Kuliah saya agak berantakan.. Sangat berantakan mungkin... Haha. Hanya allah saja yang dapat menolong dan memperbaikinya. Subhanallah.
Showing posts with label luaran. Show all posts
Showing posts with label luaran. Show all posts
Thursday, May 30, 2013
Friday, March 29, 2013
Bandung..
Tujuh gelombang demokrastisasi dunia pada perempat akhir abad 20
Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :
1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s;
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s;
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s;
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s;
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991;
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.
-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an
Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..
Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.
Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :
1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s;
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s;
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s;
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s;
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991;
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.
-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an
Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..
Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.
Bandung
keberadaan elite dalam setiap struktur kemasyarakatan adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri.. dalam setiap level kuasa, pengaturan, dan pembacaan peta posisi.. ketika disepakati konsep negara modern, konstitusional - demokratis.. setidaknya garis batas penyelenggaraan negara terdiri atas tiga hal : pembatasan dan pembagian kamar kekuasaan, jaminan ham, dan supremasi konstitusi.. *apaansih*
ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..
derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)
ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..
derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)
Saturday, March 9, 2013
No Cure
Bahwa bersedih itu jauh
lebih indah. Lebih khusyuk, lebih bersyukur. Bahwa ia Cuma sesaat saja. Kembali
menyadari bahwa tak memiliki siapapun, apapun, karena tak mengenali mereka, Karena
tak memiliki hak untuk marah pada siapapun, apapun. Untuk memulai
kembali. Yang mati suri.
Membuat segala sesuatunya
menjadi lebih bermakna. Mengumpulkan energy, membagi-bagi. Bercerita bahwa,
hatiku jadi selembab kapas terbang, dihempas udara bermuatan liquid mikrotik, merasuki, hampir saja basah,
tapi tidak. Lakukan saja, jangan terlalu dipikirkan, nasehatnya. No action
talk only, kan. Haha iya, mungkin banyak benarnya.
Menuliskan, mencari-cari. Bertambah licik lalu menari-nari. Gila kesana
kemari.
Memulai segalanya dengan lebih indah, mendekatkan diri kembali
padaNya. Tak suka bergumul dengan manusia, cukup pusing mendengar celotehan
mereka. Mungkin ada benarnya, aku tak patut dalam banyak hal, tak menyenangkan
seperti mereka.
Berbusa-busa bicara soal pemikiran, ternyata tak mampu dicerna
dalam akaran. Sampahan.
Wednesday, March 6, 2013
Full Leaving
Well, there's so many things we have to tell the world about.
While the human being turn to some 'egalite' mainstream or whatever, people keeping their ear to hear anything and open their eyes to found everything.
For me, the most to tell is, Islam.
So just see.
Everybody lived the world just like man-kind do. So that the history tell us the cause and many phrase of 'in the first of century' or whatever. I don't like such history that much. So, just listening the air swing, talk to the tree while we need to fly with dragon. :)
We just live on this accuracy setting on behalf of 'first' and 'end'. Then I thought, what a wasted us to think
around or think so deep about how much we make the world so complicated tends of tomorrow.
Whenever, Islam give me the best part of life. Then I'll try to live with it.
How could people lying about the history? How could people keep their minds close to the end of endless?
So that people tryin to make everything comfortable. Well, Islam was the natural reason about how and why I trust my life, learn to live, full leaving. Alhamdulillah. :)
While the human being turn to some 'egalite' mainstream or whatever, people keeping their ear to hear anything and open their eyes to found everything.
For me, the most to tell is, Islam.
So just see.
Everybody lived the world just like man-kind do. So that the history tell us the cause and many phrase of 'in the first of century' or whatever. I don't like such history that much. So, just listening the air swing, talk to the tree while we need to fly with dragon. :)
We just live on this accuracy setting on behalf of 'first' and 'end'. Then I thought, what a wasted us to think
around or think so deep about how much we make the world so complicated tends of tomorrow.
Whenever, Islam give me the best part of life. Then I'll try to live with it.
How could people lying about the history? How could people keep their minds close to the end of endless?
