Wednesday, June 19, 2013

Rumitansi

Tiupan angin sore kota Jakarta masih getir seperti yang ku kenal. Lalu lalang penjara jalanan di persimpangan Senen, Jakarta Pusat. Aku berdiri, seakan jadi bintik kecil yang kebingungan di tengah hiruk pikuk. Memegangi sebotol air minum ionic yang hampir kosong di tangan sebelah kanan. Menatapi langit. “Semoga hujan cepat turun…” bisikku.
            Sebab wangi hujan tak pernah sedatar wanginya yang sebelumnya. Setiap rintikan adalah organisme yang berbeda, identik namun bukan ‘orang’ yang sama. Setiap dari mereka adalah kecintaan. Tulus yang berbuah jadi kemurnian siklus kehidupan. Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan.
Menunggu mereka di pertengahan bulan Maret, saat banjir Jakarta baru saja tinggal landas, hujan melintas menunggu perhubungan siklus tahun depannya yang mungkin akan jadi lebih kacau lagi. Hujan di pertengahan Maret, sesederhana hujan bulan Juni yang arif bijaksana, kata Sapardi Djoko Damono, menahan dirinya, tak dapat menurunkan wujudnya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan. Kemarau.
            Siang tadi, aku baru saja mengambil sebuah titik paling gila dalam hidupku. Bahwa dengan satu goresan tinta, akulah rintik hujan yang tak akan pulang ke rumahnya. Mengakhiri setiap alir liquid-nya, untuk memulai kembali. Sebuah persetujuan gadai rumah. Menggadaikan rumah orangtuaku yang saat ini masih di Paris, tinggal di rumah teman masa kuliahnya, katanya.
            “Missy ! Little Miss !!” sebuah teriakan wanita paruh baya menyelip di situs pendengaranku. Di sebelah kiri, sebrang jalan, di pinggir pasar. Sore yang menguning, tanda polusi industri yang mengambang di awan-awan, tak ada hujan. Aku sama sekali tak menoleh padanya, menyebrang ke sebrang kanan, meninggalkannya yang mungkin mulai kelabakan masuk kembali ke dalam mobil sedan hitamnya, mencoba mengejarku untuk kesekian kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Ia Cuma mahasiswi kurang terpelajar berumur enambelas tahun. Aku tidak pernah suka dengannya. Terlalu kekanak-kanakan, tapi dia bilang dia dewasa. Terlalu banyak merajuk, contohnya, dengan caranya mengurangi kuota pembelian kain di kongsi mitra yang sedang menaikkan harga. Sesekali, aku iri juga. Toh, perempuan itu punya rumah seharga 4 milyar. Tapi, seringnya, aku bersyukur, bahwa aku bukan dia.
            Sekarang wajah lusuhnya kembali menatapi kami satu-satu. Anak enambelas tahun yang jadi mahasiswi semester dua itu, sekarang sok jagoan mengomeli kami satu per satu. Sialan.
            Katanya, hitungan neraca akuntansi yang ku buat masih banyak salah dan kurang detail. Gila,
            “Benar, ada yang sempat ambil uang kasir buat beli dunkin donuts dulu? Saya mau hal-hal seperti itu tercatat juga disini, sekalipun satu rupiah”
            Mata sipitnya meruncing. Omelannya bukan hanya sekitar itu saja,
            “Bagaimana bisa, ini mitra kita sejak 5 tahun terakhir. Saya tidak pernah bermasalah untuk teken kontrak disini !” nadanya meninggi, mata runcingnya itu, memanah Dimas, PR[1] kami – yang 12 tahun lebih tua darinya.
            Semua menjadi tidak becus, di ruangan itu. Maka seperti biasa, buku-buku catatan kami penuh dengan focus-work-list yang menjadi akhir rapat penuh angkara murka itu. Focus-work-list. Kami berkali-kali menertawakan istilah itu saat jam makan siang atau sekedar momen kumpul selama berhari-hari sejak tahun lalu. Istilah itu dimunculkannya saat rapat pertama sebagai pimpinan pengganti ibunya. Anak itu, gosipnya, punya kendala bahasa, semacam autis. Tapi aku tak pernah tahu pasti. Kami tidak ada yang pernah berbicara secara personal dengannya. Begitu dingin, tanpa senyum, ya, kecuali ketika mengajari para shopkeeper baru menyambut tamu.
            “Baik, mari kita lakukan yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Saya tutup rapat kita. Wassalamu’alaykum,” ujarnya beku. Wajah langsatnya nyinyir tak berekspresi. Kami berdiri, melangkahkan kaki keluar dan berharap ia tak memantau hari ini.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Mall Taman Anggrek masih sibuk membenahi rona-rona ramainya. Aku tak pernah suka berada disini. Berisik. Terlalu banyak urusan.
            “Mikirin apa Miss?“ sebuah suara yang kukenal kembali menyapa seperti biasa, dari belakangku, telapak tangan kanannya menyampir di bahuku.
Bu Ranti. Wanita paruh baya yang kemarin kutinggalkan di perempatan Senen. Wajahnya teduh seperti biasa, di balik bingkai kacamatanya yang berat itu, mata bulat kelopak besarnya menatapku ‘kasihan’ seperti biasa. Ia mungkin satu-satunya orang yang dapat kupercaya di dunia ini, kolega mama sejak 30 tahun lalu.
