Wednesday, April 13, 2011

Demanding

Biasan hujan mengalirkan warna suaranya lagi hari ini, kawan. Sementara aku masih bergidik ngeri, jijik!
Kau lihatkah, di sudut sana, kerlip bintang tak lagi memunculkan sinarannya malam nanti. Bulan cemara tak tampilkan keteduhan prismanya di locus-locus mimpi.

Ya, kau tentu tak akan bisa melihatnya. Sebab kita jauh. Sebab itu tentang malam nanti. Ya, itu tentang MIMPI!

Halaah... kau pasti tahu, bahwa paradoks selalu tampil dengan kotom yang mengesankan. Ini basah, ini kering. Persepsi belaka. Sementara aku selalu temukan lembab di gudang-gudang cucian otakku. Setengah, bohong sampai ke akar-akar.

Kau juga pasti pernah mendengar nada serasah daunan kering di pelataran sekolah kita dulu. Sebab dulu kita bersama, sebab dulu kita sengaja. Kau, nikmatilah pucuk-pucuk kata berharga. Karena bagiku kau begitu sempurna.

Kawan, katamu masa depan begitu indah. Kurasa kini, jika kau katakan lagi, inilah masa depan. Terlalu muda, kawan, terlalu muda. Sebab kita terpisah, sebab kita tak sengaja. Kau, nikmatilah lagu cinta dari bisikan bersahaja bulan malam nanti. Karena bagiku perputarannya begitu mewah. Seperti penerjemahan bahasa sederhanamu yang indah.

Lalu aku jadikan sabit setengah temaram di lelapan tidurku malam nanti. Hangat. Di pojok ruang itu, kawan. Kita akan kembali mengangkasa bersama.
Sebab itu nanti. Sebab itu malam ini. Sebab itu dalam yang termimpikan kembali.

1 comment: