Waktu itu aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi. Kadang sekedar tersenyum kadang tertawa. Entahlah bagiku kau begitu menyenangkan. Representasi sebuah keluhuran akhlak.
Aku cuma sekedar iri, melihat bahwa setiap orang punya kelebihan.
Intinya kamu begitu menyenangkan. Tanpa dusta, bicara seadanya saja, tapi baik untuk di dengar, menutrisi.
Intinya kamu begitu nyaman. Tanpa menyembunyikan, melucu sesuai fitrah saja, sederhana.
Ada juga beberapa orang di sekeliling kita. Mereka duduk di kursi yang dekat. Ikut alur kisah, ikut juga serius mendengarkan kemanjaanku. Ah, tapi kenapa mereka diam? Ah, tapi kenapa mereka diam saja?!
Waktu-waktu berderit, bahwa selain kau, ada aku, ada mereka juga ! Ah, tapi kenapa mereka diam?
Sunday, December 9, 2012
Monday, December 3, 2012
Sahabat
Sahabat, entah wajar atau tidak
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu
Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan
Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu
Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan
Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu
Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam
Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan
Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah
Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja
Aku telah habis daya menjadi sisi kanan dan kirimu
Telah habis kepercayaan untuk saling bertumpu
Sebab mungkin aku tak mengeti bahwa kau tak begitu seperti yang ku pikirkan
Aku juga beberapa kali hilang ingatan
Lupa namamu, lupa wajah dan alamat identitasmu
Lupa bahwa aku tengah duduk di sampingmu
Atau kau tidak ada saat itu
Aku juga telah habis ingatan
Sakit setiap kali tahu aku harus menemuimu
Aku tidak rindu
Rindu kau tapi tak rindu bicara denganmu
Bagiku semua ini jadi ilusi yang memberatkan hatiku
Bahwa ada dan tidaknya dirimu begitu sakral
Harus lewat beberapa ritme dan ritual
Mendengarmu, tersenyum, diam
Aku bahagia untuk jadi bagian darimu
Tapi aku telah habis daya
Tak ada lagi kepercayaan diriku
Bahkan untuk tiba-tiba datang menghampirimu
Kurasa aku terlalu memaksa
Memaksamu
Memaksaku untuk mampu melakukan sesuatu
Yang tidak mungkin bisa kulakukan
Selesai saja,
Berhenti saja,
Cukupkan,
Ketika selesai
Ketika telah tertuntaskan
InsyaAllah
Tak untuk sebuah keistimewaan
Bahkan hanya sekedar kehinaan
Tak untuk sebuah kenangan
Menyelinap saja
Thursday, November 29, 2012
SEMANGAT ^-^
Bertubi-tubi datang menghampiri. Mungkin karena gelas yang kosong atau mimpi-mimpi yang menghantui. Ah, jadi takut untuk tidur. Perlu diterapi atau diebrikan obat penenang depresi.
Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.
Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.
Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.
Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.
Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.
Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.
Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.
Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.
Bukan Pidato
Aku tahu bahwa untuk saling mencintai kita harus saling mengagumi. Entahlah, bahwa setiap kali orang terpesona denganmu itu sama artinya iya atau tidak. Tapi aku, iya. Bagiku ini juga yang menjadi sebab kau tak banyak mencintai. Bahwa bagimu, sama saja. Aku atau yang lainnya.
Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.
Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.
Ngomong apaan.
Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.
Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?
Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.
Siapa yang dikasihanin?
Ya, anti lah! Masa mereka? haha..
Renyah
Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.
Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.
Ngomong apaan.
Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.
Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?
Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.
Siapa yang dikasihanin?
Ya, anti lah! Masa mereka? haha..
Renyah
Friday, November 23, 2012
Ilalang
Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Sayap ilalang. Sayap terbang tanpa kekuatan.
Sayap ilalang. Ilalang terbang tanpa arahan.
Sayap ilalang. Terbang. Angkasa pudar meracau sendirian.
Ini tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Gila durjana. Mati durhaka sampai ke akar-akarnya.
