Oleh : Mira Fajriyah
Rumah ini kembali sepi. Aku tak pernah tahu sebelumnya,
bahwa kesunyian yang seperti ini akan jadi sebuah pil pahit yang tak kusukai
juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, memperhatikan bunga yang ditanam
di taman halaman depan, memasak pudding
dan ikan laut kukus kesukaanku, ya, masakan lainnya juga. Biasanya aku suka,
berdua dengan diriku, menuliskan segala keresahanku di bait-bait puisi yang tak
mungkin dimengerti orang lain – kalau saja ada orang lain itu. Lalu di sore dan
malam harinya, menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolahku, sesekali main
game, juga menjahili beberapa anak
menyebalkan di kelas lewat sms kalengan, ya, lalu tidur. Habis hidupku seharian
dalam kesunyian, berduaan dengan diriku.
Aku suka menulis. Entah,
mungkin segala stimulus theoretical assumption yang selalu kudengar dari
diskusi ayah ibuku terlalu menggunung di pelataran simpul kimia otakku. Aku
suka menulis. Menulis apa saja. Seperti saat ini.
Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kali ini kesepian
ini begitu menjijikkan. Membuatku mual dan berharap segalanya cepat berakhir.
Tanpa pertolongan juga tanpa pena yang tiba-tiba bisa bicara. Seakan segalanya
serba timpang, aku tak suka lagi berdua dengan diriku. Aku yang ini, yang tak
suka dengan diriku, seakan jadi dua sisian yang tak saling berdampingan, dua
pintu yang tak saling membuka. Bungkam seribu bahasa.
------------------
Beberapa hari lalu, teman ibuku datang di ruang tamu ini.
Ia membawa serta dua anaknya yang menjijikkan, berumur lima dan empat tahun.
Kedua anaknya itu kurasa sepasang anak perempuan yang mengidap sakit gila,
menggelesorkan diri di karpet ruang tamu, lalu meraung-raung meminta dibelikan
es krim. Dua-duanya, anak perempuan bau ingus
yang mengidap kegilaan akut. Lalu ibuku dengan senyum tertahan yang
kebingungan, Cuma bisa kelu menanggapinya. Juga temannya yang tak mampu
menangani kedua anak busuknya. Aku menggelengkan kepala, masuk kamar dan
menulis sebuah kalimat di sticky notes layar komputerku, anak setan juga ikut turun ke dunia bersama
moyang mereka, abadi sampai neraka.
Baiklah, anggaplah kini aku tak lagi sendiri. Sebab kau
telah dengan sabar menekuri kalimatku. Kau, lagi-lagi dengan sabar menyusun
reaksi kimia di pelataran sinaps otakmu untuk merelakan beberapa informasi
sampah dalam tulisanku ini, masuk dalam memori bawah sadarmu – yang
sewaktu-waktu bisa saja keluar dan mengacaukan hidupmu. Bahwa kita kini tak
dengan diriku yang tak kusukai atau dengan dirimu yang tak pernah kukenali.
Singkat cerita, aku tidur lagi siang itu. Lalu sorenya
kudengar pintu kamarku diketuk perlahan. Membangunkanku yang lumayan sibuk
dengan pembenahan instalasi alam warasku pasca
mimpi di kedalaman jaringan neuron. Aku sempoyongan,
perlahan kubuka pintu dan kudapati ibuku tersenyum simpul satu-satu senti
seperti biasa. Membelai kepalaku. Ah, mengganggu saja.
Tapi ternyata aku salah. Kali ini beliau tak hanya
sekedar menggangguku. Tapi untuk ke sekian kalinya akan melumat-habiskan hidup
harianku. Katanya, seorang psikolog sudah kembali datang dengan setumpukan
aplikasi tes IQ. Katanya, ini jadwalnya, jadwal enam bulananku, jadwal yang tak
pernah kubuatkan lingkaran merah di kalender atau ku ingat setiap kali datang
temponya. Aku mual, dengan segala ketidakwarasan ini.
------------------
Umurku
sembilan tahun. Aku asli keturunan China.
Keturunan otak jenius professor ekonomi sosialis di Tokyo. Umurku Sembilan
tahun. Ibuku seorang pengusaha butik hebat. Ia mengambil doctoral bidang
ekonominya di Canberra, bertemu ayahku lalu mereka menikah. Umurku sembilan
tahun. Aku membaca surat cerai kedua orangtuaku. Saat itu umurku lima tahun,
masih siswi kelas dua primary school. Umurku Sembilan tahun. Dan aku
dianggap punya keterbelakangan mental.
Bagi sebagian orang aku
menggemaskan. Terutama bagi para tamu ibuku yang pecicilan mencari inspirasi
dalam mempermudah bisnisnya. Bagi sebagian orang aku menyebalkan. Terutama bagi
teman-teman sekelasku. Aku suka mengutuk mereka dengan ekspresi meyakinkan yang
ku tiru di film-film fantasi. Aku suka menjahili mereka dengan sms kutukan dan
melempari mereka dari belakang dengan pensil. Bagi sebagian orang aku amoral. Terutama bagi para guru di
sekolahku. Aku sering keluar kelas ketika mereka menulis di papan. Aku
sekali-dua kali ikut pelajaran jam olahraga dan kelas hobi, sisanya
kutinggalkan. Bagi sebagian orang aku picik dan nakal. Aku sering ke
perpustakaan dan memindah-mindahkan buku-buku yang tersusun rapi menurut skema
kepustakaan. Aku beberapa kali membohongi guru BP dan menuduh temanku dengan
berbagai alibi. Mereka tahu itu. Umurku hanya Sembilan tahun.
Aku kelas enam SD dan dua
bulan lagi tes nasionalku untuk keluar dari rutinitas sekolah dasar akan
dilangsungkan. Ibuku bilang setelah lulus dengan nilai bagus, aku tak akan lagi
dipaksa pergi ke sekolah. Aku akan menjadi dewasa dan aku akan punya lebih
banyak hal menyenangkan. Ia hanya tahu umurku Sembilan tahun tapi tak tahu
bahwa anak seumuranku tak bisa dibohongi dengan cara naïf macam itu. Semua
orang tahu, sistem pendidikan menjijikkan ini mengharuskanku hadir dalam
rutinitas belajar setidaknya sampai umurku Sembilan belas tahun. Tiga tahun
SMP, tiga tahun SMA, empat tahun di perguruan tinggi. Masih jauh dan selama itu
pula ibuku dan psikolog bodoh ini terus akan jadi momok yang menggelikan
bagiku.
Maka setumpukan buku
kuisioner memalukan hadir di penglihatanku. Inilah masa-masa penjara itu. Kata Nizami penulis Persia kuno kisah Laila
Majnun itu, lebih gila dari nuansa
serigala padang pasir mengarungi penginderaanmu, merasuki khayalanmu tentang
kecantikan duniawi, tapi itu semua bohong, kata-kata lukisan belaka. Aku
mengantuk, memaksa tidur lagi.
Apa yang biasa kau pikirkan sebelum kau pergi dari rumah?
Apa yang menurutmu biasanya dipikirkan anak umur Sembilan tahun sepertiku?
Apakah kau pikir aku cuma suka dengan keterbatasan tinggi badanku ketika harus
masuk wahana yang tak diperbolehkan selain untuk mereka yang di atas 100
sentimeter? Aku mengamuk. Di kediamanku. Menyelesaikan soal bau bangkai ini
seraya memutar balik dan melurushadapkan pikirku tanpa pola tentang wahana
halilintar dufan. Terus melakukannya sampai pukul delapan malam, lalu membuang
pensil yang telah berjasa ikut serta dalam kegilaan ini, ke arah dapur sejauh 4
meter – dengan marah.
Mungkin seharusnya aku tak pernah dilahirkan saja.
Mungkin seharusnya ayahku bukan orang luar Indonesia atau setidaknya Thionghoa Jakarta saja. Mungkin
seharusnya ibuku tak perlu mengambil beasiswa doktoralnya waktu itu. Mungkin
aku tak perlu dianggap sedikit lebih jenius dibandingkan teman sekelasku yang
bukan anak profesor dan doktor ekonomi. Mungkin arena hidup ini memang berkelindan
seperti yang dikatakan Tere Liye
dalam Rembulan Tenggelam-nya. Rupanya
aku benar butuh isian otak yang lebih bergizi lagi.
Agar hatiku lapang dan penuh bunga. Agar kebijaksanaan
tumbuh dan kedewasaan mapan bercokol dalam setiap pertimbanganku. Agar aku tak
perlu berharap jarum jam berputar ke belakang. Lalu ia berhenti pada masa
ketika aku berumur tiga sampai lima tahun, sebelum hari kutemukan selembar akte
pengadilan negeri di meja kerja ayahku. Ah, aku tak akan bicara seperti ini
lagi.
