Friday, December 23, 2011

Baru aku tahu

Ternyata cinta itu tali temali yang mengalir tanpa putus, dirajutkan untuk menghimpun hati yang beranak pinak jadi krisan merah saga, berani membara dan menunjukkan kekuatannya.
Ya, mungkin aku sekarang mengerti bagaimana cinta itu bercerita tentang dirinya. Bahwa putusan hadirnya adalah karena cinta sebelumnya. Merambat dan menanamkan akarannya di lahan kanan kirinya.

Maka katanya, tak anehlah bagi seorang nabi membenci kemusyrikan dan mencintai kesholehan. Sebab asal cintanya dari Allah azza wa jalla, digetarkan sebagai sebuah simultansi jurisprudence yang mengelebat dalam setiap tangkapan indera dan rangkaian pemikirannya, pemaknaannya.
Aih, aku mulai mengerti.

Maka seperti itu pulalah yang terjadi sebenarnya. Disuruh mencintai seseorang lalu aku mencintainya. Begitu saja, kan? sederhana. Aku mendefinisi lalu terdefinisi.

Sunday, December 18, 2011

Kisah HEROES!

Oleh : Alfajri

Di sebuah malam yang gelap, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang butuh sinaran perbaikan. Sebuah sosok muncul menyisiri rumputan yang kedinginan, dilihatnya demokrasi tak beraturan, merah putih tanpa binaran dan refleksi bangsa masih pesimistis ketakutan. Fakultas Hitam Merah Putih, layaknya miniatur Yunani Kuno yang menjalani dinamisasinya menuju kisah-kisah para HEROES! Disana pula ditemui berbagai TROLL-BLEMAKER dalam berbagai varian, aktivator-aktivator oligarkis-primordial dan aktor-aktor penceng lainnya.


Ide sinergisitas dan progresitas masif berkelebat dalam jiwa HEROIKnya, memacu setiap derap langkah dalam perjuangan nafas, pergi dan kembalinya di bawah sadar dan keadaan. RENDY IVANIAR, membumikan diri dengan segudang pencapaian kapabilitas dan energi kerendahatian sepanjang hari-harinya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hitam Merah Putih.

Sementara itu di malam lainnya, BAGUS as BATMAN terbang tinggi menelusuri jejak-jejak renungan RENDY IVANIAR, sehingga ia pijakkan kerja tanpa ampun dalam setiap gelap yang ditemuinya, menempa diri dengan ketangguhan dan perjuangan. Sendiri, sebelum ditemuinya sosok WONDER DILA yang menunjukkan kredibilitas tanpa batas, tegas dan cerdas. Keduanya masih menyimpan harapan yang mendalam, seraya terus disaksikannya Fakultas Hitam Merah Putih.

Maka datanglah seorang SUPER YOGA yang menguatkan mereka dengan daya super yang terus SIAGA tanpa kenal lelah berkontribusi maksimal, ujarnya, tak akan jadi mahasiswa apatis, hedonis dan primordial. Diserukannya ke segala penjuru Fakultas Hitam Merah Putih. Hingga bergoncang hukum lintas dunia, saat disaksikannya NOVADA as PETERPAN turun dari dimensinya, menjadi sebuah hal nyata, membangkitkan kembali semangat dan jiwa muda yang menginspirasi, dalam doa dan keajaiban. Ia yakin akan perubahan. Masih terus dalam impian sinaran perbaikan, terus mereka saksikan RENDY IVANIAR berproses menuju kematangan yang menakjubkan, membentuk simpul simultansi RESPECTFUL yang tak terelakkan.

Ya, hingga jadi begitu hangat dan bersahabat, menempuh jalan amanah dan tanggung jawab. RAISTA as LARA CROFT tanpa ragu menyatakan bergabung untuk sebuah pertalian yang mapan sebagai tim kebenaran. Sebab ia telah pula melalui masa penjelajahannya, to overcome the con. Senjatanya jadi masif di genggaman, melindungi siapa saja yang tersakiti di Fakultas Hukum, Fakultas Hitam Merah Putih. Hingga cahaya biru berkelebat dan mengisyaratkan bahasa pertemanan, tanpa memandang asal dan latarbelakang, dalam sebuah bingkai kebaikan, INVISIBLE APRILIA menjadikan segalanya mungkin terwujudkan. Pribadi tegas dan tanggap, percaya bahwa mulai dari sinilah sinaran Fakultas Hukum Univesitas Brawijaya akan ditemukan.

Dengan dimensi perubahan, sahabat mereka BAHRUL as NEO MATRIX membawakan dimensi baru tentang konsep perjuangan dan arah gerak perubahan. Di tengah interaksi masifnya dengan RENDY IVANIAR, ia mempercayai bahwa sosok karibnya itu adalah bentukan pencahayaan EXTRAORDINARY SERVICES yang dibutuhkan Fakultas Hitam Merah Putih. Mereka akhirnya disatukan.

Hingga di malam lain yang gelap di Fakultas Hukum, terdengar sebuah pergerakan yang menghebohkan di luar ruang pertemuan. Sembilan HEROES itu sontak membuka pintu, namun hanya angin yang berhembus panjang... dingin menghunjam, lalu melayang suara di udara, meeeoonggg... IIS as CATWOMAN, menampilkan diri dalam jubah panjang hitam yang misterius, sarat refleksi keberaniannya yang semakin menyempurnakan pertalian tim kebenaran, HEROES yang kini cukup untuk memberikan sinaran bagi Fakultas Hitam Merah Putih.

Lalu berbincanglah mereka untuk menentukan langkah konkret selanjutnya.
Bahwa kepemimpinan adalah syarat dari sebuah bangunan visi dan misi perbaikan.
Maka naiklah RENDY IVANIAR sebagai PRESIDEN #1 .
Lalu mereka membuntuti sebuah tanggung jawab peradaban, beriringan, menjadi DEWAN SENAT MAHASISWA, RAISTA #4, BAHRUL #5, NOVADA #6, GANJAR #7, DILA #10, APRILIA #12, YOGA #16, IIS #18, dan BAGUS #19.

Dengan jiwa para HEROES, membersamai langkah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dalam JUSTICE LEAGUE!

HEROES!!! GO FIGHT WIN!

Tanggal 21 Desember jangan lupa pilih #1 saja untuk PRESIDEN FH UB. Jangan sampae kelewatan!
Dan temukan kepribadian HEROES-mu dengan memilih DSM #4, #5, #6, #7, #10, #12, #16, #18, atau #19. Yang penting, tetap SATU untuk RENDY saja yaaa :D

Sebab inilah, kesungguhan JUSTICE LEAGUE membawa jiwa HEROES bagi FH UB tercinta.
Gunakan hak pilihmu untuk keadilan, sobat! :)

Saturday, December 17, 2011

Renvoi

Apa yang kira-kira terpikirkan olehmu atas lembutan awan terbang yang hitam menghunjam. Seakan kau yakin di baliknya ada hujan, pula potensi getaran petir dan positif negatif muatannya. Sebab kini ia tak merasa lagi sebagai dirinya. Bagian dari entitasme dan frekuensi lamda mutlaknya. Warna-warna akhir dari cahaya, katanya akhiran dari tak ada cahaya. Awan yang hitam menghunjam, meracau dalam bait kelam soal malam, tak ada lagi yang lainnya.

Maka narasimua tentang bintang-bintang adalah kedurhakaan paling dalam yang sampai-sampai jemarimu mendustakan petaka di balik tersungkurnya awan-awan yang menitiskan hujan. Menghitung detak, detik dan ketukan jadi simfoni penuh arti. Awan hitam yang jadi dirinya. Bukan narasimu yang serta merta membuatnya terbang sebagai langit-langit, langit paling langit, langit-langit.

Temukan jatidirinya sebagai serpihan yang berarak dan menghilang. Untuk berpisah dan menemukan medium eternitasnya. Untuk sempurna dan mengalirkan uapnya. Untuk jadi dirinya. Untuk berpisah dan menemukan yang lainnya.

Saat bilangan kaca menampilkan sosok pudar warnanya. Dan tak ada cahaya, panjang lamda dari ketiadaan sempurnanya prisma merah senja, warna-warna akhirannya, berbaur jadi dirinya.

Aiiiih, gila durjana.

Sesempitnya nalar mempertalikan paradoksal dan dilema kolosal. Sejauhnya nuansa menyembuhkan fakta dari otoritas independensinya. Tanpa nyawa, berdiri jadi dirinya. Tanpa hikmah, berarak untuk menghilang dan menemukan medium eternitasnya, begitu saja. Tanpa hati, tak temukan warna-warna akhiran cahaya. Kerdil mendefinisi hitamnya. Sendiri merangkulkan lembutannya. Parsialisasi komunal frekuensi panjang cahaya. Di tepian. Untuk berpisah dan menyempurnakan.

Sunday, December 11, 2011

Lucunya...

Ada penguin, bajing, ikan, kolam ikan fh
Sekarang ada yang baru lagi... beruang! ajajaaahahahha
Sumpah pertama kali ngeliat sosok beruang ini, gue cuma mau ngakak.
Sok-sok-an gadhul bashar pas di ajak ngomong padahal lagi berimajinasi "ditaro adegan mana yak?"

Ya, ampun... astaghfirullah... tapi yaa... selain ada penguin yang waktu itu terinspirasi dari mas tahegga, bajing yang gue ambil dari... ### ahahhaa dan ikan yang dari panggilan gue sendiri waktu SMA.. sekarang ada figur beruang... beruang ndutt wkwkwk

Tar, tinggal tunggu satu lagi, supaya formasinya utuh... dan fabelnya siap diluncurkan. Aamiin :D

*nomeaning, isengan

Little Sweet Mischievous Girl

by : Alfajri

Never be so hard to fix what you willing for and I used to be like me, whom the red story never end by time.
As you told me that we are would not be unity.
As you bought me some 'nutrition' of story of the other country.
As I listen the ring on your phone, I was getting stuck with my own. 
What you said, was just about me as a Non-moral symbol on your luxury word.
Trust me. It work.

As the wind sent this song to my heart. 
Like a bird swing, willing to win the wind' direction.
Huft. Do am I?

Thursday, December 1, 2011

sekolah intelektual muda : alhamdulillah.. mantapp!


Intelektualitas merupakan suatu syarat mufakat bagi tendensi kehidupan dan setiap pergerakannya. Intelektualitas pula menjadi aksidensi pembeda yang menemui titik strategisnya dalam penyempurnaan klausul seorang pemuda. Sederetan nama universitas ternama sejatinya adalah suatu polis yang sengaja disetting bagi pemakmuran intelektualitas. Pula berjuta-juta penemuan dan dialektika premis sosial merupakan narasi kesejarahan dari pergumulan intelektualitas. Maka keberadaan kaum intelektual asasinya telah menjadi suatu syarat mufakat berdirinya peradaban yang cemerlang juga kebangsaan yang masif-berkembang.
Indonesia di tengah carut marut dan pesimisme obrolan kaum bapak di warung-warung kopi rupanya bukanlah bangsa yang miskin kuantitatif intelektual muda. Perakaran pergerakan kaum intelektual Boedi Oetomo telah meletuskan semangat membara layaknya sumpah Palapa Gadjah Mada. Kala itu mereka bukan orang-orang biasa, tapi kumpulan intelektual muda yang bertemu akaran nalar sistematisasinya dalam rangka mengubah dunia! Pemuda dan intelektualitasnya, secara langsung telah menemui kesetaraan klausula berikut sinergitas matang sebuah narasi panjang kebangunan pemikiran dan penghidupannya.
Indonesia di tengah nuansa saling rebut dan rumah-rumah kardus di Ibu Kota rupanya juga bukan bangsa yang secara kualitatif miskin intelektualitas. Ketika kemerdekaan di suarakan di jalan dan koran, saat itu pula akulturasi philos kebangsaan mengerucut dalam rangka menuntaskan perspektif kenegaraan. Hingga dalam berbagai sudut dan pergulatannya, Soekarno memunculkan satu ekstase politiknya yang paling fenomenal, NASAKOM. Suatu manuver yang pada putusan akhirnya juga tak mampu membendung aliran deras para pemikir tingkat negara. Sebab ke-bhinekaan ini bukan hanya soal bahasa, nyanyi dan tari semata. Ini soal arah kebulatan menjadi Indonesia, kerat intelektualitas yang begitu kaya warna.
Dalam pada itu, mafhum-lah kita akan problematika perkara intelektualitas yang belum lagi menemui titik terang tumpuan energi dan dinamisasinya. Carut marut vertikal horizontal yang mengundang pesimisme obrolan warung kopi ataupun nuansa saling rebut yang mencipta kaum marjinal rumah-rumah kardus rupanya bukan karena kekurangan kadar intelektualitas bangsa. Ini masalah lupa. Kelupaan yang menjamuri setiap gerak dan langkah percita-citaan kenegaraan yang sudah tanpa nyawa. Kelupaan yang pada titik nadirnya memenjarakan kita pada arah gerak bangsa yang sehat bergelora, BERANI menentukan ketinggian asumsi dirinya sendiri.
Kita tentu tak akan pernah bisa diam di rumah untuk duduk menunggui bencana datang akibat kejumudan massal bangsa raksasa ini. Atau terus berkutat di meja-meja kuliah untuk mendengar celotehan para dosen yang juga habis jiwa. Sejatinya kita akan bisa mengulang sejarah kemenangan. Sejatinya itikad suatu kaum akan di-amini sebagai doa yang kontan termanifestasi.
Sekolah Intelektual Muda akan hadir bersama semangat tentang intelektulitas yang ranum pudar di percabangan akar nalar yang hilang. Demi membangkitkan nyawa dan jiwa di tiap-tiap ruang. Merangkulkan jejakan idealismenya untuk anak bangsa yang butuh nutrisi paling sehat mengenai pergerakan, percita-citaan dan penemuannya dengan dialektika kesejarahan yang tak patut untuk dilupakan, sebuah narasi kemenangan!
Terlahir dari lorong kampus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Pemikiran untuk pertama kalinya tercetuskan adanya Sekolah Intelektual Muda rupanya tak akan bisa di mampatkan kembali. Sebab pemuda adalah kita dan legist constituendumnya ialah intelektualitas yang terjiwai dalam tiap-tiap ruang dan lorong Nusantara Raya.

Never say I miss

Perfectly! I have no time to show something I'd wanted to. You finally touched my heart with all I can't definitely finding the line of definition for it. I was me, a friend and a sweet. I was me, people love me like I do. We are in love just like december spread out the snow on grass.. meaningful. With no shine. With no air to make some sin. I was me.


Unfortunately you wonder for so many time while I have no time. And I curse the mobile window on your car, passionately missing a mysterious sign. On a very very incredible condition which I must take the one of two.. and three.. and four? You was never said you must. You wont.

Right, I know it now. You are never be so wise like I miss.

Monday, November 28, 2011

Ion and on

Kebanyakan orang suka menerbitkan dikotomi-dikotomi yang menurutnya bisa menyelsaikan masalah. Atas sebuah dasar nalar sistematis dan struktural, seakan poin-poin tadi menjadi penjabaran intelektual yang wajib dihafal dan dibukukan.

Kemudian kita sama tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ya, poin yang satu tak akan sama dengan poin lainnya dan perhubungan antara keduanya hanyalah berdasarkan suatu konteks pendekatan kualifikasi dan function atau orientasi tertentu. Kita terjebak. Sebab dalam suatu rumitansi yang menyebalkan, yang satu dan yang lainnya adalah ordinat tanpa subordinasi dan sejatinya satu dengan perbedaan. Kita menggila. Bahwa kemudian terkadang kita harus begitu teliti menggunakan perspektif beda dan sama. Entitas klausul dan matematisnya.

Sekarang coba kita pikirkan makna di balik beragama dan bermoral. Tidak, di suatu kali moral yang di ajarkan orang-orang barat kurang akal itu dibenturkan dengan agama yang kau punyai. Tidak, ah... begitu busuknya. Sebab kini kau mulai berani berkata bahwa bermoral bisa cukup tanpa agama. Kau sudah baik-baik saja. Tidak, bahwa bukan pertama kali untuk moral, agama itu diturunkan kepada Muhammad SAW.

Aku benci mengatakannya. Tapi akan kuperangi setiap poin dikotomi ganda yang sengaja diciptakan untuk menyesatkan literan salaf para 'ulamku.

Monday, November 21, 2011

Mas Bunga Menggalauspirasiku

Cinta, cinta dan cinta. Cinta terus, cinta melulu, cinta aja. Cinta. Ya, Ibnu Taimiyah memang yang paling saya sukai untuk satu frase ini. Bergabungnya romantisme dan maknawiah prinsipil yang keren abis. Cinta, dijadikan suatu perspektif membedah masalah ilmiyyah. Dan rupanya disana pula kita temui mata airnya.

Nulis apa tentang cinta saya juga gatau mau bakalan jadi kayak gimana. Cuma sekedar penasaran. Waktu itu pernah ditanyain sama mas - sebut saja - Bunga. "dek kamu pernah deg-degan gitu ga kalo sama cowok mana gitu?". Saya cuma bisa tertunduk lesu, "kagak mas, saya nggak normal kayaknya yak?" -,-

Ini gara-gara barusan saya banyak baca buku melow begitu, hah bener-bener sial.
Ditambah notes dan puisi di blog yang juga cinta-cintaan, loving-lovingan sama mahabbahan. --"
Saya kembali tergelitik. Untuk menemui setidaknya satu resolusilah untuk kebotakan ini. Ckckck

Tar tar saya pikir ulang, saya pernah merasakan yang dideskripsikan sama si mas-mas tadi ga ya?
Agak berasa gak penting sebenernya, belom esensial gue ngomongin ginian
Cuman lagi-lagi. Men, gue udah pernah bantuin orang yang kelibet masalah ginian, Bro, gue udah bikin cerpen sedih soal ginian, wew! Dan gue pernah bikin free writing yang judulnya "cinta"... Dan gue masih bingung ngejawab pertanyaan tuh mas-mas pada-pada.

Oke, tarik nafas... hembuskan.. saya harus kembali on the track! ini resolusi yang harus di dapat sebelum kegatelan di permukaan otak ini tambah parah.

Yap! Pernah, mas Bunga! Sekarang deh, tar tar, besok saya keliling UB dulu, nyari-nyari, nggak gadhul bashar dikit, asal saya nggak cuma tau lewat tulisan orang aja. Tapi pengalaman juga.  Udah mana orang-orang ketawa juga pas dibilang, "Saya berpakaian kayak gini tuntutan fiqh, begini begitu juga tuntutan syar'i. Emang apan?" Sial. Benar-benar sial. Beeeh... pusing.


ReadingSmileResolution (edisi loncat)

Sudah cukup lama saya tak membuka laman blog ini. Agak sedikit kaku rupanya, seperti sebuah batu yang dipaksa mencair dan mengalir, yang ada terhanyut, tidur dan tenggelam. Ah, galau lagi. Hahahaa..

Padahal memang tak semestinya seperti itu, yaa.. akan ditampakkan aib mereka yang menghiasi diri dengan yang tak dimiliki. Dan dalam suatu kerangka yang tampak mengagetkan, saya pun mulai beranjak mengoreksi, jangan-jangan saya ini.. mm semoga saja tidak. Aamiin ya Rabb sesungguhnya Engkau sesuai prasangka hambaMu.

Saya coba menulis saja, sebuah nalar Buzan berkata bahwa tulisan adalah apa yang dituliskan, apapun itu. Bukan berniat membenarkan diri sendiri sih, hehehe... mentang-mentang sering stuck nulis. Cuma mencoba memotivasi diri sendiri. Hidup ini disetting bersama rezekinya, rezeki hati juga, yang hidup dan yang mati.

Jadi ingat, pernah waktu SMA saya berpikir meluncur (beneran luncuran banget mikirnya) soal mati dan bekal mati. Dan yaa... konklusinya memang terselesaikan dengan suatu energi yang tak tergambarkan, energi yang tak lagi saya rasakan di lini-lini nadi saat ini. Energi amal. Energi untuk mempersiapkan. Waktu itu, jadi begitu rindunya, mau bertemu Allah saja, hmmm sudah cukup cantik-kah dandanan ikhlas dan ibadah saya? Tapi waktu berjalan dan kini sudah - kira-kira - empat tahun terlewati, saya lupa kalau saya rindu juga. Hati keras, jadi batu yang suka marah dan memberontak. Kering.

Ah, dan setiap kali ujian macam ini datang, biasanya saya tahu ada yang tak beres. Sayang, kini saya sampai tak mampu lagi meneliti. Yang saya katakan kepada seseorang waktu itu, cuma kalimat bathil yang mungkin juga tak akan dipahami siapapun, I've gotta confused fever, just like I don't know what I've to said. Just like the bells ringing and I need to class, sit in, listening. I know nothing. Sebab saya-pun jadi tak memahami kata-kata sendiri.

Kita loncat - begitu definisi kebanyakan mereka tentang saya sekarang - ke masalah lainnya. Sebab saya tak ingin berlama-lama bercerita soal gangguan jin di blogger. -,-

Perjalanan hidup memang begitu berarti. Sebab sekalipun ia hanya 2 menit dalam batas bandingan dengan waktu-waktu akhirat, ia adalah medan pembuktian. Pernah juga liarnya luncuran pikiran saya berbicara soal tebak nuansa saat Allah menurunkan Adam alaihis salam dari surga. Hehe... oleh karena hanya diturunkan itulah waktu dunia dan akhirat jauh berbeda, sebab yang namanya hukuman itu pastilah tak ada yang selamanya. Suatu klausul mula akan datang pada asalnya, dan dunia ini yaa... bukan rumahnya manusia. Kita di uji keimanannya untuk dipilihkan surga atau neraka. Atas dasar friksi logic yang sesat kebanyakan ahli kalam - selain saya (itu juga saya bukan ahli cuma tau dikit --") - melanjutkan bahwa ini adalah pembersihan dosa Adam alaihis salam.. Naudzubillah.. padahal tak ada dosa yang terlimpahkan pula tak ada keterangan nashnya. Ya... begitu.

Memang keterlaluan kalau suatu ke-liar-an berpikir tidak diberi ilham hidayah dan potensi kehendak baik Allah terhadap seseorang. Termasuk saya mungkin. Ya, begitu banyak nikmat yang tak sanggup saya panjatkan syukur di selipan shalat dan doa-doa. Ya, Allah sungguh tiada luput bagiMu segala suatu apapun, MasyaAllah, Allahuakbar.

Setiap kali datang saat-saat kelam... kita tahu setelah ini ada hujan.
Setiap kali hati ini tak tenang, pastilah dosa yang amat besar membercak butuh air yang membasuhnya lagi.
Setiap kali begitu, hanya diriku sajalah yang datang kebathilan daripadanya.

Ya, tapi ku ingat murobbi ku berkata, bahwa ini bukan juga masalah kesalahan penciptaanku, Ya Allah Maha Suci Engkau
Ya, bahkan musyrifah ku berkata bahwa ini ujian keimanan yang tak akan diberikan pada orang yang tak mampu memikulnya
Mereka membesarkan hatiku

Sebab janganlah ada di antara ummat Muhammad yang meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka terhadap Rabbnya...

Allahu Akbar walillah ilham

Wallahu warasulu 'alamu bi shawab

Tuesday, November 1, 2011

Prime Frame


Tanpa lelah, sebenarnya sebuah frame mengukur sistematisasi prestisiusnya setiap kali dibangun nuansa lelah di selipan kacanya. Dan ia berbicara tentang suatu prime dari frame beningnya. Frame kaca yang patah menggores luka, sarkastik, keras, sadis. Alur melankolis bagi tawanya yang sumringah. Memunculkan sebuah kuasa nalar yang meletuskan energi sebagai pribadi, sentrisme diri. Prime frame, primus interphares.