Aku tak terpesona tapi jatuh tanpa makna. Ke tanah.
Tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Putih ilalang. Putih merona tanpa warna.
Putih ilalang. Ilalang merona tanpa kecendrungan apa-apa.
Putih ilalang. Noda. Kecil menghilang meracau sendirian.
Ini tentang putih ilalangku.
Dijadikannya putih ilalang sungguhan.
Mesra. Lembutan asa menarik segalanya tanpa permisi.
Aku tersihir setiap kali hampir menyihir kembali
Pergi, pergi ke lain ruang dan waktu.
Tuesday, November 13, 2012
Reasonable touch
Kadang kita tak pernah
tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama
halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya
berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak
di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites,
keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak
meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak
berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi
lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi
warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu
kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
“Apa yang biasa kau
sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam
kegiatan social? Bagiku cintaku
adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
Matanya masih terkatup
berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya.
Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir
diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah
tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah
membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
Aku suka berkata-kata
rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau
akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan
memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah
dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical
assumption yang membuatku sedari
kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini
dan begitu tak sempat membuatku berpikir
sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan
kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan
“boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
Sejak kapan aku peduli
dengan ibuku?
Pertanyaan semacam itu
jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum
lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak
terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
Orang sepertiku,
pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal
sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
Pernahkah kalian tahu
bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut
pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam
diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya
mampu melakukan sesuatu.
Dosa yang pertama
karena tak bersyukur dengan setting
hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar.
Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa
yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua,
bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir
menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling
berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu
segalanya. Haha.
Keberadaan orang lain
di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka.
Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan
lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk
denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan
berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu.
Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka
bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
Aku bukanlah orang
yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran
ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma
rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang
tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup
menganggu bukan?
Aku ingin punya
sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu
pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku
tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang
tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku,
setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
Jalan raya kota malang
searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu
berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku
membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka.
Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
Aku suka bertengkar,
tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada
jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu.
Kata ayahku.
Tidak, aku sekedar
ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA.
Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian,
dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang
pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana,
menarik. Aku tidak.
Di belakang itu, usai
jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini
tulisan kamu beneran?”
“Iya bu, coba aja ibu
cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
“Selamat, nilai kamu
tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
“Bukannya Hadi yang
nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
“Bukan, saya hanya
berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada
yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah
Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam
untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis,
romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
Seperti virus
masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan
pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
Tamat.
xxxxx
Belum tamat.
Sebab
aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
Kita bicara tentang
hal lain saja. Lain kali.
Sunday, November 11, 2012
Sebuah Pidato
Sebab malam kemarin seorang sahabat kembali mengingatkanku soal kesombongan. Tiba-tiba saja. Mimpiku malam ini seluruhnya full episode tentang sidang dan hari itu.
Ya, ini tentang kesombongan, juga tentang pidato panjang lebar dari abangku. Sore, di sebuah ruang sidang di Ciputat. Setelah beberapa paman dan kakek berumur 35 - 70 tahun menghampiriku dan mengucapkan, "barakallahu.." sambil tersenyum dan berlalu.
Abangku satu-satunya, berdiri dari kursinya yang di ujung meja di seberangku. "Barakallahu," katanya, lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku. Dan aku, tak pernah menyela bicaranya, bukankah itu luarbiasa?
Katanya,
Apa manuver selanjutnya ibu pimpinan sidang? (menyindir) Apakah tidak sebaiknya kita putar kembali nalar dan berkeputusan ulang? Ini bukan hanya karena anti jadi pembicara termuda di agenda internasionalnya Al azhar minggu lalu atau karena IQ anti dua kali lipat dari kami disini kan?
