Kusadari
bahwa ia, ternyata sebuah kebohongan yang akan mewujudkan dirinya dalam
kebohongan yang selanjutnya. Seterusnya seperti itu, sampai habis tersakiti,
menyakiti, mendapatkan adzab yang
sepantasnya. Bahwa itulah kerendahan sampai ke akar-akarnya. Bahwa itulah kehinaan
sampai ke ujung jari-jari kukunya. Tidak akan sudi menemuinya lagi.
Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa
perhubungan aku dan dirinya ternyata juga penuh dengan intrik. Bahwa ‘perspective’ itu secara massif juga
menjajari ketidakmampuanku dan ketidakmampuanmu menjadikan kenyataan sebagai
guru yang berharga. Bukan tentang masa lalu tentu saja. Bukan tentangmu juga.
Bahwa betapa ilusi itu jadi motion
kebohonganmu yang paling canggih. Aku sekedar. Terkesima saja.
Orang-orang berkata bahwa sebagian
dari orang-orang memang memiliki nasib yang menyedihkan, terpaksa kerdil karena
dirinya sendiri sebagai seseorang. Berkubang di noda lumpur dosa-dosanya
sendiri. Tenggelam, mati, lalu hidup kembali, mati lagi, hidup hati, dimatikan.
Orang-orang
yang seperti seseorang dari sebagian orang itu lalu seutuhnya memenuhi ritual
pribadinya terhadap penghambaan kepada keterpurukan. Sementara itu lupa,
sementara itu mencicipi sedikit dari yang selainnya. Memakan plafon dan dinding
kanan-kirinya. Dijilat, sedikit, sedikit, sampai tak mampu lagi. Keropos
gigi-gigi lalu benar-benar membeku jadi mumi. Diwariskan. Dilihat orang banyak,
ah, sayang sekali, kata mereka, orang-orang dari sebagiannya seseorang.
Aku tak berubah. Cuma baru tahu
sebuah kebohongan besar. Bahwa ikatan antara aku dan dirinya rupanya Cuma
sumbangsih perhelatan darah saja, bukan jiwa, bukan juga soal ini dan itu yang
patut jadi soal-soal ikatan orang-orang banyak. Benar-benar butuh kelapangan
hati.
Habis kata-kata. Habis bicaranya.
Habis nuansa. Habis percaya.
Bukan imannya, tapi, sekedar.
Sebentar saja. Menarik kembali tribulasi akaran perhubungannya. Tapi, sekedar.
Sebentar saja. Melihat bahwa, aku adalah putaran diriku, diikat kuat pada tali
yang amat kuat, bismillah. Dengan
begitu, sisi baiknya, aku benar-benar tak perlu kembali ke rumah. Lupakan.
Bukan tentangmu. Bukan tentang kau
dan aku. Bukan tentang aku. Bukan tentang kita tentu saja. Dia tentu saja,
sesuatu yang sengaja dikirimkan dalam tugas kebinasaan, sebagai cobaan, ujian, adzab disini. Sebab tak mungkin
kerendahan akhlaq jadi rumus kedua yang beda factorial kali ini. Bahwa,
sekedar. Mengilhami, bahwa, tak banyak yang bisa dilakukan manusia, bahwa, tak
patut mematutkan diri jadi sejati, bahwa, melaluinya dengan kepicikan. Lebih
‘arus utama’. Lebih ‘sempurna’. Lebih ‘aku’. Rancu.
No comments:
Post a Comment