Saat interval nada-nada hidup menyemai bulir hikmah sebagai tanda. 

Sejatinya primus interphares menyuarakan rangkaiannya sebagai sasana cemerlang memukau. Hingga sampai jamur hilang di metafora dilematika berbaur panas dan lembabnya udara. Sebuah prime frame, primus interphares.

Ini kosakata dan desire yang nyata, dilunakkan dalam basa-basi dan tali temali jari-jari hati, buku-buku lini diplomasi yang terbang tinggi. Lalu kosakata jadi terlembaga dalam loker-loker mekanisme juang dan pikiran simpulnya. Lalu desire jadi lorong-lorong kubus dari batu yang disusupi niatan memengaruhi cahaya-cahaya, api dan lilinnya. Sebagai prime frame, primus interphares.

Berdiri menjejak saat turunan kaca dan integritas pionnya jadi tuan-tuan yang membelakangi empirisme data.

Ini soal prime frame. Mengalirkan warna sekalipun sejatinya ia tak tahu bau warna yang dihadapannya. Mendefinisi, terdefinisi. Jadi definan nutrisi hati yang menyeret dilematika pribadi, sentrisme diri. Prime frame, primus interphares.

Sarkastik, keras dalam wujud dan medium eternitas kepahamanku. Pion primus interphares.

Monday, October 24, 2011

Arogansi

"Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.."

Kali ini aku ingat Ibnu Mas'ud yang berdiri di hadapan khalayak lalu mengurai kelebihannya dalam pemahaman Alqur'an, beliau r.a mengurai bahwa tak ada satupun ayat yang turun yang tidak diketahuinya perihal siapa dan dimananya. Ibnu Mas'ud ra ialah salah satu dari sederetan shahabat brilian kala itu. Ia mengungkapkan sesuatu yang benar menurutnya tanpa tendensi untuk mengatasnamakan diri. Di akhir kalimatnya itu, ia katakan, "maka jika kuketahui ada yang lebih 'alim mengenai Kitabullah di suatu tempat yang dapat dijangkau oleh unta dan kendaraan, niscaya aku akan mendatanginya."

Ialah sebuah kerendahatian yang tanpa teori, meluncur dari sebuah kepahaman atas amal-amal maknawi.

Thursday, October 20, 2011

Perfection

Sudah lebih baik. Akan menjadi suatu hal yang lebih berharga bila kita menyadari bahwa kesempurnaan itu menghargai ketidaksempurnaan. Atau rupa-rupanya kau hanya perlu memahami bahwa dunia memang tak lebih dari sekedar gurauan belaka. Maka bila aku jadikan simpulan nalarnya pada fakta bahwa aku ingin sempurna, tentu aku telah keliru mengejar sesuatu yang tak pantas ku kejar.

Bahwasanya aku bukan liliput yang hidup di negeri jamur dan rerumputan. Bukan pula jangkrik yang mengais kotom klasif invertebrata, dianggap ia tak punya darah hanya karena cairan tubuhnya bukan berwarna merah. Bahwa aku bukan mereka yang menyongsong pagi dalam bacaan immoral soal penentangan patriarkhi. Aku sekedar akuisisi ekstase perimbangan hatiku.

Maka biarkan laut tetap menari dalam siklus gelombang pasang dan surutnya, agar seketika lumba-lumba yang muncul tenggelam tak takut akan pijaran lampu-lampu layar manusia. Agar nantinya tetap bersuara, menghidupi dirinya dalam asasi kepribadiannya. Bersyukur.

Atas nyala-nyala lilin di tengah gulita yang tak seberapa. Pula hati yang merana akibat perfeksionisme semata. Sehingga terbit matari dari barat ke timurnya, bukan angin yang jadi indikatorisasi arah hujan lembab dan kering. Di persetujuan pembacaan para ahli fisika dan metereologi, kita berserah pada dudukan ilmu yang tak sesempurna itu juga, kan.

Tuesday, October 11, 2011

What a great

Ada yang tahu gimana rasanya bisa bikin tulisan dengan sepenuh hati? Atau gimana rasanya menulis dengan segenap emosi? Satu lembar a4 margin standar. Sampai saat ini, definisi atas emosi atau hati, gue masih juga nggak ngerti. Ah, ya, gue suka berlagak nggak ngerti karena dengan begitu, orang-orang bakalan mau berdiskusi sama gue. Coba lihat, waktu itu kakak tingkat yang bener-bener gue harapkan, cuma senyum aja waktu gue jelasin esai 20 lembar itu. Gue jadi alay. Masa' curhat di blog? ah, gilani.

Waktu suatu ketika, beliau turun dari podium mewahnya (podium yang mau banget gue bawa pulang haha)
"Why'd you said something like that, Prof? Don't you see, everyone catch you as an arrogant symbol."
Lalu dijawabnya, "Tidak ada satupun bahasa yang merangkum semua pemaknaan, I."
Dan si penanya masih sembilan tahun waktu itu.

Sebuah prinsip yang entah, begitu dalam. Sebuah kalimat yang entah, begitu membekas. Suatu momen yang entah, begitu bersejarah. Dan ya, sebuah pengajaran yang begitu patut dirindukan.

Aku begitu bangga. Menyusupi sudut-sudut kepunyaan egosentrisku yang menyala-nyala. Aku bersyukur?

Maka doktrinasi itu jadi begitu menyesap selayaknya kerendahatian pancaran positif rela digantikan simbol elektron negatif di buku-buku fisika. Aku cuma menunggu hadirnya lagi. Saat seorang professor sedingin itu, secerdas itu, ya... se-elegan itu, se-kaku itu, se-cuek itu, perlahan terejawantahkan jadi diriku. Ah, iyakah?

Aku juga keras kepala. Aku juga keras kepala. Benar-benar gila keras kepalanya. Sepertinya.

Cerita

Dan dalam setiap degupan aku merayu angin untuk menerbangkan massa tubuhku ke purnama. Agar tergapaikan bintang-bintang yang jadi medium ketidakberdayaan harapan manusia. Agar terhanyutkan alir nuansa yang jadi perpecahan antara kuasa tangan dan kaki. Agar aku kembali.
Saat sinarannya tak lagi menemani dan aku jadi jalang yang menenun pukat sendiri. Diletuskan ke dalam-dalamnya lautan, mematikan. Diriku.

Jadi ceritanya aku. Jadi ceritanya kamu. Jadi ceritanya kita dan semua. Jadi bukan dia. Atau mereka. Di luar diriku dan kau. Di luar kita. Di luar diriku. Kau. Kau yang sejatinya bukan mereka pula bukan aku dan kita.

Sebab perpanjangan titian ada di benak masing-masingnya benda. Entah sampai atau tidak, diselipkan antara premis-premis paradoksal yang mengerikan. Malam ini, aku  memang bukan lagi yang seperti itu.
Sebab aku belum lagi dewasa, menjadikan segalanya serba bisa, padahal para cendikia benar nyata punya banyak keterbatasan juga. Apa jadinya dunia bila tanpa ulama' fiqh dan tulisan-tulisannya.

Monday, October 10, 2011

XXX

Oke, tiba-tiba gue nggak tahu apa yang telah dan harus gue lakukan. Gue butuh rumah, dad and mom, mau lari dari semuanya. Gue butuh abang, yang sekarang udah gak mungkin dihidupkan lagi. Gue butuh pergi. Tapi dalam satu perpanjangan logika akhirnya gue ngeh kalo gue cuma butuh lebih dekat lagi sama Allah. Ya, gue bener-bener futur.
Mulai dari berhadapan otak sama kakak tingkat paling konyol sedunia, kakak tingkat yang punya banyak intuisi politik, kakak tingkat yang meneduhkan, atau yang lagi sibuk BLF --"
Gue berasa ada di rumah memang, ya, gue coba menghibur diri sendiri aja lah. Kayak disana, disini juga gue ditarik-tarik dua kutub yang lagi-lagi berlawanan tapi dua-duanya benar, dan dua-duanya gue cintai. Jadi perlahan cinta bermain memang dengan tingkatannya, saat gue milih salah satunya, karena gue lebih sayang sama beberapa orang yang omongannya lebih dari sekedar 'itu-itu' aja. Gue stuck, bener-bener butuh baikan lagi sama tahajjud panjang dan bulan ramadhan.
Dan kefuturan yang melebaykan cabangnya di perkara kangen, benci, kecewa, terpana kebengongan, sakit-sakitan, jadi jilbaber super jorok berantakan, deadline kajian, deadline proposal, cita-cita? Huft! Dan parahnya, gue inget abang gue bilang, "ini baru permulaan, kamu masih terlalu, muda, kan, I?" :'(

