Showing posts with label dreaming. Show all posts
Showing posts with label dreaming. Show all posts

Wednesday, June 19, 2013

Rumitansi

Tiupan angin sore kota Jakarta masih getir seperti yang ku kenal. Lalu lalang penjara jalanan di persimpangan Senen, Jakarta Pusat. Aku berdiri, seakan jadi bintik kecil yang kebingungan di tengah hiruk pikuk. Memegangi sebotol air minum ionic yang hampir kosong di tangan sebelah kanan. Menatapi langit. “Semoga hujan cepat turun…” bisikku.
            Sebab wangi hujan tak pernah sedatar wanginya yang sebelumnya. Setiap rintikan adalah organisme yang berbeda, identik namun bukan ‘orang’ yang sama. Setiap dari mereka adalah kecintaan. Tulus yang berbuah jadi kemurnian siklus kehidupan. Sebab pada tariannya ia kembali pulang menuju yang bukan rumahnya. Sebab pada basahnya ia mencari makna menemui yang bukan kenalannya. Setulusnya keikhlasan yang melumer membuat kaku rasa-rasa. Hujan telah lama lupa dimana rumah dan siapa saudaranya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan.
Menunggu mereka di pertengahan bulan Maret, saat banjir Jakarta baru saja tinggal landas, hujan melintas menunggu perhubungan siklus tahun depannya yang mungkin akan jadi lebih kacau lagi. Hujan di pertengahan Maret, sesederhana hujan bulan Juni yang arif bijaksana, kata Sapardi Djoko Damono, menahan dirinya, tak dapat menurunkan wujudnya. Aku sesekali ingin jadi seperti hujan. Kemarau.
            Siang tadi, aku baru saja mengambil sebuah titik paling gila dalam hidupku. Bahwa dengan satu goresan tinta, akulah rintik hujan yang tak akan pulang ke rumahnya. Mengakhiri setiap alir liquid-nya, untuk memulai kembali. Sebuah persetujuan gadai rumah. Menggadaikan rumah orangtuaku yang saat ini masih di Paris, tinggal di rumah teman masa kuliahnya, katanya.
            “Missy ! Little Miss !!” sebuah teriakan wanita paruh baya menyelip di situs pendengaranku. Di sebelah kiri, sebrang jalan, di pinggir pasar. Sore yang menguning, tanda polusi industri yang mengambang di awan-awan, tak ada hujan. Aku sama sekali tak menoleh padanya, menyebrang ke sebrang kanan, meninggalkannya yang mungkin mulai kelabakan masuk kembali ke dalam mobil sedan hitamnya, mencoba mengejarku untuk kesekian kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Ia Cuma mahasiswi kurang terpelajar berumur enambelas tahun. Aku tidak pernah suka dengannya. Terlalu kekanak-kanakan, tapi dia bilang dia dewasa. Terlalu banyak merajuk, contohnya, dengan caranya mengurangi kuota pembelian kain di kongsi mitra yang sedang menaikkan harga. Sesekali, aku iri juga. Toh, perempuan itu punya rumah seharga 4 milyar. Tapi, seringnya, aku bersyukur, bahwa aku bukan dia.
            Sekarang wajah lusuhnya kembali menatapi kami satu-satu. Anak enambelas tahun yang jadi mahasiswi semester dua itu, sekarang sok jagoan mengomeli kami satu per satu. Sialan.
            Katanya, hitungan neraca akuntansi yang ku buat masih banyak salah dan kurang detail. Gila,
            “Benar, ada yang sempat ambil uang kasir buat beli dunkin donuts dulu? Saya mau hal-hal seperti itu tercatat juga disini, sekalipun satu rupiah”
            Mata sipitnya meruncing. Omelannya bukan hanya sekitar itu saja,
            “Bagaimana bisa, ini mitra kita sejak 5 tahun terakhir. Saya tidak pernah bermasalah untuk teken kontrak disini !” nadanya meninggi, mata runcingnya itu, memanah Dimas, PR[1] kami – yang 12 tahun lebih tua darinya.
            Semua menjadi tidak becus, di ruangan itu. Maka seperti biasa, buku-buku catatan kami penuh dengan focus-work-list yang menjadi akhir rapat penuh angkara murka itu. Focus-work-list. Kami berkali-kali menertawakan istilah itu saat jam makan siang atau sekedar momen kumpul selama berhari-hari sejak tahun lalu. Istilah itu dimunculkannya saat rapat pertama sebagai pimpinan pengganti ibunya. Anak itu, gosipnya, punya kendala bahasa, semacam autis. Tapi aku tak pernah tahu pasti. Kami tidak ada yang pernah berbicara secara personal dengannya. Begitu dingin, tanpa senyum, ya, kecuali ketika mengajari para shopkeeper baru menyambut tamu.
            “Baik, mari kita lakukan yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Saya tutup rapat kita. Wassalamu’alaykum,” ujarnya beku. Wajah langsatnya nyinyir tak berekspresi. Kami berdiri, melangkahkan kaki keluar dan berharap ia tak memantau hari ini.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Mall Taman Anggrek masih sibuk membenahi rona-rona ramainya. Aku tak pernah suka berada disini. Berisik. Terlalu banyak urusan.
            “Mikirin apa Miss?“ sebuah suara yang kukenal kembali menyapa seperti biasa, dari belakangku, telapak tangan kanannya menyampir di bahuku.
Bu Ranti. Wanita paruh baya yang kemarin kutinggalkan di perempatan Senen. Wajahnya teduh seperti biasa, di balik bingkai kacamatanya yang berat itu, mata bulat kelopak besarnya menatapku ‘kasihan’ seperti biasa. Ia mungkin satu-satunya orang yang dapat kupercaya di dunia ini, kolega mama sejak 30 tahun lalu.
“Soal rumah, hehe,” ujarku sungkan, lalu menyambar lengan kanannya, “Ayo ke dalam bu,” memutus pembicaraan itu, melangkah menyebrangi trotoar yang 5 meter, masuk ke dalam pintu kaca.
………………………………
            Di balik pintu kaca ini bukanlah sebuah tempat yang kelewat mewah, biasa saja. Hanya sepetakan ruang berukuran 30x20 meter. Empat bulan yang lalu tempat ini disebut ‘butik’. Tapi sekarang papan nama itu sudah kuganti dengan istilah ‘The Boutique of Wed’. Ya, disini hanya ada gaun dan jas pesta pernikahan. Ya, ada yang lainnya, tapi tema ruangan ini, kira-kira hanya sebatas itu saja. Kami juga menyediakan jasa pendukung lain seperti tim rias, interior theme design, fotografi, makelar gedung, dan seterusnnya, semacam wedding organizer sungguhan. Anggapan bahwa hidup ini permainan dan kepalsuan, bagiku, banyak benarnya.
            Beberapa orang, secara menyakitkan pernah bergurau disini, di hari ketika papan itu di ganti.
            “Tau nggak kenapa bu Farikha sampai bolak-balik kawin-cerai tiga kali?”
            “Haha.. ya, kan gampang nge-organizenya, pake aja ‘The Boutique of Wed’ ahaha
            “Bukan gitu kali, ada juga kenapa ini ditegesin jadi WO ya karena emang yang punya suka kawin, hahahaha”
            Aku hanya berlalu, ibu kandungku, beliau memang sempat menikah dan bercerai, di luar pengetahuan mereka, bahkan lebih dari tiga kali.
I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I-I
            Aku tahu bahwa tidak ada satu-pun karyawan menyukai pimpinan pelaksana semacam diriku. Bengis, dingin, pemarah, katanya. Terutama karena mereka juga membenci mama. Itu wajar saja sebab dalam pandangan sebagian orang aku adalah anak tunggal tanpa ayah dan ibuku adalah janda yang suka keluar negeri dan menikah sirriy. Lengkapnya, sebagian besar karyawan disini adalah sebagian orang itu. Sekedar bahwa suhu kebencian itu, dapat dirasakan, kan.
Langkahku kembali terhenti, seseorang kembali menyampirkan tangannya di bahuku. Arfika, akuntan butik yang 8 tahun lebih tua dariku itu, wajahnya tergesa. Ia menatapku, berbicara tanpa kata, menggerakkan kepalanya ke belakang. Seseorang yang familiar kontan masuk dapat tangkapan retina mataku. Petugas gadai dari bank.
………………………………
            Kami berdua duduk berhadapan, seakan aku orang dewasa sungguhan. Bapak berperawakan tinggi besar itu tidak menyentuh cangkir kopinya sama sekali.
            “Ini tidak dapat diterima !” katanya tiba-tiba, meninggi. Seberkasan kertas dihamburkannya ke atas meja. Lingkaran merah di identitasku dan coretan di tanda tanganku itu, seakan membuatku menyadari segalanya. Sementara matanya terus mencoba mengintimidasiku dengan sempurna, menodong tanganku untuk membereskan dan mengangkat kertas-kertas itu.
            Tapi aku rupanya memang seorang bocah angkuh, bahkan dalam keadaan selemah ini. Aku hanya tersenyum meremehkan, menatapnya balik, mengintimidasi. Tanganku reflex menyilang dan mendukung aksi sinisku.
            “Anda lambat sekali menyadarinya, pak.” Jawabku sok pintar
            “Jadi kamu sengaja? Hei ! Saya bisa saja dengan serta merta mengambil toko dan rumah kamu atas nama bank ! ”
            “Saya rasa anda mengada-ada. Perjanjiannya kredit modal, bukan gadai, lagipula, toko dan rumah saya bukan jaminannya. Dengan tanda tangan saya?” aku kembali tersenyum penuh kemenangan. Suhu ruangan penuh angkara-murka. Tapi aku tidak perduli, aku akan menang dalam peperangan ini.
………………………………
            Sebenarnya sore ini aku baru menyadari, sederhana saja, bahwa aku masih 16 tahun dan sebuah akta gadai tidak mungkin ditandatangi seorang bocah yang menuliskan NIM[2]  sebagai ganti NIK[3] dengan alasan belum ber-KTP. Bapak itu tidak tahu, bahwa kemarin aku menunggu hujan dan akan berteduh di bawahnya sore ini.
            Hujan yang pergi dan tidak kembali. Aku tidak peduli lagi, bahwa hutang puluhan milyar atas nama ibuku itu masih akan terus gentayangan, menemaniku yang sendirian. Bahwa ibuku pergi ke luar negeri karena menyadari hal ini. Karena aku memiliki sesuatu yang menguntungkan, aku ditinggalkan. Karena aku dapat diandalkan. Mungkin. Aku hanya berprasangka baik.
            “Little Miss?” sebuah suara menyelip di pintu ruangan
            “Ya?” sahutku
            “Saya mau membereskan cangkirnya,” ujarnya. Arfika lagi. “Oh ya, silahkan,”
            Ia masuk dan mengangkat cangkir itu, guratan tanda tanya jelas di wajahnya, terpaku pada kertas-kertas yang telah tercabik-cabik, “tolong beresin ini juga, kak.” Arfika yang lulusan ekonomi UI itu menatapku spontan, mungkin heran karena pertama kali aku memanggilnya dengan sebutan itu. Aku beranjak.
            “Kemana Miss?”
            “Berteduh di bawah hujan,” jawabku, ia kembali keheranan. Sama denganku.




