Monday, April 4, 2011

Konstitusionalisme UU Koalisi

Konstitusionalisme UU Koalisi
Sebuah Tinjauan Positivis Constituendum

Oleh: Mira Fajriyah

“A Constitution is not the act of government but the people constituting a government” Thomas Paine
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang menegara dengan kompleksitasnya. Termasuk dalam hal hukum dari berbagai seginya. Sebab jika terkatakan hukum merupakan unifikasi norma bagi penertiban hidup bersama maka sangat otomatis, ke-bhineka-an bangsa ini adalah semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Unifikasi kehukuman RI tertata dalam hierarki perundang-undangan pasal 7 UU no 10 tahun 2004. Lima wujud hukum yang tercantum antara lain, UUD NRI 1945, dilanjutkan UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Lalu munculah pertanyaan, dimanakah konstitusi? Lalu bagaimana perhubungannya dengan penyelesaian kasus-kasus politik yang tak tercakup legitimasi formil?
Mungkin karena KUHP dan KUHPer yang belum di-reformasi total, paradigma hukum nasional yang mengemuka di kalangan sebagian mahasiswa hukum berbunyi, RI adalah penganut civil law system yang setia. Sementara menurut kami paradigma tersebut samasekali tak berlaku bagi kehidupan ketatanegaraan yang dinamis. Sebab pertanyaan di atas hanya bisa dijawab melalui analisis yang komperhensif mengingat rumusan jawabannya merupakan wujud representatif sebuah persepsi yang di-insyafi tiap-tiap warga negara, terutama pada akademisi dan praktisi hukum serta pejabat pemerintahan dan pelaku politik kenegaraan. Selain itu, paradigma yang keliru itu juga akan menyebabkan kita terburu-buru mendefinisi UUD NRI 1945 sebagai konstitusi paripurna sementara dinamika hukum telah mencapai kulminasi keterbutuhannya di tengah fakta bahwa, ke-bhineka-an bangsa ini memang semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Hal ini ditandai dengan legitimasi pluralisme dalam satu bentuk perundang-undangan yang bukanlah hal baru, satu di antaranya, UU no 1 tahun 1974. Maka dalam hal ini, patutlah dipahami bahwa konstitusi adalah rumusan rel constituendum sekaligus cerminan keterbutuhan politis dan yuris yang sifatnya constitutum.
Tinjauan positif yang dimaksudkan disini merupakan konotasi diksi “konkret, constitutum, pertimbangan pragmatis-realistis, representasi umum”. Sementara constituendum adalah padanan, “masa depan, cita-cita, pertimbangan idiil dan abstraksi”. Keduanya kami kedepankan sebagai perspektif analisis kami terhadap relevansi UU koalisi terhadap nilai konstitusi RI.

A. Konstitusi

Konstitusi secara positif dimaknai dalam dua ruang pengertian, yakni luas dan sempit. Dalam artian sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) yang merupakan suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Sementara dalam artian luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menuliskan, “dalam bahasa Inggris dan Amerika tidak tersedia kata yang tepat untuk menggambarkan perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar sebagaimana perbedaan antara kedua pengerian ini dalam bahasa Jerman, Belanda, Prancis dan negara-negara eropa kontinental lainnya.” Maka dapatlah ditarik suatu klausul bahwa kemunculan rumusan definisi konstitusi dalam ruang sempit dan luas merupakan salahsatu impact dari paradigma kehukuman bangsa civil law dan common law.
Sementara Carl Schmitt memberikan rumusan yang lebih kompleks dalam pendefinisian konstitusi dengan jalan klasifikasi (pembagian). Menurutnya, pemaknaan konstitusi dapat dibagi dalam empat kotom dasar yang dua dari kotom tersebut terbagi lagi menjadi empat dan dua klas baru. Secara konkret, pembagiannya meliputi, konstitusi dalam arti absolut sebagai cermin de reele machtsfactoren, konstitusi dalam arti absolut sebagai vorm der vormen, konstitusi dalam arti absolut sebagai factor integratie, konstitusi dalam arti absolut sebagai norm der normen, konstitusi dalam arti relatif sebagai konstitusi dalam arti formil, konstitusi dalam arti relatif sebagai tuntutan segolongan borjuis, konstitusi dalam arti positif, dan konstitusi dalam arti ideal.
Maka, kembali dalam konteks Indonesia kita dipertemukan bahwa dogma kodifikasi yang menyebabkan kelahiran UUD NRI 1945 bukanlah sesuatu yang mutlak. Pemahaman para ahli mengenai konstitusi telah membawa kita pada persepsi bahwa pada intinya konstitusi tertulis hanyalah satu dari aksidensi konstitusi itu sendiri. Sementara esensinya tetaplah sebagai dasar untuk percabangan produk hukum yang selanjutnya.

B. Sifat Konstitusi

Formil dan materiil
Formil berarti tertulis sementara materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Rigid dan flexibel
Rigid berarti kaku sulit untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare
Menurut James Bryce, ciri flexibel :
a. Elastis
b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.
Tertulis dan tidak tertulis

C. Tujuan Konstitusi

Secara umum, hukum telah dimaknai sebagai produk yang mengusung tiga tujuan utama, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Maka, konstitusi yang merupakan bagian pokok dari hukum itu juga memiliki tujuan yang sama. Perhubungan semacam ini juga terterapkan dengan pandangan beberapa sarjana yang merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional sebab negara merupakan perwujudan aplikasi rumus konstitusi.