Tuesday, October 4, 2011

Amnesia Kaum Iron Stock di Barisan Akar Rumput Polis Kampus


Tanpa titik, langit sejarah bangsa telah mengenal mahasiswa sebagai satu komunal strata masyarakat yang tak dapat diindahkan keberadaannya. Mahasiswa telah menyumbang banyak bantingan stir bagi fase-fase kehidupan reformasi Indonesia. Mahasiswa telah terlanjur menjadi salah satu pion yang bermain dalam percaturan politik Republik Kesatuan ini. Ia telah basah untuk selanjutnya mengekstraksi segala hikmah perjalanan drive on-nya di masa lalu. Alhasil, kini mahasiswa juga punya dunia “kebangsaan” dan “perpolitikan” tersendiri. Sebuah polis kampus yang kemudian ber-metamorfosa menjadi semacam simultansi effect dari prosesi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ditandai dengan kemunculan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa yang berwawasan nasional, semarak politics by action telah menjamuri otak-otak para muda intelektual. Setidaknya, ada tiga aliansi yang kemudian memunculkan giginya di langit negara kampus senusantara. Sebutlah BEM SI, BEM Nusantara dan BEM Nasional.
BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) dalam perjalanannya dianggap lebih dulu ada sebagai gerakan oposisi-konstruktif kini dalam isu-nya dihadapkan dengan pembentukan BEM Nusantara yang dianggap pro-government. Sementara pergerakan lainnya dimotori pertemuan BEM Nasional di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Maret 2010.  Hal ini bisa dimaknai sebagai suburnya simpul pemikiran di kalangan mahasiswa Indonesia. Serta begitumasifnya kepedulian generasi bangsa terhadap pencapaian cita-cita Negara. Benarkah?
Selain itu ikatan profesi jurusan juga tak bisa disebut sepi. Para calon dokter memiliki ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang telah mapan dengan kerat embrio IMKI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang dimulai 1969. Sementara para calon ekonom memiliki FOSSEI (Forum Silaturahmi Mahasiswa Ekonomi Indonesia) yang rutin melakukan pembenahan kritisasi ekonomi nasional. Selanjutnya mahasiswa hukum juga akan segera me-launching struktural BEM FH SI di Semarang Juli kemarin.
Maka semarak polis kampus tanah air tak dapat dianggap mainan belaka. Sebab kita sama tahu bahwa seringnya, gerakan akar rumput lebih dahsyat dibanding kebijakan top-down presiden dan menteri-menteri. Terlebih simpul struktural telah siap mengalirkan impuls secara simultan ke sekujur badannya. Di titik sadar yang ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati. Sebab kita baru saja disentil dengan nuansa ’98 ketika Husni Mubarak dituntut turun oleh publik yang digerakkan mahasiswa Mesir.
Di balik segala pamor akan efektifnya pergerakan akar rumput polis kampus, ada banyak hal yang harus dikritisi lebih dalam. Bukan relevan lagi jika langit polis kampus masih berada pada tataran menggertak pemerintah soal polemik mafia pajak di meja sistem quasi presidensil. Bukan juga sekedar tuntutan kosong atas dilematika yang menjajari rakyat miskin kota dan desa. Tapi lebih dari itu, baiknya kita bentangkan satu fakta bahwa mahasiswa yang katanya agent of change dan social control ini kiranya lupa akan satu fungsi paling pasti dan strategis yang harus mereka persiapkan, yakni as an iron stock!
Mahasiswa dalam maraknya dinamika polis kampus tidak bisa tidak, harus mafhum dan insyaf akan fungsionalnya yang paling urgent ini – IRON STOCK. Betapa kemudian ia dikhususkan pada a needed of stocking human yang memang berkualitas secara formil maupun materiil. Kembali, bukan hanya sekedar atas nama social control lalu menghujat pemerintah atau atas nama agent of change membeberkan keterbelakangan bangsa yang katanya pe-er para penguasa.
Baiknya polis kampus ini mengevaluasi lagi kebulatan dan kedewasaan perpolitikannya. Sebab semarak lembaga pergerakan bisa jadi sarang tendensi masa depan. Juga, sumber rasis-non-logic soal entitas politik. Sudah menjadi rahasia publik, kecendrungan entitas politik adalah suatu struktur yang meng-kultur dalam piringan kampanye kekuasaan. Hingga yang ada, aksi tuntut dari mahasiswa dan pengelakan dari pemerintah pun bukan murni suara masing-masing ranah, tapi politisasi segolongan. Rakyat sudah tidak butuh aksi mewah tentang pertentangan idealis yang hanya memenangkan entitas partai atau klausul rasis!
Sementara bangsa tengah membutuhkan attitude politik yang mapan, tentang menghargai spoil system demi tujuan riil praksis nasional. Kita kiranya telah bosan mendengar selentingan kabar begitu alotnya lobi kuasa di ranah bestuur negeri. Lalu masihkah harus kita saksikan peregangan suara di bilik-bilik kampus? Sebutlah tentang “diferensiasi genetic” GMNI, PMII, KAMMI, HMI, IMM serta belum lagi entitas politik endemik di masing-masing daerah yang belum sempat me-nasional.
Hilangnya kesadaran akan fungsional iron stock yang utama dari barisan lembaga akar rumput polis kampus ini-lah yang kiranya menjadikan system perpolitikan bangsa tak menemui titik independennya. Kita, mahasiswa di kampus-kampus masih lebih suka memilih tercelup dalam satu lembaga entitas politik yang dianggap memiliki eksistensi, ketimbang berbakti setelah memenuhi daftarisasi mumpuni. Kita, mahasiswa di kampus-kampus juga masih lebih suka absensi untuk sebuah pawai yang hanya mengangkat sinergi segelintir. Kita, kiranya lupa berbenah diri.
Bahwa entah menjadi social control atau agent of change, satu yang pasti mahasiswa secara umum dan khusus telah menjadi iron stock yang dinantikan. Lalu apakah barisan akar rumput polis kampus ini tega menjawab penantian sekian warga bangsa dengan regenerasi yang tak jauh beda dari sebelumnya? Terlebih, kita sama tahu, bahwa mereka yang kemudian menduduki posisi eksekutif dan parlemen Republik ini adalah mahasiswa juga di masa lalunya. Mahasiswa yang melantangkan suara atas kritisasi kebangsaan di jalan-jalan dan koran. Maka, akankah sama lulusan polis kampus masa mendatang? Kita sama menunggu berita selanjutnya.

Appetite


I just missing. The things I’ve to found even I don’t ever needed.

I just falling. When the stars call the sweetest moment of raising.

And I can’t stand on my wanted-to-be. I just myself.

So don’t ever judge me on the way you hate me.

So don’t ever smile on the dark you feel you lost your mine

It’s not the purple song you could tell the world you miss it.

And it just so hard to know that the picture was listen the air on it.

Then I’m a loser whom the blood turn to be some reason of your aim.

What an appetite, what a never-be-clear-appetite.

Kau

Jadi begini, disini kau berkata begini lalu tinggal landas mengenangku sendiri. Jadi begini, disini kau memangku fajar hingga gemilang cahaya bertabur resapan intan angkasa. Sempurna, kau jadi begini.

Yang begininya seperti ini dan itu, cuma di perasan terakhir hippocampus yang menyeret panah-panah sentrifugal yang berlari ke ujung dunia, mengejarnya sampai jatuh saup jauh di hatinya. Ah, kau merajuk manja lagi. Mengapa tak dijadikan sepuh basi atas emas yang tak lagi mempan disebut emas, atau debu yang pantasnya menohok jambu-jambu, rambu-rambu bambu. Sempurna, kau jadi begini.

We were born for death

Katamu, kata-katamu begitu jadi begitu begininya. Seperti kau jadi tahu segalanya. Tentang dirimu. Tentang aku.

Katamu, kata-katamu begitu jadi begitu begininya. Seperti kau jadi cenayang di prosa-prosa cinta yang tak terdefinisikan bahasa manusia. Tentang aku, apakah dirimu.

Selepasnya pengadilan tata usaha negara kita membangun pion-pion kaca yang rapuh merana, kau tetap saja memainkannya. Sekarang jadi hancuran kotak hitam putih yang tak lagi membangun jiwa perkasa bila Laila ditemui Qais terkasihnya.

Saat Harry Potter mengetuk nada tongkat panjangnya, atau J K Rowling membuahkan hasil karyanya. Masing-masing kau dan aku punya diskusi rahasia di bawah selorok selimut kita. Sebelum ibumu atau ibuku datang dan memeriksa apakah aku dan kau sudah terlelap tidur. Kita berpura-pura.

Saat Gus Dur naik di pelantikannya tahun 1999, atau Amien Rais berdiri di tribun reformasi. Masing-masing kau dan aku punya janji setia di lelapan redup lampu belajar kita. Sebelum ayahmu atau ayahku mengangkat tubuh mungilku dan otak besarmu itu ke bawah selorok selimut kita. Kita jujur bercerita tentang segalanya.

Soal pusaka malin kundang waktu mengarungi samudra. Kau dan aku tak ingin jadi aku dan kau.

Pesona



Aku tak dapat menerka dengan leluasa. Tentang falsafah dugaanku yang paling asasi. Sebab prasangka ialah perkataan yang sedusta-dustanya. Pula bicaraku tak jadi vitamin yang menghindarkan aktivasi virus nalarku. Aku terpana.

Kini betapa ia riang gembira dalam rona bening wajahnya. Ah, bidadari surga. Kapankah kiranya katalisasi fana mengangkasa bersama tiupan sangkakala. Lalu jadi definan nuansa yang tak terdefinisi. Akhiran yang menyongsong tanpa akhir, di batas terminal yang tak ada lagi putar parkir.

Bahwasanya fir’aun mengakui juga kekeliruannya waktu garam menempel di batasan tenggorokannya. Pecahan pangkal dua udara di persemayaman gulita, terlambat sudah. Sebab kini ayat retoris itu sembilu mengiris jantungku, kita telah tahu yang pertama lalu mengapa tak belajar untuk transformasi lanjutannya?

Iya, manusia memang serba salah pula jadi serba benarnya. Kala sampai dentum tragedi atas darahnya, terhenti pula asupan oksigen ke otaknya, jadi gila. Kesana kemari mencari menang dan kalah. Lalu aku Cuma bisa kembali terpana.

Terpana, dibidik naluriah sinisme jembatan panjang yang melebar kemana-mana. Lewat mana?

Iya, T-E-R-P-A-N-A. Cuma menganga membasahi dengan sisa-sisa yang tersisa dalam intrik proporsional soal merah. Ini garisannya, usai itu ia bisa jadi merah-putih atau merah-kuning-hijau. Terserah kau.

Terkaanku memang tak dapatkan nada yang dimaksudkannya dengan seksama. Terlebih lagi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Berkhayal saja, sebab merdeka bukan lagi tentang undang-undang dasar 1945. Dan akuisisi material dustanya jadi asasi formil ekstase yang luarbiasa. Merajalela.

Baiklah, kini ia tak ingin disebut kupu madu dan kupu-kupu sayap merdu. Sebab manisnya bukan kecup glukosa di titipan simbol-simbol ganasnya. Ini lagi-lagi bukan tentang pola pintu stomata atau restorasi kromosom manusia yang 23. Dinamisasi. Dimana problematika jadi arogansi sosial yang membajak kerja-kerja pilot project sederetan rasi. Tanpa saksi.

Sehingga transporter waktu mengetukkan denyutnya dalam hitungan lima jari. Habis itu, pergi berlari. Bosan. Jadi sebuah paradoxal norm yang mencari pamit tanpa permisi. Dibebaskan, tutur kata tak lagi menuansa menghebatkan.

Lagi-lagi, jadi sejenis overdosis di penghujung perobatan keadilan yang basa-basi. Lagi-lagi, memang sakit yang sedusta-dustanya prasangka asasi. Caci maki.

Saturday, September 24, 2011

Honestly, is not you

Someone precious is a person you will never know why'd she/he could on that precious word. Someone precious is a mother or father whom the blood was on your atrium right now. Someone precious, maybe just somebody perfectly make you drowning on a missing. Someone precious? maybe... actually you do not have anyone precious.

Precious was the name mostly wanted in this world. It just a mean which concept a big accidentally tragedy which will always set you as the left out rubbish.

Honestly, is not you.

Friday, September 23, 2011

Flew away

Daddy I just love you. I'd know it before I know what love is. And I never hate you ever after, just like I said. Daddy I just missing you. I'd sure it before my mother tell me about you. And I never forget all the things you said, though you not said it for me. Daddy, why'd I always thinking about you. Daddy, your name was inspected my heart like a police do to the prisoner in a jail.

As I sent this day to not left you away on my mind, As I flowing into the rest of my own scared
As I hope you know me like the day we met in the airport
You will never be the other daddy

You will be like you, like everyone knowing you as someone named by your name,

Thursday, September 22, 2011

Don't have to paid for everything except a thing!

By : Alfajri

We always in the big question symbol for what we have to done this time. I thought everyone have their rights to close or open their mind about that annual case of life. WE do the same things on our biologist part of us. We do the same things of our injection of a community, we talk each other, makes some funny the go with it.
Life was the lived out to feel alive on it. So on this spot, isn't it sooo brave to call our name for that live-the-life?

I have listen many Avril's song or Bieber, lol (honestly I said it as the truth what-being-happened-on-me).  And MCR? And Kort, and Click Five? exactly what a lol me.

That song was never hurt me as the life I feel hurted. Back on it, I just thinking that people acctually wanted to found their self on the other sound and drama. We just keep trying enjoy our life to be alive. As Shakespeare wrote on his paper, and as Monalisa spread out on canvas, our illumination of 'enjoy-our-life' was perfectly entering people on the more hurted it can be.

And I just.. nothing. I just thinking and the publishing. Honestly is not to show that I'm in but to perform that I'm in. Is that weird or something like that? I'd also always define myself as it. (laughing out laugh)
And I'm fine. So what life could bring - a copied of Avril's song on I will be - just what we could paid for it. It seems like 'ay!" what a pic me... Have your great day everybody! :)

Monday, September 19, 2011

Revolusi Ilalang

Revolusi Ilalang
oleh : Alfajri

Aku mulai berani berkata "aku". Sebuah titian dalam rujukan khas diriku. Sebuah langkah-langkah biru yang melukis pelangi unitas hati yang masif membatu. Dan ia, "aku" jadi seseorang yang lain yang tak merangkum kata-kataku.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Itik kecil mendayu darat dari cangkang cicitnya
Menetaskan dirinya dalam nyawa hidup pribadinya
Itik kecil mencari makan di rumputan ilalang
Sebab cangkang akan patah bila diinjak kaki
Dan ia menyelamatkan sekujuran sendirinya

Maka
kabarkan kepada kaum pengemis dan gelandangan
karena koruptor masih bebas gentayangan
karena hukum sulit ditegakkan
karena keadilan niscaya digadaikan
maka yakinlah, tuhan akan melaknat mafia peradilan
dan kaum revolusioner tak 'kan tinggal diam
menyeret koruptor ke tengah lautan
untuk ditenggelamkan!

