Monday, February 28, 2011

Hangusan Hermeneutika

Oleh: Alfajriwasntd13

Masih ingatkah anda tentang seorang pragmatis Granada yang menjanjikan kemenangan atas bangsanya?
Ia katakan, akan kembali bangsanya dalam luasan kesejahteraan yang agung
Ia katakan, akan terusir para kafir dari bumi Al Hambra'
Oh,anakku, ia berkata-kata pada rakyatnya
Begitu banyak hermeneutika
Begitu jauh logika utopia

Tapi ingatanku tentang kisah itu ialah pada saat ia yang seorang Abu Abdillah al-Shaghir itu, mencium tangan seorang petinggi kafir
Tapi ingatanku terlalu rapuh menghangus untuk memaafkannya

Anakku, telah kau katakan padaku retorika khas-mu yang mengagumkan itu
Anakku, telah kau selipkan rencana besar dalam cerdikmu

Tapi maukah kau ku ingatkan sesuatu?
Bahwa Al Hambra' tak kembali
Bahwa hermeneutika menjadi kosong tak berarti
Bahwa seorang cerdas utopis telah begitu dzalimnya

Anakku, telah kau dapatkan awalan jalanmu
Anakku, telah sampai engkau pada jejak menuju real atas uraian tafsirmu waktu itu

Anakku, masihkah engkau ingat?
Atau maukah kau kuingatkan sesuatu?
Bahwasanya Al Hambra' direnggut keperawanannya
Bahwasanya Abu Ubaidillah As Shaghir terbuang lalu menangis seperti wanita

Maka menangislah kau saat ini
Karena kau wanita
Karena kau masih anakku
Menangislah

Telah kelu hati anda, anakku, bukan lagi soal lidah dan akal
Lalu mengapakah anda kini jadi begitu malu mengalunkan hujjah atas kebenaran?

Wednesday, February 23, 2011

Kerlip

Oleh: Alfajriwasntd13

Dering asap malam membumbung membasahi
Sarat hitam yang di endus kabut putih aurora penghujung cakrawala

Berpendar kerlip, jadikan nyata wujud jasadku atas musikalisasi bumi manusia
Dan aku luruh dari perpaduan harmoninya
Entah, cinta, yang dicacah hitungan prisma
Yang ada dalam setiap bait para melanchole
Entah, anyir cinta yang digenggam asa
Yang ada dalam tarikan cerah gemintang malam hari

Tahukah, bahwa aku tak ingin lagi berkata cinta
Karena aku tak mengerti
Alur persepsinya, bisa membuatku minta ampun setengah gila

Ketika kau katakan, yang kemarin lalu
Ketika kau bunyikan, petikan nada suaramu
Ketika ada nyatanya, terbentuk frase dalam tulisan laut biru

Sebab bagiku tak ada selain cinta yang kupahami
Yang alur persepsinya, tak akan sampai tega membuatku minta ampun setengah gilla

Ketika ku bacakan ayat hijaiyahMu yang tinggi
Ketika ku mainkan jejakan tanah basah di lini
Ketika ada serasah nyata menyelusupi dinding hati

Ku tak ingin berbicara tentang kaca lagi
Tak juga malam ini

Ibunda

Oleh: Alfajriwasntd13

Sisian jalan miring mengasuh teriakan yang hanyut di putaran semesta
Tenggelam
Bisu, membakar tubuhnya sendiri

Dan aku melihat wajahnya, menatapku tajam seperti biasanya

Kata-katanya, terngiang hingga ujung pendengaran
dekatnya, aku dan telinga, aku dan nafasnya

Dan aku melihat wajahnya, menatapku tajam seperti biasanya

Ia kembali berkata-kata
Bahwa terkadang di balik senyum ada racun
Bahwa dalam pahit, ada kesembuhan
Bahwa ini bukan tentang racun dan kesembuhan
Tapi lumeran stroberi soda di dalamnya
Mois! manis.

