Kumulai setiap goresan dengan satu kesakitan. Bahwasanya hitam yang mencintai putih adalah tanda telah menistainya pula. Ketika kumulai setiap goresan dengan penghabisan. Sebabnya tinta akan sirna usai dibenamkannya ke laksa cita dan akan patah batangan usai diserahkannya semua dayanya. Ya, aku memulainya, atas sebuah dilematika yang tak tergambarkan oleh pesona. Seketika itu merana, sebab goresan dengan penistaannya, meracau demi akaran logika bahwa ia juga jadi penghabisan permulaannya.
Entah, bening yang dirajut di sepersekian inchinya saat harus memilih dunia atau keutuhan dirinya. Entah, laut yang meringis di setiap pergerakannya saat harus bercita-cita mengenai tenang atau kematian pribadinya. Dan aku bungkam, menerima sakit dan penghabisan permulaaannya, di tiap selipan kata dan keragu-raguannya.
Sempurna, bukankah cemeti jadi alat untuk melarikan diri? Ketika sampai di hatinya, sampai jauh pergi fungsi presisi dari peruntukkannya. Sempurna, bukankah tujuan jadi alat untuk menyembunyikan hati? Ketika sampai di kepergiannya, menyalip silang dalam perlombaan putarnya dengan relevansi zaman. Ah, setia, rumusan macam apalagi dia?
Maka akhir yang mengagumkan jadi penerimaannya atas perujungan sakit dan penghabisannya, bukan?
No comments:
Post a Comment