Showing posts with label luaran. Show all posts
Showing posts with label luaran. Show all posts

Thursday, May 30, 2013

Nashrullah

Kuliah saya agak berantakan.. Sangat berantakan mungkin... Haha. Hanya allah saja yang dapat menolong dan memperbaikinya. Subhanallah.

Friday, March 29, 2013

Bandung..

Tujuh gelombang demokrastisasi dunia pada perempat akhir abad 20

Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :

1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s; 
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s; 
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s; 
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s; 
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991; 
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and 
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.

-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an

Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..

Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.


Bandung

keberadaan elite dalam setiap struktur kemasyarakatan adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri.. dalam setiap level kuasa, pengaturan, dan pembacaan peta posisi.. ketika disepakati konsep negara modern, konstitusional - demokratis.. setidaknya garis batas penyelenggaraan negara terdiri atas tiga hal : pembatasan dan pembagian kamar kekuasaan, jaminan ham, dan supremasi konstitusi.. *apaansih*

ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..

derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)

Saturday, March 9, 2013

No Cure


Bahwa bersedih itu jauh lebih indah. Lebih khusyuk, lebih bersyukur. Bahwa ia Cuma sesaat saja. Kembali menyadari bahwa tak memiliki siapapun, apapun, karena tak mengenali mereka, Karena tak memiliki hak untuk marah pada siapapun, apapun. Untuk memulai kembali. Yang mati suri.

Membuat segala sesuatunya menjadi lebih bermakna. Mengumpulkan energy, membagi-bagi. Bercerita bahwa, hatiku jadi selembab kapas terbang, dihempas udara bermuatan liquid mikrotik, merasuki, hampir saja basah, tapi tidak. Lakukan saja, jangan terlalu dipikirkan, nasehatnya. No action talk only, kan. Haha iya, mungkin banyak benarnya.

Menuliskan, mencari-cari. Bertambah licik lalu menari-nari. Gila kesana kemari.

Memulai segalanya dengan lebih indah, mendekatkan diri kembali padaNya. Tak suka bergumul dengan manusia, cukup pusing mendengar celotehan mereka. Mungkin ada benarnya, aku tak patut dalam banyak hal, tak menyenangkan seperti mereka.

Berbusa-busa bicara soal pemikiran, ternyata tak mampu dicerna dalam akaran. Sampahan.

Wednesday, March 6, 2013

Full Leaving

Well, there's so many things we have to tell the world about.
While the human being turn to some 'egalite' mainstream or whatever, people keeping their ear to hear anything and open their eyes to found everything.
For me, the most to tell is, Islam.
So just see.

Everybody lived the world just like man-kind do. So that the history tell us the cause and many phrase of 'in the first of century' or whatever. I don't like such history that much. So, just listening the air swing, talk to the tree while we need to fly with dragon. :)

We just live on this accuracy setting on behalf of 'first' and 'end'. Then I thought, what a wasted us to think
around or think so deep about how much we make the world so complicated tends of tomorrow.

Whenever, Islam give me the best part of life. Then I'll try to live with it.
How could people lying about the history? How could people keep their minds close to the end of endless?
So that people tryin to make everything comfortable. Well, Islam was the natural reason about  how and why I trust my life, learn to live, full leaving. Alhamdulillah. :)

Saturday, March 2, 2013

Kolam Raksasa??

Biarkan gedung-gedung tinggi yang menjulang
Dan kerlap kerlip malam dirimu yang menjawab
(Resti Pratiwi)

Aku terpana oleh kata-kata, terkadang tersanjung, menjadi sedih, atau muncul kerinduan.
Sebab kata-kata adalah bagian dirimu yang paling bisa ku ingat. Sebab celotehanmu mampu bercokol lebih dalam dari warna suaramu. Retaknya renyah tawamu. Kata-katamu menjadi lebih syahdu dalam suatu waktu, membuatku rindu.

Hilang bicara, hilang kata-kata.
Tapi, Kata-kata adalah semu sementara pemaknaanlah yang sesungguhnya, kata Rumi.
Dan, Cinta saling bicara dengan bahasa Rahasia, tambahnya. 

