Waktu itu aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi. Kadang sekedar tersenyum kadang tertawa. Entahlah bagiku kau begitu menyenangkan. Representasi sebuah keluhuran akhlak.
Aku cuma sekedar iri, melihat bahwa setiap orang punya kelebihan.
Intinya kamu begitu menyenangkan. Tanpa dusta, bicara seadanya saja, tapi baik untuk di dengar, menutrisi.
Intinya kamu begitu nyaman. Tanpa menyembunyikan, melucu sesuai fitrah saja, sederhana.
Ada juga beberapa orang di sekeliling kita. Mereka duduk di kursi yang dekat. Ikut alur kisah, ikut juga serius mendengarkan kemanjaanku. Ah, tapi kenapa mereka diam? Ah, tapi kenapa mereka diam saja?!
Waktu-waktu berderit, bahwa selain kau, ada aku, ada mereka juga ! Ah, tapi kenapa mereka diam?
Showing posts with label alquraabid:). Show all posts
Showing posts with label alquraabid:). Show all posts
Sunday, December 9, 2012
Thursday, November 29, 2012
SEMANGAT ^-^
Bertubi-tubi datang menghampiri. Mungkin karena gelas yang kosong atau mimpi-mimpi yang menghantui. Ah, jadi takut untuk tidur. Perlu diterapi atau diebrikan obat penenang depresi.
Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.
Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.
Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.
Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.
Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.
Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.
Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.
Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.
Sunday, November 11, 2012
Sebuah Pidato
Sebab malam kemarin seorang sahabat kembali mengingatkanku soal kesombongan. Tiba-tiba saja. Mimpiku malam ini seluruhnya full episode tentang sidang dan hari itu.
Ya, ini tentang kesombongan, juga tentang pidato panjang lebar dari abangku. Sore, di sebuah ruang sidang di Ciputat. Setelah beberapa paman dan kakek berumur 35 - 70 tahun menghampiriku dan mengucapkan, "barakallahu.." sambil tersenyum dan berlalu.
Abangku satu-satunya, berdiri dari kursinya yang di ujung meja di seberangku. "Barakallahu," katanya, lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku. Dan aku, tak pernah menyela bicaranya, bukankah itu luarbiasa?
Katanya,
Apa manuver selanjutnya ibu pimpinan sidang? (menyindir) Apakah tidak sebaiknya kita putar kembali nalar dan berkeputusan ulang? Ini bukan hanya karena anti jadi pembicara termuda di agenda internasionalnya Al azhar minggu lalu atau karena IQ anti dua kali lipat dari kami disini kan?
Siapa juga orang yang mampu untuk tidak sombong. Empatbelas tahun dan hafidzoh, cumlaude di sidang fikrah dan punya orangtua yang bukan orang biasa. Ya, siapa juga yang mampu untuk tidak sombong. Paling dicintai sekaligus didengarkan kata-katanya. Siapa yang mampu untuk tidak sombong? Jadi adik kesayangan, selalu mampu mengulang notulensi dengan error yang paling minim di antara kami? Siapa yang mampu?
Abang kira orang sepertimu tidak mampu kan?
Sarkas. Beberapa wajah berpaling ke arah kami. Sembari katanya, "hmm, lagi dimarahin lagi,".
Jembatan, sandaran dan arahan. Masih tentang kesombongan dan pidato panjang lebar abangku satu-satunya.
Dalam beberapa kasus seorang muslim tidak perlu tahu banyak hal tentang keimanan. Untuk beriman. Lain kali, ia tak perlu tahu banyak fiqih untuk mengerti, tentang syar'i. Banyak orang yang tak banyak mengetahui agama, tapi membelanya. Bahkan Musa tak diperbolehkan bertanya, pada Harun gurunya. Bukankah itu istimewa?
Lalu kenapa seorang anak disini, berlagak tahu tentang segalanya? Bersikeras tahu sebelum memegangnya? Tidak ada lagikah nalar tsiqoh dalam Qur'an yang dihafalkannya?!
Nadanya meninggi dan aku pura-pura tak tahu ekspresi wajahnya. Menakutkan. Sebab orang seperti itu, ketika marah mengutip AlQur'an dan saat bernada tinggi, merendahkan orang dengan ruhiy, tanpa tendensi. Aku ingin jadi seperti abangku. Punya mental seperti itu, tulus dan tanpa topeng. Cerdas tanpa harus tes IQ per enam bulan. Kedua orangtuanya baik, setiap hari ada sarapan bersama dan gelak tawa penuh hikmah, keluarga.
Kesombongan itu membakar kayu sampai jadi debu. Hilang segala cerdas dan ketekunan.
Tidak perlu kemampuan unuk jadi sombong, cuma perlu sedikit hasutan setan, kepada orang yang dibutakan penglihatannya. Menolak kebenaran, merendahkan orang.
Terkadang melihat nyamuk sebagai belalai gajah atau leher jerapah. Kadang melihat kegagalan sebagai ketidakpatuhan orang.. Anti bukan tuhan.
Gila. Masih sakit hati sebenarnya. Tapi ingatan seperti ini mungkin hanya tiba-tiba ada di pagi ini. Gajah dan Jerapah. Itu bagian lucu. Aku tertawa kecil, meremehkan analoginya yang kacau. Ia juga berpaling ke belakang, mungkin tertawa juga. Tudingannya jadi semakin menusuk walaupun tidak menyakitkan.
Beberapa ustadz kami dan musyrifahku menganggap kami punya banyak kemiripan. Kecuali satu hal itu, miliknya, kekacauan analogi. Dan satu hal lagi, milikku, tingkah kekanakan. Gaya bahasa, intonasi suara, permainan logika, puisi favorit, model tulisan, kesukaan makanan, orientasi obrolan, pandangan shirah dan fikrah, hafalan, ibadah harian, persis. Kami selevel tapi bedanya, ia lebih tua 4 tahun. -.-"
Karena sombong itu berasal dari hati yang sakit. Tidak perlu banyak hal hebat untuk sombong, sekedar lupa bahwa adik akan terkalahkan dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan. Mungkin disanalah awal hasutan setan. Untuk mendengarkan, untuk tidak mengacuhkan. Bicaralah atau diam.
Suatu hari ketika saya tidak ada lagi, anti akan banyak terkalahkan, oleh kesombongan adik sendiri. Karena adik begitu rumit dan anti tidak mampu menganggap orang lain dengan lebih dan lebih lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin ini terakhir kalinya ada nasehat seperti ini.
Karena itu memang nasehat terakhir. :)
Ya, ini tentang kesombongan, juga tentang pidato panjang lebar dari abangku. Sore, di sebuah ruang sidang di Ciputat. Setelah beberapa paman dan kakek berumur 35 - 70 tahun menghampiriku dan mengucapkan, "barakallahu.." sambil tersenyum dan berlalu.
Abangku satu-satunya, berdiri dari kursinya yang di ujung meja di seberangku. "Barakallahu," katanya, lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku. Dan aku, tak pernah menyela bicaranya, bukankah itu luarbiasa?
Katanya,
Apa manuver selanjutnya ibu pimpinan sidang? (menyindir) Apakah tidak sebaiknya kita putar kembali nalar dan berkeputusan ulang? Ini bukan hanya karena anti jadi pembicara termuda di agenda internasionalnya Al azhar minggu lalu atau karena IQ anti dua kali lipat dari kami disini kan?
