Tuesday, June 28, 2011

Fairly Fairness

Ruang putih dalam bundaran meja kayu itu kini mengilatkan cahayanya yang kembali menakutkan bagiku. Jejaringnya, selintasan menjajari peluh semu di keringat dingin hatiku. Gemetaran, maju perlahan.

Ini musyawarah perpisahanku dengan mereka. Perpisahan kami, yang saling cinta di jalanNya.
Sebuah salam yang menyakitkan. Lalu wajah merah padam yang mengiris tanda tak rela juga. Dan akupun sejenak jadi diriku yang punya hati. Sejenak jadi diriku yang punya titik airmata untuk melukiskan balasan ketidakikhlasan mereka.

Aku suka. Tak suka juga. Sesekali aku jadi suka. Dicintai.
Aku benci juga. Entah dengan cinta atau tidak. Sesekali aku teramat benci. Jadi tangan ilusionis yang menyakiti.
Bahkan Ibnu Umar memendam sesalnya atas ketidakikutsertaanya dalam pasukan 'Ali karamallahu wajhah di Shiffin. Ah, aku tak sehebat ia radhiallahu anhu. Jauh nelangsa, jauh masa, jauh tingkatannya.

Mengapakah kita tak boleh sesekali disebut pengecut atau lari takut? Toh Khalid al Walid menyapu kemenangannya dengan strategi Yamamah yang unik. Haah.. aku tak setara dengannya radhiallahu anhu. Jauh pelita, jauh masa, jauh tingkatannya. Cuma kata-kata saja. Cuma anggapan saja. Persepsi belaka, hilang di pusara cita-cita.

Tapi aku memang bukan pengecut yang lari takut. Bukan itu. ya, tentu saja. Telah berhasil ku pastikan hatiku. Lalu ia mengangguk, membenahi sederetan pembelaan atasnya yang menyakitkan bagi lainnya.

No comments:

Post a Comment