Thursday, February 10, 2011

Senja

Riuh rendah suara bahagia akan segera mengisi ruang terbaik di lantai enam gedung Fakultas Hitam Merah Putih. Pukul setengah lima lewat delapanbelas menit. Pejabat dekanat ada di pertengahan pidatonya ketika Elzora membuka bingkaian pintu. Mengantar beberapa pasang mata yang kontan bersitatap sekilas dengannya; ia yang kemudian membayarnya acuh, memutar pandang untuk kursi yang kosong.

Perpisahan kepengurusan BEM tahun ini. Seperti inilah. Seperti perayaan lainnya yang pernah dirasainya. Seperti ini; tawa, sumringah, lelucon, bahagia, dan pastinya, bising berisik penuh suara! Dan Elzora tahu, ia tak cocok berada lama-lama dalam setting ini. Telinganya bisa pekak, migrainnya bisa kambuh malam nanti dan yang terpenting, batinnya akan berdoa dalam depresi.

Bukan kesengajaannya juga bila ia telat tujuhpuluh delapan menit dari jadwal yang diketahuinya sejak beberapa hari lalu. Bukan inginnya juga bahwa hari ini ia harus melanglang buana kota Malang hanya untuk sekedar menemui seorang salafi dan mendapat ceramah panjang yang mengiris miris. Bukan hiburan juga, bahwa hari ini, ia harus berlagak sumringah seperti suguhan lingkungannya - sebab seperti biasanya, sayangnya ia selalu gagal memanipulasi ruang rasa. Seorang dia, cuma anak manja yang benci apa yang dibecinya, suka apa yang disukainya; dua rumus dasar EQ yang menginternalisasi mengakar dalam bumbuan persepsi pragmatisnya. Di lain itu, otak kirinya menggejolak memanipulasi data agar emosinya menunduk, mencerna dan ter-atasi.

d^-^b

Pergantian "orang-orang podium" kini usai sudah, perayaan pun beralih pada session "ramah-tamah". Gemerincing ramai jadi nyata riuh rendah, dengan nada yang berbeda - bahkan lebih kacau lagi. Sementara Elzora masih menekuri layar telepon selulernya yang berkali-kali menampilkan simbol memanggil; berkali-kali juga ditekannya tombol merah yang telah disetting busy.

Gila, tak pernah terpikir olehnya bahwa guru tafsirnya benar-benar menganggap krusial wacana afiliasinya di luar jamaah yang telah membesarkannya sejak beberapa tahun lalu itu. Dan memang benar-benar gila, ini samasekali bukan hiburan baginya. Dia dalam sendirinya; memutar ribuan content otaknya tentang bagaimana cara menghadapi sidang saat kepulangannya yang tinggal beberapa hari lagi.
"Tadi kamu kemana?" sebuah suara yang dikenalinya perlahan mengetuk gendang telinganya.
Dan ia hanya menggeleng menyambutnya, dengan gaya asosialnya yang biasa.
"Liqo?" tanyanya lagi.
Dan ia menggeleng lagi, sementara jemari kanan di pangkuannya masih sibuk dengan tombol merah. Maka suara itupun melanjutkan tanyanya; menyebutkan semua kemungkinan untuk disambut anggukan pembenaran.
Elzora menengok ke arahnya sekilas. Ah, kakak tingkatnya yang satu ini, kini hanya berjarak kurang dari satu meter darinya.
"Amniyah," balas Elzora pelan
Lalu tawa kecil mengawan di udara. Ah, sempurna, great, seattle! Mengembalikan review memori otaknya. Tone yang menekan sekaligus lembut, diksi yang menusuk sekaligus senyum tulus. Lengkap sudah.

