Showing posts with label grain. Show all posts
Showing posts with label grain. Show all posts

Tuesday, March 26, 2013

Judex Factie


Kusadari bahwa ia, ternyata sebuah kebohongan yang akan mewujudkan dirinya dalam kebohongan yang selanjutnya. Seterusnya seperti itu, sampai habis tersakiti, menyakiti, mendapatkan adzab yang sepantasnya. Bahwa itulah kerendahan sampai ke akar-akarnya. Bahwa itulah kehinaan sampai ke ujung jari-jari kukunya. Tidak akan sudi menemuinya lagi.
            Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa perhubungan aku dan dirinya ternyata juga penuh dengan intrik. Bahwa ‘perspective’ itu secara massif juga menjajari ketidakmampuanku dan ketidakmampuanmu menjadikan kenyataan sebagai guru yang berharga. Bukan tentang masa lalu tentu saja. Bukan tentangmu juga. Bahwa betapa ilusi itu jadi motion kebohonganmu yang paling canggih. Aku sekedar. Terkesima saja.
            Orang-orang berkata bahwa sebagian dari orang-orang memang memiliki nasib yang menyedihkan, terpaksa kerdil karena dirinya sendiri sebagai seseorang. Berkubang di noda lumpur dosa-dosanya sendiri. Tenggelam, mati, lalu hidup kembali, mati lagi, hidup hati, dimatikan.
Orang-orang yang seperti seseorang dari sebagian orang itu lalu seutuhnya memenuhi ritual pribadinya terhadap penghambaan kepada keterpurukan. Sementara itu lupa, sementara itu mencicipi sedikit dari yang selainnya. Memakan plafon dan dinding kanan-kirinya. Dijilat, sedikit, sedikit, sampai tak mampu lagi. Keropos gigi-gigi lalu benar-benar membeku jadi mumi. Diwariskan. Dilihat orang banyak, ah, sayang sekali, kata mereka, orang-orang dari sebagiannya seseorang.

            Aku tak berubah. Cuma baru tahu sebuah kebohongan besar. Bahwa ikatan antara aku dan dirinya rupanya Cuma sumbangsih perhelatan darah saja, bukan jiwa, bukan juga soal ini dan itu yang patut jadi soal-soal ikatan orang-orang banyak. Benar-benar butuh kelapangan hati.
            Habis kata-kata. Habis bicaranya.
            Habis nuansa. Habis percaya.
            Bukan imannya, tapi, sekedar. Sebentar saja. Menarik kembali tribulasi akaran perhubungannya. Tapi, sekedar. Sebentar saja. Melihat bahwa, aku adalah putaran diriku, diikat kuat pada tali yang amat kuat, bismillah. Dengan begitu, sisi baiknya, aku benar-benar tak perlu kembali ke rumah. Lupakan.
            Bukan tentangmu. Bukan tentang kau dan aku. Bukan tentang aku. Bukan tentang kita tentu saja. Dia tentu saja, sesuatu yang sengaja dikirimkan dalam tugas kebinasaan, sebagai cobaan, ujian, adzab disini. Sebab tak mungkin kerendahan akhlaq jadi rumus kedua yang beda factorial kali ini. Bahwa, sekedar. Mengilhami, bahwa, tak banyak yang bisa dilakukan manusia, bahwa, tak patut mematutkan diri jadi sejati, bahwa, melaluinya dengan kepicikan. Lebih ‘arus utama’. Lebih ‘sempurna’. Lebih ‘aku’. Rancu.

Wednesday, January 30, 2013

Saudara

Baru nyadar banyak film yang gue tonton akhir-akhir ini, refleksinya brotherhood semua..

Asik ya kalo kita punya kembaran, bisa pake kaos yang kembar, terus ngobrol panjang lebar soal apapun. Karena bersaudara, nggak ada yang perlu jadi rahasia.

Asik juga kalo kita punya kakak, bisa minta ajarin ini itu, minta bimbingan, punya ekstase berat soal "kerenistis". Karena dia kakak, jadi apapun yang dilakukan pasti keren-keren aja, kita kan belum melalui masa umur psikis dan fisik, dimensi idiil atau reflect mereka. Setiap orang, butuh orang kharismatik kan - mungkin.

Hmm... asik juga kalo kita punya adik, bisa dijailin, buat usil-usilan, diajak main, mecahin teka-teki busuk seharian atau gue transform jadi mutan gue, ngomong 4 bahasa sambil melakukan hal seru.
Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya nggak ada rahasia. Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya baik-baik aja. Karena beneran asli, kan. :)






Thursday, January 3, 2013

Something unusual

Mungkin itu yang asli namanya kecendrungan. Berhadapan dengannya, lalu berbincang tentang kebaikan. Berhadapan dengannya lalu bercita-cita.
Aku tak pernah tahu bahwa cenderung dengan seseorang itu bisa jadi semenarik ini. Mendoakan, melihatnya tertawa lucu, beritikad kuat. Iltizam yang tiba-tiba saja muncul dan berkata,"gue pasti bisa"
Ya, atas dasar iman dan mahabbahNya, gue pasti bisa syiar juga ! #go

Tuesday, November 13, 2012

Reasonable touch


                Kadang kita tak pernah tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites, keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.           
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
                “Apa yang biasa kau sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam kegiatan social? Bagiku cintaku adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
                Matanya masih terkatup berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya. Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
                Aku suka berkata-kata rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical assumption yang membuatku sedari kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini dan  begitu tak sempat membuatku berpikir sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan “boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
                Sejak kapan aku peduli dengan ibuku?
                Pertanyaan semacam itu jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
                Orang sepertiku, pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
                Pernahkah kalian tahu bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya mampu melakukan sesuatu.
                Dosa yang pertama karena tak bersyukur dengan setting hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar. Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua, bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu segalanya. Haha.
                Keberadaan orang lain di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka. Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu. Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
                Aku bukanlah orang yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup menganggu bukan?
                Aku ingin punya sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku, setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
                Jalan raya kota malang searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka. Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
                Aku suka bertengkar, tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
                Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu. Kata ayahku.
                Tidak, aku sekedar ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA. Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian, dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana, menarik. Aku tidak.
                Di belakang itu, usai jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini tulisan kamu beneran?”
                “Iya bu, coba aja ibu cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
                “Selamat, nilai kamu tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
                “Bukannya Hadi yang nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
                “Bukan, saya hanya berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis, romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
                Seperti virus masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
                Tamat.
xxxxx
                Belum tamat.
                Sebab aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
                Kita bicara tentang hal lain saja. Lain kali.

Sunday, February 5, 2012

Tercengang

Kumulai setiap goresan dengan satu kesakitan. Bahwasanya hitam yang mencintai putih adalah tanda telah menistainya pula. Ketika kumulai setiap goresan dengan penghabisan. Sebabnya tinta akan sirna usai dibenamkannya ke laksa cita dan akan patah batangan usai diserahkannya semua dayanya. Ya, aku memulainya, atas sebuah dilematika yang tak tergambarkan oleh pesona. Seketika itu merana, sebab goresan dengan penistaannya, meracau demi akaran logika bahwa ia juga jadi penghabisan permulaannya.

Entah, bening yang dirajut di sepersekian inchinya saat harus memilih dunia atau keutuhan dirinya. Entah, laut yang meringis di setiap pergerakannya saat harus bercita-cita mengenai tenang atau kematian pribadinya. Dan aku bungkam, menerima sakit dan penghabisan permulaaannya, di tiap selipan kata dan keragu-raguannya.

Sempurna, bukankah cemeti jadi alat untuk melarikan diri? Ketika sampai di hatinya, sampai jauh pergi fungsi presisi dari peruntukkannya. Sempurna, bukankah tujuan jadi alat untuk menyembunyikan hati? Ketika sampai di kepergiannya, menyalip silang dalam perlombaan putarnya dengan relevansi zaman. Ah, setia, rumusan macam apalagi dia?

Maka akhir yang mengagumkan jadi penerimaannya atas perujungan sakit dan penghabisannya, bukan?

Sunday, December 18, 2011

Kisah HEROES!

Oleh : Alfajri

Di sebuah malam yang gelap, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang butuh sinaran perbaikan. Sebuah sosok muncul menyisiri rumputan yang kedinginan, dilihatnya demokrasi tak beraturan, merah putih tanpa binaran dan refleksi bangsa masih pesimistis ketakutan. Fakultas Hitam Merah Putih, layaknya miniatur Yunani Kuno yang menjalani dinamisasinya menuju kisah-kisah para HEROES! Disana pula ditemui berbagai TROLL-BLEMAKER dalam berbagai varian, aktivator-aktivator oligarkis-primordial dan aktor-aktor penceng lainnya.


Ide sinergisitas dan progresitas masif berkelebat dalam jiwa HEROIKnya, memacu setiap derap langkah dalam perjuangan nafas, pergi dan kembalinya di bawah sadar dan keadaan. RENDY IVANIAR, membumikan diri dengan segudang pencapaian kapabilitas dan energi kerendahatian sepanjang hari-harinya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hitam Merah Putih.

Sementara itu di malam lainnya, BAGUS as BATMAN terbang tinggi menelusuri jejak-jejak renungan RENDY IVANIAR, sehingga ia pijakkan kerja tanpa ampun dalam setiap gelap yang ditemuinya, menempa diri dengan ketangguhan dan perjuangan. Sendiri, sebelum ditemuinya sosok WONDER DILA yang menunjukkan kredibilitas tanpa batas, tegas dan cerdas. Keduanya masih menyimpan harapan yang mendalam, seraya terus disaksikannya Fakultas Hitam Merah Putih.