So that people tryin to make everything comfortable. Well, Islam was the natural reason about how and why I trust my life, learn to live, full leaving. Alhamdulillah. :)
Saturday, March 2, 2013
Kolam Raksasa??
Biarkan gedung-gedung tinggi yang menjulang
Dan kerlap kerlip malam dirimu yang menjawab
(Resti Pratiwi)
Aku terpana oleh kata-kata, terkadang tersanjung, menjadi sedih, atau muncul kerinduan.
Sebab kata-kata adalah bagian dirimu yang paling bisa ku ingat. Sebab celotehanmu mampu bercokol lebih dalam dari warna suaramu. Retaknya renyah tawamu. Kata-katamu menjadi lebih syahdu dalam suatu waktu, membuatku rindu.
Hilang bicara, hilang kata-kata.
Tapi, Kata-kata adalah semu sementara pemaknaanlah yang sesungguhnya, kata Rumi.
Dan, Cinta saling bicara dengan bahasa Rahasia, tambahnya.
Maka sesekali kupikir.
Aku adalah orang yang sekonyol itu. Sekonyol semacam keruh hati.
Semacam busuk perasaan. Semacamnya.
Manipulatif.
Maka sesekali kupikir.
Bukan kau yang tak mampu mengerti. Tapi bias frekuensi hati. Hingga tak sampai. Hingga menggantung semampai. Tinggi, menyakiti.
Di depanku ada sebuah kolam raksasa, katamu. Dalam mimpi.
Sebenarnya telah lama ada.
Tapi terlalu biru untuk ku sebrangi.
Terlalu luas untuk ku arungi.
Membawa perahu untuk menyebranginya, iya, untuk bersamamu? Itu hanya kolam saja, terlalu berlebihan
Aku mencari cara. Mencari waktu dan logikanya.
Agar kolam raksasa itu jadi sederhana.
Sesederhana bahasa rahasia cinta.
Tersanjung di mimpi sendiri. Otak gilaku bekerja di kedalaman neuron, menemukan kata-katanya sendiri. Membuat narasi bodohnya sendiri. Dia bukan aku. Siapa? Aku menyebrangi kolam besar untuk apa? Atau siapa menyebranginya untukku? Pelis.
Sekonyol semacam kekonyolan semacam itu. Ya, kata-kata. Sekedar luaran dari sederetan buku-buku yang menjadi friksi-friksi pengetahuan. Meracau, mengganggu hidupku.
Sekonyol semacam kekonyolan semacam itu. Ya, kata-kata. Sekedar luaran dari sederetan buku-buku yang menjadi friksi-friksi pengetahuan. Meracau, mengganggu hidupku.
Thursday, February 28, 2013
Kerja Paruh Waktu
Ada sebuah dalil, bahwa jiwa lebih prestisius dari ketundukan sebenarnya. SEbab jiwa itu khusyuk dan ketundukan itu kadang cuma manipulasi semata. Kadang cinta itu hany asekedar perasaan dan perbuatannyalah yang dihitung pertanggungjwaban. Gatal. MIris pikiran. Hati-hati terhadap hati, kata Ahmad Dhani.
Bagaimana bisa satu hati berdiam dua kekhusyukan, bagaimana bisa satu jiwa bekerja sendri untuk frekuen getarannya. Kerja-kerja paruh waktu kekhusyukan. Kerja-kerja paruh waktu kesombongan. Kerja-kerja paruh waktu akal dan pikiran. Membangkang, satu dan lainnya.
Bagaimana bisa pengkhianatan cuma hanya sekedar hati saja. Bagaimana bisa keangkuhan dipoles sedemikian rupa. Ah, gila, gila, gila. Aku gila karena terlalu banyak berharap dan merancang kegilaan manusia. Sadar.
Monday, February 25, 2013
Maaf
Maaf untuk setiap hati yang tersakiti. Maaf untuk setiap hati yang terlukai, ikatan yang teruraikan, naif yang bertebaran. Maaf untuk setiap kesedihan, beratnya sesak yang menggumpal jadi pemikiran.