Duhai, aku rindu ingin bertemu,
Duhai, yang nyanyian kasihnya di iring tasbih jagat raya
Ibunda

Islam dalam Siklus Peradaban; Izzah dan Azzam Pendidikan

Oleh: Alfajriwasntd13
“Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu semua, agar kamu suka berpikir tentang dunia dan akhirat” Qur’an Surah Al-Baqarah : 219-220

^o^

Manusia dengan akalnya bisa saja mengubah keterpisahan dimensi ruang menjadi jejaring lalu lintas informasi dalam dunia lain yang disebutnya dunia maya. Ia dengan cerdas bisa mengapungkan bandara di lautan. Ia bisa saja bertahan dalam dingin dengan menghangatkan dirinya dalam bangunan es. Ya, manusia memang luarbiasa hebatnya. Dengan sederetan prestasi yang digariskannya sepanjang sejarah peradaban, manusia memang telah membuktikan dirinya sebagai golongan makhluk yang dipilih untuk memikul tanggungan berat.

Sementara sebagian dari mereka mencetuskan serangkaian filologi tentang kehidupan. Mulai dari ajaran Anthisthenes tentang sinisme kesederhanaan hidup, diskusi Sokrates tentang ketuhanan, sampai Anaximenes yang menganjurkan matrealisme. Bersama dengan tiga nama tersebut, masih banyak pemikir lainnya yang telah menghias perkembangan teori bayi Adam; mencoba memimpin tujuan penemuan dan arah pergolakan pemikiran.

Baik mereka yang telah mempermudah dan mempertahankan hidupnya dengan teknologi nyata atau mereka yang telah mencoba merumuskan gumpalan kehidupan, sama; sama-sama manusia. Sama; sama-sama berakal. Sama; sama-sama menggunakan akal.

Perjalanan ketercapaian cita-cita manusia akibat penggunaan akal selanjutnya berimplikasi pada pola pendidikan ke anak cucunya – sebab ia mengikuti nalurinya untuk mengekalkan apa yang telah diperjuangkannya. Sementara perbedaan pilihan bentuk “kebaikan” yang dicetuskan para pendiri aliran ideology dunia telah mengantarkan kenyamanan modern pada sistemik pendidikan yang sarat susupan makna. Dan oleh karenanya, ummat muslim abad 21 harus lebih cerdas mengiring izzah dan kompetensi pemakmuran bumi berdasar pengajaran Tuhannya; yang manakah?

^o^

Sebelumnya, saya akan mengenalkan anda pada satu definisi, “Siklus Peradaban”. Ia adalah sebuah siklus yang kesempurnaan terjadinya akibat ketidaksempurnaan. Dimana layaknya sebuah perputaran yang tidak berhenti, peradaban selalu berganti dengan pimpinan sudut pikir tertentu yang dianggap terbaik di masanya lalu terbuang di kesudahannya.

Dalam pada itu, pastilah ada satu golongan yang memimpin golongan lainnya; sebagai pemegang mandat kebijakan dalam prinsip pikir peradaban. Tapi kemudian, pendidikan pemikiran oleh golongan yang memimpin tak sempurna di cerna yang lainnya. Hingga selanjutnya, putusnya rantai pendidikan konsep dasar peradaban pada golongan muda pastilah akan terjadi dan memicu terbentuknya siklus dengan pemikiran yang baru, dengan pengaruh baru dan gaya baru yang dianggap lebih ideal.

Sederhananya, peradaban adalah pusaran pangkal pendidikan dunia. Setiap masa pergantiannya adalah revolusi dunia, setiap pembaruannya adalah masa depan dan kesalahan terbesarnya adalah, ia tak pernah sangat-sangat sempurna untuk selalu bisa disempurnakan. Maka dengan berjalannya siklus peradaban, perpindahan pusaran pangkal pendidikan dunia juga akan selalu masuk dalam siklus.

Keberadaan siklus peradaban yang saya maksud bukanlah hanya sebagai khayalan belaka. Sebab kita telah sama tahu bahwa ayah manusia; nabi Adam as adalah orang pertama yang memegang kunci peradaban permulaan melalui pengajaran Rabb Al ‘Alim. Ketika Allah berfirman,

“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” Qur’an Surah Al baqarah:31

Dengan itu, Adam as telah dididik langsung untuk mendirikan konsep pemikiran dunia. Lalu apakah yang terjadi selanjutnya? Kita mengenal kenyataan telah pernah berdirinya situs Mesopotamia yang dilegitimate sejarah abad 21 sebagai salah satu bentukan peradaban tertua; yang menyembah Dewa Marduk pada masa kepemimpinan Hammurabi (1792 BC).