Maka datanglah seorang SUPER YOGA yang menguatkan mereka dengan daya super yang terus SIAGA tanpa kenal lelah berkontribusi maksimal, ujarnya, tak akan jadi mahasiswa apatis, hedonis dan primordial. Diserukannya ke segala penjuru Fakultas Hitam Merah Putih. Hingga bergoncang hukum lintas dunia, saat disaksikannya NOVADA as PETERPAN turun dari dimensinya, menjadi sebuah hal nyata, membangkitkan kembali semangat dan jiwa muda yang menginspirasi, dalam doa dan keajaiban. Ia yakin akan perubahan. Masih terus dalam impian sinaran perbaikan, terus mereka saksikan RENDY IVANIAR berproses menuju kematangan yang menakjubkan, membentuk simpul simultansi RESPECTFUL yang tak terelakkan.

Ya, hingga jadi begitu hangat dan bersahabat, menempuh jalan amanah dan tanggung jawab. RAISTA as LARA CROFT tanpa ragu menyatakan bergabung untuk sebuah pertalian yang mapan sebagai tim kebenaran. Sebab ia telah pula melalui masa penjelajahannya, to overcome the con. Senjatanya jadi masif di genggaman, melindungi siapa saja yang tersakiti di Fakultas Hukum, Fakultas Hitam Merah Putih. Hingga cahaya biru berkelebat dan mengisyaratkan bahasa pertemanan, tanpa memandang asal dan latarbelakang, dalam sebuah bingkai kebaikan, INVISIBLE APRILIA menjadikan segalanya mungkin terwujudkan. Pribadi tegas dan tanggap, percaya bahwa mulai dari sinilah sinaran Fakultas Hukum Univesitas Brawijaya akan ditemukan.

Dengan dimensi perubahan, sahabat mereka BAHRUL as NEO MATRIX membawakan dimensi baru tentang konsep perjuangan dan arah gerak perubahan. Di tengah interaksi masifnya dengan RENDY IVANIAR, ia mempercayai bahwa sosok karibnya itu adalah bentukan pencahayaan EXTRAORDINARY SERVICES yang dibutuhkan Fakultas Hitam Merah Putih. Mereka akhirnya disatukan.

Hingga di malam lain yang gelap di Fakultas Hukum, terdengar sebuah pergerakan yang menghebohkan di luar ruang pertemuan. Sembilan HEROES itu sontak membuka pintu, namun hanya angin yang berhembus panjang... dingin menghunjam, lalu melayang suara di udara, meeeoonggg... IIS as CATWOMAN, menampilkan diri dalam jubah panjang hitam yang misterius, sarat refleksi keberaniannya yang semakin menyempurnakan pertalian tim kebenaran, HEROES yang kini cukup untuk memberikan sinaran bagi Fakultas Hitam Merah Putih.

Lalu berbincanglah mereka untuk menentukan langkah konkret selanjutnya.
Bahwa kepemimpinan adalah syarat dari sebuah bangunan visi dan misi perbaikan.
Maka naiklah RENDY IVANIAR sebagai PRESIDEN #1 .
Lalu mereka membuntuti sebuah tanggung jawab peradaban, beriringan, menjadi DEWAN SENAT MAHASISWA, RAISTA #4, BAHRUL #5, NOVADA #6, GANJAR #7, DILA #10, APRILIA #12, YOGA #16, IIS #18, dan BAGUS #19.

Dengan jiwa para HEROES, membersamai langkah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dalam JUSTICE LEAGUE!

HEROES!!! GO FIGHT WIN!

Tanggal 21 Desember jangan lupa pilih #1 saja untuk PRESIDEN FH UB. Jangan sampae kelewatan!
Dan temukan kepribadian HEROES-mu dengan memilih DSM #4, #5, #6, #7, #10, #12, #16, #18, atau #19. Yang penting, tetap SATU untuk RENDY saja yaaa :D

Sebab inilah, kesungguhan JUSTICE LEAGUE membawa jiwa HEROES bagi FH UB tercinta.
Gunakan hak pilihmu untuk keadilan, sobat! :)

Sunday, December 11, 2011

Little Sweet Mischievous Girl

by : Alfajri

Never be so hard to fix what you willing for and I used to be like me, whom the red story never end by time.
As you told me that we are would not be unity.
As you bought me some 'nutrition' of story of the other country.
As I listen the ring on your phone, I was getting stuck with my own. 
What you said, was just about me as a Non-moral symbol on your luxury word.
Trust me. It work.

As the wind sent this song to my heart. 
Like a bird swing, willing to win the wind' direction.
Huft. Do am I?

Thursday, December 1, 2011

sekolah intelektual muda : alhamdulillah.. mantapp!


Intelektualitas merupakan suatu syarat mufakat bagi tendensi kehidupan dan setiap pergerakannya. Intelektualitas pula menjadi aksidensi pembeda yang menemui titik strategisnya dalam penyempurnaan klausul seorang pemuda. Sederetan nama universitas ternama sejatinya adalah suatu polis yang sengaja disetting bagi pemakmuran intelektualitas. Pula berjuta-juta penemuan dan dialektika premis sosial merupakan narasi kesejarahan dari pergumulan intelektualitas. Maka keberadaan kaum intelektual asasinya telah menjadi suatu syarat mufakat berdirinya peradaban yang cemerlang juga kebangsaan yang masif-berkembang.
Indonesia di tengah carut marut dan pesimisme obrolan kaum bapak di warung-warung kopi rupanya bukanlah bangsa yang miskin kuantitatif intelektual muda. Perakaran pergerakan kaum intelektual Boedi Oetomo telah meletuskan semangat membara layaknya sumpah Palapa Gadjah Mada. Kala itu mereka bukan orang-orang biasa, tapi kumpulan intelektual muda yang bertemu akaran nalar sistematisasinya dalam rangka mengubah dunia! Pemuda dan intelektualitasnya, secara langsung telah menemui kesetaraan klausula berikut sinergitas matang sebuah narasi panjang kebangunan pemikiran dan penghidupannya.
Indonesia di tengah nuansa saling rebut dan rumah-rumah kardus di Ibu Kota rupanya juga bukan bangsa yang secara kualitatif miskin intelektualitas. Ketika kemerdekaan di suarakan di jalan dan koran, saat itu pula akulturasi philos kebangsaan mengerucut dalam rangka menuntaskan perspektif kenegaraan. Hingga dalam berbagai sudut dan pergulatannya, Soekarno memunculkan satu ekstase politiknya yang paling fenomenal, NASAKOM. Suatu manuver yang pada putusan akhirnya juga tak mampu membendung aliran deras para pemikir tingkat negara. Sebab ke-bhinekaan ini bukan hanya soal bahasa, nyanyi dan tari semata. Ini soal arah kebulatan menjadi Indonesia, kerat intelektualitas yang begitu kaya warna.
Dalam pada itu, mafhum-lah kita akan problematika perkara intelektualitas yang belum lagi menemui titik terang tumpuan energi dan dinamisasinya. Carut marut vertikal horizontal yang mengundang pesimisme obrolan warung kopi ataupun nuansa saling rebut yang mencipta kaum marjinal rumah-rumah kardus rupanya bukan karena kekurangan kadar intelektualitas bangsa. Ini masalah lupa. Kelupaan yang menjamuri setiap gerak dan langkah percita-citaan kenegaraan yang sudah tanpa nyawa. Kelupaan yang pada titik nadirnya memenjarakan kita pada arah gerak bangsa yang sehat bergelora, BERANI menentukan ketinggian asumsi dirinya sendiri.
Kita tentu tak akan pernah bisa diam di rumah untuk duduk menunggui bencana datang akibat kejumudan massal bangsa raksasa ini. Atau terus berkutat di meja-meja kuliah untuk mendengar celotehan para dosen yang juga habis jiwa. Sejatinya kita akan bisa mengulang sejarah kemenangan. Sejatinya itikad suatu kaum akan di-amini sebagai doa yang kontan termanifestasi.
Sekolah Intelektual Muda akan hadir bersama semangat tentang intelektulitas yang ranum pudar di percabangan akar nalar yang hilang. Demi membangkitkan nyawa dan jiwa di tiap-tiap ruang. Merangkulkan jejakan idealismenya untuk anak bangsa yang butuh nutrisi paling sehat mengenai pergerakan, percita-citaan dan penemuannya dengan dialektika kesejarahan yang tak patut untuk dilupakan, sebuah narasi kemenangan!
Terlahir dari lorong kampus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Pemikiran untuk pertama kalinya tercetuskan adanya Sekolah Intelektual Muda rupanya tak akan bisa di mampatkan kembali. Sebab pemuda adalah kita dan legist constituendumnya ialah intelektualitas yang terjiwai dalam tiap-tiap ruang dan lorong Nusantara Raya.

Monday, November 21, 2011

Mas Bunga Menggalauspirasiku

Cinta, cinta dan cinta. Cinta terus, cinta melulu, cinta aja. Cinta. Ya, Ibnu Taimiyah memang yang paling saya sukai untuk satu frase ini. Bergabungnya romantisme dan maknawiah prinsipil yang keren abis. Cinta, dijadikan suatu perspektif membedah masalah ilmiyyah. Dan rupanya disana pula kita temui mata airnya.