Siapa juga orang yang mampu untuk tidak sombong. Empatbelas tahun dan hafidzoh, cumlaude di sidang fikrah dan punya orangtua yang bukan orang biasa. Ya, siapa juga yang mampu untuk tidak sombong. Paling dicintai sekaligus didengarkan kata-katanya. Siapa yang mampu untuk tidak sombong? Jadi adik kesayangan, selalu mampu mengulang notulensi dengan error yang paling minim di antara kami? Siapa yang mampu?
Abang kira orang sepertimu tidak mampu kan?
Sarkas. Beberapa wajah berpaling ke arah kami. Sembari katanya, "hmm, lagi dimarahin lagi,".
Jembatan, sandaran dan arahan. Masih tentang kesombongan dan pidato panjang lebar abangku satu-satunya.
Dalam beberapa kasus seorang muslim tidak perlu tahu banyak hal tentang keimanan. Untuk beriman. Lain kali, ia tak perlu tahu banyak fiqih untuk mengerti, tentang syar'i. Banyak orang yang tak banyak mengetahui agama, tapi membelanya. Bahkan Musa tak diperbolehkan bertanya, pada Harun gurunya. Bukankah itu istimewa?
Lalu kenapa seorang anak disini, berlagak tahu tentang segalanya? Bersikeras tahu sebelum memegangnya? Tidak ada lagikah nalar tsiqoh dalam Qur'an yang dihafalkannya?!
Nadanya meninggi dan aku pura-pura tak tahu ekspresi wajahnya. Menakutkan. Sebab orang seperti itu, ketika marah mengutip AlQur'an dan saat bernada tinggi, merendahkan orang dengan ruhiy, tanpa tendensi. Aku ingin jadi seperti abangku. Punya mental seperti itu, tulus dan tanpa topeng. Cerdas tanpa harus tes IQ per enam bulan. Kedua orangtuanya baik, setiap hari ada sarapan bersama dan gelak tawa penuh hikmah, keluarga.
Kesombongan itu membakar kayu sampai jadi debu. Hilang segala cerdas dan ketekunan.
Tidak perlu kemampuan unuk jadi sombong, cuma perlu sedikit hasutan setan, kepada orang yang dibutakan penglihatannya. Menolak kebenaran, merendahkan orang.
Terkadang melihat nyamuk sebagai belalai gajah atau leher jerapah. Kadang melihat kegagalan sebagai ketidakpatuhan orang.. Anti bukan tuhan.
Gila. Masih sakit hati sebenarnya. Tapi ingatan seperti ini mungkin hanya tiba-tiba ada di pagi ini. Gajah dan Jerapah. Itu bagian lucu. Aku tertawa kecil, meremehkan analoginya yang kacau. Ia juga berpaling ke belakang, mungkin tertawa juga. Tudingannya jadi semakin menusuk walaupun tidak menyakitkan.
Beberapa ustadz kami dan musyrifahku menganggap kami punya banyak kemiripan. Kecuali satu hal itu, miliknya, kekacauan analogi. Dan satu hal lagi, milikku, tingkah kekanakan. Gaya bahasa, intonasi suara, permainan logika, puisi favorit, model tulisan, kesukaan makanan, orientasi obrolan, pandangan shirah dan fikrah, hafalan, ibadah harian, persis. Kami selevel tapi bedanya, ia lebih tua 4 tahun. -.-"
Karena sombong itu berasal dari hati yang sakit. Tidak perlu banyak hal hebat untuk sombong, sekedar lupa bahwa adik akan terkalahkan dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan. Mungkin disanalah awal hasutan setan. Untuk mendengarkan, untuk tidak mengacuhkan. Bicaralah atau diam.
Suatu hari ketika saya tidak ada lagi, anti akan banyak terkalahkan, oleh kesombongan adik sendiri. Karena adik begitu rumit dan anti tidak mampu menganggap orang lain dengan lebih dan lebih lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin ini terakhir kalinya ada nasehat seperti ini.