Ketika kita mendekatkan kembali pada konteks kisah nabi-nabi terdahulu, kita juga akan menemukan hal yang sama. Ambilah contoh ketika Allah berfirman,

“Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Samud, dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Rasul-rasul telah datang kepada mereka membawa bukti-bukti (yang nyata), namun mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata, “Sesungguhnya kami tidak percaya akan (bukti bahwa) kamu diutus (kepada kami) dan kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami.” Qur’an Surah Ibrahim:9

Padahal mereka juga anak cucu seorang Adam yang telah dianugerahi Allah pengajaran konsep awal peradaban. Baik Hammurabi yang mengangkat dewa Marduk sebagai tuhan atau kaum terdahulu yang menolak refresh pengajaran tuhan, hanyalah segelintir kisah yang memperkuat aib manusia; lupa. Dan oleh karenanya, siklus peradaban benar-benar terjadi dengan sempurna.

^o^

Dengan mengambil asumsi bahwa pendidikan adalah asupan pemikiran dan pengetahuan yang diwariskan dan ditularkan satu manusia kepada yang lainnya. Juga dengan memaklumi kehebatan dan kreasi produk pikir manusia. Serta menyadari keberadaan siklus peradaban sepanjang kehidupan bumi, kita tahu bahwa pendidikan akan selalu mengikuti produk pikir manusia yang diseret siklus peradaban.

^o^

Lalu dimanakah kita?

Ditengah beribu macam produk pikir non hakiki yang saling berebut tempat di hulu sistem pendidikan. Ditengah dilemma antara kebanggaan memegang izzah dan merawat azzam keilmuan. Ditengah katanya, kita terbelakang.

Semua keterasingan kita dari nilai ke-Islaman yang notabene adalah refresh terakhir dari pendidikan langsung Tuhan terhadap Adam tidak bisa dipungkiri merupakan akumulasi perputaran siklus peradaban. Sebab kini, kita tahu begitu panjang daftar idealism yang ada di buku filsafat manusia. Idealism yang diharapkan menjadi pemimpin pendidikan pemikiran dunia. Idealism yang dengan sengaja atau tidak, telah menampilkan ke-alpa-an makhluk paling cerdas spesies manusia.

Lalu masih ingatkah kita ketika Allah merangkul penuh cinta dengan ayat IlahiahNya,

“Maka berikanlah berita gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti mana-mana yang terbaik dari ucapan-ucapan itu. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itu pulalah orang-orang yang mempunyai akal pikiran.” Qur’an Surah Az-Zumar:17-18

Dari sini, kembali-lah prinsip tarbiyah pemikiran yang dituntun Tuhan. Dan pantaslah keniscayaan Al-Qur’an abadi selamanya. Bahwa dengan kasih, Allah memberikan konsep pendidikan dasar orang Islam; mengikuti mana-mana yang terbaik. Konsep yang telah diturunkan sejak empatbelas abad yang lalu, saat orang terdahulu belum tahu bahwa di masa ini, banyak ucapan tentang kebenaran bersebaran; ucapan-ucapan tentang hulu pikir yang dianggap ideal dan bisa menggadai harga sebuah agama.

Maka sesungguhnya amat sayanglah bila azzam keilmuan dianggap bertentangan dengan izzah ke-Islaman. Ingatlah, Ibnu Sina yang membuka jalan penemuan kedokteran. Ingatlah, Khalid bin Walid yang cendikiawan perang. Kemudian ingatlah, perpustakaan Abbasiyah yang musnah. Kemudian ingatlah, universitas Cordoba yang dihapus kesejarahan masa kini. Kita memang telah ada di bagian pinggir peradaban, ketika pendidikan musyirikin menelan konsepsi kebenaran.

^o^

Sebuah siklus memang mengabadikan ketidakabadian. Ia menjadikan serangkaian momen besar menjadi pangkal revolusi. Dan sepertinya langit sudah bosan menonton perputarannya.