Nulis apa tentang cinta saya juga gatau mau bakalan jadi kayak gimana. Cuma sekedar penasaran. Waktu itu pernah ditanyain sama mas - sebut saja - Bunga. "dek kamu pernah deg-degan gitu ga kalo sama cowok mana gitu?". Saya cuma bisa tertunduk lesu, "kagak mas, saya nggak normal kayaknya yak?" -,-

Ini gara-gara barusan saya banyak baca buku melow begitu, hah bener-bener sial.
Ditambah notes dan puisi di blog yang juga cinta-cintaan, loving-lovingan sama mahabbahan. --"
Saya kembali tergelitik. Untuk menemui setidaknya satu resolusilah untuk kebotakan ini. Ckckck

Tar tar saya pikir ulang, saya pernah merasakan yang dideskripsikan sama si mas-mas tadi ga ya?
Agak berasa gak penting sebenernya, belom esensial gue ngomongin ginian
Cuman lagi-lagi. Men, gue udah pernah bantuin orang yang kelibet masalah ginian, Bro, gue udah bikin cerpen sedih soal ginian, wew! Dan gue pernah bikin free writing yang judulnya "cinta"... Dan gue masih bingung ngejawab pertanyaan tuh mas-mas pada-pada.

Oke, tarik nafas... hembuskan.. saya harus kembali on the track! ini resolusi yang harus di dapat sebelum kegatelan di permukaan otak ini tambah parah.

Yap! Pernah, mas Bunga! Sekarang deh, tar tar, besok saya keliling UB dulu, nyari-nyari, nggak gadhul bashar dikit, asal saya nggak cuma tau lewat tulisan orang aja. Tapi pengalaman juga.  Udah mana orang-orang ketawa juga pas dibilang, "Saya berpakaian kayak gini tuntutan fiqh, begini begitu juga tuntutan syar'i. Emang apan?" Sial. Benar-benar sial. Beeeh... pusing.


ReadingSmileResolution (edisi loncat)

Sudah cukup lama saya tak membuka laman blog ini. Agak sedikit kaku rupanya, seperti sebuah batu yang dipaksa mencair dan mengalir, yang ada terhanyut, tidur dan tenggelam. Ah, galau lagi. Hahahaa..

Padahal memang tak semestinya seperti itu, yaa.. akan ditampakkan aib mereka yang menghiasi diri dengan yang tak dimiliki. Dan dalam suatu kerangka yang tampak mengagetkan, saya pun mulai beranjak mengoreksi, jangan-jangan saya ini.. mm semoga saja tidak. Aamiin ya Rabb sesungguhnya Engkau sesuai prasangka hambaMu.

Saya coba menulis saja, sebuah nalar Buzan berkata bahwa tulisan adalah apa yang dituliskan, apapun itu. Bukan berniat membenarkan diri sendiri sih, hehehe... mentang-mentang sering stuck nulis. Cuma mencoba memotivasi diri sendiri. Hidup ini disetting bersama rezekinya, rezeki hati juga, yang hidup dan yang mati.

Jadi ingat, pernah waktu SMA saya berpikir meluncur (beneran luncuran banget mikirnya) soal mati dan bekal mati. Dan yaa... konklusinya memang terselesaikan dengan suatu energi yang tak tergambarkan, energi yang tak lagi saya rasakan di lini-lini nadi saat ini. Energi amal. Energi untuk mempersiapkan. Waktu itu, jadi begitu rindunya, mau bertemu Allah saja, hmmm sudah cukup cantik-kah dandanan ikhlas dan ibadah saya? Tapi waktu berjalan dan kini sudah - kira-kira - empat tahun terlewati, saya lupa kalau saya rindu juga. Hati keras, jadi batu yang suka marah dan memberontak. Kering.

Ah, dan setiap kali ujian macam ini datang, biasanya saya tahu ada yang tak beres. Sayang, kini saya sampai tak mampu lagi meneliti. Yang saya katakan kepada seseorang waktu itu, cuma kalimat bathil yang mungkin juga tak akan dipahami siapapun, I've gotta confused fever, just like I don't know what I've to said. Just like the bells ringing and I need to class, sit in, listening. I know nothing. Sebab saya-pun jadi tak memahami kata-kata sendiri.

Kita loncat - begitu definisi kebanyakan mereka tentang saya sekarang - ke masalah lainnya. Sebab saya tak ingin berlama-lama bercerita soal gangguan jin di blogger. -,-

Perjalanan hidup memang begitu berarti. Sebab sekalipun ia hanya 2 menit dalam batas bandingan dengan waktu-waktu akhirat, ia adalah medan pembuktian. Pernah juga liarnya luncuran pikiran saya berbicara soal tebak nuansa saat Allah menurunkan Adam alaihis salam dari surga. Hehe... oleh karena hanya diturunkan itulah waktu dunia dan akhirat jauh berbeda, sebab yang namanya hukuman itu pastilah tak ada yang selamanya. Suatu klausul mula akan datang pada asalnya, dan dunia ini yaa... bukan rumahnya manusia. Kita di uji keimanannya untuk dipilihkan surga atau neraka. Atas dasar friksi logic yang sesat kebanyakan ahli kalam - selain saya (itu juga saya bukan ahli cuma tau dikit --") - melanjutkan bahwa ini adalah pembersihan dosa Adam alaihis salam.. Naudzubillah.. padahal tak ada dosa yang terlimpahkan pula tak ada keterangan nashnya. Ya... begitu.

Memang keterlaluan kalau suatu ke-liar-an berpikir tidak diberi ilham hidayah dan potensi kehendak baik Allah terhadap seseorang. Termasuk saya mungkin. Ya, begitu banyak nikmat yang tak sanggup saya panjatkan syukur di selipan shalat dan doa-doa. Ya, Allah sungguh tiada luput bagiMu segala suatu apapun, MasyaAllah, Allahuakbar.

Setiap kali datang saat-saat kelam... kita tahu setelah ini ada hujan.
Setiap kali hati ini tak tenang, pastilah dosa yang amat besar membercak butuh air yang membasuhnya lagi.
Setiap kali begitu, hanya diriku sajalah yang datang kebathilan daripadanya.

Ya, tapi ku ingat murobbi ku berkata, bahwa ini bukan juga masalah kesalahan penciptaanku, Ya Allah Maha Suci Engkau
Ya, bahkan musyrifah ku berkata bahwa ini ujian keimanan yang tak akan diberikan pada orang yang tak mampu memikulnya
Mereka membesarkan hatiku

Sebab janganlah ada di antara ummat Muhammad yang meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka terhadap Rabbnya...

Allahu Akbar walillah ilham

Wallahu warasulu 'alamu bi shawab

Tuesday, October 11, 2011

What a great

Ada yang tahu gimana rasanya bisa bikin tulisan dengan sepenuh hati? Atau gimana rasanya menulis dengan segenap emosi? Satu lembar a4 margin standar. Sampai saat ini, definisi atas emosi atau hati, gue masih juga nggak ngerti. Ah, ya, gue suka berlagak nggak ngerti karena dengan begitu, orang-orang bakalan mau berdiskusi sama gue. Coba lihat, waktu itu kakak tingkat yang bener-bener gue harapkan, cuma senyum aja waktu gue jelasin esai 20 lembar itu. Gue jadi alay. Masa' curhat di blog? ah, gilani.

Waktu suatu ketika, beliau turun dari podium mewahnya (podium yang mau banget gue bawa pulang haha)
"Why'd you said something like that, Prof? Don't you see, everyone catch you as an arrogant symbol."
Lalu dijawabnya, "Tidak ada satupun bahasa yang merangkum semua pemaknaan, I."
Dan si penanya masih sembilan tahun waktu itu.

Sebuah prinsip yang entah, begitu dalam. Sebuah kalimat yang entah, begitu membekas. Suatu momen yang entah, begitu bersejarah. Dan ya, sebuah pengajaran yang begitu patut dirindukan.

Aku begitu bangga. Menyusupi sudut-sudut kepunyaan egosentrisku yang menyala-nyala. Aku bersyukur?

Maka doktrinasi itu jadi begitu menyesap selayaknya kerendahatian pancaran positif rela digantikan simbol elektron negatif di buku-buku fisika. Aku cuma menunggu hadirnya lagi. Saat seorang professor sedingin itu, secerdas itu, ya... se-elegan itu, se-kaku itu, se-cuek itu, perlahan terejawantahkan jadi diriku. Ah, iyakah?

Aku juga keras kepala. Aku juga keras kepala. Benar-benar gila keras kepalanya. Sepertinya.

Friday, September 23, 2011

Flew away

Daddy I just love you. I'd know it before I know what love is. And I never hate you ever after, just like I said. Daddy I just missing you. I'd sure it before my mother tell me about you. And I never forget all the things you said, though you not said it for me. Daddy, why'd I always thinking about you. Daddy, your name was inspected my heart like a police do to the prisoner in a jail.

As I sent this day to not left you away on my mind, As I flowing into the rest of my own scared
As I hope you know me like the day we met in the airport
You will never be the other daddy

You will be like you, like everyone knowing you as someone named by your name,

Monday, September 19, 2011

Revolusi Ilalang

Revolusi Ilalang
oleh : Alfajri

Aku mulai berani berkata "aku". Sebuah titian dalam rujukan khas diriku. Sebuah langkah-langkah biru yang melukis pelangi unitas hati yang masif membatu. Dan ia, "aku" jadi seseorang yang lain yang tak merangkum kata-kataku.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Itik kecil mendayu darat dari cangkang cicitnya
Menetaskan dirinya dalam nyawa hidup pribadinya
Itik kecil mencari makan di rumputan ilalang
Sebab cangkang akan patah bila diinjak kaki
Dan ia menyelamatkan sekujuran sendirinya

Maka
kabarkan kepada kaum pengemis dan gelandangan
karena koruptor masih bebas gentayangan
karena hukum sulit ditegakkan
karena keadilan niscaya digadaikan
maka yakinlah, tuhan akan melaknat mafia peradilan
dan kaum revolusioner tak 'kan tinggal diam
menyeret koruptor ke tengah lautan
untuk ditenggelamkan!

