Sunday, March 27, 2011

Subuh

Sekarang aku benar sadar bahwa kau, sahabatku, memanglah orang hebat. Sampai-sampai aku masih berani menuliskan namamu di embunan jendela kamarku. Sampai-sampai aku masih saja kecewa karena tak dapat ikuti langkah-langkah besarmu itu. Kamu, sahabatku, sekarang masih ku ingat sebagai dirimu yang duabelas tahun itu. In ana uhibbukumu illa lillah.

:D

Focus show ruangan itu adalah sebuah podium elegan di kanan panggung tinggi yang angkuh. Disana, sebuah suara yang ku kenali mengalunkan nadanya dalam Arab fusha yang fasih. Tak sempat kucerna sempurna semua kata yang diluncurkannya. Ia begitu hebat, sinar matanya masih bening seperti dulu. Kacamatanya masih saja berbingkai hitam yang itu dan setelah usai salamnya, ia-pun menoleh ke kirinya, mengantar senyum kelunya yang kentara - ke arahku.

Maka dimulai-lah senyap tenang yang mewah itu. Sesaat setelah detak sepatunya terhenti di langkah ketiganya di luar podium. Lalu ia menundukkan wajahnya khusyuk, kemudian mengangkatnya kembali, terujar takzim dari bibirnya, "bismillah...". Ia berbalik kembali ke podium jati.
Lalu serunya, "Ahlan wa sahlan yaa ahlul fikrah! Salaamun'alaiki yaa ahlul fikrah!"
Gemerlap takbir lalu menyambar telingaku tanpa ampun, tak terkecuali dari berdirinya seorang lelaki tua, guru tafsirku itu, di kursi forum di hadapanku, mengepalkan tangannya seraya jelas menujukan takbirnya itu kepadaku. Aku menangis.

Kemudian Fathir Al Quraabid masih dengan sosoknya yang ku kagumi, ia menghadiahiku kembali. Aku berhutang padanya untuk kesekian kali. Dan aku dibuatnya menumpahkan rasaku lagi. Ya, sahabat! Kau luarbiasa hebat!

:D

Seakan bara yang begitu panasnya mengungkungi ruang ini, ruang temu Konferensi Asia-Afrika. Bandung, kota gerimis. Kota yang manis dalam sederetan kotak kisahku yang sinis.

Di segarisan tepat di depanku, Abid duduk mewah di sisi para pakar yang lainnya. Sesekali senyumnya yang sempurna itu menemui mataku, masih menyemangati penuh bingkisan hati. Sahabatku, ayahku. Ya, seperti seorang ayah yang tak pernah ku punyai. Perlahan aku memang mengingatnya di lapangan basket SMP-ku, saat mengajariku mengendarai sepeda roda duanya yang super besar. Hahhaha...
Lalu aku larut dalam flashback semu masa laluku, kemudian terantuk menyadari, dia kini bukan yang itu lagi. Dia kini, yang memintaku dan aku menolaknya sebab lemahnya imanku. Kami memang tak sepadan samasekali. Bahkan aku kehilangan hafalanku setiap hari. Bahkan aku belum selesai perkara diriku sendiri. Bahkan aku, ya, sehina ini.

Lalu tiba-lah waktuku untuk menempatkan nyawa dan jasadku dalam satu dimensi, disini. Sebab mereka kini menanti suaraku berkicau menyuarakan apa yang kutulis sebagai isian map putih di masing-masing tangan mereka.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, Alhamdulillahirabb al 'alamin. Al Malikul Quddusus Salaam, Al Wahidul Ahadus Samad, Al Muntaqimul 'Afuuw, Wa Ad Darrun Nafii'." Kubacakan Al An'am yang kucintai permulaannya, kubacakan Al Fajr yang kucintai alunannya. Dan aku sekedar cinta. Ya, ini tentang ayat-ayat hijaiyah yang sempurna.

Perlahan aku kembali masuk dalam iluminasi bayangku sendiri. Perlahan kubangkunkan diriku, ku jejakkan kakiku di karpet merah yang melapisi panggung angkuh ini. Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa aku bukanlah lagi diriku yang jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok Abid keluar pertama kali dari balik gorden hitam di ujung lorong panggung itu tadi.

Ya, ia memang telah mengantarku kesini, seorang akademisi Salaf yang kukagumi. Seorang ahli strategi yang merancang alur misi sepanjang ini. Seorang sahabat yang ku kenali. Saat ini di akhir sayup bacaan tilawahku subuh ini, aku hanya bisa mengenangnya, sesekali membuka update diskusi yang dikirimnya ke emailku walau tak pernah dapat balasan.

Dulu karena aku terlalu sering menunggu. Mungkin kini, aku harus ditunggu. Kata ibuku.
Dulu karena aku sering sekali menungu. Mungkin kini, aku tak tega membiarkan orang lain menungguiku. Ya, seperti itu, kataku.

No comments:

Post a Comment