Showing posts with label abstrak. Show all posts
Showing posts with label abstrak. Show all posts

Friday, September 13, 2013

Ailona (2)

Namanya Ailona. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Hanya tahu bahwa ia begitu putih, menggigil, biru lebam, kesakitan. Ah, putih, cantik dan manis, seperti tanpa lebam atau kesakitan karena menggigil. Telah lupa ia sebenarnnya apa yang menuansa jadi biru. Apa yang menuansa menjadikannya putih. Wajahnya yang hanya boleh tersapu matahari maksimal 3 jam sehari, jadi kaku membedakan, menarik demarkasi warna dan aliran darah. Bingung, sudah bingung ia.

Sekedar bahwa, namanya Ailona.

Aku pernah menulis tentangnya, sekali. Tapi tidak ada yang komentar. Atau membuang wajah sangar. Seakan sangkar-sangkar melayang jadi hingar bingar, terbang, terbang, pergi berlayar. Sekali. Tapi tidak ada yang komentar.

Karena tidak mengenalnya. Ailona tinggal di tempat yang tidak dikenal mereka. Ia hidup di perbatasan gunung dan lautan, poros manja soal kehidupan. Tinggi dan kedalaman. Sama tinggi sama rendahnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona bertarung di peperangan yang tidak masuk dalam kamus peradaban mereka. Ia berdarah di perbatasan bunga dan sintesa. Asli dan bohongan. Sama kaku sama wanginya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona menggigil di suhu yang tidak dicatat dalam termo logika mereka. Ia membiru dan lebam di perbatasan pujian dan kutukan, tarikan sentrifugal tanggapan orang banyak. Ditarik dan ditolak. Sama terbuka sama tertutupnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Aku baru sekali kemarin menulis tentangnya, Ailona bilang, itu bukan aku. Itu bukan aku. Lalu kau, lalu kau, Ailona namanya.

Wednesday, May 29, 2013

Putih murmer

Putih murmer, bukan kata-kata yang tidak terjaga karena pudarnya. Bukan juga karena kesaksian bisu nyala-nyala lampuku. Aku sekedar, tahu saja, bahwa, kadang kita sekedar tahu. Seperti putih murmer.
Katanya rasanya enak, katanya sesekali aku bermain di lembutannya, seperti padang pasir, kadang, seperti rimba hutan, kadang, kadang-kadang juga seperti bicara pada butiran.

Sejak saat itu aku jadi suka warna putih, ada saja, putihnya, putih yang murmer. Bukan kue, bukan yang enak.

Itu kan anggapan orang saja. Padahal ia benda, padahal ia, sesuatu yang lain. Prestisius.

Friday, March 29, 2013

Bandung..

Tujuh gelombang demokrastisasi dunia pada perempat akhir abad 20

Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :

1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s; 
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s; 
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s; 
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s; 
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991; 
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and 
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.

-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an

Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..

Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.


Bandung

keberadaan elite dalam setiap struktur kemasyarakatan adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri.. dalam setiap level kuasa, pengaturan, dan pembacaan peta posisi.. ketika disepakati konsep negara modern, konstitusional - demokratis.. setidaknya garis batas penyelenggaraan negara terdiri atas tiga hal : pembatasan dan pembagian kamar kekuasaan, jaminan ham, dan supremasi konstitusi.. *apaansih*

ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..

derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)

Tuesday, March 26, 2013

Judex Factie


Kusadari bahwa ia, ternyata sebuah kebohongan yang akan mewujudkan dirinya dalam kebohongan yang selanjutnya. Seterusnya seperti itu, sampai habis tersakiti, menyakiti, mendapatkan adzab yang sepantasnya. Bahwa itulah kerendahan sampai ke akar-akarnya. Bahwa itulah kehinaan sampai ke ujung jari-jari kukunya. Tidak akan sudi menemuinya lagi.
            Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa perhubungan aku dan dirinya ternyata juga penuh dengan intrik. Bahwa ‘perspective’ itu secara massif juga menjajari ketidakmampuanku dan ketidakmampuanmu menjadikan kenyataan sebagai guru yang berharga. Bukan tentang masa lalu tentu saja. Bukan tentangmu juga. Bahwa betapa ilusi itu jadi motion kebohonganmu yang paling canggih. Aku sekedar. Terkesima saja.
            Orang-orang berkata bahwa sebagian dari orang-orang memang memiliki nasib yang menyedihkan, terpaksa kerdil karena dirinya sendiri sebagai seseorang. Berkubang di noda lumpur dosa-dosanya sendiri. Tenggelam, mati, lalu hidup kembali, mati lagi, hidup hati, dimatikan.
Orang-orang yang seperti seseorang dari sebagian orang itu lalu seutuhnya memenuhi ritual pribadinya terhadap penghambaan kepada keterpurukan. Sementara itu lupa, sementara itu mencicipi sedikit dari yang selainnya. Memakan plafon dan dinding kanan-kirinya. Dijilat, sedikit, sedikit, sampai tak mampu lagi. Keropos gigi-gigi lalu benar-benar membeku jadi mumi. Diwariskan. Dilihat orang banyak, ah, sayang sekali, kata mereka, orang-orang dari sebagiannya seseorang.

            Aku tak berubah. Cuma baru tahu sebuah kebohongan besar. Bahwa ikatan antara aku dan dirinya rupanya Cuma sumbangsih perhelatan darah saja, bukan jiwa, bukan juga soal ini dan itu yang patut jadi soal-soal ikatan orang-orang banyak. Benar-benar butuh kelapangan hati.
            Habis kata-kata. Habis bicaranya.
            Habis nuansa. Habis percaya.
            Bukan imannya, tapi, sekedar. Sebentar saja. Menarik kembali tribulasi akaran perhubungannya. Tapi, sekedar. Sebentar saja. Melihat bahwa, aku adalah putaran diriku, diikat kuat pada tali yang amat kuat, bismillah. Dengan begitu, sisi baiknya, aku benar-benar tak perlu kembali ke rumah. Lupakan.
            Bukan tentangmu. Bukan tentang kau dan aku. Bukan tentang aku. Bukan tentang kita tentu saja. Dia tentu saja, sesuatu yang sengaja dikirimkan dalam tugas kebinasaan, sebagai cobaan, ujian, adzab disini. Sebab tak mungkin kerendahan akhlaq jadi rumus kedua yang beda factorial kali ini. Bahwa, sekedar. Mengilhami, bahwa, tak banyak yang bisa dilakukan manusia, bahwa, tak patut mematutkan diri jadi sejati, bahwa, melaluinya dengan kepicikan. Lebih ‘arus utama’. Lebih ‘sempurna’. Lebih ‘aku’. Rancu.

Saturday, March 9, 2013

No Cure


Bahwa bersedih itu jauh lebih indah. Lebih khusyuk, lebih bersyukur. Bahwa ia Cuma sesaat saja. Kembali menyadari bahwa tak memiliki siapapun, apapun, karena tak mengenali mereka, Karena tak memiliki hak untuk marah pada siapapun, apapun. Untuk memulai kembali. Yang mati suri.

Membuat segala sesuatunya menjadi lebih bermakna. Mengumpulkan energy, membagi-bagi. Bercerita bahwa, hatiku jadi selembab kapas terbang, dihempas udara bermuatan liquid mikrotik, merasuki, hampir saja basah, tapi tidak. Lakukan saja, jangan terlalu dipikirkan, nasehatnya. No action talk only, kan. Haha iya, mungkin banyak benarnya.

Menuliskan, mencari-cari. Bertambah licik lalu menari-nari. Gila kesana kemari.

Memulai segalanya dengan lebih indah, mendekatkan diri kembali padaNya. Tak suka bergumul dengan manusia, cukup pusing mendengar celotehan mereka. Mungkin ada benarnya, aku tak patut dalam banyak hal, tak menyenangkan seperti mereka.

Berbusa-busa bicara soal pemikiran, ternyata tak mampu dicerna dalam akaran. Sampahan.

Wednesday, March 6, 2013

Full Leaving

Well, there's so many things we have to tell the world about.
While the human being turn to some 'egalite' mainstream or whatever, people keeping their ear to hear anything and open their eyes to found everything.
For me, the most to tell is, Islam.
So just see.

Everybody lived the world just like man-kind do. So that the history tell us the cause and many phrase of 'in the first of century' or whatever. I don't like such history that much. So, just listening the air swing, talk to the tree while we need to fly with dragon. :)

We just live on this accuracy setting on behalf of 'first' and 'end'. Then I thought, what a wasted us to think
around or think so deep about how much we make the world so complicated tends of tomorrow.

Whenever, Islam give me the best part of life. Then I'll try to live with it.
How could people lying about the history? How could people keep their minds close to the end of endless?
So that people tryin to make everything comfortable. Well, Islam was the natural reason about  how and why I trust my life, learn to live, full leaving. Alhamdulillah. :)

Saturday, March 2, 2013

Kolam Raksasa??

Biarkan gedung-gedung tinggi yang menjulang
Dan kerlap kerlip malam dirimu yang menjawab
(Resti Pratiwi)

Aku terpana oleh kata-kata, terkadang tersanjung, menjadi sedih, atau muncul kerinduan.
Sebab kata-kata adalah bagian dirimu yang paling bisa ku ingat. Sebab celotehanmu mampu bercokol lebih dalam dari warna suaramu. Retaknya renyah tawamu. Kata-katamu menjadi lebih syahdu dalam suatu waktu, membuatku rindu.

Hilang bicara, hilang kata-kata.
Tapi, Kata-kata adalah semu sementara pemaknaanlah yang sesungguhnya, kata Rumi.
Dan, Cinta saling bicara dengan bahasa Rahasia, tambahnya. 

Maka sesekali kupikir.
Aku adalah orang yang sekonyol itu. Sekonyol semacam keruh hati.
Semacam busuk perasaan. Semacamnya.

Manipulatif.

Maka sesekali kupikir.
Bukan kau yang tak mampu mengerti. Tapi bias frekuensi hati. Hingga tak sampai. Hingga menggantung semampai. Tinggi, menyakiti.

Di depanku ada sebuah kolam raksasa, katamu. Dalam mimpi.
Sebenarnya telah lama ada.
Tapi terlalu biru untuk ku sebrangi.
Terlalu luas untuk ku arungi.
Membawa perahu untuk menyebranginya, iya, untuk bersamamu? Itu hanya kolam saja, terlalu berlebihan
Aku mencari cara. Mencari waktu dan logikanya.
Agar kolam raksasa itu jadi sederhana.
Sesederhana bahasa rahasia cinta.

Tersanjung di mimpi sendiri. Otak gilaku bekerja di kedalaman neuron, menemukan kata-katanya sendiri. Membuat narasi bodohnya sendiri. Dia bukan aku. Siapa? Aku menyebrangi kolam besar untuk apa? Atau siapa menyebranginya untukku? Pelis.

Sekonyol semacam kekonyolan semacam itu. Ya, kata-kata. Sekedar luaran dari sederetan buku-buku yang menjadi friksi-friksi pengetahuan. Meracau, mengganggu hidupku.

Monday, February 25, 2013

Maaf

Maaf untuk setiap hati yang tersakiti. Maaf untuk setiap hati yang terlukai, ikatan yang teruraikan, naif yang bertebaran. Maaf untuk setiap kesedihan, beratnya sesak yang menggumpal jadi pemikiran.
Manuver. Rencana. Kebusukan.
Bukankah manusia, pada titik itu hanya lelucon?
Yang jadi benalu harapan, di ukiran, di persimpangann, di pilihan.
Kosong ketulusan, mati hati. Kemarahan itu. Ibarat aku. Muara kerendahan akhlaq semacam itu.

Monday, December 3, 2012

Sahabat

Sahabat, entah wajar atau tidak
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu

Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan

Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu

Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan

Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu

Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam

Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan

Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah

Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja

Thursday, November 29, 2012

SEMANGAT ^-^

Bertubi-tubi datang menghampiri. Mungkin karena gelas yang kosong atau mimpi-mimpi yang menghantui. Ah, jadi takut untuk tidur. Perlu diterapi atau diebrikan obat penenang depresi.

Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.

Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.

Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.

Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.

Sunday, October 28, 2012

Mawar Hijau

Seseorang sempat bertanya, apa yang dimaksud dengan mawar hijau bagimu? Pertanyaan ulangan dari berbagai beberapa derivasi redaksi kata yang pernah ku dengar selama dua tahun terakhir ini. Mawar hijau bagiku adalah sebuah representasi kenyataan. Mawar hijau itu delusi yang terlalu jauh untuk diangkat jadi sekedar "ada". Ia sedikit sulit untuk ku jelaskan dengan lukisan atau kata-kata.
Oleh sebabnya aku jarang menjawab dengan serius setiap pertanyaan yang lari ke telingaku. Ini agak sulit. Membangun pemaknaan dan refleksi irasional dari beberapa tuntutan kromatograf falsafah diri.

Beberapa waktu lalu kutemui lagi mawar hijau. Katanya ia petanda perdamaian, ketenangan, aura persahabatan. Entah, mungkin kini prisma cahaya matahari bisa dimaknai apa saja. Kini mereka bilang merah itu tanda asmara, biru tanda kedewasaan, ungu tanda cinta tulus dan seterusnya. Mereka tak tahu, bahwa bandingan dan turunan tak akan semudah simbol tanda tanya bagimu.

Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.  

Monday, August 6, 2012

The Excuse


Tiba-tiba saja kita jadi serba salah, bukan hanya sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Dulu suatu ketika pernah saya berdiskusi soal pemikiran hukum dasar. Sekitar agustus tahun 2011. Kita belajar norma. Ya, norma agama, susila, hukum, kebiasaan, adat, kesopanan, kepantasan, dsb. Seperti ceramah hukum lainnya, biasanya lecturer akan memperkenalkan semacam tangga norma yang intinya menempatkan norma hukum sebagai klausul akhir dari pemapanan norma. Dimulai dari norma agama, susila, kebiasaan kemudian hukum.
Saya samasekali tak keberatan. Pertama kali saya memang terprovokasi. Saya memiliki baground pemikiran islamis yang lumayan kental. Saya berasal dari latar kesejarahan hidup yang mengantarkan saya pada nadir takdir yang – Alhamdulillah – menempatkan saya sebagai pemikir beraliran religius islam. Wajar, mulanya saya tak terima dengan tipe penempatan norma agama sebagai norma pertama di tangga paling bawah deretan norm. Lalu seberkas kemudian, saya tahu, buatan paradigm yang seperti ini memang desain yang lumayan luxurious. Tapi luxuriusitasnya tetap tak menjamin validitasnya bukan? Ini teori yang berporos pada dua kotom klasif. Sifat mengatur dan asal muasalnya.
Tak ada urusan dengan pola konyol yang menempatkan asal ilahiah sebagai sesuatu yang sekedar menjadi pijakan yang ditinggalkan. Akhirnya saya serta merta mengganti judul “tangga norma” menjadi “proses pemapanan negosiasi norma dalam masyarakat” dalam catatan pribadi saya. Sebab memang, tak semua orang akan jadi muslim. Tapi adanya janji hudaibiyah adalah sebuah negosiasi yang muncul dari akhlaq qur’aniyyah. Itulah hukum, capaian negosiasi norma dalam masyarakat, tangga-tangga itu barulah dapat saya terima dalam konsepsi yang seperti ini. Hehehee..
Kembali dalam paragraph pertama kita sebelum saya menyentil kembali putaran neuron saya di paragraf 2 dan 3 tulisan ini, masalah utama yang begitu penting yang ingin saya sampaikan kali ini adalah mengenai poin kebingungan yang tersendiri, sebab ini bukan hanya sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Kita ambil preparat tipis, sepotong kasus di atas, tangga norma. Pernahkah anda menemukan, bahwasanya kita seharusnya seringkali bingung dalam meletakkan setiap diagnosa dan faktor-faktornya.
Begini ceritanya, diskusi saya dalam ceramah pemikiran hukum dasar tersebut dalam perpanjangan terpaksa membuat saya memuntahkan sebuah pertanyaan, “apakah sifat mengatur dan asal muasal benar-benar factorial dan nama “norma” benar-benar definisi ?” Ya, pada akhirnya ruangan mengalami perubahan tensitas kemiringan, mengikuti lantunan “krik-krik-krik” yang menggemuruh, ini hanya semacam ilusi. *gaklucu* Intinya saya hanya satu-satunya orang yang mengerti maksud redaksi kalimat saya sendiri, dan berkat sebuah kekonyolan yang telah menjadi mental utama, saya-pun melanjutkan, “ketika anda sakit maag maka yang di maksud tentu kadar asam lambung yang tinggi bukan? Maag telah menjadi sebuah nama yang dipadankan dengan presisi kondisi tertentu, dimana kadar asam lambung tinggi entah bagaimana-pun penyebab dan komplikasinya.”
……………………….
Krik-krik-krik..
Dan saya kembali keluar ruangan dengan beberapa teman yang memegang bahu saya dari belakang seraya katanya, “apa mir, hubungannya sakit maag sama norma hokum?” Jawab saya simple saja, “saya anak fakultas hukum dan saya sempat sakit maag tapi bukan karena lambung saya bermasalah.”
???????????????
………………………
Perlahan, saya punya sebuah jargon atau semacam motto yang saya dapatkan dari kasus ini, “tanda Tanya anda adalah kebahagiaan bagi saya”. *tutupbuku,menghiburdiri*

Sunday, February 5, 2012

Tercengang

Kumulai setiap goresan dengan satu kesakitan. Bahwasanya hitam yang mencintai putih adalah tanda telah menistainya pula. Ketika kumulai setiap goresan dengan penghabisan. Sebabnya tinta akan sirna usai dibenamkannya ke laksa cita dan akan patah batangan usai diserahkannya semua dayanya. Ya, aku memulainya, atas sebuah dilematika yang tak tergambarkan oleh pesona. Seketika itu merana, sebab goresan dengan penistaannya, meracau demi akaran logika bahwa ia juga jadi penghabisan permulaannya.

Entah, bening yang dirajut di sepersekian inchinya saat harus memilih dunia atau keutuhan dirinya. Entah, laut yang meringis di setiap pergerakannya saat harus bercita-cita mengenai tenang atau kematian pribadinya. Dan aku bungkam, menerima sakit dan penghabisan permulaaannya, di tiap selipan kata dan keragu-raguannya.

Sempurna, bukankah cemeti jadi alat untuk melarikan diri? Ketika sampai di hatinya, sampai jauh pergi fungsi presisi dari peruntukkannya. Sempurna, bukankah tujuan jadi alat untuk menyembunyikan hati? Ketika sampai di kepergiannya, menyalip silang dalam perlombaan putarnya dengan relevansi zaman. Ah, setia, rumusan macam apalagi dia?

Maka akhir yang mengagumkan jadi penerimaannya atas perujungan sakit dan penghabisannya, bukan?

Tuesday, February 15, 2011

Speechless

Saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita memang samasaja. Oleh karena sama terlahir dari seorang 'beliau' yang manusia. Oleh karena bagian jiwa yang merangkak perlahan, mengimani bahwa perputaran jagat menjerumuskannya dalam harmoni yang tak diketahuinya.

Saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita memang samasaja. Oleh karena siklus putar peradaban terpaksa merangkul jejakannya. Di tanah basah, kehujanan, diguyur hasut dan impuls pikir yang tak terelakkan. Sama saja, anda melihat saya pun melihatnya.

Lalu saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita memang samasaja. Yang ketika di sulut cinta jadi merona. Atau didera amarah seketika beringsut merah. Mungkin tidak, oh ya, saya rasa iya.

Ketika saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita samasaja. Terjebak dalam ruangan penuh debu. Disana-sini, ada laba-laba merah menggerogoti pintu-pintu dan kuncian. Dan saya, dia, kamu, mereka, kami dan kita sama saja.

Dia dan kamu bergandengan tangan, mereka dan kami melolongkann harapan agar dikeluarkan. Sementara saya dan kita, jadi sibuk membenahi ratap dan kepalsuan.

Disini kita jadi sama berbedanya. Yang ketika anda berbuat, saya membersihkan!