Showing posts with label learn. Show all posts
Showing posts with label learn. Show all posts

Friday, September 13, 2013

Ailona (2)

Namanya Ailona. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Hanya tahu bahwa ia begitu putih, menggigil, biru lebam, kesakitan. Ah, putih, cantik dan manis, seperti tanpa lebam atau kesakitan karena menggigil. Telah lupa ia sebenarnnya apa yang menuansa jadi biru. Apa yang menuansa menjadikannya putih. Wajahnya yang hanya boleh tersapu matahari maksimal 3 jam sehari, jadi kaku membedakan, menarik demarkasi warna dan aliran darah. Bingung, sudah bingung ia.

Sekedar bahwa, namanya Ailona.

Aku pernah menulis tentangnya, sekali. Tapi tidak ada yang komentar. Atau membuang wajah sangar. Seakan sangkar-sangkar melayang jadi hingar bingar, terbang, terbang, pergi berlayar. Sekali. Tapi tidak ada yang komentar.

Karena tidak mengenalnya. Ailona tinggal di tempat yang tidak dikenal mereka. Ia hidup di perbatasan gunung dan lautan, poros manja soal kehidupan. Tinggi dan kedalaman. Sama tinggi sama rendahnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona bertarung di peperangan yang tidak masuk dalam kamus peradaban mereka. Ia berdarah di perbatasan bunga dan sintesa. Asli dan bohongan. Sama kaku sama wanginya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona menggigil di suhu yang tidak dicatat dalam termo logika mereka. Ia membiru dan lebam di perbatasan pujian dan kutukan, tarikan sentrifugal tanggapan orang banyak. Ditarik dan ditolak. Sama terbuka sama tertutupnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Aku baru sekali kemarin menulis tentangnya, Ailona bilang, itu bukan aku. Itu bukan aku. Lalu kau, lalu kau, Ailona namanya.