Oleh sebabnya kau ada disini
karena pengemis keadilan ada sisian kanan kirimu
Oleh sebabnya jiwa bangsamu merah putih
karena lalulalangnya para hati jalang bebas menutrisi hingga ke dalam-dalamnya sanubari
karena revolusi selalu digemakan
karena revolusi sekedar basa basi di busa-busa bisa para diktatoral sasana
Revolusi ilalang

Sementara itik kecil masih mencari-cari jati diri
Ini perihal suara binatang lain
Yang lebih tinggi dari ilalang kiri
Sejatinya awan putih berserak seragam mewarnai
Itik kecil masih menyelamatkan dirinya sendiri

Maka
kabarkan kepada para janda di rumah-rumah singgah
kabarkan kepada para tuna wisma yang tak lagi kenal bahasa alfabetmu
karena katanya mereka sekedar wanita tua renta
karena katanya mereka tak lagi bisa apa-apa
Sampah! Masalah negara
maka yakinlah, tuhan akan melaknat para dukun yang mendekatkan kecurangan dalam akar nadi para culas
dan kaum revousioner tak akan tinggal diam
menyeret para culas sesumbar ke tengah lautan
untuk ditenggelamkan!

Oleh sebabnya kau ada disini
karena rumah-rumah singgah itulah dirimu juga
Oleh sebabnya kini garudamu kalah tinggi dari satelit satelit NASA
karena berbicaranya para naif, bebas menutrisi hingga ke dalam-dalamnya sanubari
karena revolusi selalu digemakan
Revolusi ilalang

Bukan, bukan revolusi ilalang dari mata-mata kotor para mata yang sok berkuasa
Bukan, bukan revolusi ilalang yang terbang jauh sendirian
Bukan, bukan revolusi ilalang
Bukan revolusi ilalang yang runtuh penghabisan masa berlakunya hijau muda
Bukan revolusi ilalang di perbatasan merunduknya dilematika kuning tua

Oleh sebabnya kau ada disini
Sesegeranya itik kecil menahan patri di hatinya
Sesegeranya itik kecil memecahkan cangkang dengan independensi injakan kaki

Sesegeranya dirimu bangkit dan bersuara, HIDUP MAHASISWA!

Annual defense

Kadang kesombongan memang jadi momok yang begitu menjeramu dengan begitu hinanya. Liar menjamu di rumah-rumah setan-setan yang binasa terbinasakan. Jauh dari rahmat pula rahiim yang dimimpikan jejak kaki Hawa ketika diturunkannya ke tanah.
Aiih gila merajalela. Pula tak ada transliterasi bahasa mutlaknya. Yang kau pikir sempurna bagi tendensi kata-katamu waktu itu. Sebelum jadi bunga di tepian jelanta, lalu lalang ilalang terbang. Mengawan seadanya basi yang disegarkan. Pilihan.
Dan aku ingin pulang, sejatinya kepergian yang hanya jalan yang sampai di penghujung rantai. Dengan berwibawa tak membawa apa-apa.
Dan aku ingin pulang, sejatinya perjalanan hanya perginya induk di pagi hari. Dengan tenang tanpa risi bising suara siapa-siapa.
Dan aku ingin pulang, sejatinya datang ialah mengucap salam dan penuh senyum bangga orangtuaku. Walau tak begitu, walaupun begitu jauhnya dari mimpinya alam-alam nyata.
Biarkan mereka terkesan, terkesan dengan kosong binaranmu. Lalu kau bisa pulang tanpa apapun di sisianmu, tanpa pula suara dan senyum bangga itu.
Sebab biasannya tak lagi jadi seindah prisma mata air cinta. Sebab bengkoknya tak terluruskan di nyanyi belalang dan konser semut jangkriknya. Sekedarnya saja.

Friday, September 16, 2011

Wew


Dalam salah satu ayat Al-Qur'an terkatakan bahwasanya manusia diciptakan dalam suatu keadaan lemah lalu dikuatkan untuk kemudian kembali lemah. Sebuah inspirasi kemudian mengalir, bahwa sesuai dengan mafhum perputarannya, setiap kita memanglah memulai hidup dalam keadaan bayi yang penuh ketidakberdaya-upayaan. Pula akan dikembalikan dalam rumusan ketuaan yang hanya bisa berpangku tangan. Dan dalam dua masa itu kita pastilah akan sempat berada di setting usia muda yang penuh tenaga dan pikiran cerah.

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” Qur'an Surah Ar-Ruum:54

Beginilah runutan jalannya. Bahwa dengan bekal titik klimaks kemanusiaan itulah para pemuda berdiri. Mereka berpijak dengan suatu tolak strategis bagi tiap-tiap penghidupan lini kehidupan.
Pemuda ialah aset. Oleh sebabnya pemuda menjadi suatu tendesi sekaligus kromatograf positivis masyrakatnya. Segolongan pemuda dapat menjelaskan mapping kemasyarakatannya, ia adalah anak asuh lingkungannya. Ia pula sebagai rantai paradigma keberlanjutan 'massa'nya. Maka ia adalah lingkungannya di tinta pena kini dan nanti.
Pemuda sekaligus integrated chapter movement. Ia adalah suatu bagian pergerakan massa yang integral. Dengan suatu simultansi pikir dan kejayaan fungsi tubuh, inovasi dan akulturasi menumpuk sebagai investasi jangka panjang baginya untuk menjadi suatu bobot massa terintegrasi.
Keluarbiasaan pemuda sampai-sampai menjadi salahsatu perimbangan segitiga geografis komposisi entitasme manusia. Dimana ia menjadi pokok indikator strategis bagi judgement maju atau tidaknya suatu masyarakat.
Jalan yang terbaik yang harus ditempuh selanjutnya adalah memaksimalkan titik pangkal paradoks yang dibebankan kepada setiap pemuda ini. Paradoks yang harus dicari nalar pembenarnya dalam sisian thesis dan antitesis kebermanfataannya. Pemuda yang di satu sisinya adalah mapping masyarakatnya, pula chapter movement bagi entitasnya, harus dapat memaknai bahwa utilitasme dirinya ada di lini parakdoksal entity movement. Maka dari itu, ia akan memaksimalkan investasi dirinya demi perbaikan mapping kemasyarakatannya.
Yang harus dilakukan adalah berpikiran terbuka.
Berpikiran terbuka ialah menjalani peluang adalah objektifitas massal dalam suatu rumusan permasalahan baik kronik dan kontemporer. Selalu mencari fakta dan kefaktaan serta pilihan yakin dan keyakinan. Keterbukaan ialah kemerdekaan untuk membuka dan memerdekakan diri dari satu sintetis final yang ilusionis. Contoh ke-'kikuk'-an yang dapat diambil misalnya pada arus liberalisasi usai gerbang revolusi 'eksekutif sentral'. Hal ini menandakan sebuah ketidakmerdekaan pemuda (secara entitas) massa kala itu untuk merdeka dari pengalaman yang menyebabkannya menuangkan gula sebanyaknya pada teh yang pertama kali dicicip amat pahitnya.
Disini perimbangan keilmuan amat diperlukan. Sebab objektifitas asalnya ialah subjektifitas massal, sehingga terbangunnya kultur subjek 'benar' pula akan mengalirkan domino efect objek yang benar.
Inilah yang saat ini saya lakukan dan akan terus saya lakukan demi perbaikan kebangsaan di masa depan. Saya menjalani serangkaian kegiatan keorganisasian dan menemui berbagai macam pemikiran, buku, dan aksidensi faktual yang rumit yang membuat saya belajar untuk stand on for my word and left on while the dessert was fool out. Sesungguhnya segala sesuatunya akan kembali pada niat. Dan saya percaya bahwa niat meraih kebaikan akan mengantarkan pada perbaikan. Hingga manusia memang tak sempurna, terlebih lagi anak cucunya. Keep on reading, smile, and resolution. :)

Listen

Listen, this all finally change my way to love
Listen, every night was smells like I don't need anyone by my side
Listen, listen, listen
And I don't

Why'd people look the light as the other 'something' behind the dark?
Why'd people always said that I have no tears to be sad like them?
Why'd people listen

I have no more
While well, well, well, was not accidentally found in room
Then I heard that a baby come road to be shown

So, do you ever listen what?

Wednesday, September 14, 2011

Detik

Detik menjelang pangkal leher detik berikutnya. Di usapkan di jemari kata gelisah nan berwibawa, ujarnya pelan mengiris. Begini, seorang sufi begitu liciknya menari dan membuat dosa sendiri. Begini, Ibnu Arabi tak pergi berperang bersama Muhammad Al Fatih Sang Pemberani.
Detik menjelang pangkal leher detik masanya. Di gulirkan sepanjang cerita indah si kata-kata gelisah nan berwibawa. Besok aku akan mati. Besok aku tak menemuimu lagi. Besok tapi besok tak akan kembali lagi. Untuk hari ini.
Detik menjelang pangkal leher detik selanjutnya. Di patahkan panah olehnya, dipukulkan hingga habis mengucur darah dari nadinya. Ah, detik. Detik ini.
Detik menjelang pangkal leher detik kesudahannya. Sejatinya titik pangkalku tak pernah ada udara menuju ke kepala. Sejatinya titik musnahku tak pernah ada darah menuju ke pelupuk mata. Tak demikian adanya.

"ketika tulisan lu bisa dipahami, pembaca yg ngebaca tulisan lu malah pergi gw ngebaca tulisan lu bukan buat di mengerti, karna gw nyadar, percuma gw maksain diri buat ngerti tapi ya karna itu, untuk tidak dimengerti tulisan lu dibaca tapi tetaplah bukan berarti dengan begitu tulisan lu kayak permen karet ya gak gitu" my 'sister', haha

Saturday, September 10, 2011

Frase satu bulan kemudian

Bunganya kuncup dimakan terik Jakarta. Lagi-lagi ungu pudar, terkadang aku pikir ia begitu kisut untuk dinikmati. Jauh dari saup jemari dan lusuh tanpa fantasi. Ia mau mati. Besok juga jatuh satu-satu. Tinggal satu. Bunga krisan yang berjamaah satu-satunya jadi satu. Hanya karena panas dan sapu debu merangas, tak sampai hati aku meminang jatuh gugurannya.Satu-satu perlahan jatuh jadi tinggal satu.

...the beginning - burn all poison

Mekkah, sebuah dimensi yang sempurna. Bagi rukuk dan sujudnya makhluk-makhluk fana. Dan aku terpana. Ketika Mekkah jadi bayang-bayang ingin yang merajalela. Disana dan disini. Kutemui ia. Ini setting yang begitu basi untuk ditarik hidangkan diatas meja kronik kisahku. Toh aku belum pernah juga kesana. Ah, aku, sekedar ingin berkata-kata saja. Kata-kata yang dimengerti oleh setiap hati. Sederhana saja. Merana, mulai tercerabut iman dari akarannya, sebuah nuansa yang perlahan tertawa ria di pinggiran warnawarna Aku yang merana Rasanya gersang dan hanya bisa bicara yang menyakitkan saja Tanpa kualitas Babak baru perenunganku, ditinggal mati sosok konkret sahabatku Aku marah, Tercerabut iman dari akarannya Jadi golongan orang paling lemah dan tak berdaya CUma bisa hihihaha saja Jadi pendusta yang setia, pada apa saja Tentang apa saja Dengan pemerintahan janna, dengan segalanya Dilaknati binatang pagi, siang dan malam Dan orkes sirkus mereka Ya, hinanya Aku, kan

Dare to be newme!