[1] Public Relation
[2] Nomor Induk Mahasiswa
[3] Nomor Induk Kependudukan

Wednesday, January 30, 2013

Saudara

Baru nyadar banyak film yang gue tonton akhir-akhir ini, refleksinya brotherhood semua..

Asik ya kalo kita punya kembaran, bisa pake kaos yang kembar, terus ngobrol panjang lebar soal apapun. Karena bersaudara, nggak ada yang perlu jadi rahasia.

Asik juga kalo kita punya kakak, bisa minta ajarin ini itu, minta bimbingan, punya ekstase berat soal "kerenistis". Karena dia kakak, jadi apapun yang dilakukan pasti keren-keren aja, kita kan belum melalui masa umur psikis dan fisik, dimensi idiil atau reflect mereka. Setiap orang, butuh orang kharismatik kan - mungkin.

Hmm... asik juga kalo kita punya adik, bisa dijailin, buat usil-usilan, diajak main, mecahin teka-teki busuk seharian atau gue transform jadi mutan gue, ngomong 4 bahasa sambil melakukan hal seru.
Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya nggak ada rahasia. Karena kita beneran asli bersaudara kan, makanya baik-baik aja. Karena beneran asli, kan. :)






Thursday, September 27, 2012

Words count the worlds


We have some problem to solve. Then we take some reason to flew it or burn it, lose it or made up with it. Somebody called it as the term of maneuver. But I don’t. It just more than we ever thinking of.  Honestly, cause we are the real problem that we having. There’s no other rational logic to describe why do we knowing the mars and Pluto beside the sentence of “some people said it before we born”.
So, that’s all about the word counting the world. We said, we know then we called it as something exist. Cause actually we are the point of this every movement and reason.
Why’d we said afrika as a black and American as a white. Why’d we said that the elephant was big then the ant was small. The nature was perfectly never be-with-child of words. Except us.
What a stressed.. ha… :D
Listening the air swing, feeling the branch wing, reading this very-old-mess-book, how despicable I am.

Monday, August 6, 2012

The Excuse


Tiba-tiba saja kita jadi serba salah, bukan hanya sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Dulu suatu ketika pernah saya berdiskusi soal pemikiran hukum dasar. Sekitar agustus tahun 2011. Kita belajar norma. Ya, norma agama, susila, hukum, kebiasaan, adat, kesopanan, kepantasan, dsb. Seperti ceramah hukum lainnya, biasanya lecturer akan memperkenalkan semacam tangga norma yang intinya menempatkan norma hukum sebagai klausul akhir dari pemapanan norma. Dimulai dari norma agama, susila, kebiasaan kemudian hukum.
Saya samasekali tak keberatan. Pertama kali saya memang terprovokasi. Saya memiliki baground pemikiran islamis yang lumayan kental. Saya berasal dari latar kesejarahan hidup yang mengantarkan saya pada nadir takdir yang – Alhamdulillah – menempatkan saya sebagai pemikir beraliran religius islam. Wajar, mulanya saya tak terima dengan tipe penempatan norma agama sebagai norma pertama di tangga paling bawah deretan norm. Lalu seberkas kemudian, saya tahu, buatan paradigm yang seperti ini memang desain yang lumayan luxurious. Tapi luxuriusitasnya tetap tak menjamin validitasnya bukan? Ini teori yang berporos pada dua kotom klasif. Sifat mengatur dan asal muasalnya.
Tak ada urusan dengan pola konyol yang menempatkan asal ilahiah sebagai sesuatu yang sekedar menjadi pijakan yang ditinggalkan. Akhirnya saya serta merta mengganti judul “tangga norma” menjadi “proses pemapanan negosiasi norma dalam masyarakat” dalam catatan pribadi saya. Sebab memang, tak semua orang akan jadi muslim. Tapi adanya janji hudaibiyah adalah sebuah negosiasi yang muncul dari akhlaq qur’aniyyah. Itulah hukum, capaian negosiasi norma dalam masyarakat, tangga-tangga itu barulah dapat saya terima dalam konsepsi yang seperti ini. Hehehee..
Kembali dalam paragraph pertama kita sebelum saya menyentil kembali putaran neuron saya di paragraf 2 dan 3 tulisan ini, masalah utama yang begitu penting yang ingin saya sampaikan kali ini adalah mengenai poin kebingungan yang tersendiri, sebab ini bukan hanya sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Kita ambil preparat tipis, sepotong kasus di atas, tangga norma. Pernahkah anda menemukan, bahwasanya kita seharusnya seringkali bingung dalam meletakkan setiap diagnosa dan faktor-faktornya.
Begini ceritanya, diskusi saya dalam ceramah pemikiran hukum dasar tersebut dalam perpanjangan terpaksa membuat saya memuntahkan sebuah pertanyaan, “apakah sifat mengatur dan asal muasal benar-benar factorial dan nama “norma” benar-benar definisi ?” Ya, pada akhirnya ruangan mengalami perubahan tensitas kemiringan, mengikuti lantunan “krik-krik-krik” yang menggemuruh, ini hanya semacam ilusi. *gaklucu* Intinya saya hanya satu-satunya orang yang mengerti maksud redaksi kalimat saya sendiri, dan berkat sebuah kekonyolan yang telah menjadi mental utama, saya-pun melanjutkan, “ketika anda sakit maag maka yang di maksud tentu kadar asam lambung yang tinggi bukan? Maag telah menjadi sebuah nama yang dipadankan dengan presisi kondisi tertentu, dimana kadar asam lambung tinggi entah bagaimana-pun penyebab dan komplikasinya.”
……………………….
Krik-krik-krik..
Dan saya kembali keluar ruangan dengan beberapa teman yang memegang bahu saya dari belakang seraya katanya, “apa mir, hubungannya sakit maag sama norma hokum?” Jawab saya simple saja, “saya anak fakultas hukum dan saya sempat sakit maag tapi bukan karena lambung saya bermasalah.”
???????????????
………………………
Perlahan, saya punya sebuah jargon atau semacam motto yang saya dapatkan dari kasus ini, “tanda Tanya anda adalah kebahagiaan bagi saya”. *tutupbuku,menghiburdiri*

Tuesday, May 17, 2011

Just a simple life

Mr. Master Professor ada di ruang putihnya ketika aku menemuinya. Dan kini, kami duduk berhadapan, mengalirkan scenario pembicaraan kaku yang seharusnya tak dimainkan oleh aku dan dia. Aku tak mengerti bagaimana bentuk sayang dalam ruang dingin hidupnya. Sebenarnya aku ragu ia punya bentuk itu atau tidak.

