Intelektualitas
merupakan suatu syarat mufakat bagi tendensi kehidupan dan setiap
pergerakannya. Intelektualitas pula menjadi aksidensi pembeda yang menemui
titik strategisnya dalam penyempurnaan klausul seorang pemuda. Sederetan nama
universitas ternama sejatinya adalah suatu polis yang sengaja disetting bagi
pemakmuran intelektualitas. Pula berjuta-juta penemuan dan dialektika premis
sosial merupakan narasi kesejarahan dari pergumulan intelektualitas. Maka
keberadaan kaum intelektual asasinya telah menjadi suatu syarat mufakat
berdirinya peradaban yang cemerlang juga kebangsaan yang masif-berkembang.
Indonesia di tengah
carut marut dan pesimisme obrolan kaum bapak di warung-warung kopi rupanya
bukanlah bangsa yang miskin kuantitatif intelektual muda. Perakaran pergerakan
kaum intelektual Boedi Oetomo telah meletuskan semangat membara layaknya sumpah
Palapa Gadjah Mada. Kala itu mereka bukan orang-orang biasa, tapi kumpulan
intelektual muda yang bertemu akaran nalar sistematisasinya dalam rangka
mengubah dunia! Pemuda dan intelektualitasnya, secara langsung telah menemui
kesetaraan klausula berikut sinergitas matang sebuah narasi panjang kebangunan
pemikiran dan penghidupannya.
Indonesia di tengah
nuansa saling rebut dan rumah-rumah kardus di Ibu Kota rupanya juga bukan
bangsa yang secara kualitatif miskin intelektualitas. Ketika kemerdekaan di
suarakan di jalan dan koran, saat itu pula akulturasi philos kebangsaan
mengerucut dalam rangka menuntaskan perspektif kenegaraan. Hingga dalam
berbagai sudut dan pergulatannya, Soekarno memunculkan satu ekstase politiknya
yang paling fenomenal, NASAKOM. Suatu manuver yang pada putusan akhirnya juga
tak mampu membendung aliran deras para pemikir tingkat negara. Sebab
ke-bhinekaan ini bukan hanya soal bahasa, nyanyi dan tari semata. Ini soal arah
kebulatan menjadi Indonesia, kerat intelektualitas yang begitu kaya warna.
Dalam pada itu,
mafhum-lah kita akan problematika perkara intelektualitas yang belum lagi
menemui titik terang tumpuan energi dan dinamisasinya. Carut marut vertikal
horizontal yang mengundang pesimisme obrolan warung kopi ataupun nuansa saling
rebut yang mencipta kaum marjinal rumah-rumah kardus rupanya bukan karena
kekurangan kadar intelektualitas bangsa. Ini masalah lupa. Kelupaan yang
menjamuri setiap gerak dan langkah percita-citaan kenegaraan yang sudah tanpa
nyawa. Kelupaan yang pada titik nadirnya memenjarakan kita pada arah gerak
bangsa yang sehat bergelora, BERANI menentukan ketinggian asumsi dirinya
sendiri.
Kita tentu tak akan
pernah bisa diam di rumah untuk duduk menunggui bencana datang akibat kejumudan
massal bangsa raksasa ini. Atau terus berkutat di meja-meja kuliah untuk
mendengar celotehan para dosen yang juga habis jiwa. Sejatinya kita akan bisa
mengulang sejarah kemenangan. Sejatinya itikad suatu kaum akan di-amini sebagai
doa yang kontan termanifestasi.
Sekolah Intelektual
Muda akan hadir bersama semangat tentang intelektulitas yang ranum pudar di
percabangan akar nalar yang hilang. Demi membangkitkan nyawa dan jiwa di
tiap-tiap ruang. Merangkulkan jejakan idealismenya untuk anak bangsa yang butuh
nutrisi paling sehat mengenai pergerakan, percita-citaan dan penemuannya dengan
dialektika kesejarahan yang tak patut untuk dilupakan, sebuah narasi
kemenangan!
Terlahir dari lorong
kampus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Pemikiran untuk pertama kalinya
tercetuskan adanya Sekolah Intelektual Muda rupanya tak akan bisa di mampatkan
kembali. Sebab pemuda adalah kita dan legist constituendumnya ialah
intelektualitas yang terjiwai dalam tiap-tiap ruang dan lorong Nusantara Raya.
No comments:
Post a Comment