Jadi begini, disini kau berkata begini lalu tinggal landas mengenangku sendiri. Jadi begini, disini kau memangku fajar hingga gemilang cahaya bertabur resapan intan angkasa. Sempurna, kau jadi begini.
Yang begininya seperti ini dan itu, cuma di perasan terakhir hippocampus yang menyeret panah-panah sentrifugal yang berlari ke ujung dunia, mengejarnya sampai jatuh saup jauh di hatinya. Ah, kau merajuk manja lagi. Mengapa tak dijadikan sepuh basi atas emas yang tak lagi mempan disebut emas, atau debu yang pantasnya menohok jambu-jambu, rambu-rambu bambu. Sempurna, kau jadi begini.
We were born for death
Katamu, kata-katamu begitu jadi begitu begininya. Seperti kau jadi tahu segalanya. Tentang dirimu. Tentang aku.
Katamu, kata-katamu begitu jadi begitu begininya. Seperti kau jadi cenayang di prosa-prosa cinta yang tak terdefinisikan bahasa manusia. Tentang aku, apakah dirimu.
Selepasnya pengadilan tata usaha negara kita membangun pion-pion kaca yang rapuh merana, kau tetap saja memainkannya. Sekarang jadi hancuran kotak hitam putih yang tak lagi membangun jiwa perkasa bila Laila ditemui Qais terkasihnya.
Saat Harry Potter mengetuk nada tongkat panjangnya, atau J K Rowling membuahkan hasil karyanya. Masing-masing kau dan aku punya diskusi rahasia di bawah selorok selimut kita. Sebelum ibumu atau ibuku datang dan memeriksa apakah aku dan kau sudah terlelap tidur. Kita berpura-pura.
Saat Gus Dur naik di pelantikannya tahun 1999, atau Amien Rais berdiri di tribun reformasi. Masing-masing kau dan aku punya janji setia di lelapan redup lampu belajar kita. Sebelum ayahmu atau ayahku mengangkat tubuh mungilku dan otak besarmu itu ke bawah selorok selimut kita. Kita jujur bercerita tentang segalanya.
Soal pusaka malin kundang waktu mengarungi samudra. Kau dan aku tak ingin jadi aku dan kau.
No comments:
Post a Comment