E. Kasus Koalisi

Koalisi merupakan kata umum untuk menjelaskan suatu unitas yang terikat. Koalisi yang dimaksud disini adalah persatuan atau perikatan partai politik dalam ketatanegaraan RI secara positif. Secara umum, penggolongan partai politik saat ini dapat dibagi dua, yakni partai koalisi kabinet pemerintahan dan partai oposisi yang tidak duduk dalam eksekutif.
Bukan samasekali naif jika dikatakan bahwa politik merupakan akaran dari prosesi ketatanegaraan ini. Bahkan dalam suatu model ilustrasi, politik adalah daging yang membalut segala praktek HTN, HAN dan lainnya. Koalisi merupakan salahsatu konsekuensi sistem presidensial multipartai yang kini dibumikan di Republik Indonesia. Tak ada yang salah dengan koalisi. Sebab pasal 6A UUD 1945 telah mengisyaratkan kebolehannya dengan redaksi yang amat ramping, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Namun kembali pada konteks pencapaian tujuan negara konstitusional Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, koalisi telah menimbulkan semacam gejolak di kalangan elite politisi. Koalisi telah dirujuk sebagai benda berinti loyalitas yang tanpa inti tak ada lagi. Koalisi telah di anggap membuka sendiri kebusukan catur perpolitikan. Hingga wacana penerbitan UU koalisi pun merebak di media. Jafar Hafsah, Ketua Fraksi Demokrat menganggap pembelotan yang dilakukan kader mitra koalisinya pada rapat pemutusan angket mafia hukum adalah salahsatu kasus utama penyebab perlunya penerbitan UU koalisi tersebut.
Alasan itu kami kira tak ada sangkut pautnya samasekali dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil. Maka akanah konstitusional penerbitan UU koalisi tersebut?
Pada dasarnya ketika kembali pada kajian formil, UU di bawah UUD NRI 1945 haruslah merupakan proyek mandat langsung dari poin perundang-undangan di atasnya. Lalu dalam kajian materiil, hukum haruslah memenuhi landasan tujuan bagi kehadirannya, seperti yang sudah diketengahkan, setidaknya memenuhi tiga unsur tujuan hukum.Sementara alasan pembuatan UU Koalisi ini samasekali tak ada sangkut pautnya dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil.

F. Konklusi

Tinjauan Positif dalam pasal 6A UUD NRI 1945 jelas-jelas menggunakan redaksi lugas, bahwa koalisi (gabungan partai) hanyalah tergariskan untuk mengajukan dan memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan “memenangkan” arah kepemerintahan ke arah suatu rujukan ikatan koalisi tertentu.
Pertimbangan lain yang menjadikan terbitan UU Koalisi ini sah konstitusional antara lain, asas rechmatig dalam kajian HAN yang mengatakan bahwa semua putusan kepemerintahan (eksekutif) dianggap benar sejauh tak diputus inskonstitusional di muka pengadilan Mahkamah Konstitusi. Juga, adanya legitimasi umum atas independensi legislator negeri (DPR RI) sebagai lembaga simbol demokrasi nasinal. Namun secara positif pula, dapatlah kita tarik pernyataan-pernyataan yang mengemukakan pentingnya UU ini hanya sebatas alasan-alasan keterbutuhan politis dimana loyalitas mitra koalisi diformilkan.
Maka, dalam perspektif hukum progresif (constituendum), keberadaan UU Koalisi tidak akan terlegitimasi konstitusional. Pertama, konstitusi tertulis mensaratkan kebolehan koalisi hanya dalam ruang politik pemilihan kepala negara, bukan ruang politik mekanisme pelaksanaan amanat rakyat sebagai 'pemerintahan yang baik'. Kedua, hukum akan dibuat mengikuti mula keterbutuhannya, sehingga keterbutuhan pemerintah sebagai organis politis akan memberi efek indikasi abusement of power di kemudian hari. Ketiga, koalisi yang dimaksudkan dalam pewacanaan penerbitan UU Koalisi tersebut samasaja meletakkan negara secara sia-sia pada satu ikatan eksklusif organis politis tertentu, yang demikian tak pernah dicatat sejarah nasional Indonesia dan dunia sebagai karangan indah. Konsep check-balance tidak akan berjalan dan orang-orang di luar lingkaran akan tertandaskan.


G. Daftar Bacaan

Asshiddiqie, Prof. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 2009.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU no 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
nasional.kompas.com/read/2011/03/14/16471646/Demokrat.Sebut.PDI-P.Anggota.Koalisi
www.antaranews.com/berita/247931/bambang-soesatyo-gagasan-uu-koalisi-menyesatkan
nasional.kompas.com/read/2011/02/27/18075796/Demokrat.Seharusnya.Dibuat.UU.Koalisi
nasional.kompas.com/read/2011/02/28/1307019/UU.Koalisi.Cermin.Kekhawatiran.Demokrat
www.detiknews.com/read/2011/02/27/130256/1580346/10/perlu-uu-koalisi-untuk-membangun-koalisi-yang-stabil
dll

2 comments:

  1. dulu buat syarat DM2 ana bikin tulisan terkait koalisi yang beretika, tulisan ini menarik, kalau nulis share juga dong

    ReplyDelete
  2. hmm,, koalisi yang beretika? etika tersampaikan ketika niat koalisi memang untuk goal yang sama, setelah itu bubar di persimpangan, hehhe
    share di blog aja dah kak, jazakumullah apresiasinya :)

    ReplyDelete