Manuver. Rencana. Kebusukan.
Bukankah manusia, pada titik itu hanya lelucon?
Yang jadi benalu harapan, di ukiran, di persimpangann, di pilihan.
Kosong ketulusan, mati hati. Kemarahan itu. Ibarat aku. Muara kerendahan akhlaq semacam itu.
Manuver. Rencana. Kebusukan.
Bukankah manusia, pada titik itu hanya lelucon?
Yang jadi benalu harapan, di ukiran, di persimpangann, di pilihan.
Kosong ketulusan, mati hati. Kemarahan itu. Ibarat aku. Muara kerendahan akhlaq semacam itu.
Wednesday, January 30, 2013
Saudara
Baru nyadar banyak film yang gue tonton akhir-akhir ini, refleksinya brotherhood semua..
Asik juga kalo kita punya kakak, bisa minta ajarin ini itu, minta bimbingan, punya ekstase berat soal "kerenistis". Karena dia kakak, jadi apapun yang dilakukan pasti keren-keren aja, kita kan belum melalui masa umur psikis dan fisik, dimensi idiil atau reflect mereka. Setiap orang, butuh orang kharismatik kan - mungkin.
Hmm... asik juga kalo kita punya adik, bisa dijailin, buat usil-usilan, diajak main, mecahin teka-teki busuk seharian atau gue transform jadi mutan gue, ngomong 4 bahasa sambil melakukan hal seru.
Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya nggak ada rahasia. Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya baik-baik aja. Karena beneran asli, kan. :)
.jpg)
Sunday, January 20, 2013
Wangi Hujan
Terkadang hujan punya wangi. Bukan wangi angin atau wangi tanah. Sesekali ia punya citranya sendiri. Wangi hujan.
Ini sejak semburat
jingga di penghujung biru langit pagi terpaksa membuatku kembali
melantunkan nada-nada melankolis, sebuah soundtrack
yang tiba-tiba muncul. Memaknai bahwa peristiwa dan deret-deret pemaknaannya
terlalu tinggi untuk disentuh sebuah kehinaan semacam diriku. Memaknai bahwa
terkadang hatiku seperti kaca yang tak dapat memantulkan cahaya, sekedar mampu
untuk pecah. Terkadang hatiku semacam hujan yang tak dapat menyuburkan, sekedar
basah. Ya, terkadang hatiku seperti jingga di pengujung biru langit pagi, salah
tempo, lukisan pinggiran.
Kaca
yang hanya mampu pecah atau hujan yang sekedar basah. Bukan kaca jika tidak
memantulkan cahaya, bukan hujan jika tidak menyuburkan tanah. Bukan salah
jingga jika ia jadi lukisan pinggiran, bukan tentang salah tempo. Sekedar salah
redefinisi, salah memaknai, katanya, itu wajar karena perspektif manusiawi
kita begitu terbatas. Ah, ia begitu bijaksana.
Namanya air dan transliterasinya turun ke bumi. Mengantarkan atau diantarkan, hujan tak pernah tahu redefinsi dirinya, bukan? Sebab ia telah melalui sebuah konveksi panjang kesejarahan hidupnya. Menjadi dirinya, lalu menjadi bukan dirinya. Dari air menuju air yang jatuh dari langit.
Berperan, mengantarkan atau diantarkan. Bukan lagi sebuah dilematisasi perasaan tapi konveksi alam, keberlangsungannya, perwujudannya.
Entah, jadi dirinya atau tidak. Hujan tetap selalu punya wangi, wangi hujan. Wangi kegelisahan.
Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya.
Seperti dakwah siyasi, diseret-seret tribulasi faktual. Sementara mereka bilang ini dan itu sudah beres. Seperti nalar siyasi kontemporer, jokingnya. Sementara mereka bilang, "nanti kami syuro-kan dulu."
Sialan.
Sunday, December 9, 2012
Mereka diam
Waktu itu aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi. Kadang sekedar tersenyum kadang tertawa. Entahlah bagiku kau begitu menyenangkan. Representasi sebuah keluhuran akhlak.
