Showing posts with label ACA UCU. Show all posts
Showing posts with label ACA UCU. Show all posts

Thursday, January 3, 2013

Something unusual

Mungkin itu yang asli namanya kecendrungan. Berhadapan dengannya, lalu berbincang tentang kebaikan. Berhadapan dengannya lalu bercita-cita.
Aku tak pernah tahu bahwa cenderung dengan seseorang itu bisa jadi semenarik ini. Mendoakan, melihatnya tertawa lucu, beritikad kuat. Iltizam yang tiba-tiba saja muncul dan berkata,"gue pasti bisa"
Ya, atas dasar iman dan mahabbahNya, gue pasti bisa syiar juga ! #go

Thursday, November 29, 2012

SEMANGAT ^-^

Bertubi-tubi datang menghampiri. Mungkin karena gelas yang kosong atau mimpi-mimpi yang menghantui. Ah, jadi takut untuk tidur. Perlu diterapi atau diebrikan obat penenang depresi.

Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.

Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.

Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.

Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.

Bukan Pidato

Aku tahu bahwa untuk saling mencintai kita harus saling mengagumi. Entahlah, bahwa setiap kali orang terpesona denganmu itu sama artinya iya atau tidak. Tapi aku, iya. Bagiku ini juga yang menjadi sebab kau tak banyak mencintai. Bahwa bagimu, sama saja. Aku atau yang lainnya.

Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.

Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.

Ngomong apaan.

Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.

Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?

Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.

Siapa yang dikasihanin?

Ya, anti lah! Masa mereka? haha..

Renyah


Tuesday, November 13, 2012

Reasonable touch


                Kadang kita tak pernah tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites, keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.           
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
                “Apa yang biasa kau sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam kegiatan social? Bagiku cintaku adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
                Matanya masih terkatup berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya. Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
                Aku suka berkata-kata rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical assumption yang membuatku sedari kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini dan  begitu tak sempat membuatku berpikir sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan “boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
                Sejak kapan aku peduli dengan ibuku?
                Pertanyaan semacam itu jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
                Orang sepertiku, pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
                Pernahkah kalian tahu bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya mampu melakukan sesuatu.
                Dosa yang pertama karena tak bersyukur dengan setting hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar. Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua, bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu segalanya. Haha.
                Keberadaan orang lain di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka. Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu. Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
                Aku bukanlah orang yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup menganggu bukan?
                Aku ingin punya sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku, setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
                Jalan raya kota malang searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka. Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
                Aku suka bertengkar, tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
                Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu. Kata ayahku.
                Tidak, aku sekedar ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA. Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian, dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana, menarik. Aku tidak.
                Di belakang itu, usai jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini tulisan kamu beneran?”
                “Iya bu, coba aja ibu cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
                “Selamat, nilai kamu tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
                “Bukannya Hadi yang nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
                “Bukan, saya hanya berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis, romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
                Seperti virus masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
                Tamat.
xxxxx
                Belum tamat.
                Sebab aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
                Kita bicara tentang hal lain saja. Lain kali.

Thursday, September 27, 2012

Words count the worlds


We have some problem to solve. Then we take some reason to flew it or burn it, lose it or made up with it. Somebody called it as the term of maneuver. But I don’t. It just more than we ever thinking of.  Honestly, cause we are the real problem that we having. There’s no other rational logic to describe why do we knowing the mars and Pluto beside the sentence of “some people said it before we born”.
So, that’s all about the word counting the world. We said, we know then we called it as something exist. Cause actually we are the point of this every movement and reason.
Why’d we said afrika as a black and American as a white. Why’d we said that the elephant was big then the ant was small. The nature was perfectly never be-with-child of words. Except us.
What a stressed.. ha… :D
Listening the air swing, feeling the branch wing, reading this very-old-mess-book, how despicable I am.

Tuesday, May 8, 2012

SEMACAM

Inilah kira-kira pertama kalinya gue memakai literasi dari orang lain sejak beberapa tahun lalu. Ya, gue emang agak sulit terkesan, agak sombong, agak sinis dan sharp. (astaghfirullah). Gue agak jarang banget mengapresiasi orang, kecuali kalo gue tahu tu orang emang harus di support dengan cara begitu. Kadang, gue jadi maksain muji orang, dan keluarnya, "eh iya, he he, iya, bagus bagus, what a great."

