU JIWA PARA PEMIMPIN BANGSA !!!

Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.

Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.

Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.

Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.

Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.

Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?

Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.


Sunday, October 28, 2012

Mawar Hijau

Seseorang sempat bertanya, apa yang dimaksud dengan mawar hijau bagimu? Pertanyaan ulangan dari berbagai beberapa derivasi redaksi kata yang pernah ku dengar selama dua tahun terakhir ini. Mawar hijau bagiku adalah sebuah representasi kenyataan. Mawar hijau itu delusi yang terlalu jauh untuk diangkat jadi sekedar "ada". Ia sedikit sulit untuk ku jelaskan dengan lukisan atau kata-kata.
Oleh sebabnya aku jarang menjawab dengan serius setiap pertanyaan yang lari ke telingaku. Ini agak sulit. Membangun pemaknaan dan refleksi irasional dari beberapa tuntutan kromatograf falsafah diri.

Beberapa waktu lalu kutemui lagi mawar hijau. Katanya ia petanda perdamaian, ketenangan, aura persahabatan. Entah, mungkin kini prisma cahaya matahari bisa dimaknai apa saja. Kini mereka bilang merah itu tanda asmara, biru tanda kedewasaan, ungu tanda cinta tulus dan seterusnya. Mereka tak tahu, bahwa bandingan dan turunan tak akan semudah simbol tanda tanya bagimu.

Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.  

Thursday, October 25, 2012

Sesuatu yang gila pastilah pernah terjadi dalam hidupmu. Entah, apakah ada dengan tidaknya akan tetap sama atau tidak. Tapi yang pasti kau telah melewati satu garis batas tertentu tentang perhelaan nafas yang temaram, menyedihkan atau menyenangkan, gila.
Aku sebenarnya ingin bicara soal konsistensi. Entah dianggap inkonsisten atau tidak. Ini soal mentalitas, personality dan pandangan hidup. Bagiku orang-orang yang rumit itu cuma beberapa sampahan gila yang jadi mutan dan hidup sementara.
Seperti kau mungkin, atau lebih tepatnya, aku.

Thursday, September 27, 2012

Words count the worlds


We have some problem to solve. Then we take some reason to flew it or burn it, lose it or made up with it. Somebody called it as the term of maneuver. But I don’t. It just more than we ever thinking of.  Honestly, cause we are the real problem that we having. There’s no other rational logic to describe why do we knowing the mars and Pluto beside the sentence of “some people said it before we born”.
So, that’s all about the word counting the world. We said, we know then we called it as something exist. Cause actually we are the point of this every movement and reason.
Why’d we said afrika as a black and American as a white. Why’d we said that the elephant was big then the ant was small. The nature was perfectly never be-with-child of words. Except us.
What a stressed.. ha… :D
Listening the air swing, feeling the branch wing, reading this very-old-mess-book, how despicable I am.

Tuesday, September 18, 2012

Palsu


Mudah melakukan kesalahan dan mudah minta maaf. Mudah marah dan mudah untuk tidak membutuhkan orang. Semua perspektif tentunya blur dalam titik ini. Kita kembali dalam satu alur purifikasi hati, menerima atau menolaknya mentah-mentah. Menjadikannya hikmah atau sekedar angkasa sejarah.
                Kau begitu menyenangkan, entahlah. Suatu kali aku bertemu sebuah jendela prisma. Luarannya memantulkan hijau daun dan coklat tanah. Jendela dimana kau memanggilku dalam sebuah kata surgawi. Mungkin tak sebegitu begini citra dan nalar menyukainya. Tapi juga tak sebegininya begitu kau tak ingin membuka mata. Aku Cuma sekedar rindu.
                Katamu aku harus banyak mengalah. Sebab banyak orang-orang palsu. Sebab menghadapi mereka adalah neraka bagimu. Bagi kau dan aku.
                Katamu aku harus banyak menyembunyikan simpul lintas dalam reaksi kimia otakku. Sebab banyak orang-orang primitive yang suka mengeksploitir. Sebab seketika mereka bersidang di hadapanmu dan menguraikan sebarisan kata yang intinnya, “kau bersalah”.
                Katamu aku harus. Sebab aku tak sekuat itu untuk palsu bagi orang-orang palsu. Setidaknya.

Tuesday, August 28, 2012

THE GAP between Us

Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk berubah. Yang ada cuma terlalu terlambat. Sama saja, benar atau tidak. Yang beda, salah dan kelirunya. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Dunia ini dikelilingi hal-hal lucu. Kenapa gajah bisa punya belalai panjang sementara jerapah hanya punya leher yang panjang. Asal mereka sama. Afrika, katanya. Hutan, spesifiknya. Yang ada datarannya, tambahannya. Savana? Semacam definisinya.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Kata Darwin. Yang ada cuma terlalu terlambat. Ketika gajah dan jerapah sama benarnya. Maka yang beda adalah kesalahan dan kekeliruan kata savana yang mendefinisikan asal mereka.
Berulang terus, maka dunia ini akan selalu lucu dalam pandanganmu.

Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Peradaban memegang tribulasinya dari per-alamian kesosialannya. Bangunan kemanusiaan itu cuma doktrin palsu perpanjangan logika alamiah.
Dunia ini dihibur oleh hal-hal membingungkan. Kenapa bahasa di dunia ada sekian juta sementara strukturasi organ manusia itu-itu saja. Kelahiran mereka sama. Dari ibu mereka, katanya. Orang tua mereka yang perempuan, spesifiknya. Ya, rahim masing-masing ibu mereka, tambahannya. Tangisan? Semacam definisinya.
Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Kata Kelsen. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Ketika manusia beda bahasa sebagai tribulasi sosialnya. Maka perpanjangan logika alamiah memang benar-benar asli adanya.
Luarbiasa, maka dunia ini akan selalu menghiburmu dengan setumpukan kebingungan.

Sebenarnya tidak ada yang terlalu keliru untuk terlambat. Baik mengenai beda jerapah maupun gajah. Baik mengenai kebingungan Kelsen soal pemurnian yang tanpa obat. Gila. Mati rasa.

Baik mengenai beda savana dan asal dataran. Baik mengenai beda tangisan dan kelahiran. Semua orang belum terlambat untuk keliru. Keliru soal hal lucu dan membingungkan. Keliru soal perhubungan keanehan dan fluktuasi kebatinannya saat menanggapi anehnya. Itu hal berbeda. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.

Baik Darwin maupun Kelsen. Mungkin juga jadi definisi yang terlalu. Terlalu tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.