Maka sesekali kupikir.
Aku adalah orang yang sekonyol itu. Sekonyol semacam keruh hati.
Semacam busuk perasaan. Semacamnya.

Manipulatif.

Maka sesekali kupikir.
Bukan kau yang tak mampu mengerti. Tapi bias frekuensi hati. Hingga tak sampai. Hingga menggantung semampai. Tinggi, menyakiti.

Di depanku ada sebuah kolam raksasa, katamu. Dalam mimpi.
Sebenarnya telah lama ada.
Tapi terlalu biru untuk ku sebrangi.
Terlalu luas untuk ku arungi.
Membawa perahu untuk menyebranginya, iya, untuk bersamamu? Itu hanya kolam saja, terlalu berlebihan
Aku mencari cara. Mencari waktu dan logikanya.
Agar kolam raksasa itu jadi sederhana.
Sesederhana bahasa rahasia cinta.

Tersanjung di mimpi sendiri. Otak gilaku bekerja di kedalaman neuron, menemukan kata-katanya sendiri. Membuat narasi bodohnya sendiri. Dia bukan aku. Siapa? Aku menyebrangi kolam besar untuk apa? Atau siapa menyebranginya untukku? Pelis.

Sekonyol semacam kekonyolan semacam itu. Ya, kata-kata. Sekedar luaran dari sederetan buku-buku yang menjadi friksi-friksi pengetahuan. Meracau, mengganggu hidupku.

Thursday, February 28, 2013

Kerja Paruh Waktu

Ada sebuah dalil, bahwa jiwa lebih prestisius dari ketundukan sebenarnya. SEbab jiwa itu khusyuk dan ketundukan itu kadang cuma manipulasi semata. Kadang cinta itu hany asekedar perasaan dan perbuatannyalah yang dihitung pertanggungjwaban. Gatal. MIris pikiran. Hati-hati terhadap hati, kata Ahmad Dhani.
Bagaimana bisa satu hati berdiam dua kekhusyukan, bagaimana bisa satu jiwa bekerja sendri untuk frekuen getarannya. Kerja-kerja paruh waktu kekhusyukan. Kerja-kerja paruh waktu kesombongan. Kerja-kerja paruh waktu akal dan pikiran. Membangkang, satu dan lainnya.
Bagaimana bisa pengkhianatan cuma hanya sekedar hati saja. Bagaimana bisa keangkuhan dipoles sedemikian rupa. Ah, gila, gila, gila. Aku gila karena terlalu banyak berharap dan merancang kegilaan manusia. Sadar.

Monday, February 25, 2013

Maaf

Maaf untuk setiap hati yang tersakiti. Maaf untuk setiap hati yang terlukai, ikatan yang teruraikan, naif yang bertebaran. Maaf untuk setiap kesedihan, beratnya sesak yang menggumpal jadi pemikiran.
Manuver. Rencana. Kebusukan.
Bukankah manusia, pada titik itu hanya lelucon?
Yang jadi benalu harapan, di ukiran, di persimpangann, di pilihan.
Kosong ketulusan, mati hati. Kemarahan itu. Ibarat aku. Muara kerendahan akhlaq semacam itu.

Wednesday, January 30, 2013

Saudara

Baru nyadar banyak film yang gue tonton akhir-akhir ini, refleksinya brotherhood semua..

Asik ya kalo kita punya kembaran, bisa pake kaos yang kembar, terus ngobrol panjang lebar soal apapun. Karena bersaudara, nggak ada yang perlu jadi rahasia.

Asik juga kalo kita punya kakak, bisa minta ajarin ini itu, minta bimbingan, punya ekstase berat soal "kerenistis". Karena dia kakak, jadi apapun yang dilakukan pasti keren-keren aja, kita kan belum melalui masa umur psikis dan fisik, dimensi idiil atau reflect mereka. Setiap orang, butuh orang kharismatik kan - mungkin.

Hmm... asik juga kalo kita punya adik, bisa dijailin, buat usil-usilan, diajak main, mecahin teka-teki busuk seharian atau gue transform jadi mutan gue, ngomong 4 bahasa sambil melakukan hal seru.
Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya nggak ada rahasia. Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya baik-baik aja. Karena beneran asli, kan. :)






Sunday, January 20, 2013

Wangi Hujan

Terkadang hujan punya wangi. Bukan wangi angin atau wangi tanah. Sesekali ia punya citranya sendiri. Wangi hujan.