Balik lagi ke literasi asing bernama SEMACAM. Ini gue dapetin dari echi. Anak Jakarta juga, temen gue-eloan di malang. Cuman, echi emang tipe orang yang 180 derajat beda sama gue. Yaah.. dia mellow gitulah, agak cengeng, lebay juga kadang-kadang, perhatian gitu, dan rajin mandi sama pake pelembab. Whahahaha pokoknya semua kejahatan yang gue lakukan biasanya echi yang paling anti juga. Mmmm biar gue pake literasi itu untuk pertama kali. SEMACAM naek busway ngintilin orang dia ga tertarik. SEMACAM baca buku 2000 halaman dia juga ga tertarik. SEMACAM ngomongin betapa kerennya cara-cara ngibulin orang yang gue dapetin inspirasinya, setau gue juga dia malah astaghfirullah-an.

SEMACAM orang baik kalo dibandingin gue gitu lah. Hahahhaa...

Dan gue sekarang, SEMACAM MAU MAKAN ORANG.

Ya, oke. That's all.


Monday, October 10, 2011

XXX

Oke, tiba-tiba gue nggak tahu apa yang telah dan harus gue lakukan. Gue butuh rumah, dad and mom, mau lari dari semuanya. Gue butuh abang, yang sekarang udah gak mungkin dihidupkan lagi. Gue butuh pergi. Tapi dalam satu perpanjangan logika akhirnya gue ngeh kalo gue cuma butuh lebih dekat lagi sama Allah. Ya, gue bener-bener futur.
Mulai dari berhadapan otak sama kakak tingkat paling konyol sedunia, kakak tingkat yang punya banyak intuisi politik, kakak tingkat yang meneduhkan, atau yang lagi sibuk BLF --"
Gue berasa ada di rumah memang, ya, gue coba menghibur diri sendiri aja lah. Kayak disana, disini juga gue ditarik-tarik dua kutub yang lagi-lagi berlawanan tapi dua-duanya benar, dan dua-duanya gue cintai. Jadi perlahan cinta bermain memang dengan tingkatannya, saat gue milih salah satunya, karena gue lebih sayang sama beberapa orang yang omongannya lebih dari sekedar 'itu-itu' aja. Gue stuck, bener-bener butuh baikan lagi sama tahajjud panjang dan bulan ramadhan.
Dan kefuturan yang melebaykan cabangnya di perkara kangen, benci, kecewa, terpana kebengongan, sakit-sakitan, jadi jilbaber super jorok berantakan, deadline kajian, deadline proposal, cita-cita? Huft! Dan parahnya, gue inget abang gue bilang, "ini baru permulaan, kamu masih terlalu, muda, kan, I?" :'(

Thursday, March 10, 2011

Jangkrik

Mari berbicara tentang putus asa ketika kau akan mengepakkan sayapmu ke angkasa. Tidakkah kau tahu bahwa ranum bunga adalah silang silih dari sebuah bahasa putus asa? Ketika disadarinya, putik tak akan menghasilkan benang sari sendiri. Ketika ditariknya satu akhiran percaya diri.

Panggung sosial jadi penuh busa yang membuatku muntah di pagi hari. Ketika kubuka koran hari ini dan kudengarkan cicit cuit mereka di televisi. Para manusia ini, bagaimana jika kutawarkan mereka setumpukan playlist mp3 Simple Plan atau klise von Savigny?

Salahsatu keruwetan yang harus diderita para psikopat pikir sepertiku adalah, isian radict dari setiap kata yang terucap dari mereka mendadak jadi persepsi penuh sinisme yang sentimentil. Mungkin saja, tendensinya negatif. Tapi gila, aku memang harus pergi ke salahsatu pusat refleksi yang sia-sia itu.

Berbicara akhlaq, putus asa tentu saja bukan akhlaq seorang muslim. Hanya orang kafir yang menderita putus asa sebab mereka telah ditutup dari rahmat Allah, begitu bunyinya. Ayo coba kita bermain sedikit nakal. Oleh sebab terputus dari tetapan rahiim Allah maka asa(cita) mereka-pun usai sudah, mungkin itulah sebab frase katanya menjadi "putus asa". Sebuah petanda kehilangan arah.