Umurnya tigapuluh delapan tahun dan aku bisa melihat beberapa helai ramput putih di anak rambut samping kanan kirinya. Kacamatanya bulat tebal berbingkai silver mengkilap dan terlihat mahal. Ia terlihat lebih tua dari saat aku bertemu dengannya tiga bulan yang lalu dan sepertinya beban akademisnya lebih bertumpuk dari sebelumnya. Di mejanya ada tiga tumpuk buku besar dan dua tumpuk map warna-warni. Ia akan mempelajarinya setelah aku pergi nanti, katanya. Dan kurasa aku memang tak bisa lama-lama disini.

Dia sangat kucintai, seseorang yang berarti. Seseorang yang sebenarnya ingin kupeluk andai aku berani dan andai dia mengijinkanku untuk melakukannya. Dia sangat berarti sampai kapanpun, walau silih berganti manusia datang dan pergi dari genggaman tanganku. Dia memang jarang ada. Dia benar tak punya waktu untukku yang dianggapnya tak begitu penting – aku telah lama mengetahui. Aku memang hanya bisa membuatnya mengerutkan dahi karena semua pembantahanku terhadap interpretasi hidupnya. Aku memang telah menjatuhkan martabat seorang cendikia sepertinya. Aku autis, begitu katanya.

Aku merindukannya. Entah, tapi aku merindukannya. Aku menangisinya. Entah, aku tetap menangisinya. Aku memang tak berguna untuk dibanggakannya. Aku memang bukan siapa-siapa.
Kini, ia masih tak memandangku, tangan kanannya sibuk di atas mouse computer yang di kanan meja kerja-nya. Matanya tertuju untuk layar radiasi. Dan aku berkata-kata seperlunya, untuknya yang biasa membalas penalaranku dengan mengatakan, “okay” atau “don’t”. Kami sudah sering bertengkar jika duduk berhadapan dan mungkin hari ini ia sedang malas melakukan itu lagi.
Aku tidak tahu apakah dia tahu bahwa apa yang kuketahui tentangnya adalah; aku mencintainya. Aku tidak mengerti apakah dia mengerti bahwa rangkuman pengertian dalam semua alir kalimatku hanyalah; cintaku padanya sederhana saja. Dan aku sekedar anaknya yang mencintainya sederhana saja.

“So, what do you want to do here, I?” ujarnya membuka suara
“I’ll get my test next month.”
“Test?”
“My first high school’ semester test, prof.”
“So?”
“There’s never gonna be better when I talk to you.”
“What’s next? You seems like your mother, I. Don’t complain.”
“Okay, isn’t so important. Sometimes I hope you come to school and take my school report, Prof.”
“I’m busy.”
“I know that. And you won’t try.”
“You just ask for something like that, kid?”
“Like what?”
“A nonsense. You said you know that, but you asking frequently.”
“I’m gonna be very cool because of you, Prof. Don’t you realize?”
“Whatever.”
“You are so funny, Prof.”
“No, but you and every Moslem in the world are so funny.”
“You have to be more wise, Prof. You put a fire on my finger, you know what happen next? I’m buried.”


Dia tertawa terbahak. Lalu melepas tangan kanannya dari nyala mouse. Pria itu mendudukkan dirinya tegak seketika, lalu memutar kursinya untuk berhadapan mata denganku.

“I like you, I. Because you said what I said.”
“I’m your daughter. Don’t you remember?”


Ia kembali terbahak; terlihat benar-benar terhibur. Lalu katanya, “Right, tell me what do you think this time? Because I put a fire on your finger and now, I look at your dragon, I. I’m afraid and I hope you will not gaze at me for twice like that. Hahhahaa….”

“I don’t like you, Prof. Because you said something I won’t said.”


Ia berseringai, “Okay, What do you want to say? I’m waiting for your opinion.”

“You always like that, and I’m always like this. We’ll never be unity. And you not make it better when you tell me about Moslem. I’m a Moslem and I’m not funny, when funny is a phrase you take to mocked.”
“Why? I think “funny” is one of the funnies phrase to mocked.”
Ia tersenyum, “Don’t you think that your God is everything to live? It so funny, I. don’t you know that I’m the best professor in my faculty? Of course you know and there’s many Moslem, Christ, Buddhist, what’s next? But they can’t do the best like me. They have the God you tell me in every our meeting.”
“You have to be wiser; Prof. The wise man was never said the arrogant view for his first statement.”
“Why I must do that? You are just a kid. And every wise man just hides his arrogant view until he find the good time. Isn’t it more arrogant? Why I must do that buffalo’s style?”
“Because you’re the best Politics Professor in your University, did you forget it? And the other professor takes ray to be his plane model. Why you don’t try to study like the beginning professor?”


Ia kembali berseringai khas. Lalu berdiri dan membenahi setelan dasi dan jas formalnya. Ia tersenyum lagi padaku, kemudian berkata, “I’m hungry, I. Don’t tell your mom, I buy you Japanese food this night. I want you sleep in my apartment tonight, don’t call your mother. Because I must do some job until fajri – your district, right?”

“Is not a district, Prof. It just a name from my mom.”
“Don’t say anything until we are in the restaurant. And I give you the best name I’ve ever think, Mira I.”


Dan kini aku tak tahu apa yang harus ada di kepalaku. Setelah ini – biasanya – pertengkaran dan perdebatan kami akan dimulai. Dan aku harus makan masakan jepang yang rasanya menjijikkan bagiku. Adakah yang bisa memberi saran untuk berpikir? Dan aku tahu kalian tak mengerti, aku memakluminya. Memaklumi kesendirianku. Memaklumi bahwa mungkin hanya aku anak berumur tigabelas tahun yang seharusnya tak dilahirkan.

:D

Empat perempuan berwajah oriental menyambut kedatangan kami. Mereka berderet membawa masuk ke bagian dalam restoran Jepang favorit Mr. Master Professor. Dan segera saja, seorang laki-laki menghampiri kami untuk tersenyum dan berbasa-basi; sebab pria yang berjalan di sampingku adalah pelanggan masakan restoran ini sejak lima bulan lalu.

Aku samasekali tidak perduli dengan perlakuan istimewa yang mereka suguhkan untukku. Senyum tulus mereka kubalas dengan seringai setengah berpikir dan sapaan mereka kubalas anggukan pelan yang kubuat se-kikuk mungkin. Aku tak bermaksud apa-apa; aku hanya ingin menjahili mereka saja. Hahhaa.

……

Jasmine tea hangat rasa cokelat telah banyak membantuku menghadapi menit-menit beku bersama dosen keras kepala yang kini sibuk melahap serentetan sushi di hadapannya. Sementara aku tak menyentuh telur dadar yang disebut Californian grill yang tadi ku pesan – semewah apapun namanya, makanan itu tetap sekedar telur yang di dadar bagiku. Aku berlumut disini; terlalu banyak disiram hujan dan panas yang sekedar sepertiga.