Thursday, August 16, 2012

Belasungkawa Pion Kaca


Oleh : Mira Fajriyah
         
Rumah ini kembali sepi. Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa kesunyian yang seperti ini akan jadi sebuah pil pahit yang tak kusukai juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, memperhatikan bunga yang ditanam di taman halaman depan, memasak pudding dan ikan laut kukus kesukaanku, ya, masakan lainnya juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, menuliskan segala keresahanku di bait-bait puisi yang tak mungkin dimengerti orang lain – kalau saja ada orang lain itu. Lalu di sore dan malam harinya, menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolahku, sesekali main game, juga menjahili beberapa anak menyebalkan di kelas lewat sms kalengan, ya, lalu tidur. Habis hidupku seharian dalam kesunyian, berduaan dengan diriku.
            Aku suka menulis. Entah, mungkin segala stimulus theoretical assumption yang selalu kudengar dari diskusi ayah ibuku terlalu menggunung di pelataran simpul kimia otakku. Aku suka menulis. Menulis apa saja. Seperti saat ini.
Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kali ini kesepian ini begitu menjijikkan. Membuatku mual dan berharap segalanya cepat berakhir. Tanpa pertolongan juga tanpa pena yang tiba-tiba bisa bicara. Seakan segalanya serba timpang, aku tak suka lagi berdua dengan diriku. Aku yang ini, yang tak suka dengan diriku, seakan jadi dua sisian yang tak saling berdampingan, dua pintu yang tak saling membuka. Bungkam seribu bahasa.
------------------
Beberapa hari lalu, teman ibuku datang di ruang tamu ini. Ia membawa serta dua anaknya yang menjijikkan, berumur lima dan empat tahun. Kedua anaknya itu kurasa sepasang anak perempuan yang mengidap sakit gila, menggelesorkan diri di karpet ruang tamu, lalu meraung-raung meminta dibelikan es krim. Dua-duanya, anak perempuan bau ingus yang mengidap kegilaan akut. Lalu ibuku dengan senyum tertahan yang kebingungan, Cuma bisa kelu menanggapinya. Juga temannya yang tak mampu menangani kedua anak busuknya. Aku menggelengkan kepala, masuk kamar dan menulis sebuah kalimat di sticky notes layar komputerku, anak setan juga ikut turun ke dunia bersama moyang mereka, abadi sampai neraka.
Baiklah, anggaplah kini aku tak lagi sendiri. Sebab kau telah dengan sabar menekuri kalimatku. Kau, lagi-lagi dengan sabar menyusun reaksi kimia di pelataran sinaps otakmu untuk merelakan beberapa informasi sampah dalam tulisanku ini, masuk dalam memori bawah sadarmu – yang sewaktu-waktu bisa saja keluar dan mengacaukan hidupmu. Bahwa kita kini tak dengan diriku yang tak kusukai atau dengan dirimu yang tak pernah kukenali.
Singkat cerita, aku tidur lagi siang itu. Lalu sorenya kudengar pintu kamarku diketuk perlahan. Membangunkanku yang lumayan sibuk dengan pembenahan instalasi alam warasku pasca mimpi di kedalaman jaringan neuron. Aku sempoyongan, perlahan kubuka pintu dan kudapati ibuku tersenyum simpul satu-satu senti seperti biasa. Membelai kepalaku. Ah, mengganggu saja.
Tapi ternyata aku salah. Kali ini beliau tak hanya sekedar menggangguku. Tapi untuk ke sekian kalinya akan melumat-habiskan hidup harianku. Katanya, seorang psikolog sudah kembali datang dengan setumpukan aplikasi tes IQ. Katanya, ini jadwalnya, jadwal enam bulananku, jadwal yang tak pernah kubuatkan lingkaran merah di kalender atau ku ingat setiap kali datang temponya. Aku mual, dengan segala ketidakwarasan ini.
------------------
            Umurku sembilan tahun. Aku asli keturunan China. Keturunan otak jenius professor ekonomi sosialis di Tokyo. Umurku Sembilan tahun. Ibuku seorang pengusaha butik hebat. Ia mengambil doctoral bidang ekonominya di Canberra, bertemu ayahku lalu mereka menikah. Umurku sembilan tahun. Aku membaca surat cerai kedua orangtuaku. Saat itu umurku lima tahun, masih siswi kelas dua primary school. Umurku Sembilan tahun. Dan aku dianggap punya keterbelakangan mental.
            Bagi sebagian orang aku menggemaskan. Terutama bagi para tamu ibuku yang pecicilan mencari inspirasi dalam mempermudah bisnisnya. Bagi sebagian orang aku menyebalkan. Terutama bagi teman-teman sekelasku. Aku suka mengutuk mereka dengan ekspresi meyakinkan yang ku tiru di film-film fantasi. Aku suka menjahili mereka dengan sms kutukan dan melempari mereka dari belakang dengan pensil. Bagi sebagian orang aku amoral. Terutama bagi para guru di sekolahku. Aku sering keluar kelas ketika mereka menulis di papan. Aku sekali-dua kali ikut pelajaran jam olahraga dan kelas hobi, sisanya kutinggalkan. Bagi sebagian orang aku picik dan nakal. Aku sering ke perpustakaan dan memindah-mindahkan buku-buku yang tersusun rapi menurut skema kepustakaan. Aku beberapa kali membohongi guru BP dan menuduh temanku dengan berbagai alibi. Mereka tahu itu. Umurku hanya Sembilan tahun.
            Aku kelas enam SD dan dua bulan lagi tes nasionalku untuk keluar dari rutinitas sekolah dasar akan dilangsungkan. Ibuku bilang setelah lulus dengan nilai bagus, aku tak akan lagi dipaksa pergi ke sekolah. Aku akan menjadi dewasa dan aku akan punya lebih banyak hal menyenangkan. Ia hanya tahu umurku Sembilan tahun tapi tak tahu bahwa anak seumuranku tak bisa dibohongi dengan cara naïf macam itu. Semua orang tahu, sistem pendidikan menjijikkan ini mengharuskanku hadir dalam rutinitas belajar setidaknya sampai umurku Sembilan belas tahun. Tiga tahun SMP, tiga tahun SMA, empat tahun di perguruan tinggi. Masih jauh dan selama itu pula ibuku dan psikolog bodoh ini terus akan jadi momok yang menggelikan bagiku.