Oleh sebabnya kau ada disini
karena pengemis keadilan ada sisian kanan kirimu
Oleh sebabnya jiwa bangsamu merah putih
karena lalulalangnya para hati jalang bebas menutrisi hingga ke dalam-dalamnya sanubari
karena revolusi selalu digemakan
karena revolusi sekedar basa basi di busa-busa bisa para diktatoral sasana
Revolusi ilalang

Sementara itik kecil masih mencari-cari jati diri
Ini perihal suara binatang lain
Yang lebih tinggi dari ilalang kiri
Sejatinya awan putih berserak seragam mewarnai
Itik kecil masih menyelamatkan dirinya sendiri

Maka
kabarkan kepada para janda di rumah-rumah singgah
kabarkan kepada para tuna wisma yang tak lagi kenal bahasa alfabetmu
karena katanya mereka sekedar wanita tua renta
karena katanya mereka tak lagi bisa apa-apa
Sampah! Masalah negara
maka yakinlah, tuhan akan melaknat para dukun yang mendekatkan kecurangan dalam akar nadi para culas
dan kaum revousioner tak akan tinggal diam
menyeret para culas sesumbar ke tengah lautan
untuk ditenggelamkan!

Oleh sebabnya kau ada disini
karena rumah-rumah singgah itulah dirimu juga
Oleh sebabnya kini garudamu kalah tinggi dari satelit satelit NASA
karena berbicaranya para naif, bebas menutrisi hingga ke dalam-dalamnya sanubari
karena revolusi selalu digemakan
Revolusi ilalang

Bukan, bukan revolusi ilalang dari mata-mata kotor para mata yang sok berkuasa
Bukan, bukan revolusi ilalang yang terbang jauh sendirian
Bukan, bukan revolusi ilalang
Bukan revolusi ilalang yang runtuh penghabisan masa berlakunya hijau muda
Bukan revolusi ilalang di perbatasan merunduknya dilematika kuning tua

Oleh sebabnya kau ada disini
Sesegeranya itik kecil menahan patri di hatinya
Sesegeranya itik kecil memecahkan cangkang dengan independensi injakan kaki

Sesegeranya dirimu bangkit dan bersuara, HIDUP MAHASISWA!

Saturday, September 10, 2011

...the beginning - burn all poison

Mekkah, sebuah dimensi yang sempurna. Bagi rukuk dan sujudnya makhluk-makhluk fana. Dan aku terpana. Ketika Mekkah jadi bayang-bayang ingin yang merajalela. Disana dan disini. Kutemui ia. Ini setting yang begitu basi untuk ditarik hidangkan diatas meja kronik kisahku. Toh aku belum pernah juga kesana. Ah, aku, sekedar ingin berkata-kata saja. Kata-kata yang dimengerti oleh setiap hati. Sederhana saja. Merana, mulai tercerabut iman dari akarannya, sebuah nuansa yang perlahan tertawa ria di pinggiran warnawarna Aku yang merana Rasanya gersang dan hanya bisa bicara yang menyakitkan saja Tanpa kualitas Babak baru perenunganku, ditinggal mati sosok konkret sahabatku Aku marah, Tercerabut iman dari akarannya Jadi golongan orang paling lemah dan tak berdaya CUma bisa hihihaha saja Jadi pendusta yang setia, pada apa saja Tentang apa saja Dengan pemerintahan janna, dengan segalanya Dilaknati binatang pagi, siang dan malam Dan orkes sirkus mereka Ya, hinanya Aku, kan

Dare to be newme!

Hidup memang parah!
Mulai dari seremonial yang hilang makna sampai perputaran pikirnya yang nggak nguatin! Dan dalam siklus yang begitu panjang, kita jatuh bangun untuk mencari akhiran yang terbaik.
Kedewasaan itu penting, nggak guna kalo paham integral justice tapi tetap-tetap aja bertingkah konyol dan keras kepala. Perbedaan kosakata atau latarbelakang kronik kisah nggak boleh jadi hambatan. Justru perbedaan itu bakalan bikin dunia tambah kaya. Gue harus paham, kalo berbicara itu memang tatarannya ruh bukan jasad. (aduh apadeh)

Ya, inilah, sedikit kata untuk memulai sebuah fase baru seorang gue yang aca ucu. Semangat!

This is my newme tema semester ini.. "Resolution, Concrete movement and Smile" (RCS) asik ga tuh ? :D
-Tugas kuliah is number one to be done in time
-Baca buku hukum yang SESUAI matakuliah yang diambil, minimal 5 jam sehari -Menjauhi shakespare, nicollo marchiavelli dan hans kelsen untuk tiga bulan pertama
-Tilik ulang Leo Tolstoy yang mau dipinjemin mbak Airin
-Baca majalah dan booklet
-Baca buku terjemahan
-Jauhi kamus
- .... more in the other doc

GAMBARIMASU RESOLUTION, CONCRETE MOVEMENT AND SMILE :)

Monday, August 22, 2011

Jembatan

Ilalangnya menari di angkasa. Sebatas mimpiku berarak menuju ke surga fana, surganya dunia yang semata-mata ada. Ilalangnya di angkasa, sebarisan kata melukiskan kenangannya pada warna-warna yang berbaur jadi sebarisan logika. Logika yang membelakangi angka-angka. Angka-angka cerita, bilangan tahun dan tanggal-tanggal yang tersisa dari lembutan aral yang tersingkirkan dari dilematika fatamorgana.
Ia tak ingin terjembatani dirinya. Sebersihnya nada-nada yang memutus tali sengketa dari suara. Setulusnya rancu berpisah dari senjang moral yang berbahasa sama. Selepas bergetarnya pesona yang tak terangkaikan dari cabang-cabangnya. Mozaik yang kehabisan perekat ajaibnya. Tak tergambarkan, jadi kisah di puisi-puisi imajinatif yang jauh dari kerangka ingin tuan-tuan sekalian. Mati suri, ingin hidup sekali lagi

Monday, May 23, 2011

Simple opinion

I've read your update opinion this morning, dad
And I've ever dream to not to tell my own that you are the best ever after.
While I'd know that you are the great one

Maybe the life was sent to known people about their not-unconditional-round-of-life
Then, you choose the right answer while you announce me about it. Great you, Mr!

This is time to remind. While I have nothing to share. When my mom send me a simple message this morning. About you, dad. Did you remember? We always share our "hegel's principle". What a LOL.

While I have nothing to share. And my project was failed all around. As the radict you show me. The proven isn't improve perfectly. The sounds like a crack. crash... crash.. then CRUSH! hahha
love it!

Tuesday, May 17, 2011

Just a simple life

Mr. Master Professor ada di ruang putihnya ketika aku menemuinya. Dan kini, kami duduk berhadapan, mengalirkan scenario pembicaraan kaku yang seharusnya tak dimainkan oleh aku dan dia. Aku tak mengerti bagaimana bentuk sayang dalam ruang dingin hidupnya. Sebenarnya aku ragu ia punya bentuk itu atau tidak.

Umurnya tigapuluh delapan tahun dan aku bisa melihat beberapa helai ramput putih di anak rambut samping kanan kirinya. Kacamatanya bulat tebal berbingkai silver mengkilap dan terlihat mahal. Ia terlihat lebih tua dari saat aku bertemu dengannya tiga bulan yang lalu dan sepertinya beban akademisnya lebih bertumpuk dari sebelumnya. Di mejanya ada tiga tumpuk buku besar dan dua tumpuk map warna-warni. Ia akan mempelajarinya setelah aku pergi nanti, katanya. Dan kurasa aku memang tak bisa lama-lama disini.

Dia sangat kucintai, seseorang yang berarti. Seseorang yang sebenarnya ingin kupeluk andai aku berani dan andai dia mengijinkanku untuk melakukannya. Dia sangat berarti sampai kapanpun, walau silih berganti manusia datang dan pergi dari genggaman tanganku. Dia memang jarang ada. Dia benar tak punya waktu untukku yang dianggapnya tak begitu penting – aku telah lama mengetahui. Aku memang hanya bisa membuatnya mengerutkan dahi karena semua pembantahanku terhadap interpretasi hidupnya. Aku memang telah menjatuhkan martabat seorang cendikia sepertinya. Aku autis, begitu katanya.

Aku merindukannya. Entah, tapi aku merindukannya. Aku menangisinya. Entah, aku tetap menangisinya. Aku memang tak berguna untuk dibanggakannya. Aku memang bukan siapa-siapa.
Kini, ia masih tak memandangku, tangan kanannya sibuk di atas mouse computer yang di kanan meja kerja-nya. Matanya tertuju untuk layar radiasi. Dan aku berkata-kata seperlunya, untuknya yang biasa membalas penalaranku dengan mengatakan, “okay” atau “don’t”. Kami sudah sering bertengkar jika duduk berhadapan dan mungkin hari ini ia sedang malas melakukan itu lagi.
Aku tidak tahu apakah dia tahu bahwa apa yang kuketahui tentangnya adalah; aku mencintainya. Aku tidak mengerti apakah dia mengerti bahwa rangkuman pengertian dalam semua alir kalimatku hanyalah; cintaku padanya sederhana saja. Dan aku sekedar anaknya yang mencintainya sederhana saja.

“So, what do you want to do here, I?” ujarnya membuka suara
“I’ll get my test next month.”
“Test?”
“My first high school’ semester test, prof.”
“So?”
“There’s never gonna be better when I talk to you.”
“What’s next? You seems like your mother, I. Don’t complain.”
“Okay, isn’t so important. Sometimes I hope you come to school and take my school report, Prof.”
“I’m busy.”
“I know that. And you won’t try.”
“You just ask for something like that, kid?”
“Like what?”
“A nonsense. You said you know that, but you asking frequently.”
“I’m gonna be very cool because of you, Prof. Don’t you realize?”
“Whatever.”
“You are so funny, Prof.”
“No, but you and every Moslem in the world are so funny.”
“You have to be more wise, Prof. You put a fire on my finger, you know what happen next? I’m buried.”


Dia tertawa terbahak. Lalu melepas tangan kanannya dari nyala mouse. Pria itu mendudukkan dirinya tegak seketika, lalu memutar kursinya untuk berhadapan mata denganku.

“I like you, I. Because you said what I said.”
“I’m your daughter. Don’t you remember?”


Ia kembali terbahak; terlihat benar-benar terhibur. Lalu katanya, “Right, tell me what do you think this time? Because I put a fire on your finger and now, I look at your dragon, I. I’m afraid and I hope you will not gaze at me for twice like that. Hahhahaa….”

“I don’t like you, Prof. Because you said something I won’t said.”


Ia berseringai, “Okay, What do you want to say? I’m waiting for your opinion.”

“You always like that, and I’m always like this. We’ll never be unity. And you not make it better when you tell me about Moslem. I’m a Moslem and I’m not funny, when funny is a phrase you take to mocked.”
“Why? I think “funny” is one of the funnies phrase to mocked.”
Ia tersenyum, “Don’t you think that your God is everything to live? It so funny, I. don’t you know that I’m the best professor in my faculty? Of course you know and there’s many Moslem, Christ, Buddhist, what’s next? But they can’t do the best like me. They have the God you tell me in every our meeting.”
“You have to be wiser; Prof. The wise man was never said the arrogant view for his first statement.”
“Why I must do that? You are just a kid. And every wise man just hides his arrogant view until he find the good time. Isn’t it more arrogant? Why I must do that buffalo’s style?”
“Because you’re the best Politics Professor in your University, did you forget it? And the other professor takes ray to be his plane model. Why you don’t try to study like the beginning professor?”


Ia kembali berseringai khas. Lalu berdiri dan membenahi setelan dasi dan jas formalnya. Ia tersenyum lagi padaku, kemudian berkata, “I’m hungry, I. Don’t tell your mom, I buy you Japanese food this night. I want you sleep in my apartment tonight, don’t call your mother. Because I must do some job until fajri – your district, right?”

“Is not a district, Prof. It just a name from my mom.”
“Don’t say anything until we are in the restaurant. And I give you the best name I’ve ever think, Mira I.”


Dan kini aku tak tahu apa yang harus ada di kepalaku. Setelah ini – biasanya – pertengkaran dan perdebatan kami akan dimulai. Dan aku harus makan masakan jepang yang rasanya menjijikkan bagiku. Adakah yang bisa memberi saran untuk berpikir? Dan aku tahu kalian tak mengerti, aku memakluminya. Memaklumi kesendirianku. Memaklumi bahwa mungkin hanya aku anak berumur tigabelas tahun yang seharusnya tak dilahirkan.

:D

Empat perempuan berwajah oriental menyambut kedatangan kami. Mereka berderet membawa masuk ke bagian dalam restoran Jepang favorit Mr. Master Professor. Dan segera saja, seorang laki-laki menghampiri kami untuk tersenyum dan berbasa-basi; sebab pria yang berjalan di sampingku adalah pelanggan masakan restoran ini sejak lima bulan lalu.

Aku samasekali tidak perduli dengan perlakuan istimewa yang mereka suguhkan untukku. Senyum tulus mereka kubalas dengan seringai setengah berpikir dan sapaan mereka kubalas anggukan pelan yang kubuat se-kikuk mungkin. Aku tak bermaksud apa-apa; aku hanya ingin menjahili mereka saja. Hahhaa.

……

Jasmine tea hangat rasa cokelat telah banyak membantuku menghadapi menit-menit beku bersama dosen keras kepala yang kini sibuk melahap serentetan sushi di hadapannya. Sementara aku tak menyentuh telur dadar yang disebut Californian grill yang tadi ku pesan – semewah apapun namanya, makanan itu tetap sekedar telur yang di dadar bagiku. Aku berlumut disini; terlalu banyak disiram hujan dan panas yang sekedar sepertiga.

Dan aku tak tahu apa yang akan dikatakannya setelah sushi terakhirnya lumat dari mulut laparnya. Ya, kalau dipikir-pikir, mungkin dia sering kelaparan di tengah jam kerja-nya. Lapar apa saja, sepertiku. Lapar kasih sayang karena sendirian, lapar perhatian karena sendirian, atau bisa juga yang paling denotative; lapar perut karena tak ada yang mengurus, tak ada yang mengurus karena sendirian. Halah… sudahlah! Jika hati baikku berempati padanya, nanti dia jadi semakin besar kepala.

Ia seorang imigran Cina berkewarganegaraan Jepang, dan aslinya tidak fasih berbahasa Inggris. Dulu aku pernah di ajari-nya berbahasa satu, Nihon-Go. Tapi aku menolak dan memberontak saat ia memutuskan pergi tanpa ku ketahui alasannya; aku masih kelas dua SD waktu itu. Dan sejak saat itu aku mati-matian mendesaknya berbahasa international, aku memang tak suka belajar bahasa Inggris tapi aku membenci mother language Professor sok pintar itu.

Hingga kini, aku hanya jago berbahasa Inggris praktis karena aku malas belajar di sekolah. Apalagi sejak beberapa dokter kenalan ibuku benar-benar memvonis-ku sebagai penderita autis. Apalagi setelah pria ini mengatakan bahwa ia sebenarnya mengharapkan aku terlahir sebagai anak laki-laki yang “normal”. Aku pernah berjanji padanya, akan kucari menantu super cerdas untuknya nanti; tapi dia berseringai pagi itu, tetap meninggalkanku. Aku sudah tak nafsu belajar; tak akan ada artinya, tak akan ada yang membelikanku sepeda baru atau senyuman bangga, aku tak diharapkan kelahirannya, pikirku.

Aku memang telah banyak mengecewakannya. Mengecewakan mereka. Entahlah.

Mereka bilang aku bukan anak laki-laki yang bisa meneruskan district ayahku. Dan dia begitu sibuk untuk mencoba punya anak lagi. Ia telah membuang wanita untuk selama-lamanya, katanya. Ia mencintai ibuku di masa lalunya, benar-benar mencinta, tapi aku tak tahu jika akhirnya ia pergi dan menceraikan dengan kasar. Hah! Dia terlalu rumit, karena hanya sepotong cerita yang dibagikannya kepadaku. Mungkin sederhana masalahnya tapi ia selalu sulit menemukan orang yang pantas untuk diajak bercerita; banyak rahasia; banyak yang menurutnya harus dirahasiakan.
Dan karenanya, aku juga jadi sepertinya. Menyimpan rahasia sederhana, yang membuatku terlihat rumit di luaran. Aku memang benar-benar keturunannya; membawa sifatnya. Hahahha…. Aku tidak senang. Dan ku harap kalian tidak menertawakanku.

Bercerita tentangnya seperti memegang diriku yang sebenarnya. Ia orang yang buruk dalam pandanganku; mungkin ia mengidap penyakit psikologis yang lebih parah dari autis yang mengharuskanku mengenal music Beethoven selama sepuluh tahun. Oleh karena itu, aku jadi membenci diriku sendiri, aku sepertinya juga.

Dia benar-benar pragmatis. Lebih pragmatis dari ibuku yang seorang manajer keuangan. Sembilan bulan yang lalu adalah kali pertama kami bertemu sejak ia meninggalkanku delapan tahun lalu. Tahu apa alasannya? Karena ibuku meneleponnya, menyampaikan hasil tes IQ terakhirku yang 135 dan hasil diskusiku dengan dokter sok jago yang menilai-ku cerdas di atas rata-rata. Ia datang menemuiku seperti orang idiot yang mendapatkan kembali balon merah mudanya. Jadi sebenarnya siapa yang cacat?

Aku memang kesulitan menatap lawan bicaraku dengan wajar. Ya, aku memang bisa saja jatuh di tangga karena merasa sudah mengangkat kaki kananku yang sebenarnya tak bergerak sama sekali. Aku memang tak bisa menguasai konsep ketik sepuluh jari, bahkan di umurku yang tigabelas tahun saat ini. Jika kalian mengatakan frase deskripsi perasaan dengan penuh keyakinan, aku akan terhipnotis tanpa kalian ketahui. Dan aku bisa saja memikirkan satu pertanyaan nonsense selama duapuluh empat jam di atas tempat tidurku, tanpa makan, tanpa merasa perlu ke toilet. Oke, aku memang tak bisa dibanggakan seorang Professor “jenius” seperti dia. Tapi dia juga tak bisa kubanggakan sebagai orang yang bisa kupanggil “dad”.

Dia memang istimewa, dan aku tak istimewa sebagai anak orang yang istimewa. Seperti yang pernah di katakannya.