Dan aku tak tahu apa yang akan dikatakannya setelah sushi terakhirnya lumat dari mulut laparnya. Ya, kalau dipikir-pikir, mungkin dia sering kelaparan di tengah jam kerja-nya. Lapar apa saja, sepertiku. Lapar kasih sayang karena sendirian, lapar perhatian karena sendirian, atau bisa juga yang paling denotative; lapar perut karena tak ada yang mengurus, tak ada yang mengurus karena sendirian. Halah… sudahlah! Jika hati baikku berempati padanya, nanti dia jadi semakin besar kepala.

Ia seorang imigran Cina berkewarganegaraan Jepang, dan aslinya tidak fasih berbahasa Inggris. Dulu aku pernah di ajari-nya berbahasa satu, Nihon-Go. Tapi aku menolak dan memberontak saat ia memutuskan pergi tanpa ku ketahui alasannya; aku masih kelas dua SD waktu itu. Dan sejak saat itu aku mati-matian mendesaknya berbahasa international, aku memang tak suka belajar bahasa Inggris tapi aku membenci mother language Professor sok pintar itu.

Hingga kini, aku hanya jago berbahasa Inggris praktis karena aku malas belajar di sekolah. Apalagi sejak beberapa dokter kenalan ibuku benar-benar memvonis-ku sebagai penderita autis. Apalagi setelah pria ini mengatakan bahwa ia sebenarnya mengharapkan aku terlahir sebagai anak laki-laki yang “normal”. Aku pernah berjanji padanya, akan kucari menantu super cerdas untuknya nanti; tapi dia berseringai pagi itu, tetap meninggalkanku. Aku sudah tak nafsu belajar; tak akan ada artinya, tak akan ada yang membelikanku sepeda baru atau senyuman bangga, aku tak diharapkan kelahirannya, pikirku.

Aku memang telah banyak mengecewakannya. Mengecewakan mereka. Entahlah.

Mereka bilang aku bukan anak laki-laki yang bisa meneruskan district ayahku. Dan dia begitu sibuk untuk mencoba punya anak lagi. Ia telah membuang wanita untuk selama-lamanya, katanya. Ia mencintai ibuku di masa lalunya, benar-benar mencinta, tapi aku tak tahu jika akhirnya ia pergi dan menceraikan dengan kasar. Hah! Dia terlalu rumit, karena hanya sepotong cerita yang dibagikannya kepadaku. Mungkin sederhana masalahnya tapi ia selalu sulit menemukan orang yang pantas untuk diajak bercerita; banyak rahasia; banyak yang menurutnya harus dirahasiakan.
Dan karenanya, aku juga jadi sepertinya. Menyimpan rahasia sederhana, yang membuatku terlihat rumit di luaran. Aku memang benar-benar keturunannya; membawa sifatnya. Hahahha…. Aku tidak senang. Dan ku harap kalian tidak menertawakanku.

Bercerita tentangnya seperti memegang diriku yang sebenarnya. Ia orang yang buruk dalam pandanganku; mungkin ia mengidap penyakit psikologis yang lebih parah dari autis yang mengharuskanku mengenal music Beethoven selama sepuluh tahun. Oleh karena itu, aku jadi membenci diriku sendiri, aku sepertinya juga.

Dia benar-benar pragmatis. Lebih pragmatis dari ibuku yang seorang manajer keuangan. Sembilan bulan yang lalu adalah kali pertama kami bertemu sejak ia meninggalkanku delapan tahun lalu. Tahu apa alasannya? Karena ibuku meneleponnya, menyampaikan hasil tes IQ terakhirku yang 135 dan hasil diskusiku dengan dokter sok jago yang menilai-ku cerdas di atas rata-rata. Ia datang menemuiku seperti orang idiot yang mendapatkan kembali balon merah mudanya. Jadi sebenarnya siapa yang cacat?

Aku memang kesulitan menatap lawan bicaraku dengan wajar. Ya, aku memang bisa saja jatuh di tangga karena merasa sudah mengangkat kaki kananku yang sebenarnya tak bergerak sama sekali. Aku memang tak bisa menguasai konsep ketik sepuluh jari, bahkan di umurku yang tigabelas tahun saat ini. Jika kalian mengatakan frase deskripsi perasaan dengan penuh keyakinan, aku akan terhipnotis tanpa kalian ketahui. Dan aku bisa saja memikirkan satu pertanyaan nonsense selama duapuluh empat jam di atas tempat tidurku, tanpa makan, tanpa merasa perlu ke toilet. Oke, aku memang tak bisa dibanggakan seorang Professor “jenius” seperti dia. Tapi dia juga tak bisa kubanggakan sebagai orang yang bisa kupanggil “dad”.

Dia memang istimewa, dan aku tak istimewa sebagai anak orang yang istimewa. Seperti yang pernah di katakannya.

Hanya akal yang menjadi kekuatannya. Mungkin karena hanya itu sajalah yang membuatnya menjadi orang yang berpengaruh di TODAI. Selain itu akal juga menjadi bahan dikotomi hidupnya, antara yang pantas di anggap ada atau tidak. Dan rupa-rupanya ia benar setia dengan dikotomi itu, walaupun mengharuskannya membuangku karena aku autis dan kebanyakan anak autis idiot dan nakal; walaupun sebenarnya aku tak tahu alasan sesungguhnya tapi prasangka-ku terhadapnya selalu logis.
Aku memang idiot dan nakal sejak dulu. Aku memang idiot, aku tak pernah menyerap pelajaran seperti apa yang dijabarkan guru-guru yang bercicitcuit di depanku, aku tak pernah belajar dari penalaran mereka – itu tidak normal; itu menyakitkan dan melihat teman-temanku tersenyum akibat sesuatu yang tak kumengerti lebih menyakitkan lagi. Dulu ke-idiotan-ku sangat parah, ini sekedar satu contoh kecilnya saja; seorang guru memasuki kelasku dan menurut jadwal ia akan bercicitcuit tentang operasi penjumlahan satuan hari itu. Kalimat pertama yang di katakannya adalah, “selamat siang, anak-anak”; kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Aku tak bisa mengontrol otakku sendiri, aku tak bisa memerintahkannya untuk memperhatikan “operasi penjumlahan satuan” yang dijelaskan di hadapanku sebab aku telah tenggelam dalam pemikiranku sendiri tentang kalimat, “selamat siang, anak-anak”. Aku seperti ditarik sebuah tali yang amat kuat, yang tanpa kusadari telah membuatku menundukkan kepala melihat meja belajarku, membuatku memforsir diri sendiri memikirkan sesuatu yang seharusnya tak kupikirkan; membuatku melewatkan detik-detik penjelasan teori operasi penjumlahan satuan pertamaku. Sekarang, aku masih seperti itu dan sebagai gantinya, aku hanya boleh tidur empat jam sehari untuk mengejar ketertinggalanku di sekolah – aku sering sekali melanggarnya, maka jadilah aku anak yang “benar-benar idiot”. Tapi karena hal itu, di umur tiga tahun aku telah mengerti bahwa siang ada setelah pagi, bahwa manusia akan mengatakannya setelah jam menunjuk lewat angka sebelas, itu sebelum jam makan siang, tapi ia akan membawa cahaya kuning di lapangan sekolahku dan oleh karenanya pohon beringin akan berangin panas sementara melindungi di bawahnya tetap sejuk; aku bisa memikirkan sesuatu tanpa pengganggu disana karena biasanya tak ada murid TK lain yang bermain disana saat siang – tentu saja karena mereka punya ibu yang selalu siap menjaga mereka tak melewati lapangan terik.

Aku memang nakal, aku tak pernah tidak membantah perkataan orang dewasa. Aku membantah semua interpretasi dan aku ke kantin di jam-jam pelajaran semauku. Frustasi karena ke”autis”anku. Tapi mereka tak ada yang tahu. Jadilah aku pelanggan tetap ceramah guru BK sekolah. Sekarang aku masih nakal; aku pernah mengatakan pada guru bahasa Jerman-ku, bahwa aku tak ingin ikut remedial untuk menyempurnakan nilai enam koma tujuh. Aku tak peduli semua orang dan mungkin itulah yang membuat mereka menganggapku nakal, bandel, non-moral. Dan bukankah mereka juga tak peduli padaku? Mengapa mereka tidak bertanya pada ayahku saja, mengenai kepergiannya saat aku berumur lima tahun, saat para dokter menemukan kejanggalan di sistem jaringan otakku? Mengapa dia meninggalkanku saat tahu aku sakit? Abnormal? Dan sekarang aku jadi non-moral? Bukankah lebih baik aku tak mau dibawanya ke dokter karena nilai rapor-ku yang “idiot”? Bukankah aku lebih baik menyembunyikannya saja? Apakah mereka peduli? Mereka tidak; mereka pergi; mereka memarahi.

