Ada yang tahu gimana rasanya bisa bikin tulisan dengan sepenuh hati? Atau gimana rasanya menulis dengan segenap emosi? Satu lembar a4 margin standar. Sampai saat ini, definisi atas emosi atau hati, gue masih juga nggak ngerti. Ah, ya, gue suka berlagak nggak ngerti karena dengan begitu, orang-orang bakalan mau berdiskusi sama gue. Coba lihat, waktu itu kakak tingkat yang bener-bener gue harapkan, cuma senyum aja waktu gue jelasin esai 20 lembar itu. Gue jadi alay. Masa' curhat di blog? ah, gilani.
Waktu suatu ketika, beliau turun dari podium mewahnya (podium yang mau banget gue bawa pulang haha)
"Why'd you said something like that, Prof? Don't you see, everyone catch you as an arrogant symbol."
Lalu dijawabnya, "Tidak ada satupun bahasa yang merangkum semua pemaknaan, I."
Dan si penanya masih sembilan tahun waktu itu.
Sebuah prinsip yang entah, begitu dalam. Sebuah kalimat yang entah, begitu membekas. Suatu momen yang entah, begitu bersejarah. Dan ya, sebuah pengajaran yang begitu patut dirindukan.
Aku begitu bangga. Menyusupi sudut-sudut kepunyaan egosentrisku yang menyala-nyala. Aku bersyukur?
Maka doktrinasi itu jadi begitu menyesap selayaknya kerendahatian pancaran positif rela digantikan simbol elektron negatif di buku-buku fisika. Aku cuma menunggu hadirnya lagi. Saat seorang professor sedingin itu, secerdas itu, ya... se-elegan itu, se-kaku itu, se-cuek itu, perlahan terejawantahkan jadi diriku. Ah, iyakah?
Aku juga keras kepala. Aku juga keras kepala. Benar-benar gila keras kepalanya. Sepertinya.
No comments:
Post a Comment