“Setiap pergerakan jantung kita, pastilah dihitung
sebagai materi pertanggungjawaban di yaumul akhir nanti.” Ujarnya fasih.
Sementara aku masih meneruskan langkahku menemaninya bicara di sepanjang perjalanan
kami menuju kantin. Mengangguk saja, itu sudah cukup untuk memastikan ia tetap stand by dengan seuntaian kalimat
nasehatnya yang – sebenarnya – sudah cukup membuat telingaku resisten.
Tadi memang kelas agama Islam dan secara langsung, mata
pelajaran itu memang selalu mengaktivasi segelontoran materi pesantrenan yang –
mungkin – jadi konten utama syaraf-syaraf sinaps otaknya. Aku memang tak selalu
tertarik dengan bahasan yang diterbitkan dari suara bersihnya yang teduh itu,
tapi aku selalu suka membuntutinya seraya bertingkah high class sebagai satu-satunya
anak perempuan yang bisa mendapat pengajaran langsung darinya. Hehe… Seakan aku
anak paling berbakat di sekolah sehingga bisa berdekatan dengan anak 12 tahun
sekeren dia.
Entahlah, atau mungkin aku memang hanya membohongi diri
sendiri saja. Waktu itu umurku baru sepuluh tahun dan aku samasekali belum
mengerti hal-hal seputar pubertas. Terlebih di latarbelakang lingkunganku yang
tak pernah menyindir-nyindir soal ‘hal itu’. Aku waktu itu mungkin hanya
sekedar masih terbius dengan kata friendship
yang diucapkannya dua minggu sebelumnya. I
just am thinking that he was the first ever after, yeah! Just like I said,
finally, there’s somebody needs me to be his friend, hoaah J
Ya, tapi memang kuakui, aku sekedar suka membuntutinya
begitu, selain materi pesantrenan gratis yang pasti kudapatkan, suaranya memang
bagus untuk menyejukkan lapisan gendang telingaku yang mungkin sering meringis
akibat suara teriakan mama dari lantai bawah waktu memanggilku sarapan atau
suara Gerald Way yang sering kuputar volume maksimal di sound system kamarku. Ia begitu patut dirindukan, dan mengatakan
itu membuatku ingat bahwa ia juga gemar mengatakan bahwa aku memang patut
dirindukan. Waktu itu, waktu segalanya masih begitu permulaan.
Ia sangat menjaga batasan interaksinya dengan anak-anak
perempuan di kelas atau bahkan seluruh anak perempuan di sekolah, di seluuuuuuuuuruh
duniaaaaaaaaaaaa. Hmm… bukan mahram katanya. Tapi denganku? Lagi-lagi, aku
memang masih berumur sepuluh tahun waktu itu dan tak mengerti benar adanya
hal-hal semacam itu. Katanya, aku ini adiknya yang supercerdas. Heaah…
sebenarnya aku tak terlalu suka dibilang cerdas tapi untuk sekedar membuatnya stand by tersenyum seperti itu, aku ikhlas-ikhlas saja-lah. Tak ada lagi
yang begitu baik hati mengatakan friendship
waktu kutanya dengan sinis yang niscaya ayahku-pun akan bergidik ngeri dan
melakukan apapun yang kuperintahkan. Ya, lagi-lagi, he was the first ever after, and I believe he have something more than
everyone having, inside his eyes, seems like a very-very gold bravo! I just
tried.
Saat aku berumur limabelas tahun aku baru memahami apa
yang sebenarnya dimiliki seorang ia yang begitu ‘perfect’ di mataku. Ia punya kekuatan ruhiyah. Iya, sebuah kekuatan
ruh yang pastinya saat itu mengungguliku yang hanya lulusan boarding school katholik di pusat kota. Ia telah terdidik sebagai seorang
hafidz qur’an dan berbicara lembut tanpa bising pengiringan nuansa yang
memenjara – seperti yang kudengar dari selainnya selama ini.
Gila, aku baru mendapatkan jawabannya lima tahun sejak
kutanyakan itu padanya. Sebuah jawaban dari pertanyaan lawas yang hanya dijawab
senyum geli si narasumber.
“Bid, bid, kenapa ya aku nggak berani ngomelin kamu kayak
aku ngomelin orang-orang di rumah dan kantor mama ku? Terus kenapa juga ya, kok
aku jadi nggak bandel dan nurut aja waktu kamu suruh ini-itu?” begitu bodohnya
aku bertanya di hadapan dua piring siomay di kantin sekolah kami waktu itu.