Dan sekarang, kembali dalam realitas hidupku, pria berjas hitam itu baru saja usai menyantap sushi salmon kesukaannya. Dia yang dulu meninggalkanku dalam kesakitan, akhirnya menegurku sebagai orangtua, “What are you doing, there, I? Take your Californian grill. I’ll get you to the apartment then.”

“I just am thinking something. And I don’t like this smelly omelet.”
“Oh, did you think that you’re genius, right now?”
“Every man always get their talent, Prof. And I am an autism kid. I don’t think you’ll forget it.”

“Okay, tell me.” Ujarnya dengan nada mengalah yang dipaksakan.

Aku menghirup jasmine tea untuk ke sekian kali, membuatnya menunggu beberapa detik, lalu tersenyum dengan lebarnya – senyum paling tulus yang diberikan seorang anak perempuan terhadap ayahnya. Lalu niatan jahil menyembul di permukaan pikirku. Akhirnya, kukatakan padanya, “You have to marry a woman.”

Aku sudah tahu, ekspresi yang akan dibangun urat-urat wajahnya. Ia terbelalak, mengerutkan dahinya dengan lagak serius yang dibuat-buat. “What?! Are you crazy, I? I won’t do that. I will not.” Lalu ia meminum teh-nya juga; seperti gaya-ku yang sok tahu ketika tak punya pertahanan untuk mendebat lagi.

“What reason, Prof? There is some pretty woman in Japan, right? You just have to find, I’ll help you.” Aku menggodanya lagi.

“Just forget it, I. Let’s go to sleep. You are thirteen years old.” Ia lalu membangun dirinya dan kembali membenahi dasi hitamnya yang punya tampilan membosankan – hitam polos, tekstur warna apa lagi yang lebih membosankan dari itu?

“And you are twenty four. The age of marriage.” Ujarku sekenanya

Dia kembali berseringai dengan gayanya, “I’m thirty eight.”

“Okay, kidding, Prof.” aku membalas, juga berseringai mengikuti style ayahku. Yang culas, naïf, munafik, pragmatis, opportunies dan sombong itu.

:D

Kembali dalam senin pagi yang memuakkan, aku telah diantukkan pada kenyataan akan kehidupan sekolah yang tidak terlalu menyenangkan. Dan jika saja kedua orangtuaku yang berduit itu benar-benar tidak peduli dengan pendidikanku pastilah aku tak akan menuntut mereka untuk memenuhi hak itu; pastilah aku lebih bahagia dari sekarang.

Sekolahku adalah sebuah bangunan hijau berbentuk “U” non simetris yang timpang di kanannya; dalam lingkupan lengkungnya ada dua lapangan besar yang akan membuat kalian mampu menghabiskan satu botol air mineral 600 ml; jika kalian murid disini, kesiangan dan guru piket menyuruh kalian mengitarinya satu kali atau lebih. Gerbangnya yang hanya satu akan mengantarkan kalian ke koridor sayap kanan; banyak tanaman sansivierra dalam pot besar di kanan kirinya. Di sederetan pintu yang di kirinya, kalian akan menemukan plang pintu bertuliskan, kantor administrasi, ruang sanggar rayon 13, kantor kepala sekolah, kantor wakasek kurikulum, dan setelah itu kalian akan menemukan tangga pertama yang di kanannya ada tujuh lemari besar berisi piala prestasi yang tak pernah kupedulikan.

Jika kalian belum kelelahan dan terus berjalan melewati tangga pertama itu, kalian akan bertemu dengan muka toilet laki-laki dan pintu perpustakaan; di dalam perpustakaan sangat sejuk dan aku sering merasakan ke-autis-anku sendirian di bangku terpojoknya. Setelahnya, ada dua jalan di depan dinding perpustakaan yang panjang itu, jika kalian memilih lurus, kalian hanya akan menemui UKS super menyeramkan, perternakan kelinci dan ayam kampung, greenhouse lapuk yang butuh subsidi pemerintah, dan pendopo mewah yang angker. Tapi jika kalian tak punya nyali untuk ke bagian belakang bagian sekolahku, kalian boleh berbelok dan menyusuri pintu ruangan bimbingan konseling, ruang wakasek, ruang OSIS tempat para senior sok jago dan laboratorium anak IPA.

Semua tempat yang kusebutkan di atas itu tak ada yang mengesankan bagiku. Kecuali jika kita meneruskan perjalanan, melewati mulut tangga kedua dan sampai pada sebuah bangun Masjid Hijau yang membuatku jatuh cinta di awal kedatanganku kemari. Bangun itu ada di seberang koridor sayap kanan, di samping kantin. Ia berpengalaman untuk menampung jamaah shalat Jum’at dari perumahan sekitar ditambah hampir 400 siswa tiga angkatan dan sekian puluh guru laki-laki dan karyawan sekolah. Ia besar, hijau, punya jendela raksasa tanpa gorden di sekelilingnya, di cekung kubah dalamnya, ada lukisan nama Tuhanku. Ia mengingatkanku akan sebuah mimpi yang menghampiriku tiga kali seminggu. Mimpi yang disana aku menjadi bukan diriku. Mimpi yang paling indah.

:D

Ruang kamarku sederhana saja. Ia bernuansa merah muda – warna kesukaanku – langit-langit putih, ventilasi kayu berdebu, beberapa ekor cicak yang menjelajah dindingnya dan sebuah kotak meja belajar hitam tempatku mengejar ketertinggalan materi sekolah. Di depan meja itu ada tempat tidur berukuran single yang selalu sudah rapi dan bersih ketika aku pulang, seprai-nya berwarna putih kafan dan aku tak mau menggantinya dengan warna lain.

Ia mungkin tidak mengerti mengapa aku sering menangis di hadapan meja belajarku. Ia mungkin juga tidak tahu apa yang terjadi padaku sehingga aku sering sekali memaki-makinya di tengah malam. Aku sedikit kesal padanya karena ia mati dan tidak pernah berkata-kata – yang bisa dilakukannya cuma termenung dan diam; mungkin menertawakanku saat aku meninggalkannya.

Tapi di luar itu semua, ruang ini juga telah banyak menguatkanku. Sebab dengan kediaman dan kematiannya itu ia menjadi satu-satunya hal – yang kuanggap – hidup yang tidak memarahiku saat aku bersikap aneh dan “parah”. Dia yang tidak pernah memunculkan wajah marah seperti orang dewasa atau orang yang berlagak dewasa. Dia Cuma diam, mendengarkanku walaupun aku mengira dia akan tertawa setelah aku pergi – setidaknya aku tak sakit hati karena tak melihatnya langsung.
Dan disini jugalah aku dihantui mimpiku yang indah. Mimpi itu selalu sama alurnya tapi aku tak pernah bosan untuk terus berharap didatangi olehnya kembali. Aku masih ingat kali pertamanya; di malam sebelum ujian nasional SD. Dan karenanya, aku berkerudung sejak hari pertamaku berseragam putih-biru. Aku terpesona pada perempuan-perempuan cantik yang menggenggam tanganku malam itu.

Sekarang, mimpi itu masih sering mendatangiku. Aku tak tahu apa penyebabnya tapi ia salahsatu yang membuatku tahu ada Islam di dunia ini; bahwa aku juga mewarisi Islam dari ibuku – walaupun ia tak pernah terlihat mengajariku shalat. Sejak saat itu, setiap stimulus kata dari para guru selalu mengantarkanku pada kata; Islam. Dan aku tak tahu. Dan aku tidak mengerti. Aku hanya ikut; aku hanya anak autis yang idiot.

Aku tak mau belajar malam ini. Aku tidur setelah shalat Isya. Aku muak dan tak berencana berteriak-teriak gila malam ini. Menutup pintu-pintu pikirku sesegera yang kubisa.

