Wednesday, August 24, 2011

Derival

Entah, rasa-rasanya aku memulai irama baru tentang kecewaku. Yang hitam putih di kedip jalang mata-mata intan lautan. Yang hitam putih hanyut di paras lebah dan serangga. Dibawa terbang, terpaksa menyetujui dengan bau-bau tengik dilematika. Aku kecewa.

Memang kapan aku pernah bilang bahwa marah sama artinya dengan duka. Memang kapan tulisanku diikatkan dalam tali pintu-pintu rahiim antara aku dan kau. Bahwasanya duka cuma krisis kegilaanku atas pesona dunia. Bahwasanya ikatan tulisanku, dikaretkan dalam bulir getah lembayung pagi-pagi ini. Tak ada. Tak ada lembayung di pagi-pagi ini.

Lalu satu derival inginku, susah payah mengobati sayapnya sendiri. Kecewa ia dengan tangga-tangga integral kepunyaanmu. Satu derival inginku, beranak-pinak jadi krisan kecewa yang ranum pudar. Satu derival dari inginku, menggelesorkan sekujuran nadanya, basa-basi meminta peluh dari sedikit sinaran mentari pagi-pagi ini.

Yang tak ada lembayung.
Yang tak ada hitam putih di lembayung pagi-pagi hari.

Hingga sejatinya ingin hanyalah koneksi cepat antara aku dan ikatan karetku. Kembali ia, seketika karena cinta pada tuhanNya. Ah, bukan, bukan ia. Bukan ia secinta itu, tapi terlanjur besar rahiim tuhanNya memeluk. Terlanjur banyak dicintainya, terlanjur banyak diasingkannya.

Yang tak ada putih hitam lagi.

Di fajar sore hari yang menyela bila lembayungnya telah ada. Jadi nyala-nyala gulita yang tiada fana dan kecewanya lagi. Di sudut derival dalam nada-nada tangga integral ingin dan kuasaku. Aku telah masuk dalam pintu-pintu, pintu kemudi seketika itu.

-------------------------

Sekilas, aku ingat. Sesuatu yang sudah pernah kutuliskan disini. Sebuah episode paling kusukai yang disana ada Fathir Al Quraabid. Di atas ilalang terbang, penghujung jurang di subuh hari. Waktu tangannya menunjuk pelita matari yang perlahan naik, "Fajar!". Disebutnya masdar namaku dengan penuh kecintaan, ya, aku melayang ke angkasa. Sebegitukah fajar yang sesungguhnya?

Dan sekarang tinggal busa bagi bisa kebisaanku untuk terus menganggapnya seorang abid yang dulu.

Katanya, ini kecendrungan. Ini rahiim yang kemudian tak terurai atas definisi progresitas orientasi dan mimpi-mimpi yang muncul terbenam, naik-turun. Ini kecendrungan, ikatan yang bahkan tak mampu dikejar nuansa setia.

Katanya, al Kindi mengatakan bahwa saudaramu itulah dirimu, hanya beda jasad yang memisahkan jiwa-jiwa. Dinasehatinya aku, tapi kali itu tak seperti biasanya. Rasanya menusuk, tanpa senyum canda dan tawa-tawa konyol soal disorientasi kata dan pemaknaan. Aku terpana.

Ini kecendrungan, katanya. Ketika kemudian tak ada simpangan lain selain aku. Ini manis, kataku.
Lalu baginya sekarang zero juga. Bukan, bukan itu kan?

No comments:

Post a Comment