Karena itu memang nasehat terakhir. :)
Ya, ini tentang kesombongan, juga tentang pidato panjang lebar dari abangku. Sore, di sebuah ruang sidang di Ciputat. Setelah beberapa paman dan kakek berumur 35 - 70 tahun menghampiriku dan mengucapkan, "barakallahu.." sambil tersenyum dan berlalu.
Abangku satu-satunya, berdiri dari kursinya yang di ujung meja di seberangku. "Barakallahu," katanya, lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku. Dan aku, tak pernah menyela bicaranya, bukankah itu luarbiasa?
Katanya,
Apa manuver selanjutnya ibu pimpinan sidang? (menyindir) Apakah tidak sebaiknya kita putar kembali nalar dan berkeputusan ulang? Ini bukan hanya karena anti jadi pembicara termuda di agenda internasionalnya Al azhar minggu lalu atau karena IQ anti dua kali lipat dari kami disini kan?
Siapa juga orang yang mampu untuk tidak sombong. Empatbelas tahun dan hafidzoh, cumlaude di sidang fikrah dan punya orangtua yang bukan orang biasa. Ya, siapa juga yang mampu untuk tidak sombong. Paling dicintai sekaligus didengarkan kata-katanya. Siapa yang mampu untuk tidak sombong? Jadi adik kesayangan, selalu mampu mengulang notulensi dengan error yang paling minim di antara kami? Siapa yang mampu?
Abang kira orang sepertimu tidak mampu kan?
Sarkas. Beberapa wajah berpaling ke arah kami. Sembari katanya, "hmm, lagi dimarahin lagi,".
Jembatan, sandaran dan arahan. Masih tentang kesombongan dan pidato panjang lebar abangku satu-satunya.
Dalam beberapa kasus seorang muslim tidak perlu tahu banyak hal tentang keimanan. Untuk beriman. Lain kali, ia tak perlu tahu banyak fiqih untuk mengerti, tentang syar'i. Banyak orang yang tak banyak mengetahui agama, tapi membelanya. Bahkan Musa tak diperbolehkan bertanya, pada Harun gurunya. Bukankah itu istimewa?
Lalu kenapa seorang anak disini, berlagak tahu tentang segalanya? Bersikeras tahu sebelum memegangnya? Tidak ada lagikah nalar tsiqoh dalam Qur'an yang dihafalkannya?!
Nadanya meninggi dan aku pura-pura tak tahu ekspresi wajahnya. Menakutkan. Sebab orang seperti itu, ketika marah mengutip AlQur'an dan saat bernada tinggi, merendahkan orang dengan ruhiy, tanpa tendensi. Aku ingin jadi seperti abangku. Punya mental seperti itu, tulus dan tanpa topeng. Cerdas tanpa harus tes IQ per enam bulan. Kedua orangtuanya baik, setiap hari ada sarapan bersama dan gelak tawa penuh hikmah, keluarga.
Kesombongan itu membakar kayu sampai jadi debu. Hilang segala cerdas dan ketekunan.
Tidak perlu kemampuan unuk jadi sombong, cuma perlu sedikit hasutan setan, kepada orang yang dibutakan penglihatannya. Menolak kebenaran, merendahkan orang.
Terkadang melihat nyamuk sebagai belalai gajah atau leher jerapah. Kadang melihat kegagalan sebagai ketidakpatuhan orang.. Anti bukan tuhan.
Gila. Masih sakit hati sebenarnya. Tapi ingatan seperti ini mungkin hanya tiba-tiba ada di pagi ini. Gajah dan Jerapah. Itu bagian lucu. Aku tertawa kecil, meremehkan analoginya yang kacau. Ia juga berpaling ke belakang, mungkin tertawa juga. Tudingannya jadi semakin menusuk walaupun tidak menyakitkan.