Wednesday, June 19, 2013

Rumitansi

Tiupan angin sore kota Jakarta masih getir seperti yang ku kenal. Lalu lalang penjara jalanan di persimpangan Senen, Jakarta Pusat. Aku berdiri, seakan jadi bintik kecil yang kebingungan di tengah hiruk pikuk. Memegangi sebotol air minum ionic yang hampir kosong di tangan sebelah kanan. Menatapi langit. “Semoga hujan cepat turun…” bisikku.
            Sebab wangi hujan tak pernah sedatar wanginya yang sebelumnya. Setiap rintikan adalah organisme yang berbeda, identik namun bukan ‘orang’ yang sama. Setiap dari mereka adalah kecintaan. Tulus yang berbuah jadi kemurnian siklus kehidupan. Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan.
Menunggu mereka di pertengahan bulan Maret, saat banjir Jakarta baru saja tinggal landas, hujan melintas menunggu perhubungan siklus tahun depannya yang mungkin akan jadi lebih kacau lagi. Hujan di pertengahan Maret, sesederhana hujan bulan Juni yang arif bijaksana, kata Sapardi Djoko Damono, menahan dirinya, tak dapat menurunkan wujudnya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan. Kemarau.
            Siang tadi, aku baru saja mengambil sebuah titik paling gila dalam hidupku. Bahwa dengan satu goresan tinta, akulah rintik hujan yang tak akan pulang ke rumahnya. Mengakhiri setiap alir liquid-nya, untuk memulai kembali. Sebuah persetujuan gadai rumah. Menggadaikan rumah orangtuaku yang saat ini masih di Paris, tinggal di rumah teman masa kuliahnya, katanya.
            “Missy ! Little Miss !!” sebuah teriakan wanita paruh baya menyelip di situs pendengaranku. Di sebelah kiri, sebrang jalan, di pinggir pasar. Sore yang menguning, tanda polusi industri yang mengambang di awan-awan, tak ada hujan. Aku sama sekali tak menoleh padanya, menyebrang ke sebrang kanan, meninggalkannya yang mungkin mulai kelabakan masuk kembali ke dalam mobil sedan hitamnya, mencoba mengejarku untuk kesekian kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Ia Cuma mahasiswi kurang terpelajar berumur enambelas tahun. Aku tidak pernah suka dengannya. Terlalu kekanak-kanakan, tapi dia bilang dia dewasa. Terlalu banyak merajuk, contohnya, dengan caranya mengurangi kuota pembelian kain di kongsi mitra yang sedang menaikkan harga. Sesekali, aku iri juga. Toh, perempuan itu punya rumah seharga 4 milyar. Tapi, seringnya, aku bersyukur, bahwa aku bukan dia.
            Sekarang wajah lusuhnya kembali menatapi kami satu-satu. Anak enambelas tahun yang jadi mahasiswi semester dua itu, sekarang sok jagoan mengomeli kami satu per satu. Sialan.
            Katanya, hitungan neraca akuntansi yang ku buat masih banyak salah dan kurang detail. Gila,
            “Benar, ada yang sempat ambil uang kasir buat beli dunkin donuts dulu? Saya mau hal-hal seperti itu tercatat juga disini, sekalipun satu rupiah”
            Mata sipitnya meruncing. Omelannya bukan hanya sekitar itu saja,
            “Bagaimana bisa, ini mitra kita sejak 5 tahun terakhir. Saya tidak pernah bermasalah untuk teken kontrak disini !” nadanya meninggi, mata runcingnya itu, memanah Dimas, PR[1] kami – yang 12 tahun lebih tua darinya.
            Semua menjadi tidak becus, di ruangan itu. Maka seperti biasa, buku-buku catatan kami penuh dengan focus-work-list yang menjadi akhir rapat penuh angkara murka itu. Focus-work-list. Kami berkali-kali menertawakan istilah itu saat jam makan siang atau sekedar momen kumpul selama berhari-hari sejak tahun lalu. Istilah itu dimunculkannya saat rapat pertama sebagai pimpinan pengganti ibunya. Anak itu, gosipnya, punya kendala bahasa, semacam autis. Tapi aku tak pernah tahu pasti. Kami tidak ada yang pernah berbicara secara personal dengannya. Begitu dingin, tanpa senyum, ya, kecuali ketika mengajari para shopkeeper baru menyambut tamu.
            “Baik, mari kita lakukan yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Saya tutup rapat kita. Wassalamu’alaykum,” ujarnya beku. Wajah langsatnya nyinyir tak berekspresi. Kami berdiri, melangkahkan kaki keluar dan berharap ia tak memantau hari ini.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Mall Taman Anggrek masih sibuk membenahi rona-rona ramainya. Aku tak pernah suka berada disini. Berisik. Terlalu banyak urusan.
            “Mikirin apa Miss?“ sebuah suara yang kukenal kembali menyapa seperti biasa, dari belakangku, telapak tangan kanannya menyampir di bahuku.
Bu Ranti. Wanita paruh baya yang kemarin kutinggalkan di perempatan Senen. Wajahnya teduh seperti biasa, di balik bingkai kacamatanya yang berat itu, mata bulat kelopak besarnya menatapku ‘kasihan’ seperti biasa. Ia mungkin satu-satunya orang yang dapat kupercaya di dunia ini, kolega mama sejak 30 tahun lalu.
“Soal rumah, hehe,” ujarku sungkan, lalu menyambar lengan kanannya, “Ayo ke dalam bu,” memutus pembicaraan itu, melangkah menyebrangi trotoar yang 5 meter, masuk ke dalam pintu kaca.
………………………………
            Di balik pintu kaca ini bukanlah sebuah tempat yang kelewat mewah, biasa saja. Hanya sepetakan ruang berukuran 30x20 meter. Empat bulan yang lalu tempat ini disebut ‘butik’. Tapi sekarang papan nama itu sudah kuganti dengan istilah ‘The Boutique of Wed’. Ya, disini hanya ada gaun dan jas pesta pernikahan. Ya, ada yang lainnya, tapi tema ruangan ini, kira-kira hanya sebatas itu saja. Kami juga menyediakan jasa pendukung lain seperti tim rias, interior theme design, fotografi, makelar gedung, dan seterusnnya, semacam wedding organizer sungguhan. Anggapan bahwa hidup ini permainan dan kepalsuan, bagiku, banyak benarnya.
            Beberapa orang, secara menyakitkan pernah bergurau disini, di hari ketika papan itu di ganti.
            “Tau nggak kenapa bu Farikha sampai bolak-balik kawin-cerai tiga kali?”
            “Haha.. ya, kan gampang nge-organizenya, pake aja ‘The Boutique of Wed’ ahaha
            “Bukan gitu kali, ada juga kenapa ini ditegesin jadi WO ya karena emang yang punya suka kawin, hahahaha”
            Aku hanya berlalu, ibu kandungku, beliau memang sempat menikah dan bercerai, di luar pengetahuan mereka, bahkan lebih dari tiga kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Aku tahu bahwa tidak ada satu-pun karyawan menyukai pimpinan pelaksana semacam diriku. Bengis, dingin, pemarah, katanya. Terutama karena mereka juga membenci mama. Itu wajar saja sebab dalam pandangan sebagian orang aku adalah anak tunggal tanpa ayah dan ibuku adalah janda yang suka keluar negeri dan menikah sirriy. Lengkapnya, sebagian besar karyawan disini adalah sebagian orang itu. Sekedar bahwa suhu kebencian itu, dapat dirasakan, kan.
Langkahku kembali terhenti, seseorang kembali menyampirkan tangannya di bahuku. Arfika, akuntan butik yang 8 tahun lebih tua dariku itu, wajahnya tergesa. Ia menatapku, berbicara tanpa kata, menggerakkan kepalanya ke belakang. Seseorang yang familiar kontan masuk dapat tangkapan retina mataku. Petugas gadai dari bank.
………………………………
            Kami berdua duduk berhadapan, seakan aku orang dewasa sungguhan. Bapak berperawakan tinggi besar itu tidak menyentuh cangkir kopinya sama sekali.
            “Ini tidak dapat diterima !” katanya tiba-tiba, meninggi. Seberkasan kertas dihamburkannya ke atas meja. Lingkaran merah di identitasku dan coretan di tanda tanganku itu, seakan membuatku menyadari segalanya. Sementara matanya terus mencoba mengintimidasiku dengan sempurna, menodong tanganku untuk membereskan dan mengangkat kertas-kertas itu.
            Tapi aku rupanya memang seorang bocah angkuh, bahkan dalam keadaan selemah ini. Aku hanya tersenyum meremehkan, menatapnya balik, mengintimidasi. Tanganku reflex menyilang dan mendukung aksi sinisku.
            “Anda lambat sekali menyadarinya, pak.” Jawabku sok pintar
            “Jadi kamu sengaja? Hei ! Saya bisa saja dengan serta merta mengambil toko dan rumah kamu atas nama bank ! ”
            “Saya rasa anda mengada-ada. Perjanjiannya kredit modal, bukan gadai, lagipula, toko dan rumah saya bukan jaminannya. Dengan tanda tangan saya?” aku kembali tersenyum penuh kemenangan. Suhu ruangan penuh angkara-murka. Tapi aku tidak perduli, aku akan menang dalam peperangan ini.
………………………………
            Sebenarnya sore ini aku baru menyadari, sederhana saja, bahwa aku masih 16 tahun dan sebuah akta gadai tidak mungkin ditandatangi seorang bocah yang menuliskan NIM[2]  sebagai ganti NIK[3] dengan alasan belum ber-KTP. Bapak itu tidak tahu, bahwa kemarin aku menunggu hujan dan akan berteduh di bawahnya sore ini.
            Hujan yang pergi dan tidak kembali. Aku tidak peduli lagi, bahwa hutang puluhan milyar atas nama ibuku itu masih akan terus gentayangan, menemaniku yang sendirian. Bahwa ibuku pergi ke luar negeri karena menyadari hal ini. Karena aku memiliki sesuatu yang menguntungkan, aku ditinggalkan. Karena aku dapat diandalkan. Mungkin. Aku hanya berprasangka baik.
            “Little Miss?” sebuah suara menyelip di pintu ruangan
            “Ya?” sahutku
            “Saya mau membereskan cangkirnya,” ujarnya. Arfika lagi. “Oh ya, silahkan,”
            Ia masuk dan mengangkat cangkir itu, guratan tanda tanya jelas di wajahnya, terpaku pada kertas-kertas yang telah tercabik-cabik, “tolong beresin ini juga, kak.” Arfika yang lulusan ekonomi UI itu menatapku spontan, mungkin heran karena pertama kali aku memanggilnya dengan sebutan itu. Aku beranjak.
            “Kemana Miss?”
            “Berteduh di bawah hujan,” jawabku, ia kembali keheranan. Sama denganku.




[1] Public Relation
[2] Nomor Induk Mahasiswa
[3] Nomor Induk Kependudukan

Thursday, May 30, 2013

Nashrullah

Kuliah saya agak berantakan.. Sangat berantakan mungkin... Haha. Hanya allah saja yang dapat menolong dan memperbaikinya. Subhanallah.

Friday, March 29, 2013

Bandung..

Tujuh gelombang demokrastisasi dunia pada perempat akhir abad 20

Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :

1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s; 
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s; 
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s; 
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s; 
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991; 
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and 
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.

-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an

Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..

Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.