Ini sejak semburat jingga di penghujung biru langit pagi terpaksa membuatku kembali melantunkan nada-nada melankolis, sebuah soundtrack yang tiba-tiba muncul. Memaknai bahwa peristiwa dan deret-deret pemaknaannya terlalu tinggi untuk disentuh sebuah kehinaan semacam diriku. Memaknai bahwa terkadang hatiku seperti kaca yang tak dapat memantulkan cahaya, sekedar mampu untuk pecah. Terkadang hatiku semacam hujan yang tak dapat menyuburkan, sekedar basah. Ya, terkadang hatiku seperti jingga di pengujung biru langit pagi, salah tempo, lukisan pinggiran.
Kaca yang hanya mampu pecah atau hujan yang sekedar basah. Bukan kaca jika tidak memantulkan cahaya, bukan hujan jika tidak menyuburkan tanah. Bukan salah jingga jika ia jadi lukisan pinggiran, bukan tentang salah tempo. Sekedar salah redefinisi, salah memaknai, katanya, itu wajar karena perspektif manusiawi kita begitu terbatas. Ah, ia begitu bijaksana.
Namanya air dan transliterasinya turun ke bumi. Mengantarkan atau diantarkan, hujan tak pernah tahu redefinsi dirinya, bukan? Sebab ia telah melalui sebuah konveksi panjang kesejarahan hidupnya. Menjadi dirinya, lalu menjadi bukan dirinya. Dari air menuju air yang jatuh dari langit.
Berperan, mengantarkan atau diantarkan. Bukan lagi sebuah dilematisasi perasaan tapi konveksi alam, keberlangsungannya, perwujudannya.
Entah, jadi dirinya atau tidak. Hujan tetap selalu punya wangi, wangi hujan. Wangi kegelisahan.
Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya.
Seperti dakwah siyasi, diseret-seret tribulasi faktual. Sementara mereka bilang ini dan itu sudah beres. Seperti nalar siyasi kontemporer, jokingnya. Sementara mereka bilang, "nanti kami syuro-kan dulu."
Sialan.

Sunday, December 9, 2012

Mereka diam

Waktu itu aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi. Kadang sekedar tersenyum kadang tertawa. Entahlah bagiku kau begitu menyenangkan. Representasi sebuah keluhuran akhlak.
Aku cuma sekedar iri, melihat bahwa setiap orang punya kelebihan.

Intinya kamu begitu menyenangkan. Tanpa dusta, bicara seadanya saja, tapi baik untuk di dengar, menutrisi.
Intinya kamu begitu nyaman. Tanpa menyembunyikan, melucu sesuai fitrah saja, sederhana.

Ada juga beberapa orang di sekeliling kita. Mereka duduk di kursi yang dekat. Ikut alur kisah, ikut juga serius mendengarkan kemanjaanku. Ah, tapi kenapa mereka diam? Ah, tapi kenapa mereka diam saja?!

Waktu-waktu berderit, bahwa selain kau, ada aku, ada mereka juga ! Ah, tapi kenapa mereka diam?

Monday, December 3, 2012

Sahabat

Sahabat, entah wajar atau tidak
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu

Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan

Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu

Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan

Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu

Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam

Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan

Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah

Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja

Thursday, November 29, 2012

Bukan Pidato

Aku tahu bahwa untuk saling mencintai kita harus saling mengagumi. Entahlah, bahwa setiap kali orang terpesona denganmu itu sama artinya iya atau tidak. Tapi aku, iya. Bagiku ini juga yang menjadi sebab kau tak banyak mencintai. Bahwa bagimu, sama saja. Aku atau yang lainnya.

Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.

Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.

Ngomong apaan.

Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.

Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?

Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.

Siapa yang dikasihanin?

Ya, anti lah! Masa mereka? haha..

Renyah


Friday, November 23, 2012

Ilalang

Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Sayap ilalang. Sayap terbang tanpa kekuatan.
Sayap ilalang. Ilalang terbang tanpa arahan.
Sayap ilalang. Terbang. Angkasa pudar meracau sendirian.