Beberapa ustadz kami dan musyrifahku menganggap kami punya banyak kemiripan. Kecuali satu hal itu, miliknya, kekacauan analogi. Dan satu hal lagi, milikku, tingkah kekanakan. Gaya bahasa, intonasi suara, permainan logika, puisi favorit, model tulisan, kesukaan makanan, orientasi obrolan, pandangan shirah dan fikrah, hafalan, ibadah harian, persis. Kami selevel tapi bedanya, ia lebih tua 4 tahun. -.-"
Karena sombong itu berasal dari hati yang sakit. Tidak perlu banyak hal hebat untuk sombong, sekedar lupa bahwa adik akan terkalahkan dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan. Mungkin disanalah awal hasutan setan. Untuk mendengarkan, untuk tidak mengacuhkan. Bicaralah atau diam.
Suatu hari ketika saya tidak ada lagi, anti akan banyak terkalahkan, oleh kesombongan adik sendiri. Karena adik begitu rumit dan anti tidak mampu menganggap orang lain dengan lebih dan lebih lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin ini terakhir kalinya ada nasehat seperti ini.
Karena itu memang nasehat terakhir. :)
Friday, November 9, 2012
Tanpa dengannya
Kepemimpinan itu apa? Di atas dan di bawah sama saja kah? Tentu tidak, bukan?
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.
Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.
Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.
Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.
Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.
Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.
Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?
Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.
Sesungguhnya segala sesuatu itu
pastilah bergerak dengan satu harmoni tertentu. Selayaknya
pandangan nakhkoda ke arah barat, harmoni laut terbaca walaupun tak terlihat
dasarnya. Maka memimpin adalah tentang memahami,
mengenali, menguasai ilmu dan mengambil keputusan.
Adanya
jiwa kepemimpinan pada seseorang selanjutnya akan menjadikannya berkualitas
berbeda. Ia yang berjiwa kepemimpinan mampu membuat simpul pikirnya dalam
setiap perbuatannya. Seorang pemimpin bukan selalu pasti berdiri sebagai pucuk
pimpinan. Ia mungkin saja ada di barisan manajerial, level koordinasi maupun
pengarah dan pelaksana taktis. Namun yang pasti seorang pemimpin sejatinya ada
dalam kesadaran visi. Ia mampu dipimpin dan memimpin orang lain. Sebab baginya
pengejawantahan dirinya dalam suatu komunitas bukanlah tentang berdiri paling
tinggi di antara mereka, namun menjadi yang paling bermanfaat di setiap tempat.
Fungsi
kepemimpinan dewasa ini semakin minim teraktualisasi dalam banyak lini yang
kita jumpai. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi inkonsistensi kebijakan yang
dilakukan banyak stakeholder negeri ini. Ambilah contoh dalam skema pelaksanaan pengiriman
TKI. Kantor imigrasi, kantor PJTKI maupun ‘distributor’ TKI di daerah-daerah,
bersama-sama kehilangan jati diri demi produk kartal semata. Atau ambilah satu
kasus penyelewengan dana umat yang anyir di banyak media massa, bulog gate, korupsi century, skandal BI,
manipulasi DPR soal BBM, warna-warna politik transaksional berbasis kedudukan,
dst. Hal ini tentu saja, menjadi sederetan kasus yang dalam keyakinan publik,
memamerkan aksi bunuh diri sebuah negeri yang tanpa aplikasi idealitas sebuah kepemimpinan.
Maka
berbicara kepemimpinan adalah berbicara tentang sebuah vision. Pemimpin ialah yang dapat melihat konteks kasus dalam
particular yang seiring pembelajaran termapankan secara holistik. Maka ia
adalah seorang pembelajar sejati. Sebab vision,
penglihatan dan kepahamannya atas segala sesuatu itu menjadi hal yang begitu
berharga. Ia adalah seorang pembelajar sejati yang haus ilmu dalam banyak hal.
Ia berbicara tentang arah gerak dan konsepsi kebijakan. Ia selalu memiliki
pandangan mengenai putusan-putusan pribadinya. Tidak mengekor ataupun mengikuti
selain berdasarkan keyakinan visi.