Bandung

keberadaan elite dalam setiap struktur kemasyarakatan adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri.. dalam setiap level kuasa, pengaturan, dan pembacaan peta posisi.. ketika disepakati konsep negara modern, konstitusional - demokratis.. setidaknya garis batas penyelenggaraan negara terdiri atas tiga hal : pembatasan dan pembagian kamar kekuasaan, jaminan ham, dan supremasi konstitusi.. *apaansih*

ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..

derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)

Tuesday, March 26, 2013

Judex Factie


Kusadari bahwa ia, ternyata sebuah kebohongan yang akan mewujudkan dirinya dalam kebohongan yang selanjutnya. Seterusnya seperti itu, sampai habis tersakiti, menyakiti, mendapatkan adzab yang sepantasnya. Bahwa itulah kerendahan sampai ke akar-akarnya. Bahwa itulah kehinaan sampai ke ujung jari-jari kukunya. Tidak akan sudi menemuinya lagi.
            Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa perhubungan aku dan dirinya ternyata juga penuh dengan intrik. Bahwa ‘perspective’ itu secara massif juga menjajari ketidakmampuanku dan ketidakmampuanmu menjadikan kenyataan sebagai guru yang berharga. Bukan tentang masa lalu tentu saja. Bukan tentangmu juga. Bahwa betapa ilusi itu jadi motion kebohonganmu yang paling canggih. Aku sekedar. Terkesima saja.
            Orang-orang berkata bahwa sebagian dari orang-orang memang memiliki nasib yang menyedihkan, terpaksa kerdil karena dirinya sendiri sebagai seseorang. Berkubang di noda lumpur dosa-dosanya sendiri. Tenggelam, mati, lalu hidup kembali, mati lagi, hidup hati, dimatikan.
Orang-orang yang seperti seseorang dari sebagian orang itu lalu seutuhnya memenuhi ritual pribadinya terhadap penghambaan kepada keterpurukan. Sementara itu lupa, sementara itu mencicipi sedikit dari yang selainnya. Memakan plafon dan dinding kanan-kirinya. Dijilat, sedikit, sedikit, sampai tak mampu lagi. Keropos gigi-gigi lalu benar-benar membeku jadi mumi. Diwariskan. Dilihat orang banyak, ah, sayang sekali, kata mereka, orang-orang dari sebagiannya seseorang.

            Aku tak berubah. Cuma baru tahu sebuah kebohongan besar. Bahwa ikatan antara aku dan dirinya rupanya Cuma sumbangsih perhelatan darah saja, bukan jiwa, bukan juga soal ini dan itu yang patut jadi soal-soal ikatan orang-orang banyak. Benar-benar butuh kelapangan hati.
            Habis kata-kata. Habis bicaranya.
            Habis nuansa. Habis percaya.
            Bukan imannya, tapi, sekedar. Sebentar saja. Menarik kembali tribulasi akaran perhubungannya. Tapi, sekedar. Sebentar saja. Melihat bahwa, aku adalah putaran diriku, diikat kuat pada tali yang amat kuat, bismillah. Dengan begitu, sisi baiknya, aku benar-benar tak perlu kembali ke rumah. Lupakan.
            Bukan tentangmu. Bukan tentang kau dan aku. Bukan tentang aku. Bukan tentang kita tentu saja. Dia tentu saja, sesuatu yang sengaja dikirimkan dalam tugas kebinasaan, sebagai cobaan, ujian, adzab disini. Sebab tak mungkin kerendahan akhlaq jadi rumus kedua yang beda factorial kali ini. Bahwa, sekedar. Mengilhami, bahwa, tak banyak yang bisa dilakukan manusia, bahwa, tak patut mematutkan diri jadi sejati, bahwa, melaluinya dengan kepicikan. Lebih ‘arus utama’. Lebih ‘sempurna’. Lebih ‘aku’. Rancu.

Wednesday, May 4, 2011

Sebuah Press Release di masa lampau, nostalgia :)

Di 48 Juga Berpolitik
Jika sistem pemerintah Indonesia ini memiliki Dewan Perwakilan Rakyat yang menempatkan dirinya sebagai tangan rakyat, maka di sekolah ada OSIS yang merupakan kepanjangan dari aspirasi murid. Dari sana terjadilah praktek politik gaya para muda.
Layaknya sebuah negara, di negeri kecil SMA N 48 telah hadir sebuah sistem politik hasil pencampuran susupan ideologi dan aturan, hasil benturan angan dan kemampuan, hasil titrasi aspirasi dalam pendidikan. Disana, OSIS berdiri bergandeng dengan MPK sebagai produk berwibawa milik sekolah yang menjelma menjadi anak kandung peraturan. Selanjutnya, barikade ekstrakulikuler menyusun strategi untuk menjadi yang terdepan di bawah asuhan OSIS dan MPK-nya.
Ekstrakulikuler yang ber-evolusi menjadi partai ini selanjutnya merangkum berjuta impian dengan tebaran wewangian konspirasi. Mereka saling membawa pesan dalam setiap kegiatan belajarnya apalagi pada setiap kegiatan kelompoknya. Hal ini membuat kadar perbedaan sudut pandang begitu menyala di SMA N 48 yang masih berusia tigaperempat dewasa ini.
Contoh yang paling nyata adalah adanya pertentangan antara MPK-OSIS dengan ekskul asuhannya, ROHIS48 dalam hal penyelenggaraan event akbar FREEDOM. Rohis menuding FREEDOM adalah jejaring kemaksiatan yang hanya bernilai kecuali sedikit saja, sementara MPK-OSIS menilai FREEDOM adalah acara tahunan yang sangat menguntungkan sekolah dengan ke-tenar-annya – sekaligus menguji keseriusan dan kebersamaan OSIS-MPK sebagai pejabat istana SMA N 48. Hingga kini, di tahun 2008 ini perkembangan terbaru terjadi, ROHIS48 mulai memaklumkan adanya FREEDOM. Seorang Sekbid 1 OSIS yang tidak lain adalah penanggungjawab ekskul keagamaan sekolah yang sekaligus hasil persemaian ekskul ROHIS mengatakan bahwa MPK-OSIS saat ini hanya sedang mengalami pergeseran nilai karena kurangnya asuhan dan keliaran pandangan tentang makna acara. Ia menganggap cara yang paling baik menyelesaikan perkara adalah mengasuh pemikiran yang berkembang di organisasi jelmaan MPR-DPR SMA N 48 itu.
“Biarkanlah saja dulu ada FREEDOM tahun ini. Asal setiap waktu ada perubahan yang mengarah kepada kebaikan yang dalam hal ini adalah pengurangan kemaksiatan dan lebih untuk dunia pendidikan. Bukan sekedar menguras uang demi berfoya-foya yang disebut tenar dan kreativitas itu. FREEDOM awalnya adalah hasil niat orang cerdas yang ingin berbuat baik untuk sekolahnya dengan dalih yang sangat brilian yaitu keseimbangan dalam pendidikan antara akademis dan apresiasi, tapi sekarang acara itu lebih dijadikan pamer pensi dan hiburan tiada berarti sebab anak muda sekarang sudah sangat lengah dengan banyaknya suguhan acara musik yang hanya mengumbar cinta palsu serta cemburu berlebihan sementara ia tidak sadar bahwa lagu-lagu itu membentuk gaya hidupnya yang serba “senang”. Saya rasa FREEDOM bukan pada kebaikannya lagi bila ditempatkan saat ini, tapi anak-anak itu harus tetap disayangi karena mereka bukanlah musuh tapi saudara yang hanya perlu dirangkul lebih dekat.” kata Mira, Selasa, 23 Desember silam. Selain pertentangan, ada juga kerjasama yang harmonis antara MPK-OSIS dengan ekstrakulikuler MADING. Mereka bahu-membahu dalam penerbitan majalah sekolah. Walau begitu tetap saja ada batu yang harus dilewati, kali ini bukan dengan satu angkatan pemerintahan tapi dengan angkatan atas yang telah mangkat dari jabatannya 19 september 2008 lalu. Dan hal ini, satu-satunya yang mungkin tidak akan terjadi dalam barisan pemerintahan NKRI.
Para kakak “menegur” adik-adiknya yang sedang berkuasa untuk memperhatikan majalah sekolah yang proyeknya telah mereka bangun sejak pemerintahan mereka. Intinya mereka menganggap angkatan 17 periode 2008 – 2009 sekarang tak becus menghadapi di-reject-nya proyek itu. Tapi toh akhirnya permasalahan itu reda ketika MPK-OSIS, MADING, dan para kakak kelas membuka forum dengan didampingi pembina ekskul MADING. Hasilnya, majalah sekolah yang diberi nama “SMOOTHES” itu terbit pada 11 Desember 2008.
Terbentuknya sistem politik dalam lingkup sekolah adalah sebuah pengaruh nyata perkembangan bangsa. Anak-anak muda terus perlu diberi asupan yang baik dalam hal kesadaran dan pemikiran. Emosi mereka yang membangkitkan semangat akan menjadi sangat sia-sia bila tak dipergunakan dengan baik demi pembangunan negara. Kejernihan pikiran mereka, penuh dengan ide menggelitik yang akan segera layu bila tak disirami dengan senyum dan kepercayaan para tua. Dalam suatu sistem, pelaku-nya belajar agar tak luka tergilas roda, dalam suatu sistem pelakunya mempelajari gerak benda di sampingnya. Kelak, bila dalam sistem politik sekolah sudah ditancapkan tali-tali kebenaran akan terlahir jiwa-jiwa muda yang berkualitas lebih dari sekedar unggul.