Siapa juga orang yang mampu untuk tidak sombong. Empatbelas tahun dan hafidzoh, cumlaude di sidang fikrah dan punya orangtua yang bukan orang biasa. Ya, siapa juga yang mampu untuk tidak sombong. Paling dicintai sekaligus didengarkan kata-katanya. Siapa yang mampu untuk tidak sombong? Jadi adik kesayangan, selalu mampu mengulang notulensi dengan error yang paling minim di antara kami? Siapa yang mampu?
Abang kira orang sepertimu tidak mampu kan?
Sarkas. Beberapa wajah berpaling ke arah kami. Sembari katanya, "hmm, lagi dimarahin lagi,".
Jembatan, sandaran dan arahan. Masih tentang kesombongan dan pidato panjang lebar abangku satu-satunya.
Dalam beberapa kasus seorang muslim tidak perlu tahu banyak hal tentang keimanan. Untuk beriman. Lain kali, ia tak perlu tahu banyak fiqih untuk mengerti, tentang syar'i. Banyak orang yang tak banyak mengetahui agama, tapi membelanya. Bahkan Musa tak diperbolehkan bertanya, pada Harun gurunya. Bukankah itu istimewa?
Lalu kenapa seorang anak disini, berlagak tahu tentang segalanya? Bersikeras tahu sebelum memegangnya? Tidak ada lagikah nalar tsiqoh dalam Qur'an yang dihafalkannya?!
Nadanya meninggi dan aku pura-pura tak tahu ekspresi wajahnya. Menakutkan. Sebab orang seperti itu, ketika marah mengutip AlQur'an dan saat bernada tinggi, merendahkan orang dengan ruhiy, tanpa tendensi. Aku ingin jadi seperti abangku. Punya mental seperti itu, tulus dan tanpa topeng. Cerdas tanpa harus tes IQ per enam bulan. Kedua orangtuanya baik, setiap hari ada sarapan bersama dan gelak tawa penuh hikmah, keluarga.
Kesombongan itu membakar kayu sampai jadi debu. Hilang segala cerdas dan ketekunan.
Tidak perlu kemampuan unuk jadi sombong, cuma perlu sedikit hasutan setan, kepada orang yang dibutakan penglihatannya. Menolak kebenaran, merendahkan orang.
Terkadang melihat nyamuk sebagai belalai gajah atau leher jerapah. Kadang melihat kegagalan sebagai ketidakpatuhan orang.. Anti bukan tuhan.
Gila. Masih sakit hati sebenarnya. Tapi ingatan seperti ini mungkin hanya tiba-tiba ada di pagi ini. Gajah dan Jerapah. Itu bagian lucu. Aku tertawa kecil, meremehkan analoginya yang kacau. Ia juga berpaling ke belakang, mungkin tertawa juga. Tudingannya jadi semakin menusuk walaupun tidak menyakitkan.
Beberapa ustadz kami dan musyrifahku menganggap kami punya banyak kemiripan. Kecuali satu hal itu, miliknya, kekacauan analogi. Dan satu hal lagi, milikku, tingkah kekanakan. Gaya bahasa, intonasi suara, permainan logika, puisi favorit, model tulisan, kesukaan makanan, orientasi obrolan, pandangan shirah dan fikrah, hafalan, ibadah harian, persis. Kami selevel tapi bedanya, ia lebih tua 4 tahun. -.-"
Karena sombong itu berasal dari hati yang sakit. Tidak perlu banyak hal hebat untuk sombong, sekedar lupa bahwa adik akan terkalahkan dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan. Mungkin disanalah awal hasutan setan. Untuk mendengarkan, untuk tidak mengacuhkan. Bicaralah atau diam.
Suatu hari ketika saya tidak ada lagi, anti akan banyak terkalahkan, oleh kesombongan adik sendiri. Karena adik begitu rumit dan anti tidak mampu menganggap orang lain dengan lebih dan lebih lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin ini terakhir kalinya ada nasehat seperti ini.
Karena itu memang nasehat terakhir. :)
Friday, November 9, 2012
Tanpa dengannya
Kepemimpinan itu apa? Di atas dan di bawah sama saja kah? Tentu tidak, bukan?
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.
Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.
Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.
Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.
Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.
Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.
Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?
Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.
Sesungguhnya segala sesuatu itu
pastilah bergerak dengan satu harmoni tertentu. Selayaknya
pandangan nakhkoda ke arah barat, harmoni laut terbaca walaupun tak terlihat
dasarnya. Maka memimpin adalah tentang memahami,
mengenali, menguasai ilmu dan mengambil keputusan.
Adanya
jiwa kepemimpinan pada seseorang selanjutnya akan menjadikannya berkualitas
berbeda. Ia yang berjiwa kepemimpinan mampu membuat simpul pikirnya dalam
setiap perbuatannya. Seorang pemimpin bukan selalu pasti berdiri sebagai pucuk
pimpinan. Ia mungkin saja ada di barisan manajerial, level koordinasi maupun
pengarah dan pelaksana taktis. Namun yang pasti seorang pemimpin sejatinya ada
dalam kesadaran visi. Ia mampu dipimpin dan memimpin orang lain. Sebab baginya
pengejawantahan dirinya dalam suatu komunitas bukanlah tentang berdiri paling
tinggi di antara mereka, namun menjadi yang paling bermanfaat di setiap tempat.
Fungsi
kepemimpinan dewasa ini semakin minim teraktualisasi dalam banyak lini yang
kita jumpai. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi inkonsistensi kebijakan yang
dilakukan banyak stakeholder negeri ini. Ambilah contoh dalam skema pelaksanaan pengiriman
TKI. Kantor imigrasi, kantor PJTKI maupun ‘distributor’ TKI di daerah-daerah,
bersama-sama kehilangan jati diri demi produk kartal semata. Atau ambilah satu
kasus penyelewengan dana umat yang anyir di banyak media massa, bulog gate, korupsi century, skandal BI,
manipulasi DPR soal BBM, warna-warna politik transaksional berbasis kedudukan,
dst. Hal ini tentu saja, menjadi sederetan kasus yang dalam keyakinan publik,
memamerkan aksi bunuh diri sebuah negeri yang tanpa aplikasi idealitas sebuah kepemimpinan.
Maka
berbicara kepemimpinan adalah berbicara tentang sebuah vision. Pemimpin ialah yang dapat melihat konteks kasus dalam
particular yang seiring pembelajaran termapankan secara holistik. Maka ia
adalah seorang pembelajar sejati. Sebab vision,
penglihatan dan kepahamannya atas segala sesuatu itu menjadi hal yang begitu
berharga. Ia adalah seorang pembelajar sejati yang haus ilmu dalam banyak hal.
Ia berbicara tentang arah gerak dan konsepsi kebijakan. Ia selalu memiliki
pandangan mengenai putusan-putusan pribadinya. Tidak mengekor ataupun mengikuti
selain berdasarkan keyakinan visi.