Sebuah siklus memang menjadikan ‘sesuatu’ di atas dan di bawah di masa yang lain. Dan saat ini, di saat izzah Islam dan azzam keilmuan dijadikan momok besar bagi para calon ilmuwan muslim; bukankah menunjukkan bahwa kita ada di bawah roda perputarannya? Dan keniscayaan akan kembalinya kita berada di atas kepemimpinan corak pendidikan dunia tak perlu lagi diperdebatkan sebab Allah-lah yang telah mejanjikan kemenangan – dan bukankah kita telah melihat masa cemerlang Rasulullah saw? Mudah saja bagi Allah untuk mengulanginya lagi. Tapi camkanlah sahabat, apakah kita memilih menjadi orang-orang yang menyia-nyiakan karunia akal dan menjadi yang paling belakang di barisan perputaran siklus? Ataukah kita rela bersusah untuk mengganti segala demi wajah Allah di surga?

Orang banyak berkata, Islam tengah tertidur dalam keterpanaan produk pikir musyrikin. Jika mereka berkata, hapuslah kalimat Allah seperti terhapusnya perpustakaan Abbasiyyah. Dan mereka terus berkata, bakarlah kecintaan pada Rasulullah seperti terbakarnya Cordoba. Dan mereka masih berkata, pemuda Islam telah jauh dari pengajaran Tuhannya, telah jauh dari Rasulnya, telah lupa AlQur’an sebagai pencahayaannya.

Maka kita memang ummat penghujung peradaban yang akan mengiring izzah dan kompetensi pemakmuran bumi dalam refresh pengajaran Allah di awal penciptaan Adam as. Maka katakanlah; saya berakal dan saya Islam; saya akan merawat izzah ke-Islaman dan memperkuatnnya dengan azzam keilmuan.

^o^

“Allah yang mengutus rasulNYa dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas seluruh agama dan cukuplah Allah itu sebagai saksi.” Qur’an Surah Al Fath:28

Thursday, February 17, 2011

Itinerary

Oleh: Alfajriwasntd13

Saya akan coba jadi lebih baik. Sesuai tanggapan orang lain. Sesuai nasehat mereka; orang-orang yang telah banyak saya dzalimi.

Entah, saya memang terlalu banyak berkata-kata. Rasanya asin, terlalu banyak garamnya. Huss... hentikan analogi asing, katanya itu mengaburkan makna jalan persepsi. Hmm... jangan gunakan bahasa tinggi, nanti mereka jadi tak mengerti. Nah, anda kini jadi cicitcuit keyboard malam hari, barengan sama jangkrik dan kecoa yang masih tahan kapur barus. Iss... apa-apaan sih! Baca bukunya, kan kamu "cerdas".

Catatan kecil saja, semoga suatu saat nanti saya bisa menertawakannya. Sebagai tanda, bahwa masa ini telah lewat dan saya bisa jadi lebih bebas. Ah, tidak, lebih baik rumah. RUMAH! tanpa bebas. Goa kalau perlu.

Ini tak pernah jadi hal lucu. Entah, saya harap suatu hari nanti bisa jadi lucu juga. Sebab lucu artinya tertawa. Dan alur logikanya, tertawa itu menggerakkan otot kerangka. Loh, maksudnya apa? Hubungannya sama ana? Anti ini ada ada saja. --"

Oke, saya coba jadi anak baik. Nasehati saya saja. Kalau perlu dengan hinaan sekalian. Jika itu yang tebaik. Jika itu yang mempertahankan pertalian kita. Sebab itu lebih baik. Tentang ukhuwah kita, bukan tentang saya.

Saya coba mengerti, bahwa di luar diri saya, anda tak mengerti. Eits! maaf, maksud saya, antum, akh. Maaf, afwan, maksud saya afwan. (:D). Itu pun kalau anda - eits! sekali lagi, rem ukh! - afwan, antum mengizinkan.

Saya akan berusaha, tenang saja. Bareng kecoa dan jangkrik malam hari. Yang warnanya hijau dan coklat. Kalau mereka mati, tak ada suaraan lagi. Rasanyaaaa argh! cuma bikin kotor saja!

Nah, kan, apa sih maksud anti?