Wednesday, April 27, 2011

Gonna change my mind

Segala puji bagi Allah Rabb As Salam, Tuhan semesta alam. Tuhan sesembahan Rasulullah Muhammad, sulut cahaya akhir zaman. Tak ada-lah lagi tendensi sempurnanya siklus sujudnya jagat selain mengagungkan namaNya. Tak ada lagi ketundukan dan pembelaan selain kepadanya.

Seorang pendiri mazhab psikologi humanistic; Abraham Maslow, telah dengan sedemikian rupa merumuskan hierarki kebutuhan manusia. Sebuah tanggaan yang dipersepsinya sebagai unitas asasi dari fase-fase metamorfosa bayi adam. Sekaligus pemetaan yang menstratifikasi manusia dalam kuncian-kuncian kotom orientasi.

Maslow’ hierarchi of needs
, sebuah nama mewah untuk sebuah teori yang jadi pijakan banyak percabangan pemikiran setelahnya. Di dalamnya, ter-uraikan konsepsi keterbutuhan bertingkat, dimulai dengan kebutuhan fisiologis,keamanan, social, penghargaan dan aktualisasi diri. Selanjutnya di luar semua kritik atas derivasi yang berbenturan di lini validitas pemetaannya, ia tetap sebuah utuhan teori yang dianggap paling solutif sampai saat ini. Dan juga, di luar kesuksesan justifikasi atas semua kritik, teori ini pun tetap tak relevan dalam ranah rumusan pragmatis.

Sebab ia tak bisa merangkum bingkisan orientasi dan motivasi penulis dalam merampungkan esai ini. Jika dilihat dari sudut pencukupan kebutuhan fisiologis atau keamanan, esai ini samasekali tak berhubungan secara simultan – mengingat orangtua yang mengirim uang bulanan dan Indonesia yang sentosa tanpa perang. Sementara dari sudut social dan penghargaan, juga samasekali tak berasosiasi sempurna – mengingat jaringan social pribadi yang tidak terkena dampak serius dari peluncuran atau tidaknya esai ini. Lalu tentang aktualisasi diri? Ini yang rumit. Ini pertanyaan sulit. Dan rupanya, disinilah juga runutan teori Maslow yang incomplete. Sebab ke-empat tangga kebutuhan yang sebelumnya adalah juga temali dari kesadaran atas aktualisasi diri pribadi.

Sederhananya, esai ini adalah sebuah bingkisan ketulusan atas niat pembelajaran. Sebuah orientasi atas ter-rekrutnya isian loker-loker pemikiran. Sebuah motiv pembenahan atas nalar yang salah dan pembukaan ruang persepsi bagi para intelektual kampus.

WANITA DAN DUNIA : BENTANGAN DIALEKTIKA RASIONALISASI RASA DALAM ALAM FITRAH
Sebuah puzzle kata oleh seorang wanita muslim

Kurangkaikan, bait-bait kata di lingkupan ketundukan atas Illah Yang Maha Tinggi. Dalam sisipan kerinduan untuk perjumpaan di kepulangan. Kurangkaikan, bait-bait kata untuk qudwah Muhammad SAW. Dalam titian ketaqwaan untuk temali zaman yang menyatukan.
Kusampaikan doa, untuk saudaraku sekaligus initiator yang namanya tak perlu kusebutkan :D

Terkadang memendam ego yang begitu tinggi
Terkadang menyeruakkan airmata terdalam
Wanita... seakan sulit ku menggambarkan kondisimu
Begitu rapuh dan tak bisa luluh seketika
Idealisme tinggi tersulutkan rasa dalam hati
Tak mudah di terka, sulit di mengerti
Cerdas namun terkadang lambat
Manja tapi terkadang beringas
Tegas tapi begitu lembut
Sulit di mengerti apalagi disamakan apa yang namanya persepsi
Wanita... seribu bahasa maka seribu tanya pula

Wanita dan Dunia

Wanita, ialah suatu bentukan istilah yang niscaya mengantar impuls otak kita pada serangkaian kerumitan yang manis. Lebih dari itu, ia jadi bagian nyata dalam sisian kanan-kiri utuhan hidup warga dunia. Maka ia istimewa. Entah sekedar dalam narasi istilah dan perspektif rujukan katanya atau dalam analisis praksis tentang deskripsi entitasnya.