Aku cuma sekedar iri, melihat bahwa setiap orang punya kelebihan.
Intinya kamu begitu menyenangkan. Tanpa dusta, bicara seadanya saja, tapi baik untuk di dengar, menutrisi.
Intinya kamu begitu nyaman. Tanpa menyembunyikan, melucu sesuai fitrah saja, sederhana.
Ada juga beberapa orang di sekeliling kita. Mereka duduk di kursi yang dekat. Ikut alur kisah, ikut juga serius mendengarkan kemanjaanku. Ah, tapi kenapa mereka diam? Ah, tapi kenapa mereka diam saja?!
Waktu-waktu berderit, bahwa selain kau, ada aku, ada mereka juga ! Ah, tapi kenapa mereka diam?
Aku cuma sekedar iri, melihat bahwa setiap orang punya kelebihan.
Intinya kamu begitu menyenangkan. Tanpa dusta, bicara seadanya saja, tapi baik untuk di dengar, menutrisi.
Intinya kamu begitu nyaman. Tanpa menyembunyikan, melucu sesuai fitrah saja, sederhana.
Ada juga beberapa orang di sekeliling kita. Mereka duduk di kursi yang dekat. Ikut alur kisah, ikut juga serius mendengarkan kemanjaanku. Ah, tapi kenapa mereka diam? Ah, tapi kenapa mereka diam saja?!
Waktu-waktu berderit, bahwa selain kau, ada aku, ada mereka juga ! Ah, tapi kenapa mereka diam?
Monday, December 3, 2012
Sahabat
Sahabat, entah wajar atau tidak
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu
Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan
Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu
Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan
Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu
Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam
Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan
Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah
Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu
Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan
Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu
Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan
Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu
Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam
Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan
Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah
Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja
Thursday, November 29, 2012
Bukan Pidato
Aku tahu bahwa untuk saling mencintai kita harus saling mengagumi. Entahlah, bahwa setiap kali orang terpesona denganmu itu sama artinya iya atau tidak. Tapi aku, iya. Bagiku ini juga yang menjadi sebab kau tak banyak mencintai. Bahwa bagimu, sama saja. Aku atau yang lainnya.
Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.
Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.
Ngomong apaan.
Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.
Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?
Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.
Siapa yang dikasihanin?
Ya, anti lah! Masa mereka? haha..
Renyah
Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.
Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.
Ngomong apaan.
Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.
Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?
Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.
Siapa yang dikasihanin?
Ya, anti lah! Masa mereka? haha..
Renyah
Friday, November 23, 2012
Ilalang
Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Sayap ilalang. Sayap terbang tanpa kekuatan.
Sayap ilalang. Ilalang terbang tanpa arahan.
Sayap ilalang. Terbang. Angkasa pudar meracau sendirian.
Ini tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Gila durjana. Mati durhaka sampai ke akar-akarnya.
Aku tak terpesona tapi jatuh tanpa makna. Ke tanah.
Tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Putih ilalang. Putih merona tanpa warna.
Putih ilalang. Ilalang merona tanpa kecendrungan apa-apa.
Putih ilalang. Noda. Kecil menghilang meracau sendirian.
Ini tentang putih ilalangku.
Dijadikannya putih ilalang sungguhan.
Mesra. Lembutan asa menarik segalanya tanpa permisi.
Aku tersihir setiap kali hampir menyihir kembali
Pergi, pergi ke lain ruang dan waktu.
Friday, November 9, 2012
Tanpa dengannya
Kepemimpinan itu apa? Di atas dan di bawah sama saja kah? Tentu tidak, bukan?
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.
Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.
Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.
Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.
Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.
Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.
Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?
Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.
Sesungguhnya segala sesuatu itu
pastilah bergerak dengan satu harmoni tertentu. Selayaknya
pandangan nakhkoda ke arah barat, harmoni laut terbaca walaupun tak terlihat
dasarnya. Maka memimpin adalah tentang memahami,
mengenali, menguasai ilmu dan mengambil keputusan.