Semua memang telah di atur manhaj. Dan saya akan berusaha. Hmm.. tapi saya berbuat dosa lagi. Kata tidak, iya, nggak, oke, oyeyee, aduh sama saja. Anti ini kan tahu bahasa arabnya. Yaa... saya tidak tahu sih bahwa berkata-kata dicampur demikian rasanya asik.

Whats?! Ini lagi. Overmacht atau over. OVER! tataran orang berbeda, dan saya memang harus terus berusaha.

Gila. Stop! Jangan gunakan kata "gila". Aduuuh bagaimana kalau diganti "majnun". Heleeh =.=" samasaja! Laila lebih baik. Tuh,kan! Jangan gunakan analogi asing lagi. Asin!

Oke, saya coba jadi anak baik. Nasehati saya saja. Kalau perlu dengan hinaan sekalian. Ya, sebab sekarang saya tahu, bahwa nada saya selalu terdengar menghina. Jika itu yang tebaik. Jika itu yang mempertahankan pertalian kita. Sebab itu lebih baik. Tentang ukhuwah kita, bukan tentang saya. Samasekali bukan tentang saya.

Tutup mata-lah. Saya baik-baik saja. Ini tentang waktu dan pendewasaan.

Tuesday, February 15, 2011

Speechless

Saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita memang samasaja. Oleh karena sama terlahir dari seorang 'beliau' yang manusia. Oleh karena bagian jiwa yang merangkak perlahan, mengimani bahwa perputaran jagat menjerumuskannya dalam harmoni yang tak diketahuinya.

Saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita memang samasaja. Oleh karena siklus putar peradaban terpaksa merangkul jejakannya. Di tanah basah, kehujanan, diguyur hasut dan impuls pikir yang tak terelakkan. Sama saja, anda melihat saya pun melihatnya.

Lalu saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita memang samasaja. Yang ketika di sulut cinta jadi merona. Atau didera amarah seketika beringsut merah. Mungkin tidak, oh ya, saya rasa iya.

Ketika saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita samasaja. Terjebak dalam ruangan penuh debu. Disana-sini, ada laba-laba merah menggerogoti pintu-pintu dan kuncian. Dan saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita sama saja.

Dia dan kamu bergandengan tangan, mereka dan kami melolongkann harapan agar dikeluarkan. Sementara saya dan kita, jadi sibuk membenahi ratap dan kepalsuan.

Disini kita jadi sama berbedanya. Yang ketika anda berbuat, saya membersihkan!

Monday, February 14, 2011

13 01 2011... Thirteen is my favorite teen but not while January in

Aku mulai berani berkata "aku". Sebuah titian dalam rujukan khas diriku. Sebuah langkah-langkah biru yang melukis pelangi unitas hati yang masif membatu. Dan ia, "aku" jadi seseorang yang lain yang tak merangkum kata-kataku.

Ringannya udara tak akan pernah kau pertimbangkan dari sangkar yang kau bawa. Halusnya luka baru saja akan perih ketika kau tertidur dan berdarah. Kau memang benar manusianya, yang membawa sangkar dirinya tanpa memperhitungkan udara. Atau kau memang benar makhluk bernyawa, yang menyeret alir merahnya di balik kulit.

Baik udara dan luka, yang di sekeliling dan mengenaimu. Baik kau manusia atau sekedar makhluk bernyawa lainnya. Rabb mu selalu tahu hitungan massa benda. Dan malaikat bercahaya membawa kromatograf nanah dosamu, dicelupkan di lautan hatimu yang keji. Warnanya hitam pekat, menjijikkan!

Dan menangislah. Entah kau manusia atau sekedar makhluk bernyawa lainnya. Baik kau bawa sangkar dirimu dalam bingkai putih atau membalut luka mu dengan luka lainnya.

Kau memang benar manusianya. Bawa sangkarmu tanpa kau hitung udara yang mengikutimu. Kau memang benar makhluk bernyawa. Menyadari sakitmu dalam definisi raunganmu. Tapi Allah jadikan ruh di balik manusiamu. Tapi Allah kirimkan raudah dunia dalam fana nyawa dimensimu.