Berbicara kepemimpinan maka
juga bicara tentang melakukan banyak hal. Pemimpin adalah mereka yang
senantiasa menanggung pekerjaan-pekerjaan dan pertanggungjawaban yang paling
berat. Maka barangsiapa mengambil dirinya sebagai pemimpin, bersiaplah jadi
yang paling sedikit tidur dan tertawa. Bersiaplah menjadi yang terdepan dalam
menghadapi masalah. Dan bersiaplah menjadi yang terakhir bersenang-senang
dengan hasilnya. Menjadi pemimpin adalah sebuah koneksi riil dalam sebuah ruang
pertanggungjawaban dalam banyak hal yang telah, tengah dan akan dilakukan.
Tapi siapapun yang undur diri dari sebuah proyek
kepemimpinan, maka ia telah keluar dari fitrahnya, dari peruntukan
kehidupannya. Sebab kepemimpinan ini telah utuh terserahkan pada segolongan
makhluk yang bernama manusia. Kita dengan akal dan kebijaksanaan adalah suatu
entitasme yang terlanjur harus memimpin. Inilah akaran nalarnya. Siapkah kita
mundur ke belakang peradaban dan membiarkan dunia dipimpin kera atau sejenis
tumbuhan cerdas? Maka kepemimpinan
adalah juga sebuah tugas pembenahan.
Kita kini sama tahu, bahwa tiada langkah lagi selain
mempersiapkan diri untuk mematangkan kepemimpinan diri. Tiada alasan untuk
mundur sebab tiada yang dapat menggantikan satupun di antara kita. Kepemimpinan
itu, jiwa yang mengisi rongga-rongga dada, jiwa yang tak membiarkan seorang
insan terpuruk dalam keterbelakangan dan kemiskinan kepribadian. Ia adalah jiwa
yang mengisi rongga dada yang menjadikan nyala kebijakannya sebagai penerangan
bagi orang sekitarnya dan bahkan seluruh dunia. Tidak ada yang diharapkannya
kecuali keuntungan yang banyak akibat perbuatan baiknya, keuntungan yang ia-pun
tak akan mampu membuat draft-nya.
PEMIMPIN ITU ADALAH KAU!
SALAM
SATU JIWA PARA PEMIMPIN BANGSA !!!
Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.
Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.
Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.
Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.
Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.
Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?
Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.
Monday, August 22, 2011
Jembatan
Ilalangnya menari di angkasa. Sebatas mimpiku berarak menuju ke surga fana, surganya dunia yang semata-mata ada. Ilalangnya di angkasa, sebarisan kata melukiskan kenangannya pada warna-warna yang berbaur jadi sebarisan logika. Logika yang membelakangi angka-angka. Angka-angka cerita, bilangan tahun dan tanggal-tanggal yang tersisa dari lembutan aral yang tersingkirkan dari dilematika fatamorgana.
Ia tak ingin terjembatani dirinya. Sebersihnya nada-nada yang memutus tali sengketa dari suara. Setulusnya rancu berpisah dari senjang moral yang berbahasa sama. Selepas bergetarnya pesona yang tak terangkaikan dari cabang-cabangnya. Mozaik yang kehabisan perekat ajaibnya. Tak tergambarkan, jadi kisah di puisi-puisi imajinatif yang jauh dari kerangka ingin tuan-tuan sekalian. Mati suri, ingin hidup sekali lagi
Ia tak ingin terjembatani dirinya. Sebersihnya nada-nada yang memutus tali sengketa dari suara. Setulusnya rancu berpisah dari senjang moral yang berbahasa sama. Selepas bergetarnya pesona yang tak terangkaikan dari cabang-cabangnya. Mozaik yang kehabisan perekat ajaibnya. Tak tergambarkan, jadi kisah di puisi-puisi imajinatif yang jauh dari kerangka ingin tuan-tuan sekalian. Mati suri, ingin hidup sekali lagi
Sunday, March 27, 2011
Subuh
Sekarang aku benar sadar bahwa kau, sahabatku, memanglah orang hebat. Sampai-sampai aku masih berani menuliskan namamu di embunan jendela kamarku. Sampai-sampai aku masih saja kecewa karena tak dapat ikuti langkah-langkah besarmu itu. Kamu, sahabatku, sekarang masih ku ingat sebagai dirimu yang duabelas tahun itu. In ana uhibbukumu illa lillah.
:D
Focus show ruangan itu adalah sebuah podium elegan di kanan panggung tinggi yang angkuh. Disana, sebuah suara yang ku kenali mengalunkan nadanya dalam Arab fusha yang fasih. Tak sempat kucerna sempurna semua kata yang diluncurkannya. Ia begitu hebat, sinar matanya masih bening seperti dulu. Kacamatanya masih saja berbingkai hitam yang itu dan setelah usai salamnya, ia-pun menoleh ke kirinya, mengantar senyum kelunya yang kentara - ke arahku.
Maka dimulai-lah senyap tenang yang mewah itu. Sesaat setelah detak sepatunya terhenti di langkah ketiganya di luar podium. Lalu ia menundukkan wajahnya khusyuk, kemudian mengangkatnya kembali, terujar takzim dari bibirnya, "bismillah...". Ia berbalik kembali ke podium jati.
Lalu serunya, "Ahlan wa sahlan yaa ahlul fikrah! Salaamun'alaiki yaa ahlul fikrah!"
Gemerlap takbir lalu menyambar telingaku tanpa ampun, tak terkecuali dari berdirinya seorang lelaki tua, guru tafsirku itu, di kursi forum di hadapanku, mengepalkan tangannya seraya jelas menujukan takbirnya itu kepadaku. Aku menangis.
Kemudian Fathir Al Quraabid masih dengan sosoknya yang ku kagumi, ia menghadiahiku kembali. Aku berhutang padanya untuk kesekian kali. Dan aku dibuatnya menumpahkan rasaku lagi. Ya, sahabat! Kau luarbiasa hebat!
:D
Seakan bara yang begitu panasnya mengungkungi ruang ini, ruang temu Konferensi Asia-Afrika. Bandung, kota gerimis. Kota yang manis dalam sederetan kotak kisahku yang sinis.
Di segarisan tepat di depanku, Abid duduk mewah di sisi para pakar yang lainnya. Sesekali senyumnya yang sempurna itu menemui mataku, masih menyemangati penuh bingkisan hati. Sahabatku, ayahku. Ya, seperti seorang ayah yang tak pernah ku punyai. Perlahan aku memang mengingatnya di lapangan basket SMP-ku, saat mengajariku mengendarai sepeda roda duanya yang super besar. Hahhaha...
Lalu aku larut dalam flashback semu masa laluku, kemudian terantuk menyadari, dia kini bukan yang itu lagi. Dia kini, yang memintaku dan aku menolaknya sebab lemahnya imanku. Kami memang tak sepadan samasekali. Bahkan aku kehilangan hafalanku setiap hari. Bahkan aku belum selesai perkara diriku sendiri. Bahkan aku, ya, sehina ini.
Lalu tiba-lah waktuku untuk menempatkan nyawa dan jasadku dalam satu dimensi, disini. Sebab mereka kini menanti suaraku berkicau menyuarakan apa yang kutulis sebagai isian map putih di masing-masing tangan mereka.
"Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, Alhamdulillahirabb al 'alamin. Al Malikul Quddusus Salaam, Al Wahidul Ahadus Samad, Al Muntaqimul 'Afuuw, Wa Ad Darrun Nafii'." Kubacakan Al An'am yang kucintai permulaannya, kubacakan Al Fajr yang kucintai alunannya. Dan aku sekedar cinta. Ya, ini tentang ayat-ayat hijaiyah yang sempurna.
Perlahan aku kembali masuk dalam iluminasi bayangku sendiri. Perlahan kubangkunkan diriku, ku jejakkan kakiku di karpet merah yang melapisi panggung angkuh ini. Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa aku bukanlah lagi diriku yang jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok Abid keluar pertama kali dari balik gorden hitam di ujung lorong panggung itu tadi.
Ya, ia memang telah mengantarku kesini, seorang akademisi Salaf yang kukagumi. Seorang ahli strategi yang merancang alur misi sepanjang ini. Seorang sahabat yang ku kenali. Saat ini di akhir sayup bacaan tilawahku subuh ini, aku hanya bisa mengenangnya, sesekali membuka update diskusi yang dikirimnya ke emailku walau tak pernah dapat balasan.
Dulu karena aku terlalu sering menunggu. Mungkin kini, aku harus ditunggu. Kata ibuku.
Dulu karena aku sering sekali menungu. Mungkin kini, aku tak tega membiarkan orang lain menungguiku. Ya, seperti itu, kataku.
:D
Focus show ruangan itu adalah sebuah podium elegan di kanan panggung tinggi yang angkuh. Disana, sebuah suara yang ku kenali mengalunkan nadanya dalam Arab fusha yang fasih. Tak sempat kucerna sempurna semua kata yang diluncurkannya. Ia begitu hebat, sinar matanya masih bening seperti dulu. Kacamatanya masih saja berbingkai hitam yang itu dan setelah usai salamnya, ia-pun menoleh ke kirinya, mengantar senyum kelunya yang kentara - ke arahku.
Maka dimulai-lah senyap tenang yang mewah itu. Sesaat setelah detak sepatunya terhenti di langkah ketiganya di luar podium. Lalu ia menundukkan wajahnya khusyuk, kemudian mengangkatnya kembali, terujar takzim dari bibirnya, "bismillah...". Ia berbalik kembali ke podium jati.
Lalu serunya, "Ahlan wa sahlan yaa ahlul fikrah! Salaamun'alaiki yaa ahlul fikrah!"
Gemerlap takbir lalu menyambar telingaku tanpa ampun, tak terkecuali dari berdirinya seorang lelaki tua, guru tafsirku itu, di kursi forum di hadapanku, mengepalkan tangannya seraya jelas menujukan takbirnya itu kepadaku. Aku menangis.
Kemudian Fathir Al Quraabid masih dengan sosoknya yang ku kagumi, ia menghadiahiku kembali. Aku berhutang padanya untuk kesekian kali. Dan aku dibuatnya menumpahkan rasaku lagi. Ya, sahabat! Kau luarbiasa hebat!
:D
Seakan bara yang begitu panasnya mengungkungi ruang ini, ruang temu Konferensi Asia-Afrika. Bandung, kota gerimis. Kota yang manis dalam sederetan kotak kisahku yang sinis.
Di segarisan tepat di depanku, Abid duduk mewah di sisi para pakar yang lainnya. Sesekali senyumnya yang sempurna itu menemui mataku, masih menyemangati penuh bingkisan hati. Sahabatku, ayahku. Ya, seperti seorang ayah yang tak pernah ku punyai. Perlahan aku memang mengingatnya di lapangan basket SMP-ku, saat mengajariku mengendarai sepeda roda duanya yang super besar. Hahhaha...
Lalu aku larut dalam flashback semu masa laluku, kemudian terantuk menyadari, dia kini bukan yang itu lagi. Dia kini, yang memintaku dan aku menolaknya sebab lemahnya imanku. Kami memang tak sepadan samasekali. Bahkan aku kehilangan hafalanku setiap hari. Bahkan aku belum selesai perkara diriku sendiri. Bahkan aku, ya, sehina ini.
Lalu tiba-lah waktuku untuk menempatkan nyawa dan jasadku dalam satu dimensi, disini. Sebab mereka kini menanti suaraku berkicau menyuarakan apa yang kutulis sebagai isian map putih di masing-masing tangan mereka.
"Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, Alhamdulillahirabb al 'alamin. Al Malikul Quddusus Salaam, Al Wahidul Ahadus Samad, Al Muntaqimul 'Afuuw, Wa Ad Darrun Nafii'." Kubacakan Al An'am yang kucintai permulaannya, kubacakan Al Fajr yang kucintai alunannya. Dan aku sekedar cinta. Ya, ini tentang ayat-ayat hijaiyah yang sempurna.
Perlahan aku kembali masuk dalam iluminasi bayangku sendiri. Perlahan kubangkunkan diriku, ku jejakkan kakiku di karpet merah yang melapisi panggung angkuh ini. Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa aku bukanlah lagi diriku yang jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok Abid keluar pertama kali dari balik gorden hitam di ujung lorong panggung itu tadi.
Ya, ia memang telah mengantarku kesini, seorang akademisi Salaf yang kukagumi. Seorang ahli strategi yang merancang alur misi sepanjang ini. Seorang sahabat yang ku kenali. Saat ini di akhir sayup bacaan tilawahku subuh ini, aku hanya bisa mengenangnya, sesekali membuka update diskusi yang dikirimnya ke emailku walau tak pernah dapat balasan.
Dulu karena aku terlalu sering menunggu. Mungkin kini, aku harus ditunggu. Kata ibuku.
Dulu karena aku sering sekali menungu. Mungkin kini, aku tak tega membiarkan orang lain menungguiku. Ya, seperti itu, kataku.
Sunday, March 13, 2011
Petang
Kurasa, mungkin inilah bagian paling menarik dari kisahku tentang Abid. Bagian paling miris dan dramatis. Ya, walaupun aku samasekali tak mengerti awalannya, aku tak paham juga alur kejadiannya. Hingga yang kupahami kini, ya, baiklah, aku memang tak memahami apapun dan masih termenung saat kutuliskan ini. Semuanya berjalan cepat dan ekstraksi hikmah harus kukeringkan secepat mungkin.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa kecendrungan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan itu benar-benar shahih adanya. Kecendrungan. Pilihan kata yang tepat untuk membuatku minta ampun setengah gila. Yang bahkan tega membuatku membuat karya aca-ucu macam ini.
Aku baru tahu juga bahwa seseorang - akibat kecendrungan itu - tak dapat tergantikan dengan sosok yang lainnya. Kuberi tahu kau diksi teoritisnya; bahwa itu bernama kesetiaan. Ya, ya, ya, kucoba mengira-ngira sendiri bahwa kedua kata "teoritis" itu sudah pernah kutemui sebelumnya, entah di Ar-ruum, An-nisaa, atau an-nuur. Oke aku memang tak mengerti alurnya. Dan ekstraksi hikmah harus kukeringkan secepat mungkin. Bahwasanya suatu persepsi bahasa nafs harus dipadankan dengan otak yang mencetuskannya.