Tapi ia memang bukan
malaikat yang tak punya kekeliruan. Justru mengangkatku menjadi satu-satunya
anak perempuan yang berani diajaknya makan bareng
ke kantin, ngaji di kakeknya, main ke dufan, dibelikan apapun yang ku mau,
membelaku di pertengkaran sepele – termasuk – mengajariku bermacam pemahaman
keIslaman adalah sebuah investasi kesalahan fatalnya yang paling fatal. Sebab
ketika kami sama-sama beranjak dari umur 12 dan 10 tahun itu, segalanya berubah
dan tak lagi jadi senyaman sebelumnya.
Entah, aku memang masih
juga tak banyak mengerti, tapi kepulangannya setelah dua tahun ke madinah dan
tak menghubungiku sama sekali selama itu, sudah cukup menyentakku hingga
ketar-ketir bukan karuan. Waktu itu aku masih juga belum dewasa – mungkin saat
ini juga. Ia tentu saja sudah punya janggut tipis yang – katanya – memang
sengaja dipeliharanya. Suaranya sudah tak lagi se-datar dulu dan aku jadi
sedikit ngeri untuk sekedar menerima
deringan namanya di layar handphoneku.
Setelah tragedi mendatangi ibuku dan di tolak mentah-mentah (yaiyalah –“), ia
malah mengatakan bahwa beberapa tahun lagi akan kembali mendatangi rumahku.
Habis itu, terbang lagi ke madinah dan – untuk kedua kalinya – tak
menghubungiku selama itu juga.
Ah, aku sakit bukan main.
Dalam kurun dua bulan lebih mengonsumsi paracetamol dan antibiotic prasangka
dokter – hingga ku pikir aku akan segera mati overdosis. Sampai-sampai ayahku
yang sedingin itu terbang ke Indonesia sembari mengomeli ibuku, mengatakan
bahwa ia tak becus mengurusku. Padahal, mereka berdua sama tak becusnya!
Mungkin
aku memang tak pantas juga mengatakannya. Dan mengatakan semuanya. Dengan
sebuah benar yang sungguh sebenar-benarnya, ini mungkin memang sebuah jalinan
cerita yang begitu banyak mendidikku hingga saat ini. Ya, dari boarding school katholik – yang walaupun aku selalu membuat keonaran dengan
menanyakan hal-hal bodoh berbau kesangsian terhadap doktrin pastur disana –
mungkin aku tak akan jadi diriku yang dapat menulis ini bila ia tak melakukan
kekeliruan fatal itu. Atau bahkan Allah memang sengaja mengalirkan setting skenario berikut tindakan-tindakan penuh makna para aktor-aktornya,
yang walaupun itu adalah sebuah kesalahan dalam muamalah hati. Ya, kembali pada
Allah selalu jadi jawaban terangnya.
Sementara
kenyataan bahwa saat ini ia telah tiada dan tak akan datang ke rumahku lagi
adalah sebuah pengajaran yang begitu berarti bagiku. Sebuah katalisasi diri
yang memurnikan niat hijrahku selama ini, walaupun disorientasi itu baru saja
kualami sejak latah ikutan puber bareng
anak-anak sweet seventeen di kelas dua SMA waktu itu. Haha kukira aku baru saja
memastikan bahwa aku memang belum lagi dewasa untuk ber-bijaksana ria.
Bahwasanya
ia pula pergi dengan sebuah rekahan senyum memesona yang begitu kukagumi. Pula
atas kemantapan hatinya usai berdiskusi denganku. Pula atas kata-kata manis
sebelum berangkatnya. Dan perjumpaan yang panjang di pembukaan 2010. Dan
seorang bayi mungil yang diajarinya memanggilku amah. J
Ya,
Allah oleh sebab rahmatMu kami berIslam. Pula dengannya kami akan mati penuh
kerinduan terhadap kampung bapak kami, ‘adam alaihis salam. Ya, Allah sungguh
salam malaikat mengiring para syahid di surgaMu, maka sempurnakanlah kenikmatan
syahidnya. Kenikmatan syahid yang merasuki relung-relung jantung kami, membuka
peluang bagi kami untuk menjadikan untaian generasi syahid berikutnya.
Berkahilah, sempurnakanlah. Bi idznillah yaa Rabb, aamiin insyaAllah.
finally, saya menikmati dan memahami tulisan anda :)
ReplyDeleteselamat menyaring hal hal yang perlu dan yang tidak :)