……

Aku duduk di antara banyak gadis berjilbab berwajah cerah dan tersenyum lembut sumringah. Semuanya putih, bercahaya, tenang, indah, sejuk. Lalu aku bertanya, ”siapa kalian?”. Lalu mereka menjawab,“Kita satu tubuh, ukhti.”; kemudian kami bergenggaman tangan dan tertawa melayang di dimensi putih yang sempurna. Aku tak melihat diriku, tak melihat bentukan senyawa tubuhku. Hanya mereka, yang berkerudung rapi tanpa peniti. Yang binar matanya tertuju padaku, yang setiap gumam tawa dan suaranya membersihkan cacian kotorku.

:D

Kesakitan terberat yang kuderita akibat kecacatanku selain harus belajar sendiri di malam hari adalah, pikirku tak pernah tidur untuk direcoki oleh segala macam stimulus kata yang melintas di telingaku. Aku akan berusaha terlihat memperhatikan lawan bicaraku, menyembunyikan pikirku yang sejak lama telah pergi akibat kata pertama yang menstimulirku akibat cicitcuitnya. Dan pagi ini, di awal perjalananku menuju sekolah, mbok Ota berkata, “Ini, non, bekal makan siangnya.” Ia tak tahu bahwa nanti aku akan sangat tersiksa karena bentukan kata yang dilampirkannya bersama kotak bekal itu.

Perbekalan makan artinya makanan yang akan di makan untuk nanti ketika aku lapar di siang hari. Siang hari yang sangat terik, yang disana aku sangat kelaparan. Dimana aku memang hanya boleh menyentuhnya di kala benar-benar lapar dan sangat butuh makan. Lalu apa yang dimaksud Citra waktu dia mengatakan “bekal mati” kemarin sore? Apakah kematian kemudian bisa diartikan sebagai sesuatu yang datang pada suatu waktu seperti ketika aku harus makan bekalku di siang hari?

Kematian juga-kah yang harus dibekali sebab ia akan membawa pada waktu, tempat dan dimensi yang mengharuskan kita membuka bekal? Dan jika memang begitu adanya, apakah bekal mati itu berbentuk fisik yang harus diberikan pada seseorang, atau ia sesuatu yang sifatnya diserap jiwa untuk menguatkan di masanya? Apakah sama energy bekal mati dan bekal makan siang? Dan ketika telah difungsikan bekal mati itu, apakah akan berlanjut siklus cerna atau kah berhenti sebab telah ada dalam dimensi mati? Lalu apakah ada hubungannya dengan pahala dan dosa yang diujar guru agama hari kamis minggu lalu? Ia katakan, pahala itulah bekal untuk mati. Dan jika memang bentuknya pahala, maka seharusnya bla-bla-bla….

Kalian mau mendengarkan lanjutan celotehku? Ku yakin kalian tak akan tahan, tak akan tahan. Bingung, seperti aku menerjemahkan diriku sendiri.

Maka di perjalananku menuju sekolah pagi ini, kalimat Si mbok telah membuatku mendekapkan wajah ke muka, menggeleng sekuat yang kubisa, menyesali kelelahanku; lelah. Aku ingin sembuh. Aku berharap bisa mendengar monolog guru-ku tanpa melayangkan pikir ke tempat lain.

………

Metromini yang yang aku tumpangi ini bukanlah kendaraan yang suka bersuara halus dan berjalan lurus, ia melaju cepat dengan gayanya yang amburadul. Aku memegang kuat pipa besi tanpa cat berdiameter tiga senti yang ada di dinding dalamnya. Pagi ini, pukul enam kurang dua menit, onggokan besi rongsok ini telah berhasil membawaku berada di setengah perjalanan menuju sekolah.

Di dalam sini hanya ada sepuluh orang termasuk aku; dua orang adalah supir dan kondekturnya sementara yang tujuh lainnya adalah pria dan wanita yang berpakaian formal kantoran. Aku tak peduli dengan keberadaan mereka, tapi setidaknya kami yang menjadi penumpang, duduk dan tidak perlu terlalu ber-aduh-aduh ria karena ulah rem mendadak si supir yang berkali-kali.

Aku duduk di kursi depan pintu depan metro, menggenggam pipa karat yang di kiriku. Lewat sini, langit putih yang dihambur biru muda masih bisa kutatapi dengan leluasa. Dia selalu menjadi pilihanku untuk menghapus semua pikir yang bercokol di otakku. Dengannya aku tenang, aku ingin terbang kesana, saat aku membayangkan dia seperti kapas embun kering yang tinggi dimana aku bisa melihat semua manusia bumi tanpa berpusing-pusing memikirkan dimana tempatku di antara mereka.

Tapi aku tak bisa. Tak akan pernah bisa. Selama-lamanya. Sekekal-kekalnya.

:D

Aku kembali melintasi gerbang hijau sekolahku. Dan segera saja mataku menangkap wujud dua orang bapak-ibu guru. Satu dari mereka adalah Pak Sudoyo; guru kimia dan wakasek kesiswaan yang – katanya – disegani senior OSIS dan yang satunya adalah guru ekonomi-ku, Bu Chomsy, kabarnya dia lumayan berpengaruh di keuangan sekolah; tapi aku tak terlalu peduli, mungkin saja itu Cuma gossip selingan. Mereka memang sering berada di mulut koridor sayap kanan yang di depan gerbang untuk disalimi peserta didik sekolah ini – termasuk aku. Kadang juga guru lain yang ada disana; bergantian. Maka aku mencium tangan kanan mereka, lalu melaju acuh.

Sebulan pertamaku bersekolah di SMA ini, aku melewati mereka begitu saja. Aku tak pernah melihat ekspresi wajah guru-guru itu ketika aku melakukan hal itu. Aku rasa menghormati guru tak terlalu penting; bahkan aku juga tak menghormati manajer keuangan di rumahku, apalagi Mr. Master Professor yang sok tahu. Aku benci orang dewasa.

Tapi dengan berkembangnya proses pengenalanku dengan kakak-kakak ROHIS, aku bersikap seperti anak lain yang – terlihat – dengan senang hati menyalami mereka. Aku tak tahu mengapa budaya itu harus dikekalkan; aku acuh tak mau pusing memikirkan, terlalu banyak bahan stimulus pikir yang membuatku menderita. Mereka – kakak-kakak ROHIS – bilang, menghormati orang yang lebih tua itu penting. Setelahnya, otakku mengambil kata “hormat” untuk memforsir tenagaku. Kini, aku menyerah saja, setelah perenunganku itu, aku memutuskan untuk menyalami mereka saja dan menghentikan salahsatu sebab mereka men-judge-ku sebagai siswi non-moral.

Dan sepanjang koridor yang dipenuhi sansivierra di kanan kirinya, aku masih berkutat dengan persoalan “bekal”. Sekarang otakku telah melewati banyak pencampuran frase untuk mengembangkan bahasan itu. Frase yang masuk detik ini adalah, “sifat ketuhanan dalam dimensi kematian” – dan sebenarnya saat kalian membacanya ia telah punya frase lain untuk diproses dan membuat punggungku panas dan kepala bagian depanku nyeri. Aku tak akan menguraikannya untuk kalian, panjang ceritanya, panjang alurnya, dan sederetan frase telah bergiliran menyembul di otakku untuk membuatku sampai pada bahasan itu. Biarlah kalian sekedar tahu bahwa aku benar-benar sakit setiap harinya.

Aku lalu menaiki tangga di sayap kiri; kelasku yang X-8 hanya sekitar duapuluh langkah dari muara tangga lantai tiga. Walaupun aku harus melewati kelas XI IPA yang banyak senior OSIS dan masih memandangku sinis; belum lagi kalau teman mereka yang IPS di lantai dua bergaya jago dengan menghalau jalan-ku. Aku samasekali tak peduli. Walaupun sebenarnya aku tak perlu mengalami itu jika naik lewat tangga sayap kanan yang hanya melewati pintu-pintu kelas anak se-angkatan. Menantang mereka lebih mengasyikan daripada berjalan delapan puluh langkah di depan pintu-pintu kelas X.

:D

Kini aku berada dalam ruang kelasku yang di lantai tiga. Langit-langitnya putih bersih, ada enam lampu neon panjang di sana, mereka benderang bercercah sinaran terang, menyapu dinding kubusan yang hijau muda, membasuh whiteboard yang berisi rangkaian penyelesaian soal trigonometri dasar.

