Monday, July 18, 2011

Sesekali

Sesekali kumasuki lukisan dalam hangus biasan kisahmu yang kemarin sore. Aku tak tahu bahwa begitu masif kata-kata dalam perspektif cerdasmu itu. Katanya kau begitu manis. Katanya kau begitu menyenangkan. Katanya, kata-katamu dapat kuputar ulang sesekali dalam mimpi.
Kawan aku kalut dalam bingkai bunyi perkutut. Bercicit sendiri di luaran hati yang mati. Seakan nyatanya diri terbang tanpa alir udara. Terlebih ruasan tulang jantungku mendadak kaku kerdil. Jadi busa bagi bisa kebisaannya. Mengerikan, aku cuma jadi nyanyian di keping soremu yang mengawan jauh.
Kawan kau yakinkan aku tentang sihir hermeneutika yang kembali menyegarkan nafas udaraku. Sesore yang sesekali. Sesore yang terlambatnya hingga pukul duabelas malam nanti. Fajar subuh yang mengembun basah di pelupuk irisan hati.
Kawan kawan-kawanku. Kau hanya kawan-kawanku. Kawan yang bahkan kawanannya tak ada padaku. Sesekali di kawan-kawan yang berpulang sesore yang hilang.

.........
Awan sore masih bercanda denganku. Beriringan membelakangi tawa para bidadari surga fana, seakan tak tertarik pada bicaraku tentang nuansa dunia. Ah, aku mulai berpuisi lagi, menerbangkan kata-kataku di seluasan rumput halaman belakang rumahku yang baru saja dipangkas. Masih membaringkan diriku sepenuhnya, membiarkan kedua tangan dan kakiku bersejajar mengikuti alur uratnya. Keadaan seperti ini, mengingatkanku akan episode squidward yang tertimpa rumah nanas spongebob, haha.
Beginilah cita ketika kau bersemai dalam gubukan tanah keringnya, sekedar basa-basi mulutmu bicara, menunggui seseorang yang mungkin lupa sekarang kau kelas berapa. Seseorang yang kau cinta. Ya, bukan kau, tapi aku. Ibuku. Yang polesan lipstiknya ungu muda, make upnya tipis-tipis menyala. Aku tak bisa mendeskripsikan bentukannya lagi, sama seperti aku tak mengerti sekian lembar kertas bukti transaksi kosmetik bulanannya. Ya, aku. Bukan kau. Ibuku. Bukan ibumu!
Terkadang kau, ya, maksudku, aku harus tahu bahwa arogansi awan sore tak pernah sejahat terbitnya bulan setelahnya. Aku pernah tahu sedikit, senja kata para penyair yang di atas langit itu berarti perpisahan. Perpisahan tak pernah terlalu menyakitkan, tapi aroma setelah itu yang menyakitkan. Kukira seharusnya konversi senja pada perpisahan itu harus ditilik ulang kembali, atau meneleponku untuk ikut berdiskusi. Ha.. ha.. ha.. Disaat seperti ini, maklumilah, setan memang sering kali merayu dengan angan-angan yang begitu fantantis, Gila, sinis!

No comments:

Post a Comment