Ini tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Gila durjana. Mati durhaka sampai ke akar-akarnya.
Aku tak terpesona tapi jatuh tanpa makna. Ke tanah.

Tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.

Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Putih ilalang. Putih merona tanpa warna.
Putih ilalang. Ilalang merona tanpa kecendrungan apa-apa.
Putih ilalang. Noda. Kecil menghilang meracau sendirian.

Ini tentang putih ilalangku.
Dijadikannya putih ilalang sungguhan.
Mesra. Lembutan asa menarik segalanya tanpa permisi.
Aku tersihir setiap kali hampir menyihir kembali

Pergi, pergi ke lain ruang dan waktu.

Friday, November 9, 2012

Tanpa dengannya

Kepemimpinan itu apa? Di atas dan di bawah sama saja kah? Tentu tidak, bukan?
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.

Sesungguhnya segala sesuatu itu pastilah bergerak dengan satu harmoni tertentu. Selayaknya pandangan nakhkoda ke arah barat, harmoni laut terbaca walaupun tak terlihat dasarnya. Maka memimpin adalah tentang memahami, mengenali, menguasai ilmu dan mengambil keputusan.
                Adanya jiwa kepemimpinan pada seseorang selanjutnya akan menjadikannya berkualitas berbeda. Ia yang berjiwa kepemimpinan mampu membuat simpul pikirnya dalam setiap perbuatannya. Seorang pemimpin bukan selalu pasti berdiri sebagai pucuk pimpinan. Ia mungkin saja ada di barisan manajerial, level koordinasi maupun pengarah dan pelaksana taktis. Namun yang pasti seorang pemimpin sejatinya ada dalam kesadaran visi. Ia mampu dipimpin dan memimpin orang lain. Sebab baginya pengejawantahan dirinya dalam suatu komunitas bukanlah tentang berdiri paling tinggi di antara mereka, namun menjadi yang paling bermanfaat di setiap tempat.
                Fungsi kepemimpinan dewasa ini semakin minim teraktualisasi dalam banyak lini yang kita jumpai. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi inkonsistensi kebijakan yang dilakukan banyak stakeholder negeri ini. Ambilah contoh dalam skema pelaksanaan pengiriman TKI. Kantor imigrasi, kantor PJTKI maupun ‘distributor’ TKI di daerah-daerah, bersama-sama kehilangan jati diri demi produk kartal semata. Atau ambilah satu kasus penyelewengan dana umat yang anyir di banyak media massa, bulog gate, korupsi century, skandal BI, manipulasi DPR soal BBM, warna-warna politik transaksional berbasis kedudukan, dst. Hal ini tentu saja, menjadi sederetan kasus yang dalam keyakinan publik, memamerkan aksi bunuh diri sebuah negeri yang tanpa aplikasi idealitas sebuah kepemimpinan.
                Maka berbicara kepemimpinan adalah berbicara tentang sebuah vision. Pemimpin ialah yang dapat melihat konteks kasus dalam particular yang seiring pembelajaran termapankan secara holistik. Maka ia adalah seorang pembelajar sejati. Sebab vision, penglihatan dan kepahamannya atas segala sesuatu itu menjadi hal yang begitu berharga. Ia adalah seorang pembelajar sejati yang haus ilmu dalam banyak hal. Ia berbicara tentang arah gerak dan konsepsi kebijakan. Ia selalu memiliki pandangan mengenai putusan-putusan pribadinya. Tidak mengekor ataupun mengikuti selain berdasarkan keyakinan visi.
                Berbicara kepemimpinan maka juga bicara tentang melakukan banyak hal. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa menanggung pekerjaan-pekerjaan dan pertanggungjawaban yang paling berat. Maka barangsiapa mengambil dirinya sebagai pemimpin, bersiaplah jadi yang paling sedikit tidur dan tertawa. Bersiaplah menjadi yang terdepan dalam menghadapi masalah. Dan bersiaplah menjadi yang terakhir bersenang-senang dengan hasilnya. Menjadi pemimpin adalah sebuah koneksi riil dalam sebuah ruang pertanggungjawaban dalam banyak hal yang telah, tengah dan akan dilakukan.
                Tapi siapapun yang undur diri dari sebuah proyek kepemimpinan, maka ia telah keluar dari fitrahnya, dari peruntukan kehidupannya. Sebab kepemimpinan ini telah utuh terserahkan pada segolongan makhluk yang bernama manusia. Kita dengan akal dan kebijaksanaan adalah suatu entitasme yang terlanjur harus memimpin. Inilah akaran nalarnya. Siapkah kita mundur ke belakang peradaban dan membiarkan dunia dipimpin kera atau sejenis tumbuhan cerdas?     Maka kepemimpinan adalah juga sebuah tugas pembenahan.
                Kita kini sama tahu, bahwa tiada langkah lagi selain mempersiapkan diri untuk mematangkan kepemimpinan diri. Tiada alasan untuk mundur sebab tiada yang dapat menggantikan satupun di antara kita. Kepemimpinan itu, jiwa yang mengisi rongga-rongga dada, jiwa yang tak membiarkan seorang insan terpuruk dalam keterbelakangan dan kemiskinan kepribadian. Ia adalah jiwa yang mengisi rongga dada yang menjadikan nyala kebijakannya sebagai penerangan bagi orang sekitarnya dan bahkan seluruh dunia. Tidak ada yang diharapkannya kecuali keuntungan yang banyak akibat perbuatan baiknya, keuntungan yang ia-pun tak akan mampu membuat draft-nya.
                PEMIMPIN ITU ADALAH KAU!