Hidup memang parah!
Mulai dari seremonial yang hilang makna sampai perputaran pikirnya yang nggak nguatin! Dan dalam siklus yang begitu panjang, kita jatuh bangun untuk mencari akhiran yang terbaik.
Kedewasaan itu penting, nggak guna kalo paham integral justice tapi tetap-tetap aja bertingkah konyol dan keras kepala. Perbedaan kosakata atau latarbelakang kronik kisah nggak boleh jadi hambatan. Justru perbedaan itu bakalan bikin dunia tambah kaya. Gue harus paham, kalo berbicara itu memang tatarannya ruh bukan jasad. (aduh apadeh)

Ya, inilah, sedikit kata untuk memulai sebuah fase baru seorang gue yang aca ucu. Semangat!

This is my newme tema semester ini.. "Resolution, Concrete movement and Smile" (RCS) asik ga tuh ? :D
-Tugas kuliah is number one to be done in time
-Baca buku hukum yang SESUAI matakuliah yang diambil, minimal 5 jam sehari -Menjauhi shakespare, nicollo marchiavelli dan hans kelsen untuk tiga bulan pertama
-Tilik ulang Leo Tolstoy yang mau dipinjemin mbak Airin
-Baca majalah dan booklet
-Baca buku terjemahan
-Jauhi kamus
- .... more in the other doc

GAMBARIMASU RESOLUTION, CONCRETE MOVEMENT AND SMILE :)

Wednesday, September 7, 2011

Burning and losing

Gue mulai menulis sebuah data yang kemudian hilang di memori digital yang terbatas. Dan perlahan seakan gue berdiri lagi di karpet merah, ketika suatu persoalan konyol tentang afiliasi tibatiba homage's sick jadi sebuah jebakan betmen yang super kocak. Ini soal afiliasi, terkadang seseorang berani berikrar setia atas sebuah alasan aksidensional yang parah. Dan gue stuck map on the beach.

This all, perfectly inject my soul with some mysterious left action. I do.

Semuanya seakan mudah saja. Lagi-lagi segalanya mudah saja. Karena nggak ada x di antara angka dan sekedar jadi masalah ketika dia ada di soal pertidaksaamaan yang tanpa sama dengan. Atau ketika ada angka di sisian paragraf alphabet, yang satu menjelaskan yang lainnya. Terdefinisi, mendefinisi. Aksidensional yang substansial. Ketika muncul kalimat paling konyol sedunia, "I do not know why'd love you now."


Premis mendefinisi, terdefinisi jadi simpulan yang terdefinisi. Akhirnya putaran definan teori ini jadi tumpukan literatur yang super gila buat dicantukan di bab dua karya tulis, kajian pustaka. Seseorang berhak saja berbicara dengan perspektifnya, afiliasinya atas suatu definisi, dan kata dan angka dan melodi yang dihidupakannya usai sama dengan.

Dan gue cuma nganga, ngikutin perkembangan sejarah.
Ini lagi-lagi masalah afiliasi. Sebuah artikel yang udah pernah gue tulis tapi gue lupa naronya dimana.

Mungkin kotakan amar selalu jadi line product yang menyenangkan. Untuk pamer ilmu atau pamer kepahaman. Gue yang se-dhaif ini pun cuma bisa berhihihaha aja, entah apakah terkadang muncul perdebatan yang memperlihatkan tampang sok benernya gue, atau ngefansnya mereka, atau nisbat superior yang nggak-nggak. Sumpah gue nggak gitu, ya, nggak gitu banget.

Gue nggak bisa, walaupun bisa menguraikan alur pikir soal tumpukan definan akibat aksi matematis kepahaman kata-kata. Ini soal afiliasi lagi-lagi.

Ya, dengan suatu alasan aksidensional super konyol kita bisa aja berikrar setia. Tapi memang setiap bayi ngikutin ibunya atas chemist emosional yang bisa aja kan gue sebut 'aksidensional konyol' itu? dan semuanya nggak akan pernah selesai.

Ada satu hadist yang paling gue suka, yang dikisahkan Hudzaifah ra. Hadis ini punya prologue yang bagus yang berasal dari Hudzaifah ra sendiri. Seinget gue, "Kaum muslimin bertanya tentang kebaikan kepada rasulullah saw, sementara aku bertanya tentang keburukan karena khauf terjerumus ke dalamnya."
Lebih serunya lagi, mengalirkan mutiara kata, nashihah yang mungkin penuh sanjung atas afiliasi, diriwayatkan oleh Bukhari (insyaAllah)

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di masa jahiliah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Adakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Rasulullah menjawab, “Benar, akan tetapi terdapat asap (kesamaran) padanya.” Aku bertanya, “Apakah asap (kesamaran) tersebut?” Beliau bersabda, “Yakni orang-orang yang mengambil petunjuk selain daripada petunjukku. Engkau mengenali mereka dan mengingkarinya.” Aku bertanya, “Adakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?” Beliau bersabda, “Benar, para penyeru kepada pintu-pintu jahannam. Sesiapa yang menyambut mereka maka mereka akan mencampakkannya ke dalam jahannam (kebinasaan).” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkan sifat-sifat mereka kepada kami.” Beliau menjawab, “Mereka berkulit sama seperti kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku sekiranya aku bertemu dengan situasi seperti itu?” Beliau menyatakan, “Hendaklah kamu tetap bersama-sama dengan jama’ah umat Islam dan pemimpin mereka.” Aku bertanya, “Bagaimana sekiranya tidak ada jama’ah dan tidak pula ada pemimpin bagi umat Islam?” Beliau menjawab, “Jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya walaupun engkau tinggal dengan menggigit akar kayu sehingga kematian datang menjemput dalam keadaan engkau seperti itu."

Entah, ilmu gue emang nggak seberapa, mungkin terjemahannya cacat banget tapi setidaknya atas kecacatan yang gue buat itu, gue nggak sampe murtad sekarang. Yaa. hmm begitulah. Gue jadi inget, waktu ada seseorang menatap gue tajam dan bilang, "mana yang lebih penting iman atau hafalanmu?" Gila, ya hafalan gue lah. haha. Oke, iman gue.

Terus beliau cerita soal Al ghazali yang disamakan sama petani cuma garagara petani itu ikhlas kerja siang malem buat nafkahin keluarganya.

Tapi orang emang sering banget tulilut sendiri atas kebengkokan pemahamannya sendiri. Lagilagi, terkadang alasan aksidensional super konyol bisa aja dan banyak aja bikin orang bisa dan orang banyak berikrar setia. Ah, cupu.

Terus apa yang kita cari.

Wednesday, August 24, 2011

Teori Entitas

Keberadaan beda dan sama masih terus menjadi diskursus filasafati setidaknya sampai Marx memunculkan filologi komunisnya. Definisi sama dan beda menjadi sebuah rangkai simpul yang paling diminati untuk terus diperbarui. Atas sebuah keputusan dalam kerangka marxis, ia menjadi definan dominan yang keberadaannya dapat diibaratkan sebagai sebuah pangkal batang utama. Sementara akar-akarannya yang menjalin simpangan itu, terus menerobos menjajari alam atheisme yang dalam.

Perbedaan dan kesamaan adalah sebuah kepingan dua sisi yang kemudian tak bisa dipisahkan each other. Sebab sejatinya sesuatu akan terdefinisi sebagai dirinya sendiri, sebuah manggis dalam sebuah keranjang manggis bersama manggis-manggis yang lainnya akan terus jadi dirinya, walaupun ia hanya terlihat sebagai 'segolongan' manggis. Seekor bebek diantara bebek lainnya yang diasuh tuannya, tetap jadi dirinya yang untitled walaupun iya hanya dikenali sebagai 'sekelompok' bebek.

Maka manggis meng-entitas jadi segolongan manggis dan bebek meng-entitas sebagai sekelompok bebek. Manggis manis? Manggis masam? bebek kampung? Dan selanjutnya, sekeranjang manggis yang ini jadi entitas manggis masam walaupun di dalamnya ada sebuah manggis yang manis. Ini entitas, maka ia tak terlihat

...flow down.. wait for a moment, I've got some bored area of me, this isnt as easy as i think

Derival

Entah, rasa-rasanya aku memulai irama baru tentang kecewaku. Yang hitam putih di kedip jalang mata-mata intan lautan. Yang hitam putih hanyut di paras lebah dan serangga. Dibawa terbang, terpaksa menyetujui dengan bau-bau tengik dilematika. Aku kecewa.

Memang kapan aku pernah bilang bahwa marah sama artinya dengan duka. Memang kapan tulisanku diikatkan dalam tali pintu-pintu rahiim antara aku dan kau. Bahwasanya duka cuma krisis kegilaanku atas pesona dunia. Bahwasanya ikatan tulisanku, dikaretkan dalam bulir getah lembayung pagi-pagi ini. Tak ada. Tak ada lembayung di pagi-pagi ini.

Lalu satu derival inginku, susah payah mengobati sayapnya sendiri. Kecewa ia dengan tangga-tangga integral kepunyaanmu. Satu derival inginku, beranak-pinak jadi krisan kecewa yang ranum pudar. Satu derival dari inginku, menggelesorkan sekujuran nadanya, basa-basi meminta peluh dari sedikit sinaran mentari pagi-pagi ini.

Yang tak ada lembayung.
Yang tak ada hitam putih di lembayung pagi-pagi hari.

Hingga sejatinya ingin hanyalah koneksi cepat antara aku dan ikatan karetku. Kembali ia, seketika karena cinta pada tuhanNya. Ah, bukan, bukan ia. Bukan ia secinta itu, tapi terlanjur besar rahiim tuhanNya memeluk. Terlanjur banyak dicintainya, terlanjur banyak diasingkannya.

Yang tak ada putih hitam lagi.

Di fajar sore hari yang menyela bila lembayungnya telah ada. Jadi nyala-nyala gulita yang tiada fana dan kecewanya lagi. Di sudut derival dalam nada-nada tangga integral ingin dan kuasaku. Aku telah masuk dalam pintu-pintu, pintu kemudi seketika itu.

-------------------------

Sekilas, aku ingat. Sesuatu yang sudah pernah kutuliskan disini. Sebuah episode paling kusukai yang disana ada Fathir Al Quraabid. Di atas ilalang terbang, penghujung jurang di subuh hari. Waktu tangannya menunjuk pelita matari yang perlahan naik, "Fajar!". Disebutnya masdar namaku dengan penuh kecintaan, ya, aku melayang ke angkasa. Sebegitukah fajar yang sesungguhnya?

Dan sekarang tinggal busa bagi bisa kebisaanku untuk terus menganggapnya seorang abid yang dulu.

Katanya, ini kecendrungan. Ini rahiim yang kemudian tak terurai atas definisi progresitas orientasi dan mimpi-mimpi yang muncul terbenam, naik-turun. Ini kecendrungan, ikatan yang bahkan tak mampu dikejar nuansa setia.

Katanya, al Kindi mengatakan bahwa saudaramu itulah dirimu, hanya beda jasad yang memisahkan jiwa-jiwa. Dinasehatinya aku, tapi kali itu tak seperti biasanya. Rasanya menusuk, tanpa senyum canda dan tawa-tawa konyol soal disorientasi kata dan pemaknaan. Aku terpana.

Ini kecendrungan, katanya. Ketika kemudian tak ada simpangan lain selain aku. Ini manis, kataku.
Lalu baginya sekarang zero juga. Bukan, bukan itu kan?