Senandung dan lukisan adalah dua material seni yang tentunya selalu jadi rumusan keindahan. Keduanya dipahami sebagai bingkai rasa penggubahnya. Selanjutnya lihatlah senandung cinta yang dikabarkan setiap penggubah kata-kata. Bahwa disana, wanita jadi inspirasi yang mencahayakan sekaligus artesis permasalahan. Mereka – para penggubah lagu kata-kata – tak akan lepas dari tema cinta layaknya tak mampu berlari dari istimewanya wanita. Selidikilah hasil karya para profesional penuh dedikasi sosial sekelas Iwan Fals atau Ebiet G Ade, tentu kita bisa menyebutkan sederetan judul lagu tentang peng-istimewaan makhluk yang dicipta dari tulang rusuk ini. Sementara menelisik lebih jauh tentang lukisan cukuplah kita sama tahu bahwa sampai abad 21 ini, lukisan wanita Italia bernama Monalisa tetaplah jadi bingkai karya yang paling fenomenal di kalangan seniman lukis dan penikmat karya seni. Sehingga dari sini, dapatlah dikatakan bahwa wanita memang istimewa. Bahkan hanya dalam narasi istilah dan perspektif kajian katanya; mereka indah.

Di sisi lain, sejarah telah mengungkap fakta bahwa dahulu wanita di persepsi sebagai sejenis manusia gagal yang tak berharga. Dahulu katanya, mereka kotor karena haid-nya. Mereka tak berguna karena lemahnya. Selanjutnya, mereka hanya jadi objek diskriminan perputaran zaman. Orang-orang Arab mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka. Orang-orang Yunani menujukan kutukan pada para gadis, sebab mereka dianggap sebagai setan-setan yang menjijikkan. Orang-orang Romawi memperjualbelikan dan menukar putar istri-istri mereka. Ah, teganya. Tentulah mereka telah lupa tentang sesosok manusia penuh cinta yang dulunya melahirkan dengan susah payah.

Sejalan perkembangan dan dinamika pembaruan pengetahuan tersampaikanlah sebuah kalimat tinggi dari seorang suci. Beliau, Rasulullah Muhammad SAW, melanjutkan seruan isi agamanya di tanah tandus Arabia, bahwa ibu tiga kali lebih patut di angkat kemuliaannya daripada ayah. Lalu Khadijah binti Khuwailid yang disebut-sebut namanya penuh kerinduan saat beliau berkurban belasan tahun setelah kepergiannya. Juga 'Aisyah binti Abu Bakr yang kesuciannya dituliskan dalam bait-bait An-Nuur, Al Qur'anul Karim. Wanita kala itu, jadi entitas yang dijaga kehormatannya, yang penodaan atas hijabnya adalah ultimatum perang. Dan kesempurnaan istimewanya sampai-sampai menjadikan Nusaibah binti Kaab menghadap Rasulullah untuk mengadukan perimbanganya.

Setelahnya, dikenal juga sejejeran Elizabeth, Ratu Inggris. Atau Wilhemina, Beatrix dan Juliana, Ratu Belanda yang menggantikan era moyangnya, pangeran dan raja bergelar William. Lalu lahirlah cahaya dalam gelap, Kartini. Hingga Indonesia mengangkat Megawati Soekarno Putri di salahsatu episode kesejarahannya. Atau Benazir Bhuto yang memimpin Pakistan dalam dua gelombang ke-perdana menteri-annya. Sehingga dari sini, dapatlah pula dikatakan bahwa wanita memang begitu istimewanya. Bahkan dalam perjalanan dinamika analisis praksis tentang deskripsi entitasnya.

Puzzle Satu : Bentangan Dialektika

Rumit, ya, itulah mungkin kenyataan yang memasifkan bentuknya dalam setiap pembicaraan mengenai wanita. Dinisbatkan ia sebagai tulang rusuk laki-laki. Ditinggikan ia sebagai ibu. Dikutuk jugalah ia atas kerusakan moral yang melanda
menyempurnakan juga bisa jadi belati yang mematikan. Dikatakan mereka, wanita bisa jadi permata yang menyempurnakan juga bisa jadi belati yang mematikan.

Kajian psikologi belakangan ini membentangkan suatu konsep dwi bagian abstraksi kemanusiaan, yakni emosi dan intelektualitas. Perpanjangannya, disebutlah golongan wanita ini sebagai jenis manusia yang cenderung dalam sisi emosional. Sebab ia begitu penyayangnya, sebab ia begitu mudah luruh tangisnya. Sebab ia disebut wanita karena bingkisan perasaannya yang dalam. Dalam unitasnya, setiap wanita adalah dialektika dalam dirinya sendiri.Dibentangkan di balik asas-asas karakteristik citra kecantikannya. Mengakar dalam rumusan takdirnya, bahwa ia memang seorang wanita tatkala – di samping sebab alasan biologisnya – tercitrakan bersama runutan emosi yang lebih.

Puzzle Dua : Rasionalisasi Rasa

Perhubungan berikutnya adalah mengenai keseimbangan penyelesaian setiap stagnasi permasalahan yang menemuinya. Sebab kita sama tahu bahwa kehancuran era Romantik adalah sebab pengabaiannya atas orientasi nilai pembenaran rasional. Karya Shakespare yang mengagumkan itu telah menghalalkan pemberontakan atas nama perasaaan yang di anggapnya kekuatan. Di dalamnya di halalkan pula membunuh diri karena rasa. Penghalalan hal haram atas nama perasaan telah melebur zaman ini jadi literature yang sekedar dikenang sebagai sejarah pemikiran.

Lalu lihatlah bagaimana romantika selebriti yang tengah menggejala akhir-akhir ini. Dimana wanita jadi focus show dilemmanya. Tentang Utami Mariam Siti Aisyah, istri Pepeng yang begitu setia mendampingi suaminya yang terkapar sakit. Atau tentang artis wanita super tenar yang menikah dengan laki-laki lain setelah meninggalkan suami dengan dua anaknya. Di luar semua ketidak-valid-an data atas dramatikal kisahnya, anggaplah jika memang ada dua versi kisah mengharukan tentang wanita, manakah yang akan anda pilih sebagai doa? Maka kini rasa bisa jadi begitu cantiknya, tapi masihkah, jika bunda Utami tidak merasionalisasi pertimbangan perasaannya sehingga meninggalkan suaminya? Padahal jika ia mau, tentulah kasih bisa dikebelakangkan dengan alasan ketuaan atau ketidakberdayaan. Tapi ia tidak, ia seutuh-utuhnya wanita, yang cerdas merasionalisasi rasanya dalam ikatan jadi antara ia dan Ferrasta Soebardi, suaminya.