Ibu Rosda berdiri di muka kelas; aku melihat mulutnya berkata-kata. Telingaku juga mendengar suaranya, otakku menerima frekuensi itu untuk diterjemahkan menjadi kalimat-kalimat dimensi nyata; aku mendengar suara cicitcuit teman-temanku juga – yang curhat dengan teman sebangkunya atau mengobrol tentang kejadian kemarin sore. Tapi semua itu samasekali tak dicerna otakku. Aku tak bisa memaksa, maka aku diam saja; pura-pura normal.

Gez yang menjadi teman sebangku-ku adalah seorang gadis Kristen yang taat. Aku pernah melihatnya serius membaca buku tentang “Kristen Jawa” dan beberapa kali dia menyebut nama tuhannya dalam pembicaraan. Kami menjadi chairmate seperti ini karena Citra sudah duduk dengan Stefphanie di baris ke-tiga deret ke-dua dari pintu; juga karena waktu itu Gez masih sendiri dan aku datang terlambat di hari pertama belajar efektif. Tapi setidaknya, Gez terlihat manis di kesan pertama-ku untuknya; malah mungkin aku yang terkesan “angker” – dan memang selalu seperti itu – karena tidak tersenyum saat itu. Aku masih kecewa karena Citra tidak menunggu-ku saja.

Berbicara tentang kecewa aku memang telah banyak mengecewakan orang lain. Dan seandainya mereka ber-inisiatif untuk bertanya tentang alasannya, maka aku akan jawab bahwa itu karena aku sudah banyak dikecewakan juga. Mungkin ini hukum alam yang agak aneh dan aku tak berharap kalian memaklumi perkataanku. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa hidup ini memang perjalanan kekecewaan yang tidak akan pernah putus. Walaupun kalian tidak ingin mengecewakan, tapi karena kalian pernah dikecewakan maka kalian akan tahu cara mengecewakan orang lain. Mekanismenya berjalan bukan karena pembelajaran sadar, melainkan sesuai hukum serap bawah sadar. Sudah kubilang, aku tak berharap kalian mengerti dan memaklumi perkataanku, jadi lewati saja paragraf macam ini jika kalian sudah terlanjur muak.

Dan aku kembali sendiri dalam pergumulan pikirku yang meletihkan.

……

Aku masih sibuk dengan soal trigonometri-ku ketika bel istirahat pertama berbunyi. Sementara Gez berdiri dan memanggil beberapa teman sekelas. Mereka berbicara di sebelahku, tentang sesuatu yang tampaknya tak boleh kuketahui. Gez, I’am, dan Mano; berusaha menyimpan rahasia. Dan maaf, kalau ternyata tak sengaja aku tahu apa yang mereka coba sembunyikan saat Gez berkata, “Tapi lo mau, kan?”; mereka akan menjadi panitia sebuah acara besar yang aku juga tak tahu jenis dan sejarahnya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu. Aku sekedar melihat ekspresi mereka yang agak serius, senang, seakan memasuki sebuah gerbang masa-masa indah SMA; setidaknya jadi panitia suatu acara akbar sekolah adalah kebanggaan yang serius, senang, dan indah, kan? Aku tahu, anak macam mereka. Dan aku tidak peduli samasekali. Kalau Gez dan teman-temannya itu memang benar ditawarkan menjadi panitia oleh senior OSIS rese’, itu Cuma jadi salahsatu alasanku untuk berseringai ala Mr. Master Professor.

Akhirnya aku membangun diriku, meninggalkan mereka bertiga. Menjajaki lantai putih dan menyingkap pintu kelasku untuk keluar. Aku tak tahu ingin kemana, aku hanya sekedar ingin pergi; dan begitulah aku di setiap menit hidupku.

:D

Lewat balkon di depan kelas, aku bisa melihat keseluruhan lapangan sekolah. Besar, luas, sudah kubilang, kan, kalian akan mampu menghabiskan 600 ml air mineral dalam sekali teguk setelah berlari mengelilinginya satu kali. Di depan gerbang itu ada jalan yang hanya muat dua jalur mobil; kadang sangat ruwet dan macet saat ada pengendara motor yang berulah – aku sudah sering melihatnya langsung, jadi kalian percaya sajalah.

Tiba-tiba aku ingat dengan tiga orang yang sekarang bersedia menganggapku teman mereka. Citra, Putri dan Hapsari; mereka memang teman yang baik. Dan mungkin mereka masih akan menganggapku seorang Mira, gadis biasa yang juga baik; sebelum mereka bertambah dekat denganku dan tahu aku ini siapa sebenarnya. Maka aku tak berniat untuk bisa lebih dekat lagi dengan mereka. Cukup sekedar yang kami pernah lalui dan bicarakan saja. Sampai disini saja gerbang mereka untuk membedakanku dari yang lainnya. Selebihnya mereka tak perlu mengenaliku lebih jauh lagi.

Dulu aku pernah punya teman dekat, bahkan sahabat. Tiga orang juga seperti sekarang, bedanya mereka semua bocah laki-laki. Kami punya nama geng; F9. F untuk ungkapan “fajr” yang ada di masing-masing nama kami. 9 untuk mewakili ke-“gokil”-an kami – maklumlah, waktu itu sudut pikirku masih sangat norak dan alay; dan kebetulan kata “gokil” adalah kata yang paling sering kami gunakan untuk menerjemahkan keceriaan dan menjelaskan “siapa kami”.

F9 sudah tak ada lagi di hidupku sejak aku pindah sekolah kelas empat SD. Sampai di hari terakhirku bertemu dengan mereka, aku tak mengatakan apa-apa tentang rencana pernikahan ibuku yang menjadi penyebab perpisahan kami. Aku ingin minta maaf, tapi sepertinya sampai kapanpun aku tak bisa menyampaikannya pada mereka. Sudah enam tahun berlalu; mungkin mereka sudah jadi cowok ganteng sekarang, apalagi Bram yang sejak dulu sudah banyak digemari para cewek-cewek bocah, atau Ruri yang selalu mempesona dengan leadershipnya, tidak menutup kemungkinan juga Cein yang akan jadi paling keren karena sikap diamnya yang selalu bermakna. Aku merindukan mereka; ingin mereka menegurku sebagai sahabat lagi; ingin mereka menertawakan tindakan konyolku dan mengejarku dalam permainan “tak jongkok” lagi.

Dan sekarang aku tak ingin punya teman seperti F9 lagi. Sekarang segalanya sudah berbeda, aku bukan Mira yang suka berlagak jayus super konyol lagi. Aku sekarang Mira yang semua gesture tubuhnya menggarisbawahi kalimat, “I don’t like you. And I hate to life.” Senyum-ku mahal apalagi untuk yang tidak mengetahui namaku.

Sunday, March 27, 2011

Subuh

Sekarang aku benar sadar bahwa kau, sahabatku, memanglah orang hebat. Sampai-sampai aku masih berani menuliskan namamu di embunan jendela kamarku. Sampai-sampai aku masih saja kecewa karena tak dapat ikuti langkah-langkah besarmu itu. Kamu, sahabatku, sekarang masih ku ingat sebagai dirimu yang duabelas tahun itu. In ana uhibbukumu illa lillah.

:D

Focus show ruangan itu adalah sebuah podium elegan di kanan panggung tinggi yang angkuh. Disana, sebuah suara yang ku kenali mengalunkan nadanya dalam Arab fusha yang fasih. Tak sempat kucerna sempurna semua kata yang diluncurkannya. Ia begitu hebat, sinar matanya masih bening seperti dulu. Kacamatanya masih saja berbingkai hitam yang itu dan setelah usai salamnya, ia-pun menoleh ke kirinya, mengantar senyum kelunya yang kentara - ke arahku.

Maka dimulai-lah senyap tenang yang mewah itu. Sesaat setelah detak sepatunya terhenti di langkah ketiganya di luar podium. Lalu ia menundukkan wajahnya khusyuk, kemudian mengangkatnya kembali, terujar takzim dari bibirnya, "bismillah...". Ia berbalik kembali ke podium jati.
Lalu serunya, "Ahlan wa sahlan yaa ahlul fikrah! Salaamun'alaiki yaa ahlul fikrah!"
Gemerlap takbir lalu menyambar telingaku tanpa ampun, tak terkecuali dari berdirinya seorang lelaki tua, guru tafsirku itu, di kursi forum di hadapanku, mengepalkan tangannya seraya jelas menujukan takbirnya itu kepadaku. Aku menangis.

