Apa yang kira-kira terpikirkan olehmu atas lembutan awan terbang yang hitam menghunjam. Seakan kau yakin di baliknya ada hujan, pula potensi getaran petir dan positif negatif muatannya. Sebab kini ia tak merasa lagi sebagai dirinya. Bagian dari entitasme dan frekuensi lamda mutlaknya. Warna-warna akhir dari cahaya, katanya akhiran dari tak ada cahaya. Awan yang hitam menghunjam, meracau dalam bait kelam soal malam, tak ada lagi yang lainnya.
Maka narasimua tentang bintang-bintang adalah kedurhakaan paling dalam yang sampai-sampai jemarimu mendustakan petaka di balik tersungkurnya awan-awan yang menitiskan hujan. Menghitung detak, detik dan ketukan jadi simfoni penuh arti. Awan hitam yang jadi dirinya. Bukan narasimu yang serta merta membuatnya terbang sebagai langit-langit, langit paling langit, langit-langit.
Temukan jatidirinya sebagai serpihan yang berarak dan menghilang. Untuk berpisah dan menemukan medium eternitasnya. Untuk sempurna dan mengalirkan uapnya. Untuk jadi dirinya. Untuk berpisah dan menemukan yang lainnya.
Saat bilangan kaca menampilkan sosok pudar warnanya. Dan tak ada cahaya, panjang lamda dari ketiadaan sempurnanya prisma merah senja, warna-warna akhirannya, berbaur jadi dirinya.
Aiiiih, gila durjana.
Sesempitnya nalar mempertalikan paradoksal dan dilema kolosal. Sejauhnya nuansa menyembuhkan fakta dari otoritas independensinya. Tanpa nyawa, berdiri jadi dirinya. Tanpa hikmah, berarak untuk menghilang dan menemukan medium eternitasnya, begitu saja. Tanpa hati, tak temukan warna-warna akhiran cahaya. Kerdil mendefinisi hitamnya. Sendiri merangkulkan lembutannya. Parsialisasi komunal frekuensi panjang cahaya. Di tepian. Untuk berpisah dan menyempurnakan.
No comments:
Post a Comment