Adanya
jiwa kepemimpinan pada seseorang selanjutnya akan menjadikannya berkualitas
berbeda. Ia yang berjiwa kepemimpinan mampu membuat simpul pikirnya dalam
setiap perbuatannya. Seorang pemimpin bukan selalu pasti berdiri sebagai pucuk
pimpinan. Ia mungkin saja ada di barisan manajerial, level koordinasi maupun
pengarah dan pelaksana taktis. Namun yang pasti seorang pemimpin sejatinya ada
dalam kesadaran visi. Ia mampu dipimpin dan memimpin orang lain. Sebab baginya
pengejawantahan dirinya dalam suatu komunitas bukanlah tentang berdiri paling
tinggi di antara mereka, namun menjadi yang paling bermanfaat di setiap tempat.
Fungsi
kepemimpinan dewasa ini semakin minim teraktualisasi dalam banyak lini yang
kita jumpai. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi inkonsistensi kebijakan yang
dilakukan banyak stakeholder negeri ini. Ambilah contoh dalam skema pelaksanaan pengiriman
TKI. Kantor imigrasi, kantor PJTKI maupun ‘distributor’ TKI di daerah-daerah,
bersama-sama kehilangan jati diri demi produk kartal semata. Atau ambilah satu
kasus penyelewengan dana umat yang anyir di banyak media massa, bulog gate, korupsi century, skandal BI,
manipulasi DPR soal BBM, warna-warna politik transaksional berbasis kedudukan,
dst. Hal ini tentu saja, menjadi sederetan kasus yang dalam keyakinan publik,
memamerkan aksi bunuh diri sebuah negeri yang tanpa aplikasi idealitas sebuah kepemimpinan.
Maka
berbicara kepemimpinan adalah berbicara tentang sebuah vision. Pemimpin ialah yang dapat melihat konteks kasus dalam
particular yang seiring pembelajaran termapankan secara holistik. Maka ia
adalah seorang pembelajar sejati. Sebab vision,
penglihatan dan kepahamannya atas segala sesuatu itu menjadi hal yang begitu
berharga. Ia adalah seorang pembelajar sejati yang haus ilmu dalam banyak hal.
Ia berbicara tentang arah gerak dan konsepsi kebijakan. Ia selalu memiliki
pandangan mengenai putusan-putusan pribadinya. Tidak mengekor ataupun mengikuti
selain berdasarkan keyakinan visi.
Berbicara kepemimpinan maka
juga bicara tentang melakukan banyak hal. Pemimpin adalah mereka yang
senantiasa menanggung pekerjaan-pekerjaan dan pertanggungjawaban yang paling
berat. Maka barangsiapa mengambil dirinya sebagai pemimpin, bersiaplah jadi
yang paling sedikit tidur dan tertawa. Bersiaplah menjadi yang terdepan dalam
menghadapi masalah. Dan bersiaplah menjadi yang terakhir bersenang-senang
dengan hasilnya. Menjadi pemimpin adalah sebuah koneksi riil dalam sebuah ruang
pertanggungjawaban dalam banyak hal yang telah, tengah dan akan dilakukan.
Tapi siapapun yang undur diri dari sebuah proyek
kepemimpinan, maka ia telah keluar dari fitrahnya, dari peruntukan
kehidupannya. Sebab kepemimpinan ini telah utuh terserahkan pada segolongan
makhluk yang bernama manusia. Kita dengan akal dan kebijaksanaan adalah suatu
entitasme yang terlanjur harus memimpin. Inilah akaran nalarnya. Siapkah kita
mundur ke belakang peradaban dan membiarkan dunia dipimpin kera atau sejenis
tumbuhan cerdas? Maka kepemimpinan
adalah juga sebuah tugas pembenahan.
Kita kini sama tahu, bahwa tiada langkah lagi selain
mempersiapkan diri untuk mematangkan kepemimpinan diri. Tiada alasan untuk
mundur sebab tiada yang dapat menggantikan satupun di antara kita. Kepemimpinan
itu, jiwa yang mengisi rongga-rongga dada, jiwa yang tak membiarkan seorang
insan terpuruk dalam keterbelakangan dan kemiskinan kepribadian. Ia adalah jiwa
yang mengisi rongga dada yang menjadikan nyala kebijakannya sebagai penerangan
bagi orang sekitarnya dan bahkan seluruh dunia. Tidak ada yang diharapkannya
kecuali keuntungan yang banyak akibat perbuatan baiknya, keuntungan yang ia-pun
tak akan mampu membuat draft-nya.
PEMIMPIN ITU ADALAH KAU!
SALAM
SATU JIWA PARA PEMIMPIN BANGSA !!!
Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.
Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.
Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.
Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.
Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.
Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?
Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.
Sunday, October 28, 2012
Mawar Hijau

Oleh sebabnya aku jarang menjawab dengan serius setiap pertanyaan yang lari ke telingaku. Ini agak sulit. Membangun pemaknaan dan refleksi irasional dari beberapa tuntutan kromatograf falsafah diri.
Beberapa waktu lalu kutemui lagi mawar hijau. Katanya ia petanda perdamaian, ketenangan, aura persahabatan. Entah, mungkin kini prisma cahaya matahari bisa dimaknai apa saja. Kini mereka bilang merah itu tanda asmara, biru tanda kedewasaan, ungu tanda cinta tulus dan seterusnya. Mereka tak tahu, bahwa bandingan dan turunan tak akan semudah simbol tanda tanya bagimu.
Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.
Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.
Tuesday, September 18, 2012
Palsu
Mudah melakukan
kesalahan dan mudah minta maaf. Mudah marah dan mudah untuk tidak membutuhkan
orang. Semua perspektif tentunya blur
dalam titik ini. Kita kembali dalam satu alur purifikasi hati, menerima atau
menolaknya mentah-mentah. Menjadikannya hikmah atau sekedar angkasa sejarah.
Kau
begitu menyenangkan, entahlah. Suatu kali aku bertemu sebuah jendela prisma. Luarannya
memantulkan hijau daun dan coklat tanah. Jendela dimana kau memanggilku dalam
sebuah kata surgawi. Mungkin tak sebegitu begini citra dan nalar menyukainya. Tapi
juga tak sebegininya begitu kau tak ingin membuka mata. Aku Cuma sekedar rindu.
Katamu
aku harus banyak mengalah. Sebab banyak orang-orang palsu. Sebab menghadapi
mereka adalah neraka bagimu. Bagi kau dan aku.
Katamu
aku harus banyak menyembunyikan simpul lintas dalam reaksi kimia otakku. Sebab banyak
orang-orang primitive yang suka mengeksploitir. Sebab seketika mereka bersidang
di hadapanmu dan menguraikan sebarisan kata yang intinnya, “kau bersalah”.
Katamu
aku harus. Sebab aku tak sekuat itu untuk palsu bagi orang-orang palsu. Setidaknya.
Tuesday, October 4, 2011
Amnesia Kaum Iron Stock di Barisan Akar Rumput Polis Kampus
Tanpa titik, langit sejarah bangsa telah mengenal
mahasiswa sebagai satu komunal strata masyarakat yang tak dapat
diindahkan keberadaannya. Mahasiswa telah menyumbang banyak bantingan
stir bagi fase-fase kehidupan reformasi Indonesia. Mahasiswa telah
terlanjur
menjadi salah satu pion yang bermain dalam percaturan politik
Republik Kesatuan ini. Ia telah basah untuk selanjutnya mengekstraksi
segala hikmah perjalanan drive on-nya
di masa lalu. Alhasil, kini mahasiswa juga punya dunia “kebangsaan”
dan “perpolitikan” tersendiri. Sebuah polis kampus yang kemudian ber-metamorfosa menjadi semacam simultansi effect dari prosesi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ditandai dengan kemunculan aliansi Badan Eksekutif
Mahasiswa yang berwawasan nasional, semarak politics by action telah menjamuri otak-otak para muda intelektual. Setidaknya, ada tiga aliansi yang kemudian memunculkan giginya di
langit negara kampus senusantara. Sebutlah BEM SI, BEM Nusantara dan
BEM Nasional.
BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh
Indonesia) dalam perjalanannya dianggap lebih dulu ada sebagai
gerakan oposisi-konstruktif kini dalam isu-nya dihadapkan dengan
pembentukan BEM Nusantara yang dianggap pro-government.
Sementara pergerakan lainnya dimotori pertemuan BEM Nasional di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Maret 2010. Hal ini bisa dimaknai sebagai suburnya simpul pemikiran di kalangan mahasiswa Indonesia. Serta begitumasifnya kepedulian generasi bangsa terhadap pencapaian cita-cita
Negara. Benarkah?
Selain itu ikatan profesi jurusan juga tak bisa disebut sepi. Para calon dokter memiliki ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran
Indonesia) yang telah mapan dengan kerat embrio IMKI (Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang dimulai 1969. Sementara para
calon ekonom memiliki FOSSEI (Forum Silaturahmi Mahasiswa Ekonomi
Indonesia) yang rutin melakukan pembenahan kritisasi ekonomi
nasional. Selanjutnya mahasiswa hukum juga akan segera me-launching
struktural BEM FH SI di Semarang Juli kemarin.
Maka semarak polis kampus tanah air tak dapat dianggap mainan belaka. Sebab kita sama tahu bahwa seringnya, gerakan akar rumput lebih
dahsyat dibanding kebijakan top-down
presiden dan menteri-menteri. Terlebih simpul struktural telah siap
mengalirkan impuls secara simultan ke sekujur badannya. Di titik
sadar yang ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati. Sebab kita baru
saja disentil dengan nuansa ’98 ketika Husni Mubarak dituntut turun
oleh publik yang digerakkan mahasiswa Mesir.
Di balik segala pamor akan efektifnya pergerakan
akar rumput polis kampus, ada banyak hal yang harus dikritisi lebih
dalam. Bukan relevan lagi jika langit polis kampus masih berada pada
tataran menggertak pemerintah soal polemik mafia pajak di meja sistem
quasi
presidensil. Bukan juga sekedar tuntutan kosong atas dilematika yang menjajari rakyat miskin kota dan desa. Tapi lebih dari itu, baiknya kita bentangkan satu fakta bahwa mahasiswa yang katanya agent of change dan social control ini kiranya lupa akan satu fungsi paling pasti dan strategis yang harus mereka persiapkan, yakni as an iron stock!
Mahasiswa dalam maraknya dinamika polis kampus tidak bisa tidak, harus mafhum dan insyaf akan fungsionalnya yang paling urgent ini – IRON STOCK. Betapa kemudian ia dikhususkan pada a needed of stocking human yang memang berkualitas secara formil maupun materiil. Kembali, bukan hanya sekedar atas nama social control lalu menghujat pemerintah atau atas nama agent of change membeberkan keterbelakangan bangsa yang katanya pe-er para penguasa.
Mahasiswa dalam maraknya dinamika polis kampus tidak bisa tidak, harus mafhum dan insyaf akan fungsionalnya yang paling urgent ini – IRON STOCK. Betapa kemudian ia dikhususkan pada a needed of stocking human yang memang berkualitas secara formil maupun materiil. Kembali, bukan hanya sekedar atas nama social control lalu menghujat pemerintah atau atas nama agent of change membeberkan keterbelakangan bangsa yang katanya pe-er para penguasa.
Baiknya polis kampus
ini mengevaluasi lagi kebulatan dan kedewasaan perpolitikannya. Sebab
semarak lembaga pergerakan bisa jadi sarang tendensi masa depan.
Juga, sumber rasis-non-logic
soal entitas politik. Sudah menjadi rahasia publik, kecendrungan
entitas politik adalah suatu struktur yang meng-kultur dalam piringan
kampanye kekuasaan. Hingga yang ada, aksi tuntut dari mahasiswa dan
pengelakan dari pemerintah pun bukan murni suara masing-masing ranah,
tapi politisasi segolongan. Rakyat sudah tidak butuh aksi mewah
tentang pertentangan idealis yang hanya memenangkan entitas partai
atau klausul rasis!