Dengan begitu, aku harus kembali mendeskripsikan seorang Fathir Al Quraabid. Sebagai suatu untitas otak yang menerbitkan dua peristilahan itu demi memintaku menjadi istri keduanya. o_O"
Muhaadatsah paling konyol yang kubuat dengan seorang yang kusegani keunggulan ilmunya. FYI, aku mulai merasa telah menderivasikan diriku kembali jadi remaja puber 16 tahun! Cerita busuk macam ini harusnya bisa jadi hiburan buat tahun depan. Semoga saja.
Aku mungkin telah terperosok dalam khandaq yang kubuat sendiri. Soal dua makhluk Freudian. Tentang penanganan Histeria Bertha Papenheim yang berujung menggantung. Telah meng-internalisasi dalam diriku klausul-klausul sesat Sigmund Freud dan perpanjangan teknis psikoanalisis anaknya; Anna Freud. --" Semakin tega saja dunia ini. Semakin penjaralah bagiku.
Tapi kuduga, ini tak lebih parah dari seorang Abid yang berubah jadi orang lain yang tak kukenali saat meluncurkan dua frase mengerikan itu. Yang bahkan ketika kusampaikan protesku, ia menjawabnya enteng, "Yang seperti ini, selalu bisa membuat semua orang, siapapun, tak mengenal dirinya sendirinya lagi."
Apa yang sempat kau pikirkan tentang cinta sebelumnya? Bahwa kemudian aku jadi merasa terhina.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa kecendrungan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan itu benar-benar shahih adanya. Kecendrungan. Pilihan kata yang tepat untuk membuatku minta ampun setengah gila. Yang bahkan tega membuatku membuat karya aca-ucu macam ini.
Aku baru tahu juga bahwa seseorang - akibat kecendrungan itu - tak dapat tergantikan dengan sosok yang lainnya. Kuberi tahu kau diksi teoritisnya; bahwa itu bernama kesetiaan. Ya, ya, ya, kucoba mengira-ngira sendiri bahwa kedua kata "teoritis" itu sudah pernah kutemui sebelumnya, entah di Ar-ruum, An-nisaa, atau an-nuur. Oke aku memang tak mengerti alurnya. Dan ekstraksi hikmah harus kukeringkan secepat mungkin. Bahwasanya suatu persepsi bahasa nafs harus dipadankan dengan otak yang mencetuskannya.
Dengan begitu, aku harus kembali mendeskripsikan seorang Fathir Al Quraabid. Sebagai suatu untitas otak yang menerbitkan dua peristilahan itu demi memintaku menjadi istri keduanya. o_O"
Muhaadatsah paling konyol yang kubuat dengan seorang yang kusegani keunggulan ilmunya. FYI, aku mulai merasa telah menderivasikan diriku kembali jadi remaja puber 16 tahun! Cerita busuk macam ini harusnya bisa jadi hiburan buat tahun depan. Semoga saja.
Aku mungkin telah terperosok dalam khandaq yang kubuat sendiri. Soal dua makhluk Freudian. Tentang penanganan Histeria Bertha Papenheim yang berujung menggantung. Telah meng-internalisasi dalam diriku klausul-klausul sesat Sigmund Freud dan perpanjangan teknis psikoanalisis anaknya; Anna Freud. --" Semakin tega saja dunia ini. Semakin penjaralah bagiku.
Tapi kuduga, ini tak lebih parah dari seorang Abid yang berubah jadi orang lain yang tak kukenali saat meluncurkan dua frase mengerikan itu. Yang bahkan ketika kusampaikan protesku, ia menjawabnya enteng, "Yang seperti ini, selalu bisa membuat semua orang, siapapun, tak mengenal dirinya sendirinya lagi."
Apa yang sempat kau pikirkan tentang cinta sebelumnya? Bahwa kemudian aku jadi merasa terhina.
Thursday, March 3, 2011
Pagi
Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Bukan tinjauan "sok" kritis yang dimainkan Abid di siaran opininya pagi itu. Tentang dirinya dan dunia. Alur hidup, senyum, dan tangis.
Kukira aku tak lagi ingat wajahnya. Bentukan senyumnya di Fajar waktu itu, ketika ditunjuknya ufuk jingga temaram seraya menyebut masdar namaku dengan intonasi sempurna. Warna suara dan tawanya. Ya, aku tak lagi ingat nyata wujud fisik sahabat terbaikku. Aku hanya ingat kacamata bingkai hitamnya yang tigakali berganti karena ulah cerobohku. Hahhahaaaa... lucu.
Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Yang sampai-sampai jangkrik memahami penuh arti. Yang warnanya hijau dan coklat. Yang semalamannya, kudengar berbisik mengusik, di sisian toilet samping kamarku.
Sebab aku tahu Abid tak perlu di ingat dari raut wajah dan lekuk wujudnya. Sebab aku ingat ia lebih dari itu. Ya, saat itu, saat ini, nanti, dan sampai Allah memberiku ruang istirahat dari memori tentangnya. Ya, ketika kacaan yang miris itu menemui gorden coklat rasa stroberi, berubah warna jadi es krim berselimut coklat merah muda.
Abid. Aku hanya ingin berbicara hal sederhana saja. Sesekali, jika itu memang bisa didapatkan dari sekedar berdialog dengan bolpoin hitam dan gantungan kunci darinya.
:)
Sebab sekali itu, Abid kembali dengan senyumnya yang sama. Mata bening di balik kacamatanya itu, menerawang jauh ke pelupuk pagi. Ditunjuknya sudut cahaya kekuningan di kejauhan.
"Fajar!" serunya
Aku tersenyum, mengikut arah pandangnya yang kemudian. Ini masih tentang dia. Ini tentang Abid. Ya, Fathir Al Quraabid.
Kukira aku tak lagi ingat wajahnya. Bentukan senyumnya di Fajar waktu itu, ketika ditunjuknya ufuk jingga temaram seraya menyebut masdar namaku dengan intonasi sempurna. Warna suara dan tawanya. Ya, aku tak lagi ingat nyata wujud fisik sahabat terbaikku. Aku hanya ingat kacamata bingkai hitamnya yang tigakali berganti karena ulah cerobohku. Hahhahaaaa... lucu.
Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Yang sampai-sampai jangkrik memahami penuh arti. Yang warnanya hijau dan coklat. Yang semalamannya, kudengar berbisik mengusik, di sisian toilet samping kamarku.
Sebab aku tahu Abid tak perlu di ingat dari raut wajah dan lekuk wujudnya. Sebab aku ingat ia lebih dari itu. Ya, saat itu, saat ini, nanti, dan sampai Allah memberiku ruang istirahat dari memori tentangnya. Ya, ketika kacaan yang miris itu menemui gorden coklat rasa stroberi, berubah warna jadi es krim berselimut coklat merah muda.
Abid. Aku hanya ingin berbicara hal sederhana saja. Sesekali, jika itu memang bisa didapatkan dari sekedar berdialog dengan bolpoin hitam dan gantungan kunci darinya.
:)
Sebab sekali itu, Abid kembali dengan senyumnya yang sama. Mata bening di balik kacamatanya itu, menerawang jauh ke pelupuk pagi. Ditunjuknya sudut cahaya kekuningan di kejauhan.
"Fajar!" serunya
Aku tersenyum, mengikut arah pandangnya yang kemudian. Ini masih tentang dia. Ini tentang Abid. Ya, Fathir Al Quraabid.
Friday, February 11, 2011
Malam
Guyuran hujan kota Malang basah di penghujung horizon cakrawala. Mengungkung kepulan doa yang ter-ijabah saat selimut malam mengantar turun raudahNya. Gemintang tak berpendar dan selokan yang tersumbat sampah mulai membuat muak para pengendara jalan raya.
Zana Elzora menatapi dimensi malamnya di balik kaca toko buku yang di kunjunginya. Demi menuntaskan kegusarannya atas caci maki yang diterimanya siang tadi. Di luaran khayalnya, sosok Abid 12 tahun itu belum juga pergi. Seakan meminta untuk diceritakan kembali, tak sudi bila memori tentangnya cukup usai disini.
Kali itu ruang lengang bandara Soekarno-Hatta seakan bergemuruh kencang dalam sisian isi pribadinya. Ini tentang sebuah dimensi yang telah dan akan dikenangnya sebagai kepahitan. Ketika dilihatnya lambaian tangan seorang sahabatnya semakin jauh dan menjauh. Jauh dan menjauh, di balik kaca. Ya, di balik kaca.
Sebuah benda paling sadis di dunia. Yang jadi penghalang langkahnya. Yang patahannya menggores luka dan yang menampilkan gambar miris tak tersentuh jemarinya. Kaca. Deru pesawat. Dan Abid. Malam itu.
d^-^b
Hijab hitam masjid itu terembus angin; lembut. Mengalunkan ombak di luaran mukanya. Melambai bersimfoni, merakit cinta Rabb atas dunia dan manusiaNya. Mengkonveksikan alir udara dari ketinggian intensitas lembabnya. Bergerak seiring tasbih malam mereka atas turunnya sunnah dimensi fana. Seakan menjalin kerangka, menyambut bising manusia yang doanya dibawa pergi sayap malaikat penuh cahaya.
Di balik hijab hitam itu, aku tahu Abid menundukkan wajahnya, menggigit bibir bawahnya hingga tanpa rasa, lalu Bram menekuk kedua kakinya, memeluknya erat dan menitikkan airmata. Sementara di hadapanku, Fahira menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang putih, sesekali suara batuk menghias nada tangisnya. Sementara aku, masih memegang empat mushaf kami, berusaha tak mengalirkan sedihku disini.
Aku tak pernah sadar sebelumnya, bahwa itu adalah kali pertama ku temui perikatan yang begitu indah. Dimulai dari hujan sore dan Abid yang mencoba memahamkanku perkara syar'i mahram. Dimulai dari kait-kait sayangnya dalam iman. Dimulai dari dia, yang kini menjadikan kami tak hanya berdua tapi empat. Yang membawa Bram dan Fahira menjadi bagian dari persahabatan ini sekarang. Dan mereka bertiga kalut dalam emosi manusiawinya sedang seperti biasa, aku memang penikmat drama kehidupan yang ulung.
Besok Abid akan pergi ke Madinah. Mengikut buntut kakeknya yang dosen disana. Aku tak mengerti mengapa ia yang saat itu empatbelas tahun itu harus dibebani kepergian yang begitu dalamnya. Mengapa ia yang begitu mutiaranya harus diambil dari dekat dimensiku. Dan Abid, aku benar rindu pada nada suaranya di sore hujan saat itu. Ya, Abid telah pergi. Dan rupanya ia tak kembali lagi.
d^-^b
Zana Elzora menatapi dimensi malamnya di balik kaca toko buku yang di kunjunginya. Demi menuntaskan kegusarannya atas caci maki yang diterimanya siang tadi. Di luaran khayalnya, sosok Abid 12 tahun itu belum juga pergi. Seakan meminta untuk diceritakan kembali, tak sudi bila memori tentangnya cukup usai disini.
Kali itu ruang lengang bandara Soekarno-Hatta seakan bergemuruh kencang dalam sisian isi pribadinya. Ini tentang sebuah dimensi yang telah dan akan dikenangnya sebagai kepahitan. Ketika dilihatnya lambaian tangan seorang sahabatnya semakin jauh dan menjauh. Jauh dan menjauh, di balik kaca. Ya, di balik kaca.
Sebuah benda paling sadis di dunia. Yang jadi penghalang langkahnya. Yang patahannya menggores luka dan yang menampilkan gambar miris tak tersentuh jemarinya. Kaca. Deru pesawat. Dan Abid. Malam itu.
d^-^b
Hijab hitam masjid itu terembus angin; lembut. Mengalunkan ombak di luaran mukanya. Melambai bersimfoni, merakit cinta Rabb atas dunia dan manusiaNya. Mengkonveksikan alir udara dari ketinggian intensitas lembabnya. Bergerak seiring tasbih malam mereka atas turunnya sunnah dimensi fana. Seakan menjalin kerangka, menyambut bising manusia yang doanya dibawa pergi sayap malaikat penuh cahaya.
Di balik hijab hitam itu, aku tahu Abid menundukkan wajahnya, menggigit bibir bawahnya hingga tanpa rasa, lalu Bram menekuk kedua kakinya, memeluknya erat dan menitikkan airmata. Sementara di hadapanku, Fahira menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang putih, sesekali suara batuk menghias nada tangisnya. Sementara aku, masih memegang empat mushaf kami, berusaha tak mengalirkan sedihku disini.
Aku tak pernah sadar sebelumnya, bahwa itu adalah kali pertama ku temui perikatan yang begitu indah. Dimulai dari hujan sore dan Abid yang mencoba memahamkanku perkara syar'i mahram. Dimulai dari kait-kait sayangnya dalam iman. Dimulai dari dia, yang kini menjadikan kami tak hanya berdua tapi empat. Yang membawa Bram dan Fahira menjadi bagian dari persahabatan ini sekarang. Dan mereka bertiga kalut dalam emosi manusiawinya sedang seperti biasa, aku memang penikmat drama kehidupan yang ulung.
Besok Abid akan pergi ke Madinah. Mengikut buntut kakeknya yang dosen disana. Aku tak mengerti mengapa ia yang saat itu empatbelas tahun itu harus dibebani kepergian yang begitu dalamnya. Mengapa ia yang begitu mutiaranya harus diambil dari dekat dimensiku. Dan Abid, aku benar rindu pada nada suaranya di sore hujan saat itu. Ya, Abid telah pergi. Dan rupanya ia tak kembali lagi.
d^-^b
Thursday, February 10, 2011
Senja
Riuh rendah suara bahagia akan segera mengisi ruang terbaik di lantai enam gedung Fakultas Hitam Merah Putih. Pukul setengah lima lewat delapanbelas menit. Pejabat dekanat ada di pertengahan pidatonya ketika Elzora membuka bingkaian pintu. Mengantar beberapa pasang mata yang kontan bersitatap sekilas dengannya; ia yang kemudian membayarnya acuh, memutar pandang untuk kursi yang kosong.
Perpisahan kepengurusan BEM tahun ini. Seperti inilah. Seperti perayaan lainnya yang pernah dirasainya. Seperti ini; tawa, sumringah, lelucon, bahagia, dan pastinya, bising berisik penuh suara! Dan Elzora tahu, ia tak cocok berada lama-lama dalam setting ini. Telinganya bisa pekak, migrainnya bisa kambuh malam nanti dan yang terpenting, batinnya akan berdoa dalam depresi.