SALAM SATU JIWA PARA PEMIMPIN BANGSA !!!

Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.

Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.

Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.

Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.

Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.

Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?

Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.


Sunday, October 28, 2012

Mawar Hijau

Seseorang sempat bertanya, apa yang dimaksud dengan mawar hijau bagimu? Pertanyaan ulangan dari berbagai beberapa derivasi redaksi kata yang pernah ku dengar selama dua tahun terakhir ini. Mawar hijau bagiku adalah sebuah representasi kenyataan. Mawar hijau itu delusi yang terlalu jauh untuk diangkat jadi sekedar "ada". Ia sedikit sulit untuk ku jelaskan dengan lukisan atau kata-kata.
Oleh sebabnya aku jarang menjawab dengan serius setiap pertanyaan yang lari ke telingaku. Ini agak sulit. Membangun pemaknaan dan refleksi irasional dari beberapa tuntutan kromatograf falsafah diri.

Beberapa waktu lalu kutemui lagi mawar hijau. Katanya ia petanda perdamaian, ketenangan, aura persahabatan. Entah, mungkin kini prisma cahaya matahari bisa dimaknai apa saja. Kini mereka bilang merah itu tanda asmara, biru tanda kedewasaan, ungu tanda cinta tulus dan seterusnya. Mereka tak tahu, bahwa bandingan dan turunan tak akan semudah simbol tanda tanya bagimu.

Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.  

Tuesday, September 18, 2012

Palsu


Mudah melakukan kesalahan dan mudah minta maaf. Mudah marah dan mudah untuk tidak membutuhkan orang. Semua perspektif tentunya blur dalam titik ini. Kita kembali dalam satu alur purifikasi hati, menerima atau menolaknya mentah-mentah. Menjadikannya hikmah atau sekedar angkasa sejarah.
                Kau begitu menyenangkan, entahlah. Suatu kali aku bertemu sebuah jendela prisma. Luarannya memantulkan hijau daun dan coklat tanah. Jendela dimana kau memanggilku dalam sebuah kata surgawi. Mungkin tak sebegitu begini citra dan nalar menyukainya. Tapi juga tak sebegininya begitu kau tak ingin membuka mata. Aku Cuma sekedar rindu.
                Katamu aku harus banyak mengalah. Sebab banyak orang-orang palsu. Sebab menghadapi mereka adalah neraka bagimu. Bagi kau dan aku.
                Katamu aku harus banyak menyembunyikan simpul lintas dalam reaksi kimia otakku. Sebab banyak orang-orang primitive yang suka mengeksploitir. Sebab seketika mereka bersidang di hadapanmu dan menguraikan sebarisan kata yang intinnya, “kau bersalah”.
                Katamu aku harus. Sebab aku tak sekuat itu untuk palsu bagi orang-orang palsu. Setidaknya.