Sehingga tak mungkinlah seutuh-utuhnya wanita yang walaupun memberi kecondongan pada pandangan intuitif, menjalani setiap refleksi bagian hidupnya dengan menekuri dan menangisi tanpa henti. Disinilah rasionalisasi rasa yang berkali-kali dilakukannya untuk mengontrol objektifitas dalam jalan solutif. Ia rupanya haruslah menjadikan perasaannya sebagai mahkota dengan tetap mempertahankan posisinya di kepala.

Puzzle Tiga : Alam Fitrah

Setidak-tidaknya 55 ayat Al Qur'anul Karim memuat peristilahan wanita dalam berbagai derivasinya. Dimulai dari perlindungan atas wanita dan pengkhususan atas peruntukkannya hingga pengutukan atas wanita yang menyihir di kejauhan lewat buhul-buhul. Al Qur'an telah merangkumkan segala konsepsi ushul fitrah yang merujuk keharusan atas impact kekhususannya, refleksi dan pembagiannya.

Dalam pada itu, termaktub dalam salahsatu ayat Al Qur'an bahwa, ter-ilhamkan kepada manusia sisian fujur dan taqwa yang kemudian perpanjangannya disebut rasulullah SAW sebagai hati, dimana apabila baik hati ini maka baiklah semua lini diri dan sebaliknya. Ya, inilah fitrahnya, inilah hati. Sebuah mekanisme rasionalisasi rasa yang menjadikannya bentangan dialektika dalam setiap wanita dan dunianya. Alam fitrah yang disebut hati inilah server untuk semua masukan simbolisasi emosi dan rasional. Maka mengembalikan wanita pada kefitrahannya, ialah bukan dalam suatu pandangan sentimental bahwa ia sekedar pelengkap laki-laki yang walaupun disamakan kedudukannya tapi ditepikan peranannya. Tak ada kekurangan darinya. Ini hanyalah masalah perbedaan yang sempurna kejadiannya.

Puzzle Empat : Sempurna

Bahwasanya segala kerumitan akan berujung pada manisnya pengkhususan. Bahwa fitrahnya telah meninggikannya. Menjadikan ushul kejadiannya sebagai jalan bagaimana ia seharusnya. Ya, ialah wanita tatkala menjadikan perasaannya sebagai mahkota dengan tetap mempertahankan posisinya di kepala.

Setelah fitrah memadamkan sinisme atas perhubungan dan perbandingannya. Sebab sebenarnya ini hanya masalah beda. Beda dalam isian perimbangan kejadian. Beda dalam proyek penikmatan sunnah ilahiah. Sempurna.

BEHIND THE SCENE

Sebuah perlombaan memang tak pernah terlalu menarik bagiku. Ketika mereka katakan, bahwa agama ini pun mengajarkan untuk saling berlomba-lomba. Dibahasakan mereka padaku, "fatabiqul khairaat". Ya, aku mengerti. Ya, kalian dan orang-orang sebelum kalian telah membantuku mengilhami.

Tentang kemenangan, ya, busuk.
Lalu apa setelah kemenangan yang menjatuhkan?

Sebuah peperangan perimbangan yang banyak menyita waktuku empat tahun terakhir. Setelah dinyatakannya kemenangan dua medali yang kudapatkan dengan mudah. Setelah tangis pecah karena para "pejuang" terkalahkan oleh seorang "pemalas brilian". Haha. Gila. Hidup memang kadang membingungkan.

Dan aku mulai bertanya... Suatu mekanisme jagat dan semesta. Ya, tak kusangka. Kembali lagi jadi seperti ini.

Lalu beliau kembali berkata, "Wah hebat, ya, usaha dikit aja menang."
Di tepian para "pejuang" yang tak menang.

#trauma

Hmmm.. ya, terserahlah. Ini sebuah standarisasi pikir seorang bocah rebellion saja. Bagaimana menurut anda, sahabat? :)

Monday, April 4, 2011

Konstitusionalisme UU Koalisi

Konstitusionalisme UU Koalisi
Sebuah Tinjauan Positivis Constituendum

Oleh: Mira Fajriyah

“A Constitution is not the act of government but the people constituting a government” Thomas Paine
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang menegara dengan kompleksitasnya. Termasuk dalam hal hukum dari berbagai seginya. Sebab jika terkatakan hukum merupakan unifikasi norma bagi penertiban hidup bersama maka sangat otomatis, ke-bhineka-an bangsa ini adalah semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Unifikasi kehukuman RI tertata dalam hierarki perundang-undangan pasal 7 UU no 10 tahun 2004. Lima wujud hukum yang tercantum antara lain, UUD NRI 1945, dilanjutkan UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Lalu munculah pertanyaan, dimanakah konstitusi? Lalu bagaimana perhubungannya dengan penyelesaian kasus-kasus politik yang tak tercakup legitimasi formil?
Mungkin karena KUHP dan KUHPer yang belum di-reformasi total, paradigma hukum nasional yang mengemuka di kalangan sebagian mahasiswa hukum berbunyi, RI adalah penganut civil law system yang setia. Sementara menurut kami paradigma tersebut samasekali tak berlaku bagi kehidupan ketatanegaraan yang dinamis. Sebab pertanyaan di atas hanya bisa dijawab melalui analisis yang komperhensif mengingat rumusan jawabannya merupakan wujud representatif sebuah persepsi yang di-insyafi tiap-tiap warga negara, terutama pada akademisi dan praktisi hukum serta pejabat pemerintahan dan pelaku politik kenegaraan. Selain itu, paradigma yang keliru itu juga akan menyebabkan kita terburu-buru mendefinisi UUD NRI 1945 sebagai konstitusi paripurna sementara dinamika hukum telah mencapai kulminasi keterbutuhannya di tengah fakta bahwa, ke-bhineka-an bangsa ini memang semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Hal ini ditandai dengan legitimasi pluralisme dalam satu bentuk perundang-undangan yang bukanlah hal baru, satu di antaranya, UU no 1 tahun 1974. Maka dalam hal ini, patutlah dipahami bahwa konstitusi adalah rumusan rel constituendum sekaligus cerminan keterbutuhan politis dan yuris yang sifatnya constitutum.
Tinjauan positif yang dimaksudkan disini merupakan konotasi diksi “konkret, constitutum, pertimbangan pragmatis-realistis, representasi umum”. Sementara constituendum adalah padanan, “masa depan, cita-cita, pertimbangan idiil dan abstraksi”. Keduanya kami kedepankan sebagai perspektif analisis kami terhadap relevansi UU koalisi terhadap nilai konstitusi RI.

