Wednesday, January 12, 2011

Elzora

Sudut sumpek kota Jakarta seketika saja menyergap mata dan batin Elzora. Ia yang berjilbab orange itu baru saja usai menjejakkan kakinya dari kendaraan rakyat; kereta ekonomi Malang - Jakarta. Perjalanan jauh yang samasekali baru baginya, mendadak jadi lebih disukainya ketika nyala telepon genggamnya di angkat seorang wanita di seberang sana,
"Assalamu'alaikum, ma."
"Ya, 'alaikumsalam. Gimana? Sudah sampai mana?"
"Senen."
"Oh, oke."
"tut.. tut.. tut.."
Keluh peluh mengalir seusai tombol merah meng-eksekusi percakapan singkatnya.

..........
Ia kembali jadi dirinya. Menyusuri jalan yang sebenarnya tak diingatnya samasekali. Sebuah highway yang benar menyatakan high-nya.
Sementara setting kawasan Senen ramai dalam hiruk pikuknya sebab ini hari Jum'at dan pukul setengah satu siang. Palang jalan mulai dibuka di sisi sisiannya dan Elzora kembali jadi dirinya, penikmat drama kehidupan yang ulung.
Seorang gadis remaja yang tergelung rambutnya monoton menunggu di bawah halte bus bersama drum biru dan orange berisi puluhan botol air mineral dan semacamnya. Mungkin ia masih enambelastahunan, refleksi anak putus sekolah di negeri yang katanya the lost atlantis. Di tangannya tergenggam sebuah handphone mungil lengkap dengan aksesoris bandul dan tali berwarna senada. Di seberang sana, seorang gadis yang bergelung rambut lurusnya, bersisian dengan lima orang bapak tukang ojek yang sama monoton menunggu.

..............
Dan untuk kesekian kalinya, Elzora hilang arah jalan menuju tempat tujuannya. Oleh karenanya, ia jadi hobi berkeliling; kemana saja, sesuka kecendrungan hatinya. Pikirnya, hanya supir angkutan umum yang selalu bersedia ditanyainya macam-macam termasuk gang rumah dan butik orangtuanya.
Tapi kini, dicobanya menghampiri remaja di bawah halte itu. Eksperimen pertamanya, bertanya arah pulangnya; ia tak berharap banyak sebab sebelumnya ia tak pernah berhasil mendapat informasi valid dari selain supir angkutan umum.

d^-^b

Jalan Jakarta masih punya sense yang sama seperti yang dicecapnya empat bulan lalu atau sebelumnya. Elzora memang tak pernah ingat lekukannya seratus persen - atau sekedar ingat seperti ingatnya anak enambelas tahun yang tak pernah keluar hometownnya. Tapi ia memang tahu bahwa ini Jakarta, rumahnya, setidaknya kota tempatnya membubuhi diri dalam alur riwayat pribadi. Haha.. tak terlalu gila baginya, hanya saja, ya, ia memang mengenalnya.
Terutama macet dan bisingnya. Terutama bau busuk kemiskinannya yang menyembul sepanjang sudut-sudutnya. Terutama gang-gang membingungkan. Terutama lingkar jalan layangnya. Dan terutama sekali, 'podium' traffic light di perempatan jalan ini. Podium yang paling dikenalinya.
Dari sini ia bisa berdiri, bersahabat dengan botol air mineral yang baru dibeli dari gadis sebayanya yang di bawah halte. Seakan jadi sutradara panggung jalanan. Menata alur gerak kendaraan angkuh yang lalu lalang dalam matanya. Dan ia memang kembali jadi dirinya, dalam sendirinya.

d^-^b

Mungkin di rumah sakit itu, ada calon ibu yang melahirkan tengah menahan sakitnya, mungkin di sudut warung kecil itu, ada ibu yang duduk menunggui dalam doa yang terkirim untuk anaknya, bahkan mungkin, wanita lusuh di muka metromini rongsok itu, membatin tentang buku sekolah remaja di rumahnya. Tapi Elzora pastikan, di butik itu, hanya ada sejasad wanita karir yang telah lama jadi ibu kandungnya.
Langkah malasnya terayun pelan menuju pintu kaca lebar sebuah bingkai ruang butik. Kaca-kaca menyingkir memberi jalan baginya yang masih lengkap dengan bau apek matahari dan wajah lusuh yang belum dibilas air seharian. Dipandanginya barisan minidress dan sejenisnya yang disertai label mahal dan bordir brand di sudutnya.
Dipaksakannya kembang senyum dan anggukan singkat untuk membalas "salam siang" belasan remaja perempuan berpakaian sewarna yang dipapasinya sepanjang jalannya. Bukan sebuah kebanggaan menjadi anak dari pemilik ruang ini. Bukan sebuah kebahagiaan yang didapatnya dari uluran salam dhaif cari muka itu. Bukan samasekali.

.........
Ruang di pojok itu, tertutup rapat seakan tak membiarkan seorang pun mengintervensi masuk. Bingkai pintu kaca yang dilapis plastic hitam itu bukanlah benda yang untuk pertama kalinya di tangkap layar retina Elzora. Semilir bau angkuh telah menyentuh hatinya, terlanjus di-endus hasrat sinisnya. Itu, ruang kerja direktur butik merah muda ini; ibunya.
“Afternoon, ma’am. Assalamu’alaikum.” Ujarnya seketika setelah pintu kaca hitam di sibak tangan kanannya.
Seorang wanita yang dimaksudnya, kontan mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk menghadapi meja dengan kedua tangan menopang dahi. Senyumnya mengembang, lengkung sabit terbentuk dari bibir tipisnya yang dipulas lembayung muda.
“Will be happy noon, my daughter. ‘Alaikumsalam.” Jawabnya; diiring layu yang sumringah.
Elzora perlahan mendekat. Lalu mereka pun hanya berjarak beberapa senti saja.
“I miss you, mom. Don’t you see that?” ujarnya dingin.

d^-^b

Pintu kaca itu kembali menyingkir memberi jalan bagi langkah Zana Elzora. Pakaiannya telah berganti, wanginya sudah bukan lagi apek matahari. Ia melangkah pasti, tanpa tas punggungnya lagi.
Seperti biasanya, ia tak pernah betah berlama-lama di 'dunia' ibunya. Ia akan kembali menyusuri sisian jalan raya; mencari toko makanan dan "kebahagian" sesuka kecendrungan hatinya.
Sementara Jakarta tengah menemui sore-nya. Walau gedung-gedung tinggi itu telah merenggut keramahan terbenamnya matahari. Walau penduduk kota terlalu sombong untuk sekedar menatapi langit yang melukis senja jingga merah. Walau hanya terwakili dalam detak jam-jam di pergelangan tangan dan dinding-dinding kantor mereka.
"Ya, itu mereka." bisiknya pada angin merah muda.
"They, my mom." tambahnya.

4 comments: