Tiba-tiba saja kita jadi serba salah, bukan hanya sekedar tentang
memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi,
proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Dulu suatu ketika pernah saya
berdiskusi soal pemikiran hukum dasar. Sekitar agustus tahun 2011. Kita belajar
norma. Ya, norma agama, susila, hukum, kebiasaan, adat, kesopanan, kepantasan,
dsb. Seperti ceramah hukum lainnya, biasanya lecturer akan memperkenalkan semacam tangga norma yang intinya
menempatkan norma hukum sebagai klausul akhir dari pemapanan norma. Dimulai
dari norma agama, susila, kebiasaan kemudian hukum.
Saya samasekali tak keberatan. Pertama kali saya memang terprovokasi.
Saya memiliki baground pemikiran islamis yang lumayan kental. Saya berasal dari
latar kesejarahan hidup yang mengantarkan saya pada nadir takdir yang –
Alhamdulillah – menempatkan saya sebagai pemikir beraliran religius islam.
Wajar, mulanya saya tak terima dengan tipe penempatan norma agama sebagai norma
pertama di tangga paling bawah deretan norm. Lalu seberkas kemudian, saya tahu,
buatan paradigm yang seperti ini memang desain yang lumayan luxurious. Tapi luxuriusitasnya tetap
tak menjamin validitasnya bukan? Ini teori yang berporos pada dua kotom klasif.
Sifat mengatur dan asal muasalnya.
Tak ada urusan dengan pola konyol yang menempatkan asal ilahiah sebagai
sesuatu yang sekedar menjadi pijakan yang ditinggalkan. Akhirnya saya serta
merta mengganti judul “tangga norma” menjadi “proses pemapanan negosiasi norma
dalam masyarakat” dalam catatan pribadi saya. Sebab memang, tak semua orang
akan jadi muslim. Tapi adanya janji hudaibiyah adalah sebuah negosiasi yang
muncul dari akhlaq qur’aniyyah. Itulah hukum, capaian negosiasi norma dalam
masyarakat, tangga-tangga itu barulah dapat saya terima dalam konsepsi yang
seperti ini. Hehehee..
Kembali dalam paragraph pertama kita sebelum saya menyentil kembali
putaran neuron saya di paragraf 2 dan 3 tulisan ini, masalah utama yang begitu
penting yang ingin saya sampaikan kali ini adalah mengenai poin kebingungan
yang tersendiri, sebab ini bukan hanya
sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan
presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Kita ambil preparat
tipis, sepotong kasus di atas, tangga norma. Pernahkah anda menemukan, bahwasanya
kita seharusnya seringkali bingung
dalam meletakkan setiap diagnosa dan faktor-faktornya.
Begini ceritanya, diskusi saya dalam ceramah pemikiran hukum dasar
tersebut dalam perpanjangan terpaksa membuat saya memuntahkan sebuah
pertanyaan, “apakah sifat mengatur dan
asal muasal benar-benar factorial dan nama “norma” benar-benar definisi ?”
Ya, pada akhirnya ruangan mengalami perubahan tensitas kemiringan, mengikuti
lantunan “krik-krik-krik” yang menggemuruh, ini hanya semacam ilusi. *gaklucu* Intinya
saya hanya satu-satunya orang yang mengerti maksud redaksi kalimat saya
sendiri, dan berkat sebuah kekonyolan yang telah menjadi mental utama, saya-pun
melanjutkan, “ketika anda sakit maag maka
yang di maksud tentu kadar asam lambung yang tinggi bukan? Maag telah menjadi
sebuah nama yang dipadankan dengan presisi kondisi tertentu, dimana kadar asam
lambung tinggi entah bagaimana-pun penyebab dan komplikasinya.”
……………………….
Krik-krik-krik..
Dan saya kembali keluar ruangan dengan beberapa teman yang memegang bahu
saya dari belakang seraya katanya, “apa mir, hubungannya sakit maag sama norma hokum?”
Jawab saya simple saja, “saya anak fakultas hukum dan saya sempat sakit maag
tapi bukan karena lambung saya bermasalah.”
???????????????
………………………
Perlahan, saya punya sebuah jargon atau semacam motto yang saya dapatkan
dari kasus ini, “tanda Tanya anda adalah kebahagiaan bagi saya”.
*tutupbuku,menghiburdiri*
No comments:
Post a Comment