Aku mulai berani berkata "aku". Sebuah titian dalam rujukan khas diriku. Sebuah langkah-langkah biru yang melukis pelangi unitas hati. Dan ia, "aku" jadi seseorang yang lain yang tak merangkum kata-kataku.

Dan kukatakan "iya" dalam setengah kosong setengah melayang.
Tahukah bahwa udara begitu istimewanya? Dan luka jadi pembeda.

Akhirnya, aku akan kembali, tanpa ku berharap kau mengerti, tanpa ku berharap kau ikut bayang persepsiku. Karena aku ingin mengerti. Bahwa udara begitu istimewanya dan luka ada dalam merahnya.

Hingga udara mengawan mengingatkanku akan masa itu. Saba' 24-29. Lingkaran. Bangunan kubah hijau. Ku katakan demi Allah dan 'Arsy yang tinggi, in ana uhibbukum illa lillah, yaa ikhwah fil jihad assabilillah!


Kau
Satu cinta
yang selamanya aku cari
Tiada waktuku tinggalkan
demi cintaku kepada-Mu
Walau seribu rintangan
kan menghadang dalam diri
ku teguhkan hati ini
hanya pada-Mu
-edcoustic

Friday, February 11, 2011

Malam

Guyuran hujan kota Malang basah di penghujung horizon cakrawala. Mengungkung kepulan doa yang ter-ijabah saat selimut malam mengantar turun raudahNya. Gemintang tak berpendar dan selokan yang tersumbat sampah mulai membuat muak para pengendara jalan raya.
Zana Elzora menatapi dimensi malamnya di balik kaca toko buku yang di kunjunginya. Demi menuntaskan kegusarannya atas caci maki yang diterimanya siang tadi. Di luaran khayalnya, sosok Abid 12 tahun itu belum juga pergi. Seakan meminta untuk diceritakan kembali, tak sudi bila memori tentangnya cukup usai disini.
Kali itu ruang lengang bandara Soekarno-Hatta seakan bergemuruh kencang dalam sisian isi pribadinya. Ini tentang sebuah dimensi yang telah dan akan dikenangnya sebagai kepahitan. Ketika dilihatnya lambaian tangan seorang sahabatnya semakin jauh dan menjauh. Jauh dan menjauh, di balik kaca. Ya, di balik kaca.
Sebuah benda paling sadis di dunia. Yang jadi penghalang langkahnya. Yang patahannya menggores luka dan yang menampilkan gambar miris tak tersentuh jemarinya. Kaca. Deru pesawat. Dan Abid. Malam itu.

d^-^b

Hijab hitam masjid itu terembus angin; lembut. Mengalunkan ombak di luaran mukanya. Melambai bersimfoni, merakit cinta Rabb atas dunia dan manusiaNya. Mengkonveksikan alir udara dari ketinggian intensitas lembabnya. Bergerak seiring tasbih malam mereka atas turunnya sunnah dimensi fana. Seakan menjalin kerangka, menyambut bising manusia yang doanya dibawa pergi sayap malaikat penuh cahaya.
Di balik hijab hitam itu, aku tahu Abid menundukkan wajahnya, menggigit bibir bawahnya hingga tanpa rasa, lalu Bram menekuk kedua kakinya, memeluknya erat dan menitikkan airmata. Sementara di hadapanku, Fahira menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang putih, sesekali suara batuk menghias nada tangisnya. Sementara aku, masih memegang empat mushaf kami, berusaha tak mengalirkan sedihku disini.
Aku tak pernah sadar sebelumnya, bahwa itu adalah kali pertama ku temui perikatan yang begitu indah. Dimulai dari hujan sore dan Abid yang mencoba memahamkanku perkara syar'i mahram. Dimulai dari kait-kait sayangnya dalam iman. Dimulai dari dia, yang kini menjadikan kami tak hanya berdua tapi empat. Yang membawa Bram dan Fahira menjadi bagian dari persahabatan ini sekarang. Dan mereka bertiga kalut dalam emosi manusiawinya sedang seperti biasa, aku memang penikmat drama kehidupan yang ulung.
Besok Abid akan pergi ke Madinah. Mengikut buntut kakeknya yang dosen disana. Aku tak mengerti mengapa ia yang saat itu empatbelas tahun itu harus dibebani kepergian yang begitu dalamnya. Mengapa ia yang begitu mutiaranya harus diambil dari dekat dimensiku. Dan Abid, aku benar rindu pada nada suaranya di sore hujan saat itu. Ya, Abid telah pergi. Dan rupanya ia tak kembali lagi.

