Kadang kita tak pernah
tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama
halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya
berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak
di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites,
keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak
meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak
berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi
lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi
warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu
kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
“Apa yang biasa kau
sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam
kegiatan social? Bagiku cintaku
adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
Matanya masih terkatup
berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya.
Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir
diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah
tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah
membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
Aku suka berkata-kata
rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau
akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan
memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah
dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical
assumption yang membuatku sedari
kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini
dan begitu tak sempat membuatku berpikir
sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan
kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan
“boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
Sejak kapan aku peduli
dengan ibuku?
Pertanyaan semacam itu
jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum
lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak
terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
Orang sepertiku,
pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal
sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
Pernahkah kalian tahu
bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut
pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam
diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya
mampu melakukan sesuatu.
Dosa yang pertama
karena tak bersyukur dengan setting
hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar.
Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa
yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua,
bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir
menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling
berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu
segalanya. Haha.
Keberadaan orang lain
di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka.
Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan
lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk
denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan
berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu.
Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka
bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
Aku bukanlah orang
yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran
ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma
rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang
tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup
menganggu bukan?
Aku ingin punya
sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu
pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku
tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang
tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku,
setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
Jalan raya kota malang
searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu
berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku
membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka.
Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
Aku suka bertengkar,
tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada
jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu.
Kata ayahku.
Tidak, aku sekedar
ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA.
Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian,
dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang
pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana,
menarik. Aku tidak.
Di belakang itu, usai
jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini
tulisan kamu beneran?”
“Iya bu, coba aja ibu
cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
“Selamat, nilai kamu
tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
“Bukannya Hadi yang
nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
“Bukan, saya hanya
berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada
yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah
Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam
untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis,
romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
Seperti virus
masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan
pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
Tamat.
xxxxx
Belum tamat.
Sebab
aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
Kita bicara tentang
hal lain saja. Lain kali.
Jiwaku memang benar2 mati seketika itu juga. Mira, April 18th, 2019 :)
ReplyDelete