Friday, February 11, 2011

Malam

Guyuran hujan kota Malang basah di penghujung horizon cakrawala. Mengungkung kepulan doa yang ter-ijabah saat selimut malam mengantar turun raudahNya. Gemintang tak berpendar dan selokan yang tersumbat sampah mulai membuat muak para pengendara jalan raya.
Zana Elzora menatapi dimensi malamnya di balik kaca toko buku yang di kunjunginya. Demi menuntaskan kegusarannya atas caci maki yang diterimanya siang tadi. Di luaran khayalnya, sosok Abid 12 tahun itu belum juga pergi. Seakan meminta untuk diceritakan kembali, tak sudi bila memori tentangnya cukup usai disini.
Kali itu ruang lengang bandara Soekarno-Hatta seakan bergemuruh kencang dalam sisian isi pribadinya. Ini tentang sebuah dimensi yang telah dan akan dikenangnya sebagai kepahitan. Ketika dilihatnya lambaian tangan seorang sahabatnya semakin jauh dan menjauh. Jauh dan menjauh, di balik kaca. Ya, di balik kaca.
Sebuah benda paling sadis di dunia. Yang jadi penghalang langkahnya. Yang patahannya menggores luka dan yang menampilkan gambar miris tak tersentuh jemarinya. Kaca. Deru pesawat. Dan Abid. Malam itu.

d^-^b

Hijab hitam masjid itu terembus angin; lembut. Mengalunkan ombak di luaran mukanya. Melambai bersimfoni, merakit cinta Rabb atas dunia dan manusiaNya. Mengkonveksikan alir udara dari ketinggian intensitas lembabnya. Bergerak seiring tasbih malam mereka atas turunnya sunnah dimensi fana. Seakan menjalin kerangka, menyambut bising manusia yang doanya dibawa pergi sayap malaikat penuh cahaya.
Di balik hijab hitam itu, aku tahu Abid menundukkan wajahnya, menggigit bibir bawahnya hingga tanpa rasa, lalu Bram menekuk kedua kakinya, memeluknya erat dan menitikkan airmata. Sementara di hadapanku, Fahira menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang putih, sesekali suara batuk menghias nada tangisnya. Sementara aku, masih memegang empat mushaf kami, berusaha tak mengalirkan sedihku disini.
Aku tak pernah sadar sebelumnya, bahwa itu adalah kali pertama ku temui perikatan yang begitu indah. Dimulai dari hujan sore dan Abid yang mencoba memahamkanku perkara syar'i mahram. Dimulai dari kait-kait sayangnya dalam iman. Dimulai dari dia, yang kini menjadikan kami tak hanya berdua tapi empat. Yang membawa Bram dan Fahira menjadi bagian dari persahabatan ini sekarang. Dan mereka bertiga kalut dalam emosi manusiawinya sedang seperti biasa, aku memang penikmat drama kehidupan yang ulung.
Besok Abid akan pergi ke Madinah. Mengikut buntut kakeknya yang dosen disana. Aku tak mengerti mengapa ia yang saat itu empatbelas tahun itu harus dibebani kepergian yang begitu dalamnya. Mengapa ia yang begitu mutiaranya harus diambil dari dekat dimensiku. Dan Abid, aku benar rindu pada nada suaranya di sore hujan saat itu. Ya, Abid telah pergi. Dan rupanya ia tak kembali lagi.

d^-^b

No comments:

Post a Comment