d^-^b

Thursday, February 10, 2011

Senja

Riuh rendah suara bahagia akan segera mengisi ruang terbaik di lantai enam gedung Fakultas Hitam Merah Putih. Pukul setengah lima lewat delapanbelas menit. Pejabat dekanat ada di pertengahan pidatonya ketika Elzora membuka bingkaian pintu. Mengantar beberapa pasang mata yang kontan bersitatap sekilas dengannya; ia yang kemudian membayarnya acuh, memutar pandang untuk kursi yang kosong.

Perpisahan kepengurusan BEM tahun ini. Seperti inilah. Seperti perayaan lainnya yang pernah dirasainya. Seperti ini; tawa, sumringah, lelucon, bahagia, dan pastinya, bising berisik penuh suara! Dan Elzora tahu, ia tak cocok berada lama-lama dalam setting ini. Telinganya bisa pekak, migrainnya bisa kambuh malam nanti dan yang terpenting, batinnya akan berdoa dalam depresi.

Bukan kesengajaannya juga bila ia telat tujuhpuluh delapan menit dari jadwal yang diketahuinya sejak beberapa hari lalu. Bukan inginnya juga bahwa hari ini ia harus melanglang buana kota Malang hanya untuk sekedar menemui seorang salafi dan mendapat ceramah panjang yang mengiris miris. Bukan hiburan juga, bahwa hari ini, ia harus berlagak sumringah seperti suguhan lingkungannya - sebab seperti biasanya, sayangnya ia selalu gagal memanipulasi ruang rasa. Seorang dia, cuma anak manja yang benci apa yang dibecinya, suka apa yang disukainya; dua rumus dasar EQ yang menginternalisasi mengakar dalam bumbuan persepsi pragmatisnya. Di lain itu, otak kirinya menggejolak memanipulasi data agar emosinya menunduk, mencerna dan ter-atasi.

d^-^b

Pergantian "orang-orang podium" kini usai sudah, perayaan pun beralih pada session "ramah-tamah". Gemerincing ramai jadi nyata riuh rendah, dengan nada yang berbeda - bahkan lebih kacau lagi. Sementara Elzora masih menekuri layar telepon selulernya yang berkali-kali menampilkan simbol memanggil; berkali-kali juga ditekannya tombol merah yang telah disetting busy.

Gila, tak pernah terpikir olehnya bahwa guru tafsirnya benar-benar menganggap krusial wacana afiliasinya di luar jamaah yang telah membesarkannya sejak beberapa tahun lalu itu. Dan memang benar-benar gila, ini samasekali bukan hiburan baginya. Dia dalam sendirinya; memutar ribuan content otaknya tentang bagaimana cara menghadapi sidang saat kepulangannya yang tinggal beberapa hari lagi.
"Tadi kamu kemana?" sebuah suara yang dikenalinya perlahan mengetuk gendang telinganya.
Dan ia hanya menggeleng menyambutnya, dengan gaya asosialnya yang biasa.
"Liqo?" tanyanya lagi.
Dan ia menggeleng lagi, sementara jemari kanan di pangkuannya masih sibuk dengan tombol merah. Maka suara itupun melanjutkan tanyanya; menyebutkan semua kemungkinan untuk disambut anggukan pembenaran.
Elzora menengok ke arahnya sekilas. Ah, kakak tingkatnya yang satu ini, kini hanya berjarak kurang dari satu meter darinya.
"Amniyah," balas Elzora pelan
Lalu tawa kecil mengawan di udara. Ah, sempurna, great, seattle! Mengembalikan review memori otaknya. Tone yang menekan sekaligus lembut, diksi yang menusuk sekaligus senyum tulus. Lengkap sudah.