Tuesday, October 4, 2011

Amnesia Kaum Iron Stock di Barisan Akar Rumput Polis Kampus


Tanpa titik, langit sejarah bangsa telah mengenal mahasiswa sebagai satu komunal strata masyarakat yang tak dapat diindahkan keberadaannya. Mahasiswa telah menyumbang banyak bantingan stir bagi fase-fase kehidupan reformasi Indonesia. Mahasiswa telah terlanjur menjadi salah satu pion yang bermain dalam percaturan politik Republik Kesatuan ini. Ia telah basah untuk selanjutnya mengekstraksi segala hikmah perjalanan drive on-nya di masa lalu. Alhasil, kini mahasiswa juga punya dunia “kebangsaan” dan “perpolitikan” tersendiri. Sebuah polis kampus yang kemudian ber-metamorfosa menjadi semacam simultansi effect dari prosesi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ditandai dengan kemunculan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa yang berwawasan nasional, semarak politics by action telah menjamuri otak-otak para muda intelektual. Setidaknya, ada tiga aliansi yang kemudian memunculkan giginya di langit negara kampus senusantara. Sebutlah BEM SI, BEM Nusantara dan BEM Nasional.
BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) dalam perjalanannya dianggap lebih dulu ada sebagai gerakan oposisi-konstruktif kini dalam isu-nya dihadapkan dengan pembentukan BEM Nusantara yang dianggap pro-government. Sementara pergerakan lainnya dimotori pertemuan BEM Nasional di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Maret 2010.  Hal ini bisa dimaknai sebagai suburnya simpul pemikiran di kalangan mahasiswa Indonesia. Serta begitumasifnya kepedulian generasi bangsa terhadap pencapaian cita-cita Negara. Benarkah?
Selain itu ikatan profesi jurusan juga tak bisa disebut sepi. Para calon dokter memiliki ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang telah mapan dengan kerat embrio IMKI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang dimulai 1969. Sementara para calon ekonom memiliki FOSSEI (Forum Silaturahmi Mahasiswa Ekonomi Indonesia) yang rutin melakukan pembenahan kritisasi ekonomi nasional. Selanjutnya mahasiswa hukum juga akan segera me-launching struktural BEM FH SI di Semarang Juli kemarin.
Maka semarak polis kampus tanah air tak dapat dianggap mainan belaka. Sebab kita sama tahu bahwa seringnya, gerakan akar rumput lebih dahsyat dibanding kebijakan top-down presiden dan menteri-menteri. Terlebih simpul struktural telah siap mengalirkan impuls secara simultan ke sekujur badannya. Di titik sadar yang ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati. Sebab kita baru saja disentil dengan nuansa ’98 ketika Husni Mubarak dituntut turun oleh publik yang digerakkan mahasiswa Mesir.
Di balik segala pamor akan efektifnya pergerakan akar rumput polis kampus, ada banyak hal yang harus dikritisi lebih dalam. Bukan relevan lagi jika langit polis kampus masih berada pada tataran menggertak pemerintah soal polemik mafia pajak di meja sistem quasi presidensil. Bukan juga sekedar tuntutan kosong atas dilematika yang menjajari rakyat miskin kota dan desa. Tapi lebih dari itu, baiknya kita bentangkan satu fakta bahwa mahasiswa yang katanya agent of change dan social control ini kiranya lupa akan satu fungsi paling pasti dan strategis yang harus mereka persiapkan, yakni as an iron stock!
Mahasiswa dalam maraknya dinamika polis kampus tidak bisa tidak, harus mafhum dan insyaf akan fungsionalnya yang paling urgent ini – IRON STOCK. Betapa kemudian ia dikhususkan pada a needed of stocking human yang memang berkualitas secara formil maupun materiil. Kembali, bukan hanya sekedar atas nama social control lalu menghujat pemerintah atau atas nama agent of change membeberkan keterbelakangan bangsa yang katanya pe-er para penguasa.
Baiknya polis kampus ini mengevaluasi lagi kebulatan dan kedewasaan perpolitikannya. Sebab semarak lembaga pergerakan bisa jadi sarang tendensi masa depan. Juga, sumber rasis-non-logic soal entitas politik. Sudah menjadi rahasia publik, kecendrungan entitas politik adalah suatu struktur yang meng-kultur dalam piringan kampanye kekuasaan. Hingga yang ada, aksi tuntut dari mahasiswa dan pengelakan dari pemerintah pun bukan murni suara masing-masing ranah, tapi politisasi segolongan. Rakyat sudah tidak butuh aksi mewah tentang pertentangan idealis yang hanya memenangkan entitas partai atau klausul rasis!
Sementara bangsa tengah membutuhkan attitude politik yang mapan, tentang menghargai spoil system demi tujuan riil praksis nasional. Kita kiranya telah bosan mendengar selentingan kabar begitu alotnya lobi kuasa di ranah bestuur negeri. Lalu masihkah harus kita saksikan peregangan suara di bilik-bilik kampus? Sebutlah tentang “diferensiasi genetic” GMNI, PMII, KAMMI, HMI, IMM serta belum lagi entitas politik endemik di masing-masing daerah yang belum sempat me-nasional.
Hilangnya kesadaran akan fungsional iron stock yang utama dari barisan lembaga akar rumput polis kampus ini-lah yang kiranya menjadikan system perpolitikan bangsa tak menemui titik independennya. Kita, mahasiswa di kampus-kampus masih lebih suka memilih tercelup dalam satu lembaga entitas politik yang dianggap memiliki eksistensi, ketimbang berbakti setelah memenuhi daftarisasi mumpuni. Kita, mahasiswa di kampus-kampus juga masih lebih suka absensi untuk sebuah pawai yang hanya mengangkat sinergi segelintir. Kita, kiranya lupa berbenah diri.
Bahwa entah menjadi social control atau agent of change, satu yang pasti mahasiswa secara umum dan khusus telah menjadi iron stock yang dinantikan. Lalu apakah barisan akar rumput polis kampus ini tega menjawab penantian sekian warga bangsa dengan regenerasi yang tak jauh beda dari sebelumnya? Terlebih, kita sama tahu, bahwa mereka yang kemudian menduduki posisi eksekutif dan parlemen Republik ini adalah mahasiswa juga di masa lalunya. Mahasiswa yang melantangkan suara atas kritisasi kebangsaan di jalan-jalan dan koran. Maka, akankah sama lulusan polis kampus masa mendatang? Kita sama menunggu berita selanjutnya.