Hanya akal yang menjadi kekuatannya. Mungkin karena hanya itu sajalah yang membuatnya menjadi orang yang berpengaruh di TODAI. Selain itu akal juga menjadi bahan dikotomi hidupnya, antara yang pantas di anggap ada atau tidak. Dan rupa-rupanya ia benar setia dengan dikotomi itu, walaupun mengharuskannya membuangku karena aku autis dan kebanyakan anak autis idiot dan nakal; walaupun sebenarnya aku tak tahu alasan sesungguhnya tapi prasangka-ku terhadapnya selalu logis.
Aku memang idiot dan nakal sejak dulu. Aku memang idiot, aku tak pernah menyerap pelajaran seperti apa yang dijabarkan guru-guru yang bercicitcuit di depanku, aku tak pernah belajar dari penalaran mereka – itu tidak normal; itu menyakitkan dan melihat teman-temanku tersenyum akibat sesuatu yang tak kumengerti lebih menyakitkan lagi. Dulu ke-idiotan-ku sangat parah, ini sekedar satu contoh kecilnya saja; seorang guru memasuki kelasku dan menurut jadwal ia akan bercicitcuit tentang operasi penjumlahan satuan hari itu. Kalimat pertama yang di katakannya adalah, “selamat siang, anak-anak”; kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku tak bisa mengontrol otakku sendiri, aku tak bisa memerintahkannya untuk memperhatikan “operasi penjumlahan satuan” yang dijelaskan di hadapanku sebab aku telah tenggelam dalam pemikiranku sendiri tentang kalimat, “selamat siang, anak-anak”. Aku seperti ditarik sebuah tali yang amat kuat, yang tanpa kusadari telah membuatku menundukkan kepala melihat meja belajarku, membuatku memforsir diri sendiri memikirkan sesuatu yang seharusnya tak kupikirkan; membuatku melewatkan detik-detik penjelasan teori operasi penjumlahan satuan pertamaku. Sekarang, aku masih seperti itu dan sebagai gantinya, aku hanya boleh tidur empat jam sehari untuk mengejar ketertinggalanku di sekolah – aku sering sekali melanggarnya, maka jadilah aku anak yang “benar-benar idiot”. Tapi karena hal itu, di umur tiga tahun aku telah mengerti bahwa siang ada setelah pagi, bahwa manusia akan mengatakannya setelah jam menunjuk lewat angka sebelas, itu sebelum jam makan siang, tapi ia akan membawa cahaya kuning di lapangan sekolahku dan oleh karenanya pohon beringin akan berangin panas sementara melindungi di bawahnya tetap sejuk; aku bisa memikirkan sesuatu tanpa pengganggu disana karena biasanya tak ada murid TK lain yang bermain disana saat siang – tentu saja karena mereka punya ibu yang selalu siap menjaga mereka tak melewati lapangan terik.

Aku memang nakal, aku tak pernah tidak membantah perkataan orang dewasa. Aku membantah semua interpretasi dan aku ke kantin di jam-jam pelajaran semauku. Frustasi karena ke”autis”anku. Tapi mereka tak ada yang tahu. Jadilah aku pelanggan tetap ceramah guru BK sekolah. Sekarang aku masih nakal; aku pernah mengatakan pada guru bahasa Jerman-ku, bahwa aku tak ingin ikut remedial untuk menyempurnakan nilai enam koma tujuh. Aku tak peduli semua orang dan mungkin itulah yang membuat mereka menganggapku nakal, bandel, non-moral. Dan bukankah mereka juga tak peduli padaku? Mengapa mereka tidak bertanya pada ayahku saja, mengenai kepergiannya saat aku berumur lima tahun, saat para dokter menemukan kejanggalan di sistem jaringan otakku? Mengapa dia meninggalkanku saat tahu aku sakit? Abnormal? Dan sekarang aku jadi non-moral? Bukankah lebih baik aku tak mau dibawanya ke dokter karena nilai rapor-ku yang “idiot”? Bukankah aku lebih baik menyembunyikannya saja? Apakah mereka peduli? Mereka tidak; mereka pergi; mereka memarahi.

Dan sekarang, kembali dalam realitas hidupku, pria berjas hitam itu baru saja usai menyantap sushi salmon kesukaannya. Dia yang dulu meninggalkanku dalam kesakitan, akhirnya menegurku sebagai orangtua, “What are you doing, there, I? Take your Californian grill. I’ll get you to the apartment then.”

“I just am thinking something. And I don’t like this smelly omelet.”
“Oh, did you think that you’re genius, right now?”
“Every man always get their talent, Prof. And I am an autism kid. I don’t think you’ll forget it.”

“Okay, tell me.” Ujarnya dengan nada mengalah yang dipaksakan.

Aku menghirup jasmine tea untuk ke sekian kali, membuatnya menunggu beberapa detik, lalu tersenyum dengan lebarnya – senyum paling tulus yang diberikan seorang anak perempuan terhadap ayahnya. Lalu niatan jahil menyembul di permukaan pikirku. Akhirnya, kukatakan padanya, “You have to marry a woman.”

Aku sudah tahu, ekspresi yang akan dibangun urat-urat wajahnya. Ia terbelalak, mengerutkan dahinya dengan lagak serius yang dibuat-buat. “What?! Are you crazy, I? I won’t do that. I will not.” Lalu ia meminum teh-nya juga; seperti gaya-ku yang sok tahu ketika tak punya pertahanan untuk mendebat lagi.

“What reason, Prof? There is some pretty woman in Japan, right? You just have to find, I’ll help you.” Aku menggodanya lagi.

“Just forget it, I. Let’s go to sleep. You are thirteen years old.” Ia lalu membangun dirinya dan kembali membenahi dasi hitamnya yang punya tampilan membosankan – hitam polos, tekstur warna apa lagi yang lebih membosankan dari itu?

“And you are twenty four. The age of marriage.” Ujarku sekenanya

Dia kembali berseringai dengan gayanya, “I’m thirty eight.”

“Okay, kidding, Prof.” aku membalas, juga berseringai mengikuti style ayahku. Yang culas, naïf, munafik, pragmatis, opportunies dan sombong itu.

:D

Kembali dalam senin pagi yang memuakkan, aku telah diantukkan pada kenyataan akan kehidupan sekolah yang tidak terlalu menyenangkan. Dan jika saja kedua orangtuaku yang berduit itu benar-benar tidak peduli dengan pendidikanku pastilah aku tak akan menuntut mereka untuk memenuhi hak itu; pastilah aku lebih bahagia dari sekarang.

Sekolahku adalah sebuah bangunan hijau berbentuk “U” non simetris yang timpang di kanannya; dalam lingkupan lengkungnya ada dua lapangan besar yang akan membuat kalian mampu menghabiskan satu botol air mineral 600 ml; jika kalian murid disini, kesiangan dan guru piket menyuruh kalian mengitarinya satu kali atau lebih. Gerbangnya yang hanya satu akan mengantarkan kalian ke koridor sayap kanan; banyak tanaman sansivierra dalam pot besar di kanan kirinya. Di sederetan pintu yang di kirinya, kalian akan menemukan plang pintu bertuliskan, kantor administrasi, ruang sanggar rayon 13, kantor kepala sekolah, kantor wakasek kurikulum, dan setelah itu kalian akan menemukan tangga pertama yang di kanannya ada tujuh lemari besar berisi piala prestasi yang tak pernah kupedulikan.

Jika kalian belum kelelahan dan terus berjalan melewati tangga pertama itu, kalian akan bertemu dengan muka toilet laki-laki dan pintu perpustakaan; di dalam perpustakaan sangat sejuk dan aku sering merasakan ke-autis-anku sendirian di bangku terpojoknya. Setelahnya, ada dua jalan di depan dinding perpustakaan yang panjang itu, jika kalian memilih lurus, kalian hanya akan menemui UKS super menyeramkan, perternakan kelinci dan ayam kampung, greenhouse lapuk yang butuh subsidi pemerintah, dan pendopo mewah yang angker. Tapi jika kalian tak punya nyali untuk ke bagian belakang bagian sekolahku, kalian boleh berbelok dan menyusuri pintu ruangan bimbingan konseling, ruang wakasek, ruang OSIS tempat para senior sok jago dan laboratorium anak IPA.

Semua tempat yang kusebutkan di atas itu tak ada yang mengesankan bagiku. Kecuali jika kita meneruskan perjalanan, melewati mulut tangga kedua dan sampai pada sebuah bangun Masjid Hijau yang membuatku jatuh cinta di awal kedatanganku kemari. Bangun itu ada di seberang koridor sayap kanan, di samping kantin. Ia berpengalaman untuk menampung jamaah shalat Jum’at dari perumahan sekitar ditambah hampir 400 siswa tiga angkatan dan sekian puluh guru laki-laki dan karyawan sekolah. Ia besar, hijau, punya jendela raksasa tanpa gorden di sekelilingnya, di cekung kubah dalamnya, ada lukisan nama Tuhanku. Ia mengingatkanku akan sebuah mimpi yang menghampiriku tiga kali seminggu. Mimpi yang disana aku menjadi bukan diriku. Mimpi yang paling indah.

:D

Ruang kamarku sederhana saja. Ia bernuansa merah muda – warna kesukaanku – langit-langit putih, ventilasi kayu berdebu, beberapa ekor cicak yang menjelajah dindingnya dan sebuah kotak meja belajar hitam tempatku mengejar ketertinggalan materi sekolah. Di depan meja itu ada tempat tidur berukuran single yang selalu sudah rapi dan bersih ketika aku pulang, seprai-nya berwarna putih kafan dan aku tak mau menggantinya dengan warna lain.

Ia mungkin tidak mengerti mengapa aku sering menangis di hadapan meja belajarku. Ia mungkin juga tidak tahu apa yang terjadi padaku sehingga aku sering sekali memaki-makinya di tengah malam. Aku sedikit kesal padanya karena ia mati dan tidak pernah berkata-kata – yang bisa dilakukannya cuma termenung dan diam; mungkin menertawakanku saat aku meninggalkannya.