Monday, August 22, 2011

Jembatan

Ilalangnya menari di angkasa. Sebatas mimpiku berarak menuju ke surga fana, surganya dunia yang semata-mata ada. Ilalangnya di angkasa, sebarisan kata melukiskan kenangannya pada warna-warna yang berbaur jadi sebarisan logika. Logika yang membelakangi angka-angka. Angka-angka cerita, bilangan tahun dan tanggal-tanggal yang tersisa dari lembutan aral yang tersingkirkan dari dilematika fatamorgana.
Ia tak ingin terjembatani dirinya. Sebersihnya nada-nada yang memutus tali sengketa dari suara. Setulusnya rancu berpisah dari senjang moral yang berbahasa sama. Selepas bergetarnya pesona yang tak terangkaikan dari cabang-cabangnya. Mozaik yang kehabisan perekat ajaibnya. Tak tergambarkan, jadi kisah di puisi-puisi imajinatif yang jauh dari kerangka ingin tuan-tuan sekalian. Mati suri, ingin hidup sekali lagi

Monday, August 15, 2011

Wowowow :D

Gue nemu ikhwan keren! Ceritanya, seperti biasa, garagara sumpek di rumah, gue jalan jalan kan keliling Jakarta naik busway. Wah, ini sebenernya agak kacau juga, berhubung, mengandung radioaktif negatif yang bisa bikin pamor gue turun. Haha, peduli apa dengan pamor.

Yah, yah, yah, ini mungkin terakhir kalinya gue geje gitu naek busway turun-naik shelter dan bolakbalik ngasi smile klise ke abang-abang yang di pintu shelter. Ya, Allah.. haha subhanallah dunia dengan dengan segala hiasannya yang baka maupun sekedar abata.

Oke, oke, balik lagi soal ikhwan keren.
Gue ketemu dia pas lagi di salemba, sampe harmoni, ni anak masi terlihat kacau sih, dengan aura ikhwan yang tidak nampak samasekali. Pake jeans gitu, gak isbal lagi, #seakan penting bgt haha

Ya.. gitudah, kayak orang biasa yang nggak tersibghah 'tarbiyah'. wokwowok.
Kaosan, dan pake sepatu gaol banget gitu lagi, (ngalahin sepatu butut gue yang gak pernah dicuci sejak beli). Wewew metal!

Sejenak gue ngeliat ni anak, agak berasa envy juga sih, kan gue udah bilang kalo dia sebagai orang yang mungkin tidak tersentuh yang kayak menyentuh gue (*apaan deh), itu keren banget, trus ditelpon belagak sibuk gitu, "iya, ini gue masi di busway bawel banget si lo.." ahaha sumpah! kalimat "bawel banget si lo" tu udah gue idamidamkan mau gue luncurkan pada saat yang tepat pada orang paling tepat (membetekannya) ntar.. dan ternyata, dia udah ngeduluin ahahaa (*gak mutu banget ni tulisan)

Pas di kalibata, garagar dia turun, gue ikutan turun ae. Turun ke basement, ni orang masi keren, apalagi waktu sambil turun tangga masang earphone. Berhubung kalo gue kayak gitu bisa berabe banget, ahahhaa, jilbab gue lebih dari selembar --".

Adooooh ni anak masi asoy boy.
Gue belajar kan gimana caranya bisa punya aura dan penampakan sekeren itu hahahaa (*kalimat gak mutu :P)

Wew! dan pada akhirnya, ini bagian paling seru, gue masi ngikutin dia kan. Daaan pokoknya singkat cerita, akhirnya setelah naek metromini duakali yang cukup jauh, naik satu mikrolet kecil juga *kalo gak salainget. Gue dan dia sampe di salasatu se-ting negeri. Huuuumm ternyata gue udah di bintaro --". Perasaan waktu gue kesini, buat silaturahmi (*ke siapa gitu lupa) itutuh jauuuuuuuuuuuuuuh banget dari cawang, tapi entah, perjalanan kali ini pokonya seru karena dibarengi "keberhasilan" nguntilin orang. ahahahhaaa

Gue jadi berasa shinichi kudo gitu kan. wohohooo

Ini, nih. INI. INI. INIIIIIIIIII. YANG GILA.

TU BOCAH MASUK SEKRET - YANG SAYANGNYA GUE LUPA APAAN NAMANYA -,-.

dan disana...

"ahlan wa sahlan akhi.." toeng!

dan parahnya..

"DIA NGISI MATERI: MIHWAR DAKWAH"


Pawawwaawww ckck! semoga lainkali gue dapet gelegar kayak gini lagi kalo menguntit di lain hari hehehehheheee

Subhanallah akh! hoo

Belakangan gue tau kalo dia.. mmm.. ya.. setaraf tetuatetua di UB juga. Mmmmm aiih terklesima gue, don't judge kader by its cover lah.. hahahha

Friday, August 12, 2011

Listening

Ya, Rabb, aku terkesan akan sebuah makna ketakutan. Biar, biar saja hilang hafalanku jika itu bukti dosa-dosa selama itu. Ya, Rabb, aku benar tersudut dalam ruang ketakutan. Dimakan hati kecilku sendiri. Biar-biar saja hilang hafalanku agar kelak Kau sempurnakan aku sebagai bidadari surgaMu. Rabb, biar-biar saja hilang hafalanku.

Ikhlasku, tak dapat lagi membayar besar maksiatku. Ikhlasku, tak dapat lagi dijarah untuk menembus dialektika waktu-waktu. KIni cuma ketakutan bila tak terbayar angkuhku. Ya, Rabb, sungguh hanya iman itu sajalah yang masih menolongku.

Biar-biar saja hilang hafalanku.

Jam

Satu jam, dua jam, atau tiga jam.
Satu dua tiga jam.
Satunya dua tiga jam.
Satu satu dua tiga jam.

Yang tiga dua jam jadi satu satu.
Atau dua tiga jamnya satu.
Tiga jam dua satu jam-jam.
Jamnya satu dua tiga.

Thursday, August 11, 2011

The more-less

Never give up! I just counting my own hair.
This is one, two, three and four, and more.
And more. And more.

I just can't listen the hair singing. While the sounds changing like a bowling pool at all. This aim. The more four.

Never smile in! We just already going on the morning and bleeding the part of aim.
We just a blood and part of our. The more of four.

This is a piece

I've been losing my piece, listening the air swing. Just like I think its never gonna be so cold like this. Seems I do not ever feel this. What a piece! Then I'm just in, just following.

Would you bought me the other simple node to paid the pain? You just a liar, right?

And I keep myself losing my piece. A difficult task to be done in time. While the whole hole perfectly knocking my clock, puttin' on, I'm just in, just following.

Would you close it closer because of them? You just think you do, right? And I am not.

A simply question to ask, simply air to crack. You said. Then I was losing, eternally closing. Won't falling, though the smells calling. I knew that am a kid. Grand-kid.

I'd wanted to show what the piece I mean is. This is the rainbow which you never walk on. This is the part of ancient Roman I would never told. This is the part of that old. Yeah, this is a piece, the piece I've been following. Just on, putting on.

Because you will leave me in home to tell me to not to open the door. I do. Yeah, this am! What a piece.

Wednesday, August 10, 2011

Sebuah Dialektika


Aku melihatnya berbaur dalam cahaya matari pagi.
Disana dan disini, tangan lusuhnya masih merayapi kesana kemari.
Tebaran sampah-sampah kota elegi, cuma jadi bias pagi dan sore hari.
Mereka, ketika ditanya, tak lagi punya angan untuk masa depan.
Mereka, ketika ditanya hanya punya putus asa.
Lalu dibagi-bagi, jadi kering yang tak menyuburkan lagi.

Ada suatu dialektika bahasa yang selalu memberi warna dalam setiap batasan persepsi kita. Dialektika yang subur sejalan dengan masih adanya sisian kiri di samping kanan juga selama masih adanya bagan atas sebelum bagan bawahnya. Dialektika bahasa ini pada suatu ketika juga menghampiri konsensus-konsensus manual dalam internal diri kita sendiri. Konkretnya, ini tentang suatu perspektif pribadi-pribadi dalam memberi label atas kejadian-kejadian yang menimpanya.

Dialektika bahasa memaksa kita membentuk suatu tabiat dan paparan eksistensi terhadap diri kita sendiri. Fantasi analognya, setiap orang memiliki dua kantong dalam perspektif dialektika bahasanya. Kantong pertama adalah kantong positif dan kantong kedua adalah kantong negatif. Setiap kita tak pernah berhenti mendefinisi, ini positif atau itu negatif. Lalu tanpa kita sadari kedua kantong itu selalu kita bawa kemana saja, baik dalam tidur ataupun bangunnya kita. Lengkapnya, setiap apapun yang masuk dalam kantong positif akan terurai layaknya O2 yang menutrisi dan memberi alir energi, sebaliknya setiap apapun yang masuk dalam kantong negatif akan bertransformasi menjadi semacam CO2 yang merusak dan meracuni.

Kita mengisi kedua kantong itu dengan serangkaian informasi yang ditangkap indera. Ketika misalnya kita mendapat nilai ujian percobaan yang belum dalam batas aman impian, kita tentu akan segera memasukkannya dalam salahsatu kantong dialektika bahasa pribadi kita. Jika kita membahasakan informasi atau kejadian tersebut sebagai suatu hal yang positif, maka bonusnya adalah asupan layaknya oksigen yang menyegarkan untuk terus berusaha. Sebaliknya jika kita tidak sanggup men-dialektika-kan kejadian atau informasi tersebut untuk disebut positif, maka satu nilai uji coba yang belum tersebut akan masuk dalam kantong negatif yang sebagai imbasnya meracuni kita dengan amarah dan sesal yang berkepanjangan.

Inilah sebabnya kedua kantong itu disebut perangkat dialektika bahasa. Sebab setiap kita bisa berdialog, berdialektika dengan bahasa-bahasa dan pembahasaan diri kita terhadap suatu konteks yang menimpa kita. Maka setiap kita berbeda, unik dan memiliki dua kantong dengan besaran yang tidak mungkin sama. Seseorang bisa saja memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya atau ia bercanda lagi dengan pagi dan esok hari. Seseorang bisa saja mengutuki para pejalan kaki yang menyebrang atau ia memperlambat laju kendaraannya untuk tersenyum bahagia. Ya, segalanya bisa saja jadi lebih indah jika begini caranya. Layaknya oksigen yang menutrisi dan memberi energi. Kita bisa jadi terus ‘hidup’ kembali.

Aku berfantasi punya kantong ajaib.
Satu saku untuk menyelesaikan semua masalahku.
Satu kali saja mengambil sesuatu. Lalu jadi aku.
Jadi aku butuh satu saku untuk memilih kata-kata dan caraku.
Kantong ajaib dialektika bahasaku. Lalu jadi aku.
Jadi aku memilih satu dari gudang saku.
Pilihanku untuk terus berprestasi dan maju.
Untuk kau juga, bersama-samaku.

Tafakur

Akhirnya rasa-rasaku menemui jaring tangkapnya dalam nuansa selaksa kata yang berkepanjangan. Jika habis waktu, waktu kata tak lagi bisa bicara. Waktu itu, kita berduka untuk asap yang hilang batas di kiamat hariannya. Rabb, aku belum habis perkara, dibisikkan nelangsa oleh syayathin yang jauh menganiaya. Rabb, maka tolonglah aku.

Bila saja kemudian aku dipungut pergi ke alam baka. Anyir memasak nanah jadi batu dan pukulan darah. Ah, aku ditampar dan digulingkan sejauh lolongan suara. Rabb, aku belum habis perkara, begitu basi selalu mengatakan basi, racun impuls yang mendilematika asa. Rabb, maka ampunilah aku.

Lalu bulu-bulu lintah tersapu pijar api yang menyala-nyala. Dibujuknya aku untuk makan buah yang panas menyiksa. Ya, Rabb, bila telah datang masa, aku mati tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ya, Rabb, sebab itu pasti adanya, di lekuk hidupku yang berputar tak mengangkasa, aku hanya sekedar insan belaka.

Bergetar halilintar. Bukan lagi rintik yang biasanya menitik licik. Ini jauh dari sekedar titik. Bukan juga seribu titik, atau titik setelah deret angka koma dan tanya. Ini bukan sekedar titik, titik seusai pergi hitungan angka. Akhirnya ini bukanlah titik, bukan titik yang pernah kuketahui.

Tuesday, August 9, 2011

Mommy!

Kau lebih beruntung dariku. Sebab kau bisa banyak berkata-kata unuk menyenangkan hatimu, walaupun di embun jendela kamarmu seperti yang waktu itu. Saat aku hampir saja mengganggumu, anakku.