Sementara bangsa
tengah membutuhkan attitude
politik yang mapan, tentang menghargai spoil
system
demi tujuan riil praksis nasional. Kita kiranya telah bosan mendengar
selentingan kabar begitu alotnya lobi kuasa di ranah bestuur
negeri. Lalu masihkah harus kita saksikan peregangan suara di
bilik-bilik kampus? Sebutlah tentang “diferensiasi genetic” GMNI,
PMII, KAMMI, HMI, IMM serta belum lagi entitas politik endemik di
masing-masing daerah yang belum sempat me-nasional.
Hilangnya kesadaran
akan fungsional iron
stock
yang utama dari barisan lembaga akar rumput polis kampus ini-lah yang
kiranya menjadikan system perpolitikan bangsa tak menemui titik
independennya. Kita, mahasiswa di kampus-kampus masih lebih suka
memilih tercelup dalam satu lembaga entitas politik yang dianggap
memiliki eksistensi, ketimbang berbakti setelah memenuhi daftarisasi
mumpuni. Kita, mahasiswa di kampus-kampus juga masih lebih suka
absensi untuk sebuah pawai yang hanya mengangkat sinergi segelintir.
Kita, kiranya lupa berbenah diri.
Bahwa entah menjadi
social
control
atau agent
of change,
satu yang pasti mahasiswa secara umum dan khusus telah menjadi iron
stock
yang dinantikan. Lalu apakah barisan akar rumput polis kampus ini
tega menjawab penantian sekian warga bangsa dengan regenerasi yang
tak jauh beda dari sebelumnya? Terlebih, kita sama tahu, bahwa mereka
yang kemudian menduduki posisi eksekutif dan parlemen Republik ini
adalah mahasiswa juga di masa lalunya. Mahasiswa yang melantangkan
suara atas kritisasi kebangsaan di jalan-jalan dan koran. Maka,
akankah sama lulusan polis kampus masa mendatang? Kita sama menunggu
berita selanjutnya.
Thursday, September 22, 2011
Don't have to paid for everything except a thing!
By : Alfajri
Life was the lived out to feel alive on it. So on this spot, isn't it sooo brave to call our name for that live-the-life?
I have listen many Avril's song or Bieber, lol (honestly I said it as the truth what-being-happened-on-me). And MCR? And Kort, and Click Five? exactly what a lol me.
That song was never hurt me as the life I feel hurted. Back on it, I just thinking that people acctually wanted to found their self on the other sound and drama. We just keep trying enjoy our life to be alive. As Shakespeare wrote on his paper, and as Monalisa spread out on canvas, our illumination of 'enjoy-our-life' was perfectly entering people on the more hurted it can be.
That song was never hurt me as the life I feel hurted. Back on it, I just thinking that people acctually wanted to found their self on the other sound and drama. We just keep trying enjoy our life to be alive. As Shakespeare wrote on his paper, and as Monalisa spread out on canvas, our illumination of 'enjoy-our-life' was perfectly entering people on the more hurted it can be.
And I just.. nothing. I just thinking and the publishing. Honestly is not to show that I'm in but to perform that I'm in. Is that weird or something like that? I'd also always define myself as it. (laughing out laugh)
And I'm fine. So what life could bring - a copied of Avril's song on I will be - just what we could paid for it. It seems like 'ay!" what a pic me... Have your great day everybody! :)
Saturday, September 10, 2011
Frase satu bulan kemudian
Bunganya kuncup dimakan terik Jakarta. Lagi-lagi ungu pudar, terkadang aku pikir ia begitu kisut untuk dinikmati. Jauh dari saup jemari dan lusuh tanpa fantasi. Ia mau mati. Besok juga jatuh satu-satu. Tinggal satu. Bunga krisan yang berjamaah satu-satunya jadi satu.
Hanya karena panas dan sapu debu merangas, tak sampai hati aku meminang jatuh gugurannya.Satu-satu perlahan jatuh jadi tinggal satu.
Subscribe to:
Posts (Atom)