d^-^b

Sendu Jakarta menari di angkasa, meloncat riang di gundukan awan terbang hitam. Gerimis membumikan angkuhnya ke tanah, entah karena beratnya atau karena keluh kesahnya. Tapi pun artinya sama, Allah telah mengabulkan doanya. Bahwa air jadi berat karena beban massa. Bahwa di tanah segalanya mungkin jadi lebih indah; bersenyawa, mengikat diri dalam koloni merah bata.
Elzora duduk di tepian koridor sekolahnya. Kedua batang kakinya bersejajar, membiarkan rok biru-nya basah diguyur air yang turun dari atap coklat di atasnya. Di hadapannya, bentangan lapangan basket, pagar putih, gapura sekolah, jalan raya. Dibentuknya imaji paling nyata semampunya, sebuah mobil silver masuk melewati jalan raya, gapura, dan gerbang sekolah... kemudian lapangan basket, lalu berhenti tepat di hadapannya, kacanya terbuka dan seorang wanita muda tersenyum padanya. Haaah... indahnya. Walaupun ia tahu, itu tak mungkin terjadi, sebab sebuah sedan tua telah terparkir di pinggir lapangan basket dan seorang bapak paruh baya tertidur di dalamnya demi menungguinya.

"Kamu nggak pulang, El?" tanya sebuah suara membuyarkan bangunan imaji Elzora
Si pemilik suara mendudukkan dirinya di sisi Elzora, "Anda bisa lihat sendiri kan saya ada dimana." balas Elzora dingin, tanpa nada tanya dan koma. Keseluruhan rok birunya telah kuyup dan jemarinya telah ikut biru bisu merengek menggigil. Bibirnya pucat, sebenarnya hatinya-pun telah kaku atas kata-kata.
"Hmmmm?" gumam anak laki-laki di sampingnya itu, seraya memaksakan senyumnya tersampaikan ke layar mata Elzora. Kepalanya di miringkan di hadapan wajah Si Bocah Es Batu.
"Wha-te-ver." ujarnya bersikukuh
"Kamu tuh berjilbab, tapi aku nggak pernah liat kamu ke mushola. Bahkan kamu nggak punya seragam Jum'at karena berasal dari SD Katholik. Mmmm... mau cerita?"
Elzora tersenyum sinis. Lalu kedua pasang mata itu-pun saling beradu sekejap.

"What did you wanted to?"
"Friendship."

Gadis sepuluh tahun itu membangun dirinya. Sebuah senyum sumringah kini tiba-tiba merekah di wajahnya. Di ulurkan tangan kanannya ke hadapan anak laki-laki yang sejak tadi - dan kemarin lalu - diperlakukannya tanpa hati.
Tapi ulurannya itu disambut dengan berdirinya Si user glasses, menghadapnya, tersenyum tak kalah indahnya. Lalu katanya, "Kamu terlalu cantik untuk disentuh."
Elzora menarik tangannya, "Aku nggak ngerti. Tapi oke, aku nggak akan sentuhan sama siapapun lagi setelah ini!" balasnya ceria
"Haha. Kalau sama-sama cewek nggak apa-apa, El."
"Kenapa?"
"Ya, supaya nular cantiknya ke mereka."
"Hahahahaa ada-ada aja,"
"Suatu saat nanti kamu juga akan paham, kenapa harus dibedakan."
"Oh, ya? Hihi. Aku tahu kok kalo kamu bohong."
"hah?"
"Logikanya, kalo kamu bilang aku boleh sentuhan sama cewek supaya mereka tertular cantik." Elzora menatap ramah lawan bicaranya, senyumnya mengembang dan pipinya jadi hangat merona, "maka diibaratkan sistem, aku ini aktif dong. Artinya, mereka yang tertular cantik tanpa action menerima atau menolak seketika setelah kami bersentuhan. Dan yang seperti itu bisa terjadi juga sama cowok. Nah, nggak mungkin, kan, suatu abstraksi dipadankan pada yang nggak berhak? Nanti kamu jadi cantik juga gitu, ya? Hahhahaaa" tawa pertamanya mengudara. Tinggal landas dari langit mendungnya.
Abid; anak laki-laki duabelas tahun itu mengangkat satu alis matanya heran. Lalu tersenyum, membuntuti irama bahagia yang dimainkan sahabat barunya.

Welcome, Life! All Praises for Allah!

No comments:

Post a Comment