A. Konstitusi

Konstitusi secara positif dimaknai dalam dua ruang pengertian, yakni luas dan sempit. Dalam artian sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) yang merupakan suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Sementara dalam artian luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menuliskan, “dalam bahasa Inggris dan Amerika tidak tersedia kata yang tepat untuk menggambarkan perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar sebagaimana perbedaan antara kedua pengerian ini dalam bahasa Jerman, Belanda, Prancis dan negara-negara eropa kontinental lainnya.” Maka dapatlah ditarik suatu klausul bahwa kemunculan rumusan definisi konstitusi dalam ruang sempit dan luas merupakan salahsatu impact dari paradigma kehukuman bangsa civil law dan common law.
Sementara Carl Schmitt memberikan rumusan yang lebih kompleks dalam pendefinisian konstitusi dengan jalan klasifikasi (pembagian). Menurutnya, pemaknaan konstitusi dapat dibagi dalam empat kotom dasar yang dua dari kotom tersebut terbagi lagi menjadi empat dan dua klas baru. Secara konkret, pembagiannya meliputi, konstitusi dalam arti absolut sebagai cermin de reele machtsfactoren, konstitusi dalam arti absolut sebagai vorm der vormen, konstitusi dalam arti absolut sebagai factor integratie, konstitusi dalam arti absolut sebagai norm der normen, konstitusi dalam arti relatif sebagai konstitusi dalam arti formil, konstitusi dalam arti relatif sebagai tuntutan segolongan borjuis, konstitusi dalam arti positif, dan konstitusi dalam arti ideal.
Maka, kembali dalam konteks Indonesia kita dipertemukan bahwa dogma kodifikasi yang menyebabkan kelahiran UUD NRI 1945 bukanlah sesuatu yang mutlak. Pemahaman para ahli mengenai konstitusi telah membawa kita pada persepsi bahwa pada intinya konstitusi tertulis hanyalah satu dari aksidensi konstitusi itu sendiri. Sementara esensinya tetaplah sebagai dasar untuk percabangan produk hukum yang selanjutnya.

B. Sifat Konstitusi

Formil dan materiil
Formil berarti tertulis sementara materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Rigid dan flexibel
Rigid berarti kaku sulit untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare
Menurut James Bryce, ciri flexibel :
a. Elastis
b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.
Tertulis dan tidak tertulis

C. Tujuan Konstitusi

Secara umum, hukum telah dimaknai sebagai produk yang mengusung tiga tujuan utama, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Maka, konstitusi yang merupakan bagian pokok dari hukum itu juga memiliki tujuan yang sama. Perhubungan semacam ini juga terterapkan dengan pandangan beberapa sarjana yang merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional sebab negara merupakan perwujudan aplikasi rumus konstitusi.

E. Kasus Koalisi

Koalisi merupakan kata umum untuk menjelaskan suatu unitas yang terikat. Koalisi yang dimaksud disini adalah persatuan atau perikatan partai politik dalam ketatanegaraan RI secara positif. Secara umum, penggolongan partai politik saat ini dapat dibagi dua, yakni partai koalisi kabinet pemerintahan dan partai oposisi yang tidak duduk dalam eksekutif.
Bukan samasekali naif jika dikatakan bahwa politik merupakan akaran dari prosesi ketatanegaraan ini. Bahkan dalam suatu model ilustrasi, politik adalah daging yang membalut segala praktek HTN, HAN dan lainnya. Koalisi merupakan salahsatu konsekuensi sistem presidensial multipartai yang kini dibumikan di Republik Indonesia. Tak ada yang salah dengan koalisi. Sebab pasal 6A UUD 1945 telah mengisyaratkan kebolehannya dengan redaksi yang amat ramping, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Namun kembali pada konteks pencapaian tujuan negara konstitusional Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, koalisi telah menimbulkan semacam gejolak di kalangan elite politisi. Koalisi telah dirujuk sebagai benda berinti loyalitas yang tanpa inti tak ada lagi. Koalisi telah di anggap membuka sendiri kebusukan catur perpolitikan. Hingga wacana penerbitan UU koalisi pun merebak di media. Jafar Hafsah, Ketua Fraksi Demokrat menganggap pembelotan yang dilakukan kader mitra koalisinya pada rapat pemutusan angket mafia hukum adalah salahsatu kasus utama penyebab perlunya penerbitan UU koalisi tersebut.
Alasan itu kami kira tak ada sangkut pautnya samasekali dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil. Maka akanah konstitusional penerbitan UU koalisi tersebut?
Pada dasarnya ketika kembali pada kajian formil, UU di bawah UUD NRI 1945 haruslah merupakan proyek mandat langsung dari poin perundang-undangan di atasnya. Lalu dalam kajian materiil, hukum haruslah memenuhi landasan tujuan bagi kehadirannya, seperti yang sudah diketengahkan, setidaknya memenuhi tiga unsur tujuan hukum.Sementara alasan pembuatan UU Koalisi ini samasekali tak ada sangkut pautnya dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil.

F. Konklusi

Tinjauan Positif dalam pasal 6A UUD NRI 1945 jelas-jelas menggunakan redaksi lugas, bahwa koalisi (gabungan partai) hanyalah tergariskan untuk mengajukan dan memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan “memenangkan” arah kepemerintahan ke arah suatu rujukan ikatan koalisi tertentu.
Pertimbangan lain yang menjadikan terbitan UU Koalisi ini sah konstitusional antara lain, asas rechmatig dalam kajian HAN yang mengatakan bahwa semua putusan kepemerintahan (eksekutif) dianggap benar sejauh tak diputus inskonstitusional di muka pengadilan Mahkamah Konstitusi. Juga, adanya legitimasi umum atas independensi legislator negeri (DPR RI) sebagai lembaga simbol demokrasi nasinal. Namun secara positif pula, dapatlah kita tarik pernyataan-pernyataan yang mengemukakan pentingnya UU ini hanya sebatas alasan-alasan keterbutuhan politis dimana loyalitas mitra koalisi diformilkan.
Maka, dalam perspektif hukum progresif (constituendum), keberadaan UU Koalisi tidak akan terlegitimasi konstitusional. Pertama, konstitusi tertulis mensaratkan kebolehan koalisi hanya dalam ruang politik pemilihan kepala negara, bukan ruang politik mekanisme pelaksanaan amanat rakyat sebagai 'pemerintahan yang baik'. Kedua, hukum akan dibuat mengikuti mula keterbutuhannya, sehingga keterbutuhan pemerintah sebagai organis politis akan memberi efek indikasi abusement of power di kemudian hari. Ketiga, koalisi yang dimaksudkan dalam pewacanaan penerbitan UU Koalisi tersebut samasaja meletakkan negara secara sia-sia pada satu ikatan eksklusif organis politis tertentu, yang demikian tak pernah dicatat sejarah nasional Indonesia dan dunia sebagai karangan indah. Konsep check-balance tidak akan berjalan dan orang-orang di luar lingkaran akan tertandaskan.