Kau tentu lebih bahagia dariku. Sebab dengan semua kegilaanmu itu, paling aku cuma bisa tersenyum satu-satu senti saja. Tak pernah terlalu memarahimu juga.

Agar kau lebih beruntung dariku. Saat pelita tak ada harapan terbang lagi, pancarannya masih ada untuk melayang di awan-awan, katamu. Ah, kau begitu patut dirindukan.

Agar kau lebih bahagia dariku. Kata-kataku bukanlah kata halus seperti yang kau lakukan sore itu. Tanpa bicara. Ya, kupu-kupu madu, kupu sayapku. Kacamata, mata-mata hatiku. Sejauhnya sore hari, melangkah tak sengaja menemaniku sendiri. Katamu. Katamu di buku harianku.

Aku tak seberuntung itu. Pula tak sebahagia kau. Maka bukan lagi tentang aku ingin beruntung atau bahagia sepertimu. Sebab aku bukan. Aku cuma seorang ibu saja.

Aku cuma seorang ibu saja. Ya, seperti itu, seperti mau-mu.

Monday, August 8, 2011

Unconditional

Aku sedikit banyak mengukur nanar dalam presisi bulan di cahayaan senja menuju peraduan. Digulingkan ke kanan dan kirinya, bergidik memastikan bahwa disana sini memang hanya ada basi yang disegarkan. Aku hidup lagi.

Seperti katanya, aku memang tak pernah akan tahu apa-apa. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Hanya sekedar lalu lalang mataku jadi pemerhati desain lingkungan kotor sungai-sungai pinggiran kota-kota Malang raya.

Lalu diungkapkan kunang yang berkunang-kunang di pelita citra kembang kunangan, bias air bisa begitu canggihnya membuat pensil bengkok tanpa nyata. Tapi begitu seadanya, begitu imaji tunggalnya, jadi fantasi yang ditransformasi jadi fatamorgana. Aku tak tahu apakah akan hidup lagi. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Cuma basa belaka, kali ini saja.

Maka pantaslah jika suaraan gemintang jadi tak begitu seterang cahayanya. Atau nyaring suara binatang jadi tak secerah indah bentukannya. Sebab ia tak begitu. Jadi tak begitu bisa apa-apanya siapa.

Seperti katanya, aku memang tak pernah akan mengerti apa-apa. Bahwa substan terkadang dihalang pembatas biru berbentuk batu. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Tapi ini tentang bias yang bengkok di penghujung waktu-waktu yang tertentu. Di pinggiran jalan menuju hantu-hantu palsu, soal warna di irisan wanginya atau citra di lapisan kedua sandwitch daging asap setengah matangnya. Aih!LAPAR! Lapar kebasian yang disegarkan.

Agar jadi candu hatiku. Candunya para mati yang hidup kembali.

Biar senyum rembulan jadi atap yang selalu menutrisi bilik-bilik jantungku. Jika ada titiknya di pulasan make-up tebal sang kesungguhan, dihasut impuls syaraf halusinasi manusianya. Cuma basa di candu yang terpaksa membuatku terpana. Dibidik panah-panah syayathin yang menakutkan, mengelabui dengan sikut-sikut persekutuan dengan nalar kecut. Bukan subordinasi antara aku dan siapa.

Ya, Cukup tahu, luarbiasa!

Wednesday, August 3, 2011

Ultrav

Aku sengaja, secara tak sengaja menenun kait dalam tutupan jilbab merah mudamu yang cantik. Aku sengaja, secara tak sengaja terpesona. Bahwa runutan kecintaanmu itu adalah murni yang menyala wangi. Bahkan katamu, kalut cuma bias rasa yang terdefinisi begitu saja. Ya, sengaja dalam ketidaksengajaan yang tinggi.

Sementara itik kurus masih mencari makanannya di serasah rumput hutan cemara.

Secara tak sengaja pula ia telah sengaja mengajariku tentang larutan buih di jalan takdir yang rinci. Di relungan kaktus-kaktus gurun matari. Terik! Gersang menyengat. Sebab aku tak suka. Sengaja secara tak sengaja meninggalkan setting jernih yang putih di bias intensitas ultraviolet jalan-jalan raya.

Sejauh itu aku melangkah.

Tak sengaja, sengaja memilih jiwa. Jiwa yang bertaut dalam kait salut yang menyulut bakaran asap-asap rerumput. Aku katamu, satu, satu per satu jadi jalinan taman bunga warna warni. Aku katamu, mawar hijau itu. Ya, sebelum jadi putih atau kuning yang semestinya. Di jalan, jalan jalanan yang berjalan di bukaan jalan-jalan layang. Aku terpana. Sesengaja itu tak sengaja melangkah.

Luarbiasa!

Friday, July 29, 2011

The Precipice

Baiknya aku selalu tahu bahwa jurang ini telah menemui batas sisiannya. Direngkuh nada-nada khayal tentang terbang ke dasar. Hingga jatuh berbisik dalam debam kering tanah serasah. Aku mati. Tak bisa bangun lagi.

Mungkin terbang tak perlu lagi dengan sayap. Atau aku tak perlu lagi mati untuk kedua kali. Ya, selaksa kata muncul berkelebat, semilir menyusup dalam renungan jatuh yang hebat. Kegilaan alur salamku yang hangat, diantar unggun malam dan cicit jangkik kota-kota abad. Aku tercekat. Mati karena energi hujan kilat.

Merangas. Lebih ganas. Panas!

Somebody paid me for real. While the wheel wont take out the whole hole. Never give up!

Monday, July 18, 2011

HUMOR CANTIK!

Jika saja kalian mau percaya padaku bahwa semilir dingin angin pagi kota Malang sudah tak lagi menyejukkan bagiku. Dan jika saja aku percaya bahwa kalian akan percaya jika kukatakan, "deretan toko yang di depannya terpampang papan 'closed' itu telah meraksasa menudingku berbuat dosa yang amat besar pagi ini". Maka akan kunyatakan bahwa dua kalimat di atas itu bukanlah rangkaian kata konotan dalam aliran impulsku yang tengah bergolak parah. Angin kota Malang bulan Agustus ini memang tengah membumbung menggodok kedua pipiku hingga matang dan pintu-pintu kaca sepanjang jalan Gajayana itu pula memang tengah menatapku seram seraya bersorai ramai, "jam enam lewat tiga menit! Kamu TELAT!"
.......
Aku tergesa menjajaki jalan lebar di sisian gedung Fakultas Ekonomi. Sekarang pukul enam lewat sebelas menit dan jadwal apel pagi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya adalah pukul enam TEPAT. Aku memang parah karena baru terbangun pada pukul lima pagi tadi. Aku memang - PARAH.
Segalanya disini memang berkadar lebih dan kali ini aku harus menanggung kepedihan sebagai imbasnya. Gedung orange pudar Fakultas Ekonomi telah berhasil kulewati dalam waktu dua menit dengan bantuan kedua kaki yang di setting berlari speed maksimum. Ya, ini memang berlebihan. Sungguh benar nyata kesungguhbenaran kenyataan lebihnya.
Seorang senior memandangku kejam sejak dari kejauhan. Kedua lengannya masuk ke dalam kantong jas almamater hijau lumutnya yang abstrak menuju degradasi biru. Sementara di bagian atas lengan kanannya melingkar ben merah yang berlagak mengejek menakutkan. Sampai pada akhirnya kami hanya berjarak 50 senti saja,
"Kamu telat?!" ujarnya sedikit diskriminatif - berhubung itu pertanyaan yang sudah jelas apa jawaban logisnya
Aku menggerutu sebal, kenapa tadi malam harus main game sampai lewat jam dua pagi! aiiih!
"Ikut saya." katanya lagi
Ia lalu berjalan sok keren menggiringku yang melangkah repot akibat baru menyadari sweater hitam - tanda perjuangan di jalan raya menerobos sekian kilometer udara dingin batu - malang di atas motor - yang masih kukenakan dan harus segera kulepaskan sebelum pandangan sinis sang senior menempeleng harga diriku. Maka aku masih mengejar langkah sok-nya itu dengan terseok sedikit - nggak banyak-banyak lah, ngapain juga hhrrsshh.
............
Sebagai mantan senior aku memang mafhum bahwa yang seperti ini akan terjadi sebagai suatu simultansi masa lalu. Sekaligus sebagai sebuah ekses kesejarahan yang kemudian menisbatkan dirinya pada retorika soal bab nalar penduduk lama ke penduduk baru. Ekses yang kemudian tetap saja tak menyenangkan bagiku. Seberapa hebat pun alur registrasi, ujian serta daftar ulangnya. Gila, aku mulai kembali tak bisa membedakan daftar dan ulang, atau semester pendek dan huruf A di sistem IPK. Maka pada titik ini, dapat kupastikan bahwa PK2 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tahun 2010 telah berhasil membuatku GILA.

Sesekali

Sesekali kumasuki lukisan dalam hangus biasan kisahmu yang kemarin sore. Aku tak tahu bahwa begitu masif kata-kata dalam perspektif cerdasmu itu. Katanya kau begitu manis. Katanya kau begitu menyenangkan. Katanya, kata-katamu dapat kuputar ulang sesekali dalam mimpi.
Kawan aku kalut dalam bingkai bunyi perkutut. Bercicit sendiri di luaran hati yang mati. Seakan nyatanya diri terbang tanpa alir udara. Terlebih ruasan tulang jantungku mendadak kaku kerdil. Jadi busa bagi bisa kebisaannya. Mengerikan, aku cuma jadi nyanyian di keping soremu yang mengawan jauh.
Kawan kau yakinkan aku tentang sihir hermeneutika yang kembali menyegarkan nafas udaraku. Sesore yang sesekali. Sesore yang terlambatnya hingga pukul duabelas malam nanti. Fajar subuh yang mengembun basah di pelupuk irisan hati.
Kawan kawan-kawanku. Kau hanya kawan-kawanku. Kawan yang bahkan kawanannya tak ada padaku. Sesekali di kawan-kawan yang berpulang sesore yang hilang.

.........
Awan sore masih bercanda denganku. Beriringan membelakangi tawa para bidadari surga fana, seakan tak tertarik pada bicaraku tentang nuansa dunia. Ah, aku mulai berpuisi lagi, menerbangkan kata-kataku di seluasan rumput halaman belakang rumahku yang baru saja dipangkas. Masih membaringkan diriku sepenuhnya, membiarkan kedua tangan dan kakiku bersejajar mengikuti alur uratnya. Keadaan seperti ini, mengingatkanku akan episode squidward yang tertimpa rumah nanas spongebob, haha.
Beginilah cita ketika kau bersemai dalam gubukan tanah keringnya, sekedar basa-basi mulutmu bicara, menunggui seseorang yang mungkin lupa sekarang kau kelas berapa. Seseorang yang kau cinta. Ya, bukan kau, tapi aku. Ibuku. Yang polesan lipstiknya ungu muda, make upnya tipis-tipis menyala. Aku tak bisa mendeskripsikan bentukannya lagi, sama seperti aku tak mengerti sekian lembar kertas bukti transaksi kosmetik bulanannya. Ya, aku. Bukan kau. Ibuku. Bukan ibumu!
Terkadang kau, ya, maksudku, aku harus tahu bahwa arogansi awan sore tak pernah sejahat terbitnya bulan setelahnya. Aku pernah tahu sedikit, senja kata para penyair yang di atas langit itu berarti perpisahan. Perpisahan tak pernah terlalu menyakitkan, tapi aroma setelah itu yang menyakitkan. Kukira seharusnya konversi senja pada perpisahan itu harus ditilik ulang kembali, atau meneleponku untuk ikut berdiskusi. Ha.. ha.. ha.. Disaat seperti ini, maklumilah, setan memang sering kali merayu dengan angan-angan yang begitu fantantis, Gila, sinis!