Kadang kesombongan memang jadi momok yang begitu menjeramu dengan begitu hinanya. Liar menjamu di rumah-rumah setan-setan yang binasa terbinasakan. Jauh dari rahmat pula rahiim yang dimimpikan jejak kaki Hawa ketika diturunkannya ke tanah.
Aiih gila merajalela. Pula tak ada transliterasi bahasa mutlaknya. Yang kau pikir sempurna bagi tendensi kata-katamu waktu itu. Sebelum jadi bunga di tepian jelanta, lalu lalang ilalang terbang. Mengawan seadanya basi yang disegarkan. Pilihan.
Dan aku ingin pulang, sejatinya kepergian yang hanya jalan yang sampai di penghujung rantai. Dengan berwibawa tak membawa apa-apa.
Dan aku ingin pulang, sejatinya perjalanan hanya perginya induk di pagi hari. Dengan tenang tanpa risi bising suara siapa-siapa.
Dan aku ingin pulang, sejatinya datang ialah mengucap salam dan penuh senyum bangga orangtuaku. Walau tak begitu, walaupun begitu jauhnya dari mimpinya alam-alam nyata.
Biarkan mereka terkesan, terkesan dengan kosong binaranmu. Lalu kau bisa pulang tanpa apapun di sisianmu, tanpa pula suara dan senyum bangga itu.
Sebab biasannya tak lagi jadi seindah prisma mata air cinta. Sebab bengkoknya tak terluruskan di nyanyi belalang dan konser semut jangkriknya. Sekedarnya saja.
No comments:
Post a Comment