Bukankah setiap orang berhak menjadikan dirinya sutradara
dalam episode hidupnya? Tidak. Tentu saja. Kita hanyalah pion di atas papan
takdir yang berkelindan. Inilah simfoninya.
Sama sepertimu, aku juga pion-pion itu. Di antara kita,
ada pion kaca bersayap, kosong dan menyilaukan seraya terbang mengangkasa,
melewati kotak-kotak hitam-putih. Di antara kita juga pion besi yang pejal,
berat membawa dirinya, melewati satu demi satu perjalanan hitam-putih, teguh
dan menyambut ketegaran di setiap persimpangan. Di antara kita juga ada pion
air yang menguatkan, tembus cahaya dan tak pernah memakan yang lainnya,
mengalir dan melewati batas-batas kecil. Di antara kita lebih banyaknya bukan
pion kaca bersayap ataupun pion besi atau pion air. Kebanyakan kita tak
terdefinisi dan mungkin saja irisan atau perpaduan dari variable pesona,
ketegaran dan fleksibilitas. Kebanyakan kita tak tahu perkara pion-pion itu.
------------------
Beberapa saluran televisi
kabel cukup menarik bagiku. Aku suka discovery
channel, BBC, dan tentu saja, nickelodeon.
Aku tak suka film romance. Selain
karena ibuku rajin berceramah soal virus sampahan dari konstruksi nalar film romance, aku memang tak mengerti alur
logikanya. Sementara beberapa anak perempuan lain di kelasku memang gemar
bicara soal film Spanyol yang baru-baru ini di tayangkan di saluran televisi
swasta nasional. Aku samasekali tak kecewa, mereka tak tahu bahwa telah terjadi
lonjakan statistic penduduk dunia, puisi
Rendra dan Taufik Ismail, kekeringan di Afrika dan perang di kawasan Timur Tengah,
bombardir AS atas Irak, atau tentang Patrick yang ternyata hanya disukai Gary
berkat sepotong kue di kantong celananya. Kata ibuku, pengetahuan seperti itu
lebih mapan dan lebih berguna daripada hafalan kisah cinta picisan.
Aku jadi ingat. Beberapa tahun
yang lalu aku sempat juga penasaran soal Romeo dan Juliet. Ibuku bilang itu
pengetahuan orang dewasa. Tapi ayahku Cuma tertawa geli waktu itu,
menggendongku, lalu ditanyainya aku, “darimana kau dapatkan informasi mahal
semacam itu?”. Kulihat ibuku masam, seakan tahu ada hal menjengkelkan yang akan
dihadapinya. Ya, setelah itu selama semingguan aku Cuma sibuk menghabiskan
bacaan naskah drama shakespare 1778 dan kumpulan puisi Schumann yang diberikan
ayahku. Sejak saat itu, aku tahu banyak mengenai “pengetahuan orang dewasa yang
mahal itu” – sebuah simpulan yang ku-ambil dari definan kedua orangtuaku. Aku
lumayan pintar untuk anak yang rata-rata lebih tua dua tahun dariku waktu itu,
kata ayahku. Aku percaya saja, tak tahu itu pujian atau kebanggaannya atas diri
pribadinya.
Maka ketika seekor burung
bersikeras mematuki jendela kaca kamarku, aku kembali terbangun dari lamunanku
di meja belajar. Aku masih sendirian. Mengetahui bahwa aku kini tak suka berdua
denganmu. Dengan tanpa diriku yang tak kusukai juga dirimu yang tak pernah ku
kenali. Kita hentikan saja celotehan ini sampai disini. Aku masih menulis.
Masih dengan pena yang tidak tiba-tiba bisa bicara.
Ya, umurku Sembilan tahun.
Tak bergerak dalam dinamisasi luaranku. Umurku sembilan tahun. Terlalu banyak
berkata ‘aku’. Aku jadi potret penduduk ke-aku-anku. Dan aku sendiri, tak suka
kesendirianku lagi. Umurku Sembilan tahun. Aku orang buangan dari perspektif
diriku sendiri. Umurku Sembilan tahun. Dimarahi hati kecilku, memaksa burung
merpati itu bicara padaku, mengertikah kau?
keren mbaak :)
ReplyDeletebenar2 anak 9tahun yg jenius!!!
ini imajinasi aja kok dek, bukan aku :)
ReplyDeleteseems like, it's you
ReplyDeleteImajinasi, kadang ketika susah bertanya saya mengganti pernyataan itu dengan tambahan tanda tanya. hehe
ReplyDeletesad little girl, ii'm feel sorry for her :'(
ReplyDelete