Tapi di luar itu semua, ruang ini juga telah banyak menguatkanku. Sebab dengan kediaman dan kematiannya itu ia menjadi satu-satunya hal – yang kuanggap – hidup yang tidak memarahiku saat aku bersikap aneh dan “parah”. Dia yang tidak pernah memunculkan wajah marah seperti orang dewasa atau orang yang berlagak dewasa. Dia Cuma diam, mendengarkanku walaupun aku mengira dia akan tertawa setelah aku pergi – setidaknya aku tak sakit hati karena tak melihatnya langsung.
Dan disini jugalah aku dihantui mimpiku yang indah. Mimpi itu selalu sama alurnya tapi aku tak pernah bosan untuk terus berharap didatangi olehnya kembali. Aku masih ingat kali pertamanya; di malam sebelum ujian nasional SD. Dan karenanya, aku berkerudung sejak hari pertamaku berseragam putih-biru. Aku terpesona pada perempuan-perempuan cantik yang menggenggam tanganku malam itu.

Sekarang, mimpi itu masih sering mendatangiku. Aku tak tahu apa penyebabnya tapi ia salahsatu yang membuatku tahu ada Islam di dunia ini; bahwa aku juga mewarisi Islam dari ibuku – walaupun ia tak pernah terlihat mengajariku shalat. Sejak saat itu, setiap stimulus kata dari para guru selalu mengantarkanku pada kata; Islam. Dan aku tak tahu. Dan aku tidak mengerti. Aku hanya ikut; aku hanya anak autis yang idiot.

Aku tak mau belajar malam ini. Aku tidur setelah shalat Isya. Aku muak dan tak berencana berteriak-teriak gila malam ini. Menutup pintu-pintu pikirku sesegera yang kubisa.

……

Aku duduk di antara banyak gadis berjilbab berwajah cerah dan tersenyum lembut sumringah. Semuanya putih, bercahaya, tenang, indah, sejuk. Lalu aku bertanya, ”siapa kalian?”. Lalu mereka menjawab,“Kita satu tubuh, ukhti.”; kemudian kami bergenggaman tangan dan tertawa melayang di dimensi putih yang sempurna. Aku tak melihat diriku, tak melihat bentukan senyawa tubuhku. Hanya mereka, yang berkerudung rapi tanpa peniti. Yang binar matanya tertuju padaku, yang setiap gumam tawa dan suaranya membersihkan cacian kotorku.

:D

Kesakitan terberat yang kuderita akibat kecacatanku selain harus belajar sendiri di malam hari adalah, pikirku tak pernah tidur untuk direcoki oleh segala macam stimulus kata yang melintas di telingaku. Aku akan berusaha terlihat memperhatikan lawan bicaraku, menyembunyikan pikirku yang sejak lama telah pergi akibat kata pertama yang menstimulirku akibat cicitcuitnya. Dan pagi ini, di awal perjalananku menuju sekolah, mbok Ota berkata, “Ini, non, bekal makan siangnya.” Ia tak tahu bahwa nanti aku akan sangat tersiksa karena bentukan kata yang dilampirkannya bersama kotak bekal itu.

Perbekalan makan artinya makanan yang akan di makan untuk nanti ketika aku lapar di siang hari. Siang hari yang sangat terik, yang disana aku sangat kelaparan. Dimana aku memang hanya boleh menyentuhnya di kala benar-benar lapar dan sangat butuh makan. Lalu apa yang dimaksud Citra waktu dia mengatakan “bekal mati” kemarin sore? Apakah kematian kemudian bisa diartikan sebagai sesuatu yang datang pada suatu waktu seperti ketika aku harus makan bekalku di siang hari?

Kematian juga-kah yang harus dibekali sebab ia akan membawa pada waktu, tempat dan dimensi yang mengharuskan kita membuka bekal? Dan jika memang begitu adanya, apakah bekal mati itu berbentuk fisik yang harus diberikan pada seseorang, atau ia sesuatu yang sifatnya diserap jiwa untuk menguatkan di masanya? Apakah sama energy bekal mati dan bekal makan siang? Dan ketika telah difungsikan bekal mati itu, apakah akan berlanjut siklus cerna atau kah berhenti sebab telah ada dalam dimensi mati? Lalu apakah ada hubungannya dengan pahala dan dosa yang diujar guru agama hari kamis minggu lalu? Ia katakan, pahala itulah bekal untuk mati. Dan jika memang bentuknya pahala, maka seharusnya bla-bla-bla….

Kalian mau mendengarkan lanjutan celotehku? Ku yakin kalian tak akan tahan, tak akan tahan. Bingung, seperti aku menerjemahkan diriku sendiri.

Maka di perjalananku menuju sekolah pagi ini, kalimat Si mbok telah membuatku mendekapkan wajah ke muka, menggeleng sekuat yang kubisa, menyesali kelelahanku; lelah. Aku ingin sembuh. Aku berharap bisa mendengar monolog guru-ku tanpa melayangkan pikir ke tempat lain.

………

Metromini yang yang aku tumpangi ini bukanlah kendaraan yang suka bersuara halus dan berjalan lurus, ia melaju cepat dengan gayanya yang amburadul. Aku memegang kuat pipa besi tanpa cat berdiameter tiga senti yang ada di dinding dalamnya. Pagi ini, pukul enam kurang dua menit, onggokan besi rongsok ini telah berhasil membawaku berada di setengah perjalanan menuju sekolah.

Di dalam sini hanya ada sepuluh orang termasuk aku; dua orang adalah supir dan kondekturnya sementara yang tujuh lainnya adalah pria dan wanita yang berpakaian formal kantoran. Aku tak peduli dengan keberadaan mereka, tapi setidaknya kami yang menjadi penumpang, duduk dan tidak perlu terlalu ber-aduh-aduh ria karena ulah rem mendadak si supir yang berkali-kali.

Aku duduk di kursi depan pintu depan metro, menggenggam pipa karat yang di kiriku. Lewat sini, langit putih yang dihambur biru muda masih bisa kutatapi dengan leluasa. Dia selalu menjadi pilihanku untuk menghapus semua pikir yang bercokol di otakku. Dengannya aku tenang, aku ingin terbang kesana, saat aku membayangkan dia seperti kapas embun kering yang tinggi dimana aku bisa melihat semua manusia bumi tanpa berpusing-pusing memikirkan dimana tempatku di antara mereka.

Tapi aku tak bisa. Tak akan pernah bisa. Selama-lamanya. Sekekal-kekalnya.

:D

Aku kembali melintasi gerbang hijau sekolahku. Dan segera saja mataku menangkap wujud dua orang bapak-ibu guru. Satu dari mereka adalah Pak Sudoyo; guru kimia dan wakasek kesiswaan yang – katanya – disegani senior OSIS dan yang satunya adalah guru ekonomi-ku, Bu Chomsy, kabarnya dia lumayan berpengaruh di keuangan sekolah; tapi aku tak terlalu peduli, mungkin saja itu Cuma gossip selingan. Mereka memang sering berada di mulut koridor sayap kanan yang di depan gerbang untuk disalimi peserta didik sekolah ini – termasuk aku. Kadang juga guru lain yang ada disana; bergantian. Maka aku mencium tangan kanan mereka, lalu melaju acuh.

Sebulan pertamaku bersekolah di SMA ini, aku melewati mereka begitu saja. Aku tak pernah melihat ekspresi wajah guru-guru itu ketika aku melakukan hal itu. Aku rasa menghormati guru tak terlalu penting; bahkan aku juga tak menghormati manajer keuangan di rumahku, apalagi Mr. Master Professor yang sok tahu. Aku benci orang dewasa.

Tapi dengan berkembangnya proses pengenalanku dengan kakak-kakak ROHIS, aku bersikap seperti anak lain yang – terlihat – dengan senang hati menyalami mereka. Aku tak tahu mengapa budaya itu harus dikekalkan; aku acuh tak mau pusing memikirkan, terlalu banyak bahan stimulus pikir yang membuatku menderita. Mereka – kakak-kakak ROHIS – bilang, menghormati orang yang lebih tua itu penting. Setelahnya, otakku mengambil kata “hormat” untuk memforsir tenagaku. Kini, aku menyerah saja, setelah perenunganku itu, aku memutuskan untuk menyalami mereka saja dan menghentikan salahsatu sebab mereka men-judge-ku sebagai siswi non-moral.

Dan sepanjang koridor yang dipenuhi sansivierra di kanan kirinya, aku masih berkutat dengan persoalan “bekal”. Sekarang otakku telah melewati banyak pencampuran frase untuk mengembangkan bahasan itu. Frase yang masuk detik ini adalah, “sifat ketuhanan dalam dimensi kematian” – dan sebenarnya saat kalian membacanya ia telah punya frase lain untuk diproses dan membuat punggungku panas dan kepala bagian depanku nyeri. Aku tak akan menguraikannya untuk kalian, panjang ceritanya, panjang alurnya, dan sederetan frase telah bergiliran menyembul di otakku untuk membuatku sampai pada bahasan itu. Biarlah kalian sekedar tahu bahwa aku benar-benar sakit setiap harinya.