“Soal rumah, hehe,” ujarku sungkan, lalu menyambar lengan kanannya, “Ayo ke dalam bu,” memutus pembicaraan itu, melangkah menyebrangi trotoar yang 5 meter, masuk ke dalam pintu kaca.
………………………………
            Di balik pintu kaca ini bukanlah sebuah tempat yang kelewat mewah, biasa saja. Hanya sepetakan ruang berukuran 30x20 meter. Empat bulan yang lalu tempat ini disebut ‘butik’. Tapi sekarang papan nama itu sudah kuganti dengan istilah ‘The Boutique of Wed’. Ya, disini hanya ada gaun dan jas pesta pernikahan. Ya, ada yang lainnya, tapi tema ruangan ini, kira-kira hanya sebatas itu saja. Kami juga menyediakan jasa pendukung lain seperti tim rias, interior theme design, fotografi, makelar gedung, dan seterusnnya, semacam wedding organizer sungguhan. Anggapan bahwa hidup ini permainan dan kepalsuan, bagiku, banyak benarnya.
            Beberapa orang, secara menyakitkan pernah bergurau disini, di hari ketika papan itu di ganti.
            “Tau nggak kenapa bu Farikha sampai bolak-balik kawin-cerai tiga kali?”
            “Haha.. ya, kan gampang nge-organizenya, pake aja ‘The Boutique of Wed’ ahaha
            “Bukan gitu kali, ada juga kenapa ini ditegesin jadi WO ya karena emang yang punya suka kawin, hahahaha”
            Aku hanya berlalu, ibu kandungku, beliau memang sempat menikah dan bercerai, di luar pengetahuan mereka, bahkan lebih dari tiga kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Aku tahu bahwa tidak ada satu-pun karyawan menyukai pimpinan pelaksana semacam diriku. Bengis, dingin, pemarah, katanya. Terutama karena mereka juga membenci mama. Itu wajar saja sebab dalam pandangan sebagian orang aku adalah anak tunggal tanpa ayah dan ibuku adalah janda yang suka keluar negeri dan menikah sirriy. Lengkapnya, sebagian besar karyawan disini adalah sebagian orang itu. Sekedar bahwa suhu kebencian itu, dapat dirasakan, kan.
Langkahku kembali terhenti, seseorang kembali menyampirkan tangannya di bahuku. Arfika, akuntan butik yang 8 tahun lebih tua dariku itu, wajahnya tergesa. Ia menatapku, berbicara tanpa kata, menggerakkan kepalanya ke belakang. Seseorang yang familiar kontan masuk dapat tangkapan retina mataku. Petugas gadai dari bank.
………………………………
            Kami berdua duduk berhadapan, seakan aku orang dewasa sungguhan. Bapak berperawakan tinggi besar itu tidak menyentuh cangkir kopinya sama sekali.
            “Ini tidak dapat diterima !” katanya tiba-tiba, meninggi. Seberkasan kertas dihamburkannya ke atas meja. Lingkaran merah di identitasku dan coretan di tanda tanganku itu, seakan membuatku menyadari segalanya. Sementara matanya terus mencoba mengintimidasiku dengan sempurna, menodong tanganku untuk membereskan dan mengangkat kertas-kertas itu.
            Tapi aku rupanya memang seorang bocah angkuh, bahkan dalam keadaan selemah ini. Aku hanya tersenyum meremehkan, menatapnya balik, mengintimidasi. Tanganku reflex menyilang dan mendukung aksi sinisku.
            “Anda lambat sekali menyadarinya, pak.” Jawabku sok pintar
            “Jadi kamu sengaja? Hei ! Saya bisa saja dengan serta merta mengambil toko dan rumah kamu atas nama bank ! ”
            “Saya rasa anda mengada-ada. Perjanjiannya kredit modal, bukan gadai, lagipula, toko dan rumah saya bukan jaminannya. Dengan tanda tangan saya?” aku kembali tersenyum penuh kemenangan. Suhu ruangan penuh angkara-murka. Tapi aku tidak perduli, aku akan menang dalam peperangan ini.
………………………………
            Sebenarnya sore ini aku baru menyadari, sederhana saja, bahwa aku masih 16 tahun dan sebuah akta gadai tidak mungkin ditandatangi seorang bocah yang menuliskan NIM[2]  sebagai ganti NIK[3] dengan alasan belum ber-KTP. Bapak itu tidak tahu, bahwa kemarin aku menunggu hujan dan akan berteduh di bawahnya sore ini.
            Hujan yang pergi dan tidak kembali. Aku tidak peduli lagi, bahwa hutang puluhan milyar atas nama ibuku itu masih akan terus gentayangan, menemaniku yang sendirian. Bahwa ibuku pergi ke luar negeri karena menyadari hal ini. Karena aku memiliki sesuatu yang menguntungkan, aku ditinggalkan. Karena aku dapat diandalkan. Mungkin. Aku hanya berprasangka baik.
            “Little Miss?” sebuah suara menyelip di pintu ruangan
            “Ya?” sahutku
            “Saya mau membereskan cangkirnya,” ujarnya. Arfika lagi. “Oh ya, silahkan,”
            Ia masuk dan mengangkat cangkir itu, guratan tanda tanya jelas di wajahnya, terpaku pada kertas-kertas yang telah tercabik-cabik, “tolong beresin ini juga, kak.” Arfika yang lulusan ekonomi UI itu menatapku spontan, mungkin heran karena pertama kali aku memanggilnya dengan sebutan itu. Aku beranjak.
            “Kemana Miss?”
            “Berteduh di bawah hujan,” jawabku, ia kembali keheranan. Sama denganku.




[1] Public Relation
[2] Nomor Induk Mahasiswa
[3] Nomor Induk Kependudukan