Thursday, September 22, 2011

Don't have to paid for everything except a thing!

By : Alfajri

We always in the big question symbol for what we have to done this time. I thought everyone have their rights to close or open their mind about that annual case of life. WE do the same things on our biologist part of us. We do the same things of our injection of a community, we talk each other, makes some funny the go with it.
Life was the lived out to feel alive on it. So on this spot, isn't it sooo brave to call our name for that live-the-life?

I have listen many Avril's song or Bieber, lol (honestly I said it as the truth what-being-happened-on-me).  And MCR? And Kort, and Click Five? exactly what a lol me.

That song was never hurt me as the life I feel hurted. Back on it, I just thinking that people acctually wanted to found their self on the other sound and drama. We just keep trying enjoy our life to be alive. As Shakespeare wrote on his paper, and as Monalisa spread out on canvas, our illumination of 'enjoy-our-life' was perfectly entering people on the more hurted it can be.

And I just.. nothing. I just thinking and the publishing. Honestly is not to show that I'm in but to perform that I'm in. Is that weird or something like that? I'd also always define myself as it. (laughing out laugh)
And I'm fine. So what life could bring - a copied of Avril's song on I will be - just what we could paid for it. It seems like 'ay!" what a pic me... Have your great day everybody! :)

Saturday, September 10, 2011

Frase satu bulan kemudian

Bunganya kuncup dimakan terik Jakarta. Lagi-lagi ungu pudar, terkadang aku pikir ia begitu kisut untuk dinikmati. Jauh dari saup jemari dan lusuh tanpa fantasi. Ia mau mati. Besok juga jatuh satu-satu. Tinggal satu. Bunga krisan yang berjamaah satu-satunya jadi satu. Hanya karena panas dan sapu debu merangas, tak sampai hati aku meminang jatuh gugurannya.Satu-satu perlahan jatuh jadi tinggal satu.