Bukan kesengajaannya juga bila ia telat tujuhpuluh delapan menit dari jadwal yang diketahuinya sejak beberapa hari lalu. Bukan inginnya juga bahwa hari ini ia harus melanglang buana kota Malang hanya untuk sekedar menemui seorang salafi dan mendapat ceramah panjang yang mengiris miris. Bukan hiburan juga, bahwa hari ini, ia harus berlagak sumringah seperti suguhan lingkungannya - sebab seperti biasanya, sayangnya ia selalu gagal memanipulasi ruang rasa. Seorang dia, cuma anak manja yang benci apa yang dibecinya, suka apa yang disukainya; dua rumus dasar EQ yang menginternalisasi mengakar dalam bumbuan persepsi pragmatisnya. Di lain itu, otak kirinya menggejolak memanipulasi data agar emosinya menunduk, mencerna dan ter-atasi.
d^-^b
Pergantian "orang-orang podium" kini usai sudah, perayaan pun beralih pada session "ramah-tamah". Gemerincing ramai jadi nyata riuh rendah, dengan nada yang berbeda - bahkan lebih kacau lagi. Sementara Elzora masih menekuri layar telepon selulernya yang berkali-kali menampilkan simbol memanggil; berkali-kali juga ditekannya tombol merah yang telah disetting busy.
Gila, tak pernah terpikir olehnya bahwa guru tafsirnya benar-benar menganggap krusial wacana afiliasinya di luar jamaah yang telah membesarkannya sejak beberapa tahun lalu itu. Dan memang benar-benar gila, ini samasekali bukan hiburan baginya. Dia dalam sendirinya; memutar ribuan content otaknya tentang bagaimana cara menghadapi sidang saat kepulangannya yang tinggal beberapa hari lagi.
"Tadi kamu kemana?" sebuah suara yang dikenalinya perlahan mengetuk gendang telinganya.
Dan ia hanya menggeleng menyambutnya, dengan gaya asosialnya yang biasa.
"Liqo?" tanyanya lagi.
Dan ia menggeleng lagi, sementara jemari kanan di pangkuannya masih sibuk dengan tombol merah. Maka suara itupun melanjutkan tanyanya; menyebutkan semua kemungkinan untuk disambut anggukan pembenaran.
Elzora menengok ke arahnya sekilas. Ah, kakak tingkatnya yang satu ini, kini hanya berjarak kurang dari satu meter darinya.
"Amniyah," balas Elzora pelan
Lalu tawa kecil mengawan di udara. Ah, sempurna, great, seattle! Mengembalikan review memori otaknya. Tone yang menekan sekaligus lembut, diksi yang menusuk sekaligus senyum tulus. Lengkap sudah.
d^-^b
Sendu Jakarta menari di angkasa, meloncat riang di gundukan awan terbang hitam. Gerimis membumikan angkuhnya ke tanah, entah karena beratnya atau karena keluh kesahnya. Tapi pun artinya sama, Allah telah mengabulkan doanya. Bahwa air jadi berat karena beban massa. Bahwa di tanah segalanya mungkin jadi lebih indah; bersenyawa, mengikat diri dalam koloni merah bata.
Elzora duduk di tepian koridor sekolahnya. Kedua batang kakinya bersejajar, membiarkan rok biru-nya basah diguyur air yang turun dari atap coklat di atasnya. Di hadapannya, bentangan lapangan basket, pagar putih, gapura sekolah, jalan raya. Dibentuknya imaji paling nyata semampunya, sebuah mobil silver masuk melewati jalan raya, gapura, dan gerbang sekolah... kemudian lapangan basket, lalu berhenti tepat di hadapannya, kacanya terbuka dan seorang wanita muda tersenyum padanya. Haaah... indahnya. Walaupun ia tahu, itu tak mungkin terjadi, sebab sebuah sedan tua telah terparkir di pinggir lapangan basket dan seorang bapak paruh baya tertidur di dalamnya demi menungguinya.
"Kamu nggak pulang, El?" tanya sebuah suara membuyarkan bangunan imaji Elzora
Si pemilik suara mendudukkan dirinya di sisi Elzora, "Anda bisa lihat sendiri kan saya ada dimana." balas Elzora dingin, tanpa nada tanya dan koma. Keseluruhan rok birunya telah kuyup dan jemarinya telah ikut biru bisu merengek menggigil. Bibirnya pucat, sebenarnya hatinya-pun telah kaku atas kata-kata.
"Hmmmm?" gumam anak laki-laki di sampingnya itu, seraya memaksakan senyumnya tersampaikan ke layar mata Elzora. Kepalanya di miringkan di hadapan wajah Si Bocah Es Batu.
"Wha-te-ver." ujarnya bersikukuh
"Kamu tuh berjilbab, tapi aku nggak pernah liat kamu ke mushola. Bahkan kamu nggak punya seragam Jum'at karena berasal dari SD Katholik. Mmmm... mau cerita?"
Elzora tersenyum sinis. Lalu kedua pasang mata itu-pun saling beradu sekejap.
"What did you wanted to?"
"Friendship."
Gadis sepuluh tahun itu membangun dirinya. Sebuah senyum sumringah kini tiba-tiba merekah di wajahnya. Di ulurkan tangan kanannya ke hadapan anak laki-laki yang sejak tadi - dan kemarin lalu - diperlakukannya tanpa hati.
Tapi ulurannya itu disambut dengan berdirinya Si user glasses, menghadapnya, tersenyum tak kalah indahnya. Lalu katanya, "Kamu terlalu cantik untuk disentuh."
Elzora menarik tangannya, "Aku nggak ngerti. Tapi oke, aku nggak akan sentuhan sama siapapun lagi setelah ini!" balasnya ceria
"Haha. Kalau sama-sama cewek nggak apa-apa, El."
"Kenapa?"
"Ya, supaya nular cantiknya ke mereka."
"Hahahahaa ada-ada aja,"
"Suatu saat nanti kamu juga akan paham, kenapa harus dibedakan."
"Oh, ya? Hihi. Aku tahu kok kalo kamu bohong."
"hah?"
"Logikanya, kalo kamu bilang aku boleh sentuhan sama cewek supaya mereka tertular cantik." Elzora menatap ramah lawan bicaranya, senyumnya mengembang dan pipinya jadi hangat merona, "maka diibaratkan sistem, aku ini aktif dong. Artinya, mereka yang tertular cantik tanpa action menerima atau menolak seketika setelah kami bersentuhan. Dan yang seperti itu bisa terjadi juga sama cowok. Nah, nggak mungkin, kan, suatu abstraksi dipadankan pada yang nggak berhak? Nanti kamu jadi cantik juga gitu, ya? Hahhahaaa" tawa pertamanya mengudara. Tinggal landas dari langit mendungnya.
Abid; anak laki-laki duabelas tahun itu mengangkat satu alis matanya heran. Lalu tersenyum, membuntuti irama bahagia yang dimainkan sahabat barunya.
Welcome, Life! All Praises for Allah!
Perpisahan kepengurusan BEM tahun ini. Seperti inilah. Seperti perayaan lainnya yang pernah dirasainya. Seperti ini; tawa, sumringah, lelucon, bahagia, dan pastinya, bising berisik penuh suara! Dan Elzora tahu, ia tak cocok berada lama-lama dalam setting ini. Telinganya bisa pekak, migrainnya bisa kambuh malam nanti dan yang terpenting, batinnya akan berdoa dalam depresi.
