Monday, April 4, 2011

Acute

Embunan dinding hatiku perlahan luruh. Seakan terjebak dalam ruang jendela kaca yang terbuka, yang kau lihat di kedalamannya hanya memantulkan kerlipan panas menyilaukan. Lalu aku disana, di ruang jendela kaca yang terbuka.
Seakan kau menutupnya seraya tersenyum culas, kau katakan, "tunggu."
Ya, tega benar dirimu itu.

Dan aku gila. Bisa jadi gantungan hias lapangan bola di sudut matamu. Hijaukah?
Pernah kumasuki ilusi yang ini sebelumnya. Ketika katanya, "you, are, you"
Dan aku munafik. Terayunkan puisi obsesi yang ditelan hijab fakta dirimu. Seringnya kugenggam erat tanganmu, seringnya aku tahu, bahwa aku tak perlu memberitahumu. Bahwa aku kalut. Bahwa aku, disengat putus asaku dalam bingkisan salut.
Dan aku, ya, dan aku kini jatuh berdebam di tanah merah. Tanah yang kataku, sempurna. Tanah yang kataku, nada. Tanah yang kataku, ya, kini kataku, hanya kata.

Kata-kata murahan dari hinaan orang yang berlari dari keterusirannya. Kata-kata sampahan dari sentrisme otak paling terbelakang yang mencari labuhan kepergiannya. Kata-kata buangan dari jiwa yang sakit tanpa obat mencari kejauhan belantaranya.

Dan aku berbeda. Ya, kaupun tahu bahwa dia juga berbeda.
Beda-beda hantuan semu belaka. Beda-beda keruh cairan kosong semata. Beda-beda anyiran selimut dingin malam serasah!

Berdecit, derum hatiku. Mengikis jadi selembar logam baja. Keras.
Lalu aku menatapmu, menusukkan pedang-pedang paling tajam dari mataku.

Dan aku ingin perang. Melawan pedang-pedang paling tajam dari mataku.
Tolong aku, maafkanlah !

No comments:

Post a Comment