Saturday, March 12, 2011

Paradoks

Menginduksi fakta, membangun generalisasi warna. Lalu kausa halal jadi baku. Formil atas deduksi bangun bentuk. Sebuah alur paradoks menggelitik dalam runutan nalar dan sisian kemanusiaan. Bahwasanya dikotomi al haq dan bathil tak lagi jadi kacaan penghambaan.

Sementara cicit burung berkata, bahwa suaranya jadi indah di telinga tuannya. Digiring meng-angkasa, ditarik ulur gelungan tambang coklat. Pagi dan sorenya, jadi do'a ma'tsur yang dilagukan. Demi katanya, kebahagiaan.
Atau ini tentang lukisan di dinding kamarku. Zora merah di horizon cakrawala, ditangkap frame indera manusia, sebagai mekanisme maksimalisasi hasrat penikmatan sunnah ilahiah.
Ya, bisa juga mengenai terpal biru di atas rakitan besi. Juga ketika ia dibumikan bersama rumput; jadi alas duduk dan cicitcuit tertawaan semut hitam.
Bukan, ini tentang hal sesederhana membeli permen dan membayarnya.
Sebuah alur paradoks menggelitik dalam runutan nalar dan sisian kemanusiaan. Bahwasanya dikotomi al haq dan bathil tak lagi jadi kacaan penghambaan.

Hanya ada satu kunci dikotomi hakiki di dimensi ini. Baik dan buruk1. Ushulnya, kebaikan akan kekal dan kejahatan akan lenyap. Perpanjangannya, Allah Yang Maha Kekal menyifati diriNya dengan Maha Benar. Rakitannya, yang buruk itu-pun sunnah dari Yang Maha Baik. Maka konklusinya, refleksi paradoks diserap tak sempurna dalam perubungan aqliyyah. Dan jika kemudian anda bertemu klausa bahwasanya adanya sisian baik dan buruk merupakan sunnah kebaikan Allah maka saya bersepakat dengan anda.

Alur unfinished logic dalam pembacaan kauniyah semesta bisa menjadi syndrome yang menyakitkan bagi para penderitanya. Dan saya kira telah banyak juring komunitas yang terjangkiti. Terutama dalam masa ini, di saat kepemimpinan pemikiran ada di roda-roda jahiliyyah. Setumpukan generalisasi jadi semacam impuls pembenaran hasrat nafs; entah yang haq atau bathil.

Maka ketika ditanya tentang inginnya, kebanyakan kita akan menekuri premis penghubung atas cita dan citra diri. Yang disaat keterbutuhan menderivasikan klausulnya secara revolusioner, menjelma jadi runutan list, "sempurna, seperti ini". Lifeline means a trial, not on what you want but what you have to. On a better day, you know you want what you have to, thats named, faith. Better you take the better day today.

Mungkin itulah sebab banyak inovasi di dunia ini. Sebab angka satu bisa diartikan lidi bisa juga jadi selembar hati. Kemudian jika ditanya apa inginku, maka ku ingin simbol satu jadi selurus peruntukkannya. Atau cicit burung jadi seindah merdekanya. Hingga zora merah tetap ada di luasan angkasa. Jadi tak ada lagi tertawaan semut hitam untuk terpal biru yang dibumikan ke tanah. Sederhana bukan?

No comments:

Post a Comment