d^-^b

Sendu Jakarta menari di angkasa, meloncat riang di gundukan awan terbang hitam. Gerimis membumikan angkuhnya ke tanah, entah karena beratnya atau karena keluh kesahnya. Tapi pun artinya sama, Allah telah mengabulkan doanya. Bahwa air jadi berat karena beban massa. Bahwa di tanah segalanya mungkin jadi lebih indah; bersenyawa, mengikat diri dalam koloni merah bata.
Elzora duduk di tepian koridor sekolahnya. Kedua batang kakinya bersejajar, membiarkan rok biru-nya basah diguyur air yang turun dari atap coklat di atasnya. Di hadapannya, bentangan lapangan basket, pagar putih, gapura sekolah, jalan raya. Dibentuknya imaji paling nyata semampunya, sebuah mobil silver masuk melewati jalan raya, gapura, dan gerbang sekolah... kemudian lapangan basket, lalu berhenti tepat di hadapannya, kacanya terbuka dan seorang wanita muda tersenyum padanya. Haaah... indahnya. Walaupun ia tahu, itu tak mungkin terjadi, sebab sebuah sedan tua telah terparkir di pinggir lapangan basket dan seorang bapak paruh baya tertidur di dalamnya demi menungguinya.

"Kamu nggak pulang, El?" tanya sebuah suara membuyarkan bangunan imaji Elzora
Si pemilik suara mendudukkan dirinya di sisi Elzora, "Anda bisa lihat sendiri kan saya ada dimana." balas Elzora dingin, tanpa nada tanya dan koma. Keseluruhan rok birunya telah kuyup dan jemarinya telah ikut biru bisu merengek menggigil. Bibirnya pucat, sebenarnya hatinya-pun telah kaku atas kata-kata.
"Hmmmm?" gumam anak laki-laki di sampingnya itu, seraya memaksakan senyumnya tersampaikan ke layar mata Elzora. Kepalanya di miringkan di hadapan wajah Si Bocah Es Batu.
"Wha-te-ver." ujarnya bersikukuh
"Kamu tuh berjilbab, tapi aku nggak pernah liat kamu ke mushola. Bahkan kamu nggak punya seragam Jum'at karena berasal dari SD Katholik. Mmmm... mau cerita?"
Elzora tersenyum sinis. Lalu kedua pasang mata itu-pun saling beradu sekejap.

"What did you wanted to?"
"Friendship."

Gadis sepuluh tahun itu membangun dirinya. Sebuah senyum sumringah kini tiba-tiba merekah di wajahnya. Di ulurkan tangan kanannya ke hadapan anak laki-laki yang sejak tadi - dan kemarin lalu - diperlakukannya tanpa hati.
Tapi ulurannya itu disambut dengan berdirinya Si user glasses, menghadapnya, tersenyum tak kalah indahnya. Lalu katanya, "Kamu terlalu cantik untuk disentuh."
Elzora menarik tangannya, "Aku nggak ngerti. Tapi oke, aku nggak akan sentuhan sama siapapun lagi setelah ini!" balasnya ceria
"Haha. Kalau sama-sama cewek nggak apa-apa, El."
"Kenapa?"
"Ya, supaya nular cantiknya ke mereka."
"Hahahahaa ada-ada aja,"
"Suatu saat nanti kamu juga akan paham, kenapa harus dibedakan."
"Oh, ya? Hihi. Aku tahu kok kalo kamu bohong."
"hah?"
"Logikanya, kalo kamu bilang aku boleh sentuhan sama cewek supaya mereka tertular cantik." Elzora menatap ramah lawan bicaranya, senyumnya mengembang dan pipinya jadi hangat merona, "maka diibaratkan sistem, aku ini aktif dong. Artinya, mereka yang tertular cantik tanpa action menerima atau menolak seketika setelah kami bersentuhan. Dan yang seperti itu bisa terjadi juga sama cowok. Nah, nggak mungkin, kan, suatu abstraksi dipadankan pada yang nggak berhak? Nanti kamu jadi cantik juga gitu, ya? Hahhahaaa" tawa pertamanya mengudara. Tinggal landas dari langit mendungnya.
Abid; anak laki-laki duabelas tahun itu mengangkat satu alis matanya heran. Lalu tersenyum, membuntuti irama bahagia yang dimainkan sahabat barunya.

Welcome, Life! All Praises for Allah!