Bukan kesengajaannya juga bila ia telat tujuhpuluh delapan menit dari jadwal yang diketahuinya sejak beberapa hari lalu. Bukan inginnya juga bahwa hari ini ia harus melanglang buana kota Malang hanya untuk sekedar menemui seorang salafi dan mendapat ceramah panjang yang mengiris miris. Bukan hiburan juga, bahwa hari ini, ia harus berlagak sumringah seperti suguhan lingkungannya - sebab seperti biasanya, sayangnya ia selalu gagal memanipulasi ruang rasa. Seorang dia, cuma anak manja yang benci apa yang dibecinya, suka apa yang disukainya; dua rumus dasar EQ yang menginternalisasi mengakar dalam bumbuan persepsi pragmatisnya. Di lain itu, otak kirinya menggejolak memanipulasi data agar emosinya menunduk, mencerna dan ter-atasi.
d^-^b
Pergantian "orang-orang podium" kini usai sudah, perayaan pun beralih pada session "ramah-tamah". Gemerincing ramai jadi nyata riuh rendah, dengan nada yang berbeda - bahkan lebih kacau lagi. Sementara Elzora masih menekuri layar telepon selulernya yang berkali-kali menampilkan simbol memanggil; berkali-kali juga ditekannya tombol merah yang telah disetting busy.
Gila, tak pernah terpikir olehnya bahwa guru tafsirnya benar-benar menganggap krusial wacana afiliasinya di luar jamaah yang telah membesarkannya sejak beberapa tahun lalu itu. Dan memang benar-benar gila, ini samasekali bukan hiburan baginya. Dia dalam sendirinya; memutar ribuan content otaknya tentang bagaimana cara menghadapi sidang saat kepulangannya yang tinggal beberapa hari lagi.
"Tadi kamu kemana?" sebuah suara yang dikenalinya perlahan mengetuk gendang telinganya.
Dan ia hanya menggeleng menyambutnya, dengan gaya asosialnya yang biasa.
"Liqo?" tanyanya lagi.
Dan ia menggeleng lagi, sementara jemari kanan di pangkuannya masih sibuk dengan tombol merah. Maka suara itupun melanjutkan tanyanya; menyebutkan semua kemungkinan untuk disambut anggukan pembenaran.
Elzora menengok ke arahnya sekilas. Ah, kakak tingkatnya yang satu ini, kini hanya berjarak kurang dari satu meter darinya.
"Amniyah," balas Elzora pelan
Lalu tawa kecil mengawan di udara. Ah, sempurna, great, seattle! Mengembalikan review memori otaknya. Tone yang menekan sekaligus lembut, diksi yang menusuk sekaligus senyum tulus. Lengkap sudah.
d^-^b
Sendu Jakarta menari di angkasa, meloncat riang di gundukan awan terbang hitam. Gerimis membumikan angkuhnya ke tanah, entah karena beratnya atau karena keluh kesahnya. Tapi pun artinya sama, Allah telah mengabulkan doanya. Bahwa air jadi berat karena beban massa. Bahwa di tanah segalanya mungkin jadi lebih indah; bersenyawa, mengikat diri dalam koloni merah bata.
Elzora duduk di tepian koridor sekolahnya. Kedua batang kakinya bersejajar, membiarkan rok biru-nya basah diguyur air yang turun dari atap coklat di atasnya. Di hadapannya, bentangan lapangan basket, pagar putih, gapura sekolah, jalan raya. Dibentuknya imaji paling nyata semampunya, sebuah mobil silver masuk melewati jalan raya, gapura, dan gerbang sekolah... kemudian lapangan basket, lalu berhenti tepat di hadapannya, kacanya terbuka dan seorang wanita muda tersenyum padanya. Haaah... indahnya. Walaupun ia tahu, itu tak mungkin terjadi, sebab sebuah sedan tua telah terparkir di pinggir lapangan basket dan seorang bapak paruh baya tertidur di dalamnya demi menungguinya.
"Kamu nggak pulang, El?" tanya sebuah suara membuyarkan bangunan imaji Elzora
Si pemilik suara mendudukkan dirinya di sisi Elzora, "Anda bisa lihat sendiri kan saya ada dimana." balas Elzora dingin, tanpa nada tanya dan koma. Keseluruhan rok birunya telah kuyup dan jemarinya telah ikut biru bisu merengek menggigil. Bibirnya pucat, sebenarnya hatinya-pun telah kaku atas kata-kata.
"Hmmmm?" gumam anak laki-laki di sampingnya itu, seraya memaksakan senyumnya tersampaikan ke layar mata Elzora. Kepalanya di miringkan di hadapan wajah Si Bocah Es Batu.
"Wha-te-ver." ujarnya bersikukuh
"Kamu tuh berjilbab, tapi aku nggak pernah liat kamu ke mushola. Bahkan kamu nggak punya seragam Jum'at karena berasal dari SD Katholik. Mmmm... mau cerita?"
Elzora tersenyum sinis. Lalu kedua pasang mata itu-pun saling beradu sekejap.
"What did you wanted to?"
"Friendship."
Gadis sepuluh tahun itu membangun dirinya. Sebuah senyum sumringah kini tiba-tiba merekah di wajahnya. Di ulurkan tangan kanannya ke hadapan anak laki-laki yang sejak tadi - dan kemarin lalu - diperlakukannya tanpa hati.
Tapi ulurannya itu disambut dengan berdirinya Si user glasses, menghadapnya, tersenyum tak kalah indahnya. Lalu katanya, "Kamu terlalu cantik untuk disentuh."
Elzora menarik tangannya, "Aku nggak ngerti. Tapi oke, aku nggak akan sentuhan sama siapapun lagi setelah ini!" balasnya ceria
"Haha. Kalau sama-sama cewek nggak apa-apa, El."
"Kenapa?"
"Ya, supaya nular cantiknya ke mereka."
"Hahahahaa ada-ada aja,"
"Suatu saat nanti kamu juga akan paham, kenapa harus dibedakan."
"Oh, ya? Hihi. Aku tahu kok kalo kamu bohong."
"hah?"
"Logikanya, kalo kamu bilang aku boleh sentuhan sama cewek supaya mereka tertular cantik." Elzora menatap ramah lawan bicaranya, senyumnya mengembang dan pipinya jadi hangat merona, "maka diibaratkan sistem, aku ini aktif dong. Artinya, mereka yang tertular cantik tanpa action menerima atau menolak seketika setelah kami bersentuhan. Dan yang seperti itu bisa terjadi juga sama cowok. Nah, nggak mungkin, kan, suatu abstraksi dipadankan pada yang nggak berhak? Nanti kamu jadi cantik juga gitu, ya? Hahhahaaa" tawa pertamanya mengudara. Tinggal landas dari langit mendungnya.
Abid; anak laki-laki duabelas tahun itu mengangkat satu alis matanya heran. Lalu tersenyum, membuntuti irama bahagia yang dimainkan sahabat barunya.
Welcome, Life! All Praises for Allah!
Subscribe to:
Posts (Atom)