G. Daftar Bacaan

Asshiddiqie, Prof. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 2009.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU no 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
nasional.kompas.com/read/2011/03/14/16471646/Demokrat.Sebut.PDI-P.Anggota.Koalisi
www.antaranews.com/berita/247931/bambang-soesatyo-gagasan-uu-koalisi-menyesatkan
nasional.kompas.com/read/2011/02/27/18075796/Demokrat.Seharusnya.Dibuat.UU.Koalisi
nasional.kompas.com/read/2011/02/28/1307019/UU.Koalisi.Cermin.Kekhawatiran.Demokrat
www.detiknews.com/read/2011/02/27/130256/1580346/10/perlu-uu-koalisi-untuk-membangun-koalisi-yang-stabil
dll

Tuesday, March 29, 2011

Tugas Humper yang mengubah hidup

Sistematika ilmiah... TETAP HARUS BELAJAR WALAUPUN YANG INI SANGAT MEMBOSANKAN DAN TIDAK MENARIK

Analisis Kasus Pembatalan Perkawinan
Oleh: Mira Fajriyah / 105010100111100

Konteks kasus
1.Majelis Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara pembatalan perkawinan karena melangsungkan perkawinan tanpa seijin isteri sah melalui Pengadilan Agama untuk ijin poligami adalah dengan pembuktian, bahwa benar-benar telah terjadi perkawinan yang dilangsungkan tanpa seijin dan sepengetahuan isteri sah melalui Pengadilan Agama untuk ijin poligami yang dibuktikan dengan :
Adanya alat bukti-bukti surat tertulis seperti kutipan akta nikah yang dapat dijadikan bukti bahwa benar telah terjadi perkawinan yang dilangsungkan Termohon I dan Termohon II tanpa adanya surat ijin nikah dari Pengadilan Agama dan sebelumnya tidak meminta ijin nikah atau mendapatkan ijin dari isteri pertama (Pemohon).
Adanya saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon II sebagaimana yang telah dikemukakan oleh saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon tersebut, bahwa benar-benar antara Termohon I dan Termohon II telah melangsungkan perkawinan. 106
Adanya pengakuan dari Termohon I sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Pemohon, bahwa benar-benar perkawinan antara Termohon I dan Termohon II tanpa seijin Pemohon dan tanpa adanya surat ijin nikah dari Pengadilan Agama untuk ijin poligami.
2.Pertimbangan yang digunakan Hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan adalah berdasar pada :
Adanya penipuan yang dilakukan oleh Termohon I yang mengaku duda cerai padahal ia masih terikat perkawinan yang sah dengan Pemohon dan terdapat adanya kebohongan dari pihak Termohon I pada saat proses pendaftaran nikah Termohon I dengan Termohon II, dimana Termohon I melampirkan kutipan Akta Perceraian No: C.12/1983 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kota Surakarta tanggal 24 Juni 1989. Dari kutipan Akta Perceraian tersebut nampak jelas ada perbedaan, dimana tahun perceraian terjadi pada tahun 1983 sedang keluarnya Akta Perceraian tahun 1989. Demikian pula nama istri yang dicerai adalah Oei Lien Nio bukan Endra Dewi sebagaimana dalam daftar pemeriksaan nikah, dan juga ada unsur ketidakjelian dari pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan Laweyan sehingga terlaksana perkawinan antara Termohon I dan Termohon II.
Perkawinan antara Termohon I dan Termohon II dilangsungkan tanpa ijin istri sah melalui Pengadilan Agama untuk ijin poligami, sebagaimana diatur dalam pasal 24 UU No.1 tahun 1974 dan pasal 71 huruf (a) 107 Kompilasi Hukum Islam yang pada prinsipnya menganut asas monogami sehingga seorang suami yang akan melakukan poligami harus mendapatkan persetujuan dari istrinya dan surat ijin nikah dari Pengadilan Agama untuk ijin poligami, maka perkawinan yang dilangsungkan tanpa seijin isri sah dan surat ijin nikah dari Pengadilan Agama untuk poligami dapat dimintakan pembatalan.

Analisis
1.Pernyataan merupakan benda terkuat di muka kasus hukum Perdata
2.Akte otentik merupakan bukti pendukung paling kuat
3.Penegakan hukum perkawinan dilakukan dalam konsep gugat dan laporan
4.Pemohon merupakan istri sah yang tidak pernah memberikan izin nikah poligami bagi Termohon I
5.Termohon I melakukan pemalsuan pengakuan di muka PA
6.Klep hukum perkawinan berbentuk gejolak kemasyarakatan yang muncul ke muka pengadilan, yang selainnya di anggap hukum berada dalam status quo

Kesimpulan
1.Perkawinan antara Termohon I dan Termohon II oleh sebab pemalsuan akta oleh Termohon I batal demi hukum disebabkan pengakuan dan gugatan Pemohon.
2.Hukum Perkawinan yang termasuk dalam sistematika hukum perdata Indonesia menganut penegakan sebagai anfullenrecht.

Semoga bisa terus lebih komunikatif! :)

Ini adalah barisan kata-kata paling sederhana yang baru bisa gue bikin, woahahhaaa,, sekarang baru fahim gimana caranya... d+.+b

Pendahuluan
Hari Bumi diperingati pada tanggal 22 April secara Internasional. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi. Pada tahun 2011 ini, dalam rangka memperingati Hari Bumi, BEM FH UB kembali mempelopori gempita peringatan hari internasional ini di lingkungan Universitas Brawijaya pada umumnya, dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada khususnya.
Bumi merupakan satu-satunya ruang dimana manusia dalam berbagai pola dan hidupnya bersatu. Ruang bumi merupakan spirit untuk umat manusia bepadu memajukan langkahnya. Bumi adalah spirit. Bumi adalah pijakan paling praksis dari semua sudut reflect kepentingan. Maka, peringatan hari bumi yang tidak lain membawa makna pemersatu langkah dan evaluasi terhadap apa yang bisa kita lakukan untuk bumi ini sama pentingnya dengan serangkaian kegiatan lainnya dalam 353 hari lain yang kita pergunakan di bumi ini.
Selanjutnya, mahasiswa sebagai aset intelektual bangsa merupakan titik strategis bagi pemberdayaan spirit pelestarian ini. Mahasiswa juga sebagai iron stock yang haruslah terpersiapkan demi masa depan bangsa dan negara. Mahasiswa adalah sentral. Sehingga seperjalanannya dalam latar belakang kenyataan tersebut, pembudayaan pelestarian alam dan diskusi-diskusi mengenai bumi di lingkungan kampus merupakan hal yang lazimnya terlaksana secara consist.
Kegiatan ini ditujukan agar mahasiswa khususnya turut berkontribusi terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Diharapkan Peringatan Hari Bumi ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencegah kerusakan lingkungan dan mempersiapkan paradigma umum dalam berperan aktif untuk menjaga Lingkungan Hidup.