Kemudian Fathir Al Quraabid masih dengan sosoknya yang ku kagumi, ia menghadiahiku kembali. Aku berhutang padanya untuk kesekian kali. Dan aku dibuatnya menumpahkan rasaku lagi. Ya, sahabat! Kau luarbiasa hebat!

:D

Seakan bara yang begitu panasnya mengungkungi ruang ini, ruang temu Konferensi Asia-Afrika. Bandung, kota gerimis. Kota yang manis dalam sederetan kotak kisahku yang sinis.

Di segarisan tepat di depanku, Abid duduk mewah di sisi para pakar yang lainnya. Sesekali senyumnya yang sempurna itu menemui mataku, masih menyemangati penuh bingkisan hati. Sahabatku, ayahku. Ya, seperti seorang ayah yang tak pernah ku punyai. Perlahan aku memang mengingatnya di lapangan basket SMP-ku, saat mengajariku mengendarai sepeda roda duanya yang super besar. Hahhaha...
Lalu aku larut dalam flashback semu masa laluku, kemudian terantuk menyadari, dia kini bukan yang itu lagi. Dia kini, yang memintaku dan aku menolaknya sebab lemahnya imanku. Kami memang tak sepadan samasekali. Bahkan aku kehilangan hafalanku setiap hari. Bahkan aku belum selesai perkara diriku sendiri. Bahkan aku, ya, sehina ini.

Lalu tiba-lah waktuku untuk menempatkan nyawa dan jasadku dalam satu dimensi, disini. Sebab mereka kini menanti suaraku berkicau menyuarakan apa yang kutulis sebagai isian map putih di masing-masing tangan mereka.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, Alhamdulillahirabb al 'alamin. Al Malikul Quddusus Salaam, Al Wahidul Ahadus Samad, Al Muntaqimul 'Afuuw, Wa Ad Darrun Nafii'." Kubacakan Al An'am yang kucintai permulaannya, kubacakan Al Fajr yang kucintai alunannya. Dan aku sekedar cinta. Ya, ini tentang ayat-ayat hijaiyah yang sempurna.

Perlahan aku kembali masuk dalam iluminasi bayangku sendiri. Perlahan kubangkunkan diriku, ku jejakkan kakiku di karpet merah yang melapisi panggung angkuh ini. Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa aku bukanlah lagi diriku yang jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok Abid keluar pertama kali dari balik gorden hitam di ujung lorong panggung itu tadi.

Ya, ia memang telah mengantarku kesini, seorang akademisi Salaf yang kukagumi. Seorang ahli strategi yang merancang alur misi sepanjang ini. Seorang sahabat yang ku kenali. Saat ini di akhir sayup bacaan tilawahku subuh ini, aku hanya bisa mengenangnya, sesekali membuka update diskusi yang dikirimnya ke emailku walau tak pernah dapat balasan.

Dulu karena aku terlalu sering menunggu. Mungkin kini, aku harus ditunggu. Kata ibuku.
Dulu karena aku sering sekali menungu. Mungkin kini, aku tak tega membiarkan orang lain menungguiku. Ya, seperti itu, kataku.

Thursday, March 3, 2011

Pagi

Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Bukan tinjauan "sok" kritis yang dimainkan Abid di siaran opininya pagi itu. Tentang dirinya dan dunia. Alur hidup, senyum, dan tangis.

Kukira aku tak lagi ingat wajahnya. Bentukan senyumnya di Fajar waktu itu, ketika ditunjuknya ufuk jingga temaram seraya menyebut masdar namaku dengan intonasi sempurna. Warna suara dan tawanya. Ya, aku tak lagi ingat nyata wujud fisik sahabat terbaikku. Aku hanya ingat kacamata bingkai hitamnya yang tigakali berganti karena ulah cerobohku. Hahhahaaaa... lucu.

Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Yang sampai-sampai jangkrik memahami penuh arti. Yang warnanya hijau dan coklat. Yang semalamannya, kudengar berbisik mengusik, di sisian toilet samping kamarku.

Sebab aku tahu Abid tak perlu di ingat dari raut wajah dan lekuk wujudnya. Sebab aku ingat ia lebih dari itu. Ya, saat itu, saat ini, nanti, dan sampai Allah memberiku ruang istirahat dari memori tentangnya. Ya, ketika kacaan yang miris itu menemui gorden coklat rasa stroberi, berubah warna jadi es krim berselimut coklat merah muda.

Abid. Aku hanya ingin berbicara hal sederhana saja. Sesekali, jika itu memang bisa didapatkan dari sekedar berdialog dengan bolpoin hitam dan gantungan kunci darinya.

:)

Sebab sekali itu, Abid kembali dengan senyumnya yang sama. Mata bening di balik kacamatanya itu, menerawang jauh ke pelupuk pagi. Ditunjuknya sudut cahaya kekuningan di kejauhan.

"Fajar!" serunya

Aku tersenyum, mengikut arah pandangnya yang kemudian. Ini masih tentang dia. Ini tentang Abid. Ya, Fathir Al Quraabid.

Friday, February 11, 2011

Malam

Guyuran hujan kota Malang basah di penghujung horizon cakrawala. Mengungkung kepulan doa yang ter-ijabah saat selimut malam mengantar turun raudahNya. Gemintang tak berpendar dan selokan yang tersumbat sampah mulai membuat muak para pengendara jalan raya.
Zana Elzora menatapi dimensi malamnya di balik kaca toko buku yang di kunjunginya. Demi menuntaskan kegusarannya atas caci maki yang diterimanya siang tadi. Di luaran khayalnya, sosok Abid 12 tahun itu belum juga pergi. Seakan meminta untuk diceritakan kembali, tak sudi bila memori tentangnya cukup usai disini.
Kali itu ruang lengang bandara Soekarno-Hatta seakan bergemuruh kencang dalam sisian isi pribadinya. Ini tentang sebuah dimensi yang telah dan akan dikenangnya sebagai kepahitan. Ketika dilihatnya lambaian tangan seorang sahabatnya semakin jauh dan menjauh. Jauh dan menjauh, di balik kaca. Ya, di balik kaca.
Sebuah benda paling sadis di dunia. Yang jadi penghalang langkahnya. Yang patahannya menggores luka dan yang menampilkan gambar miris tak tersentuh jemarinya. Kaca. Deru pesawat. Dan Abid. Malam itu.

d^-^b

Hijab hitam masjid itu terembus angin; lembut. Mengalunkan ombak di luaran mukanya. Melambai bersimfoni, merakit cinta Rabb atas dunia dan manusiaNya. Mengkonveksikan alir udara dari ketinggian intensitas lembabnya. Bergerak seiring tasbih malam mereka atas turunnya sunnah dimensi fana. Seakan menjalin kerangka, menyambut bising manusia yang doanya dibawa pergi sayap malaikat penuh cahaya.
Di balik hijab hitam itu, aku tahu Abid menundukkan wajahnya, menggigit bibir bawahnya hingga tanpa rasa, lalu Bram menekuk kedua kakinya, memeluknya erat dan menitikkan airmata. Sementara di hadapanku, Fahira menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya yang putih, sesekali suara batuk menghias nada tangisnya. Sementara aku, masih memegang empat mushaf kami, berusaha tak mengalirkan sedihku disini.
Aku tak pernah sadar sebelumnya, bahwa itu adalah kali pertama ku temui perikatan yang begitu indah. Dimulai dari hujan sore dan Abid yang mencoba memahamkanku perkara syar'i mahram. Dimulai dari kait-kait sayangnya dalam iman. Dimulai dari dia, yang kini menjadikan kami tak hanya berdua tapi empat. Yang membawa Bram dan Fahira menjadi bagian dari persahabatan ini sekarang. Dan mereka bertiga kalut dalam emosi manusiawinya sedang seperti biasa, aku memang penikmat drama kehidupan yang ulung.
Besok Abid akan pergi ke Madinah. Mengikut buntut kakeknya yang dosen disana. Aku tak mengerti mengapa ia yang saat itu empatbelas tahun itu harus dibebani kepergian yang begitu dalamnya. Mengapa ia yang begitu mutiaranya harus diambil dari dekat dimensiku. Dan Abid, aku benar rindu pada nada suaranya di sore hujan saat itu. Ya, Abid telah pergi. Dan rupanya ia tak kembali lagi.

d^-^b