Lalu bagaimana masalah akumulasi failed trial seorang muslim. Adakah juga itu artinya kehilangan arah? Bagaimana tentang gantian kemudi seorang pilot yang tak lagi percaya diri? Adakah juga itu artinya final konklusi?

Ha.. ha.. ha..

Tambah gila.
Nanti malam, kupikirkan lagi. Sambil kutunggui telepon ibuku dan berbisik pada jangkrik yang kupelihara sampai hampir mati, di dalam sini, khayalan saja, tak ada jangkrik di Malang sini! --"

putusasakarenajangkrik.code@lifeline.ink

Thursday, January 6, 2011

ask for the effectiveness of Tony Buzan' theory

Masih saya ingat jelas ketika pertama kali pengejawantahan rebellion side ini memekarkan jalan menuju ke suatu dunia yang berbeda. Yang keseketika saya harus kembali jadi awam yang amatir. Harus jadi pembelajar yang setia. Dan marjinal.

Mungkin ini juga suatu bentuk pertolongan Allah.
Bahwa ketika deraan futur menyergap, tiba tiba saja saya di tempatkan pada lingkungan yang mengharamkan kata futur.
Yang ketika saya tak berdoa untuk datangnya, mereka malah melepaskan panahnya, mendeclair, "inilah orang pilihan".

Gila, betapa tak bersyukurnya hamba jelata ini.

Bahkan ia bertanya-tanya tentang apa yang telah dipahaminya. Hanya sekedar untuk menambah panjang draft yang akan dikuatnya sebagai legitimasi declair balasan 'ini baik'.

Gila, betapa angkuhnya anak autis ini.

Bahkan ia diam hanya untuk tahu alur pikir mereka dan mempelajari geraknya.
Dan secara gamblang, layaknya sayap-sayap malaikat dari Raudah, mereka mengalahkan segala kuncian yang telah terpersiapkan.

Tak ada beda. Hanya monoton semata. Hanya 'la ilaha illallah' semata.
Seperti tone yang Sayyid Quthb mainkan dalam setiap rangkaian hijaiyahnya. Walaupun diksi penerjemah tak pernah merangkum keseluruhan irama miliknya. Dan pada akhirnya, yang terdengar adalah gemerincing spirit yang membangkitkan izzah! luarbiasa

Saya nantikan ketika suatu hari orang hanya akan berkata, "seorang Mira!"
Dengan segala manusianya yang cacat secara psikologis dan derita akan SA yang tiada henti menempatkannya pada posisi pemikir abnormal.

Saya nantikan, ketika si rebellion ini benar ada dalam benarnya.
Menjawab segala klaim atas dirinya dengan hujjah.

Dan seperti kupu-kupu yang terdeskripsi sebagai analogi Rose dalam Islamic Rose story part yang ini juga nggak nyambung seperti biasanya, hahahhaaa aca ucu!
Masya Allah! Allahu akbar! :)

nge-Aca Ucu

Saya masih saJa kehilangan nalar menulis yang biasa saya gunakan dulu. Dan kali ini, akan saya coba melumasinya dengan teknik "sebenarnya saya tak tahu ingin berbicara apa" seperti yang Tony Buzan katakan dalam training public speakingnya. Agar kemudian, berbagai nalar dapat muncul dari mata airnya yang kini terasa kering dan kusut!

Mungkin karena banyaknya dosa atau angkuh yang menggejala disini. Mungkin karena saya jadi jarang menangis di malam hari. Mungkin karena terbuai oleh kekosongan ikatan persahabatan. Oh, ya? Saya tak tahu pasti.

Seakan sebuah tembok super tebal menghalangi pandangan saya kepada Rabbul Izzati. Seakan pelukan malam kini diiring bisikan kebencian. Entah, seakan rumput tak mau lagi saya ajak bicara. Dan seakan reranting tak sudi bunga-nya disentuh si dzalim ini. Astagfirullahal'adzim.
Lalu saya hanya sekedar ingin menangis saja, tanpa air mata; yang dikikis tawa gila.

.................

Finally, there's the time to get the chance.
I do never agree. That I've to be.
This is the 'thing'
While everyone ask me
While my own ask mine
one word; IKAN!