Sunday, March 6, 2011

Dialektika kata-kata

Oleh: Alfajriwasntd13

Keanekaragaman bahasa dan bangsa dunia bukanlah lagi jadi klausul yang perlu ditelisik ulang. Sebab kita tentu saja tak lagi hidup di zaman purba dimana satu bahasa mengakar bersimbiosis dengan kehidupan lokal. Di tengah gencarnya percepatan arus impuls informasi dalam maya, ketersediaan ribuan bahasa yang ter-akulturasi dalam regional penutur secara gamblang menderivasikan satuannya sebagai pengantar.

Tarikan nalar dari fakta kebhinekaan bahasa ini sejalan dengan semakin maraknya deskripsi entitas kultur dalam kajian-kajian psikologi modern. Kata adalah sebuah petanda, tendensi, maknawi dan kromatograf pribadi penuturnya. Lebih jelas, pembacaan pilihan kata bisa jadi sebuah kuncian untuk membuka ruang latar belakang dan unitas psikis seseorang.

Saya tentu saja tak akan menjabarkan perhubungan psikis suatu populasi kultural dengan kebahasaan yang mereka gunakan. Sebab untuk meng-inventarisasikannya mungkin dibutuhkan waktu lebih dari jatah hidup saya. Sebagai sebuah analogi konteks, di Pulau Jawa saja, telah subur beribu dialek dengan kacaan psikis entitas lokal. Dengan itu, saya lebih memilih membaca kitab tebal UU hukum perdata daripada merelakan kebotakan bertumbuh di pemikiran saya. Siapakah juga manusia yang sanggup merampungkan penelitian untuk rangkuman rigid inventarisasi ke-anekaragaman homo sapiens ini?

Selanjutnya, kini kita terpahami bahwa analogi konteks akan membuat kita menyentuh ekspansi abstraksi.

Rantai perpanjangan abstraksi selanjutnya akan menemui pos-pos maknawi dari diksi. Hingga muncul sebuah nalar paradoks umum. Yakni, selipan maksud asli dan saduran sense retorika. Ambil saja satu kata “Innalillahi..” yang dalam keseharian dicetuskan sebagai petanda duka dan kehilangan dan dalam interpretasi awalannya adalah polos-jujur pengembalian ilham diri atas pengakuan nilai ke-Illahi-an. Yang jika ditarik perhubungan keduanya, sampailah pada sebuah konklusi, satu simbol kata selalu membawa dikotomi ekstraksi sekaligus. Entah dilihat dari niatan penggunaannya atau sampainya message ke partner pendengar.


d^-^b
Ya, bahasa memang tetap jadi bahasa. Seperangkat peralatan paling gila di dunia. Yang katanya, hanya dimiliki makhluk dengan tingkat kecerdasan yang terlegitimasi konvensi jiwa..

Dan kenyataan bahwa kita seringkali menemui topeng busuk para ahli pidato kini jadi materi khusus para penikmat bualan warung kopi. Yang disebutnya, melantunkan nada-nada surga mengenai "dalam masa kepemimpinan saya". Ini tentu saja bukan tentang tudingan kasar untuk para birokrat negeri masa ini. Tapi hanya sebagai suatu jembatan analog, bahwa sirkulasi paradoks kata umumnya keluar di masa-masa penuh visi dan rancangan.

Kembali pada seorang Freud dan kawan-kawannya - para salibis - yang menutur agama sebagai khayalan kanak-kanak dalam pembahasaan sederhana, kita kembali bisa mengambil ekstrak nalar praksis yang dangkal. Sebuah map paradoks yang lupa ditutup saklarnya. Yang ketika dinisbatkannya imajinasi sebagai tanda kecakapan akal - berikut perhubungannya dengan impuls memori dan nalar - di satu sisi, mereka yang mengaku cerdik pandai itu malah mendeclair "percaya" pada sebuah ketentuan-ketentuan agama sebagai filologi lapuk. Gila, sebuah paradoks pikir dan diksi kata telah dengan dzalimnya memutus saklar perhubungan sunnah - jadi gelap, hanya cicit jangkrik yang diraba halus-halus.

Dalam simpulan keanekaragaman dan petanda kultural, kata memang layaknya tendensi kelayakan dan deskripsi umum. Hingga dalam proses memahami, pemaknaan harus selalu diputus dalam ruang parsialnya, jika memang tak ingin dianggap "ngawur". Sebuah norma dialektika kata yang bahkan berjalannya tanpa persetujuan kita; penggunanya.

Yang seperti ini, bisa keluar dalam pola radict atas hal lainnya. Terutama dalam pemaknaan ruang-ruang teori sosial yang menggila. Bandingan lurusnya, tahukah, bahwa sebuah kepemimpinan digarap dalam sebuah lapangan tertentu, bukan batasan kewenangan. Sebuah dogma yang menjalari mekanisme kerja dewasa ini, jalur rigid kewenangan dianggap satu jalan dalam capaian ideal bagi penyelesaian "misi". Lagi, sebuah paradok pikir dan diksi kata telah dengan dzalimnya memutus saklar perhubungan sunnah - kini jadi busuk, disiram bah yang ter-uap-i di highway.

Dialektika, mewakili dikotomi yang selanjutnya merangkai paradoks dalam siklusnya, hingga sampailah pada hukum balik deduksi-induktif dan induksi-deduktif yang tak pada saklarnya.

No comments:

Post a Comment