Aku lalu menaiki tangga di sayap kiri; kelasku yang X-8 hanya sekitar duapuluh langkah dari muara tangga lantai tiga. Walaupun aku harus melewati kelas XI IPA yang banyak senior OSIS dan masih memandangku sinis; belum lagi kalau teman mereka yang IPS di lantai dua bergaya jago dengan menghalau jalan-ku. Aku samasekali tak peduli. Walaupun sebenarnya aku tak perlu mengalami itu jika naik lewat tangga sayap kanan yang hanya melewati pintu-pintu kelas anak se-angkatan. Menantang mereka lebih mengasyikan daripada berjalan delapan puluh langkah di depan pintu-pintu kelas X.

:D

Kini aku berada dalam ruang kelasku yang di lantai tiga. Langit-langitnya putih bersih, ada enam lampu neon panjang di sana, mereka benderang bercercah sinaran terang, menyapu dinding kubusan yang hijau muda, membasuh whiteboard yang berisi rangkaian penyelesaian soal trigonometri dasar.

Ibu Rosda berdiri di muka kelas; aku melihat mulutnya berkata-kata. Telingaku juga mendengar suaranya, otakku menerima frekuensi itu untuk diterjemahkan menjadi kalimat-kalimat dimensi nyata; aku mendengar suara cicitcuit teman-temanku juga – yang curhat dengan teman sebangkunya atau mengobrol tentang kejadian kemarin sore. Tapi semua itu samasekali tak dicerna otakku. Aku tak bisa memaksa, maka aku diam saja; pura-pura normal.

Gez yang menjadi teman sebangku-ku adalah seorang gadis Kristen yang taat. Aku pernah melihatnya serius membaca buku tentang “Kristen Jawa” dan beberapa kali dia menyebut nama tuhannya dalam pembicaraan. Kami menjadi chairmate seperti ini karena Citra sudah duduk dengan Stefphanie di baris ke-tiga deret ke-dua dari pintu; juga karena waktu itu Gez masih sendiri dan aku datang terlambat di hari pertama belajar efektif. Tapi setidaknya, Gez terlihat manis di kesan pertama-ku untuknya; malah mungkin aku yang terkesan “angker” – dan memang selalu seperti itu – karena tidak tersenyum saat itu. Aku masih kecewa karena Citra tidak menunggu-ku saja.

Berbicara tentang kecewa aku memang telah banyak mengecewakan orang lain. Dan seandainya mereka ber-inisiatif untuk bertanya tentang alasannya, maka aku akan jawab bahwa itu karena aku sudah banyak dikecewakan juga. Mungkin ini hukum alam yang agak aneh dan aku tak berharap kalian memaklumi perkataanku. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa hidup ini memang perjalanan kekecewaan yang tidak akan pernah putus. Walaupun kalian tidak ingin mengecewakan, tapi karena kalian pernah dikecewakan maka kalian akan tahu cara mengecewakan orang lain. Mekanismenya berjalan bukan karena pembelajaran sadar, melainkan sesuai hukum serap bawah sadar. Sudah kubilang, aku tak berharap kalian mengerti dan memaklumi perkataanku, jadi lewati saja paragraf macam ini jika kalian sudah terlanjur muak.

Dan aku kembali sendiri dalam pergumulan pikirku yang meletihkan.

……

Aku masih sibuk dengan soal trigonometri-ku ketika bel istirahat pertama berbunyi. Sementara Gez berdiri dan memanggil beberapa teman sekelas. Mereka berbicara di sebelahku, tentang sesuatu yang tampaknya tak boleh kuketahui. Gez, I’am, dan Mano; berusaha menyimpan rahasia. Dan maaf, kalau ternyata tak sengaja aku tahu apa yang mereka coba sembunyikan saat Gez berkata, “Tapi lo mau, kan?”; mereka akan menjadi panitia sebuah acara besar yang aku juga tak tahu jenis dan sejarahnya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu. Aku sekedar melihat ekspresi mereka yang agak serius, senang, seakan memasuki sebuah gerbang masa-masa indah SMA; setidaknya jadi panitia suatu acara akbar sekolah adalah kebanggaan yang serius, senang, dan indah, kan? Aku tahu, anak macam mereka. Dan aku tidak peduli samasekali. Kalau Gez dan teman-temannya itu memang benar ditawarkan menjadi panitia oleh senior OSIS rese’, itu Cuma jadi salahsatu alasanku untuk berseringai ala Mr. Master Professor.

Akhirnya aku membangun diriku, meninggalkan mereka bertiga. Menjajaki lantai putih dan menyingkap pintu kelasku untuk keluar. Aku tak tahu ingin kemana, aku hanya sekedar ingin pergi; dan begitulah aku di setiap menit hidupku.

:D

Lewat balkon di depan kelas, aku bisa melihat keseluruhan lapangan sekolah. Besar, luas, sudah kubilang, kan, kalian akan mampu menghabiskan 600 ml air mineral dalam sekali teguk setelah berlari mengelilinginya satu kali. Di depan gerbang itu ada jalan yang hanya muat dua jalur mobil; kadang sangat ruwet dan macet saat ada pengendara motor yang berulah – aku sudah sering melihatnya langsung, jadi kalian percaya sajalah.

Tiba-tiba aku ingat dengan tiga orang yang sekarang bersedia menganggapku teman mereka. Citra, Putri dan Hapsari; mereka memang teman yang baik. Dan mungkin mereka masih akan menganggapku seorang Mira, gadis biasa yang juga baik; sebelum mereka bertambah dekat denganku dan tahu aku ini siapa sebenarnya. Maka aku tak berniat untuk bisa lebih dekat lagi dengan mereka. Cukup sekedar yang kami pernah lalui dan bicarakan saja. Sampai disini saja gerbang mereka untuk membedakanku dari yang lainnya. Selebihnya mereka tak perlu mengenaliku lebih jauh lagi.

Dulu aku pernah punya teman dekat, bahkan sahabat. Tiga orang juga seperti sekarang, bedanya mereka semua bocah laki-laki. Kami punya nama geng; F9. F untuk ungkapan “fajr” yang ada di masing-masing nama kami. 9 untuk mewakili ke-“gokil”-an kami – maklumlah, waktu itu sudut pikirku masih sangat norak dan alay; dan kebetulan kata “gokil” adalah kata yang paling sering kami gunakan untuk menerjemahkan keceriaan dan menjelaskan “siapa kami”.

F9 sudah tak ada lagi di hidupku sejak aku pindah sekolah kelas empat SD. Sampai di hari terakhirku bertemu dengan mereka, aku tak mengatakan apa-apa tentang rencana pernikahan ibuku yang menjadi penyebab perpisahan kami. Aku ingin minta maaf, tapi sepertinya sampai kapanpun aku tak bisa menyampaikannya pada mereka. Sudah enam tahun berlalu; mungkin mereka sudah jadi cowok ganteng sekarang, apalagi Bram yang sejak dulu sudah banyak digemari para cewek-cewek bocah, atau Ruri yang selalu mempesona dengan leadershipnya, tidak menutup kemungkinan juga Cein yang akan jadi paling keren karena sikap diamnya yang selalu bermakna. Aku merindukan mereka; ingin mereka menegurku sebagai sahabat lagi; ingin mereka menertawakan tindakan konyolku dan mengejarku dalam permainan “tak jongkok” lagi.

Dan sekarang aku tak ingin punya teman seperti F9 lagi. Sekarang segalanya sudah berbeda, aku bukan Mira yang suka berlagak jayus super konyol lagi. Aku sekarang Mira yang semua gesture tubuhnya menggarisbawahi kalimat, “I don’t like you. And I hate to life.” Senyum-ku mahal apalagi untuk yang tidak mengetahui namaku.

Friday, January 14, 2011

Crush

Lalu mereka akan berkata bahwa seharusnya aku melakukannya sebab mereka yakin aku bisa. Dan layaknya patut di amini, bahwa yang seperti ini, Prof Normand - ayah tokoh Harry dalam Spiderman Movie - dan bayangannya. Mengerikan, seakan pergerakan siklus ditarik dari pembuluh atasnya, mengangkat paksa, mengerti bahwa di bawahnya tiup api neraka mulai membahana menjadikan dimensi memelas gila, katanya, "coba.."
Suatu dilema dalam kesejarahan pribadiku, kekuatan besar membawa tanggung jawab besar. Ya. Tanggungan besar butuh kekuatan besar. Ya. Ya. Ya.
Dan mereka memang tak peduli. Ketika seseorang berkali-kali mendatangiku dan bertanya, "mana yang lebih dulu?"
Entah, tapi mereka memang tak mengerti. Bahwa bahkan untuk kata sekecil itu saja, bisa membuatku migrain sepanjang hari.

:D

Agak aneh rupanya ketika kita kembali menekuri jalan dakwah di podium traffic light kehidupan. Yang di sisiannya ada jalan layang yang sewaktu-waktu bisa jatuh. Lalu jejaring impuls syarafku hampir pecah dibuatnya. Di terikan mentari, di bising cita di balik pelangi hitam merah putih.

:D

Suatu kejanggalan. Dering telepon. Nada hujan. Lukisan embun. Tik tok.. tik tok.. Lalu aku kembali jadi diriku, unitas siklus kehendakNya.
Putaran jam. Abstraksi.
Kalian tahu? bahwa aku samasekali tak bisa ber-akselerasi.
Dengan irama yang kalian ajarkan padaku. Dengan anakan tangga yang kalian sertai deadline.

Kurangkaikan, sebuah cacimaki untuk diri. Yang ketika kujawab bahwa setelah ini segalanya akan jadi lebih mudah.
Dan setelah ini, dan setelah ini.
Hanya ada sense. Karena beruntungnya aku masih manusia juga. Walaupun alur kata tak pernah terjembatani dengan baik dan aku hanya bisa katakan "iya" dalam setengah kosong setengah melayang.
Luarbiasa.