            Maka setumpukan buku kuisioner memalukan hadir di penglihatanku. Inilah masa-masa penjara itu. Kata Nizami penulis Persia kuno kisah Laila Majnun itu, lebih gila dari nuansa serigala padang pasir mengarungi penginderaanmu, merasuki khayalanmu tentang kecantikan duniawi, tapi itu semua bohong, kata-kata lukisan belaka. Aku mengantuk, memaksa tidur lagi.
Apa yang biasa kau pikirkan sebelum kau pergi dari rumah? Apa yang menurutmu biasanya dipikirkan anak umur Sembilan tahun sepertiku? Apakah kau pikir aku cuma suka dengan keterbatasan tinggi badanku ketika harus masuk wahana yang tak diperbolehkan selain untuk mereka yang di atas 100 sentimeter? Aku mengamuk. Di kediamanku. Menyelesaikan soal bau bangkai ini seraya memutar balik dan melurushadapkan pikirku tanpa pola tentang wahana halilintar dufan. Terus melakukannya sampai pukul delapan malam, lalu membuang pensil yang telah berjasa ikut serta dalam kegilaan ini, ke arah dapur sejauh 4 meter – dengan marah.
Mungkin seharusnya aku tak pernah dilahirkan saja. Mungkin seharusnya ayahku bukan orang luar Indonesia atau setidaknya Thionghoa Jakarta saja. Mungkin seharusnya ibuku tak perlu mengambil beasiswa doktoralnya waktu itu. Mungkin aku tak perlu dianggap sedikit lebih jenius dibandingkan teman sekelasku yang bukan anak profesor dan doktor ekonomi. Mungkin arena hidup ini memang berkelindan seperti yang dikatakan Tere Liye dalam Rembulan Tenggelam-nya. Rupanya aku benar butuh isian otak yang lebih bergizi lagi.
Agar hatiku lapang dan penuh bunga. Agar kebijaksanaan tumbuh dan kedewasaan mapan bercokol dalam setiap pertimbanganku. Agar aku tak perlu berharap jarum jam berputar ke belakang. Lalu ia berhenti pada masa ketika aku berumur tiga sampai lima tahun, sebelum hari kutemukan selembar akte pengadilan negeri di meja kerja ayahku. Ah, aku tak akan bicara seperti ini lagi.
Bukankah setiap orang berhak menjadikan dirinya sutradara dalam episode hidupnya? Tidak. Tentu saja. Kita hanyalah pion di atas papan takdir yang berkelindan. Inilah simfoninya.
Sama sepertimu, aku juga pion-pion itu. Di antara kita, ada pion kaca bersayap, kosong dan menyilaukan seraya terbang mengangkasa, melewati kotak-kotak hitam-putih. Di antara kita juga pion besi yang pejal, berat membawa dirinya, melewati satu demi satu perjalanan hitam-putih, teguh dan menyambut ketegaran di setiap persimpangan. Di antara kita juga ada pion air yang menguatkan, tembus cahaya dan tak pernah memakan yang lainnya, mengalir dan melewati batas-batas kecil. Di antara kita lebih banyaknya bukan pion kaca bersayap ataupun pion besi atau pion air. Kebanyakan kita tak terdefinisi dan mungkin saja irisan atau perpaduan dari variable pesona, ketegaran dan fleksibilitas. Kebanyakan kita tak tahu perkara pion-pion itu.
------------------
            Beberapa saluran televisi kabel cukup menarik bagiku. Aku suka discovery channel, BBC, dan tentu saja, nickelodeon. Aku tak suka film romance. Selain karena ibuku rajin berceramah soal virus sampahan dari konstruksi nalar film romance, aku memang tak mengerti alur logikanya. Sementara beberapa anak perempuan lain di kelasku memang gemar bicara soal film Spanyol yang baru-baru ini di tayangkan di saluran televisi swasta nasional. Aku samasekali tak kecewa, mereka tak tahu bahwa telah terjadi lonjakan statistic penduduk dunia, puisi Rendra dan Taufik Ismail, kekeringan di Afrika dan perang di kawasan Timur Tengah, bombardir AS atas Irak, atau tentang Patrick yang ternyata hanya disukai Gary berkat sepotong kue di kantong celananya. Kata ibuku, pengetahuan seperti itu lebih mapan dan lebih berguna daripada hafalan kisah cinta picisan.
            Aku jadi ingat. Beberapa tahun yang lalu aku sempat juga penasaran soal Romeo dan Juliet. Ibuku bilang itu pengetahuan orang dewasa. Tapi ayahku Cuma tertawa geli waktu itu, menggendongku, lalu ditanyainya aku, “darimana kau dapatkan informasi mahal semacam itu?”. Kulihat ibuku masam, seakan tahu ada hal menjengkelkan yang akan dihadapinya. Ya, setelah itu selama semingguan aku Cuma sibuk menghabiskan bacaan naskah drama shakespare 1778 dan kumpulan puisi Schumann yang diberikan ayahku. Sejak saat itu, aku tahu banyak mengenai “pengetahuan orang dewasa yang mahal itu” – sebuah simpulan yang ku-ambil dari definan kedua orangtuaku. Aku lumayan pintar untuk anak yang rata-rata lebih tua dua tahun dariku waktu itu, kata ayahku. Aku percaya saja, tak tahu itu pujian atau kebanggaannya atas diri pribadinya.
            Maka ketika seekor burung bersikeras mematuki jendela kaca kamarku, aku kembali terbangun dari lamunanku di meja belajar. Aku masih sendirian. Mengetahui bahwa aku kini tak suka berdua denganmu. Dengan tanpa diriku yang tak kusukai juga dirimu yang tak pernah ku kenali. Kita hentikan saja celotehan ini sampai disini. Aku masih menulis. Masih dengan pena yang tidak tiba-tiba bisa bicara.
            Ya, umurku Sembilan tahun. Tak bergerak dalam dinamisasi luaranku. Umurku sembilan tahun. Terlalu banyak berkata ‘aku’. Aku jadi potret penduduk ke-aku-anku. Dan aku sendiri, tak suka kesendirianku lagi. Umurku Sembilan tahun. Aku orang buangan dari perspektif diriku sendiri. Umurku Sembilan tahun. Dimarahi hati kecilku, memaksa burung merpati itu bicara padaku, mengertikah kau?