Berbicara kepemimpinan maka
juga bicara tentang melakukan banyak hal. Pemimpin adalah mereka yang
senantiasa menanggung pekerjaan-pekerjaan dan pertanggungjawaban yang paling
berat. Maka barangsiapa mengambil dirinya sebagai pemimpin, bersiaplah jadi
yang paling sedikit tidur dan tertawa. Bersiaplah menjadi yang terdepan dalam
menghadapi masalah. Dan bersiaplah menjadi yang terakhir bersenang-senang
dengan hasilnya. Menjadi pemimpin adalah sebuah koneksi riil dalam sebuah ruang
pertanggungjawaban dalam banyak hal yang telah, tengah dan akan dilakukan.
Tapi siapapun yang undur diri dari sebuah proyek
kepemimpinan, maka ia telah keluar dari fitrahnya, dari peruntukan
kehidupannya. Sebab kepemimpinan ini telah utuh terserahkan pada segolongan
makhluk yang bernama manusia. Kita dengan akal dan kebijaksanaan adalah suatu
entitasme yang terlanjur harus memimpin. Inilah akaran nalarnya. Siapkah kita
mundur ke belakang peradaban dan membiarkan dunia dipimpin kera atau sejenis
tumbuhan cerdas? Maka kepemimpinan
adalah juga sebuah tugas pembenahan.
Kita kini sama tahu, bahwa tiada langkah lagi selain
mempersiapkan diri untuk mematangkan kepemimpinan diri. Tiada alasan untuk
mundur sebab tiada yang dapat menggantikan satupun di antara kita. Kepemimpinan
itu, jiwa yang mengisi rongga-rongga dada, jiwa yang tak membiarkan seorang
insan terpuruk dalam keterbelakangan dan kemiskinan kepribadian. Ia adalah jiwa
yang mengisi rongga dada yang menjadikan nyala kebijakannya sebagai penerangan
bagi orang sekitarnya dan bahkan seluruh dunia. Tidak ada yang diharapkannya
kecuali keuntungan yang banyak akibat perbuatan baiknya, keuntungan yang ia-pun
tak akan mampu membuat draft-nya.
PEMIMPIN ITU ADALAH KAU!
SALAM
SATU JIWA PARA PEMIMPIN BANGSA !!!
Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.
Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.
Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.
Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.
Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.
Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?
Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.
Sunday, October 28, 2012
Mawar Hijau
Seseorang sempat bertanya, apa yang dimaksud dengan mawar hijau bagimu? Pertanyaan ulangan dari berbagai beberapa derivasi redaksi kata yang pernah ku dengar selama dua tahun terakhir ini. Mawar hijau bagiku adalah sebuah representasi kenyataan. Mawar hijau itu delusi yang terlalu jauh untuk diangkat jadi sekedar "ada". Ia sedikit sulit untuk ku jelaskan dengan lukisan atau kata-kata.
Oleh sebabnya aku jarang menjawab dengan serius setiap pertanyaan yang lari ke telingaku. Ini agak sulit. Membangun pemaknaan dan refleksi irasional dari beberapa tuntutan kromatograf falsafah diri.
Beberapa waktu lalu kutemui lagi mawar hijau. Katanya ia petanda perdamaian, ketenangan, aura persahabatan. Entah, mungkin kini prisma cahaya matahari bisa dimaknai apa saja. Kini mereka bilang merah itu tanda asmara, biru tanda kedewasaan, ungu tanda cinta tulus dan seterusnya. Mereka tak tahu, bahwa bandingan dan turunan tak akan semudah simbol tanda tanya bagimu.
Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.
Kini mawar hijau tetap menyenangkan bagiku.
Thursday, October 25, 2012
Sesuatu yang gila pastilah pernah terjadi dalam hidupmu. Entah, apakah ada dengan tidaknya akan tetap sama atau tidak. Tapi yang pasti kau telah melewati satu garis batas tertentu tentang perhelaan nafas yang temaram, menyedihkan atau menyenangkan, gila.
Aku sebenarnya ingin bicara soal konsistensi. Entah dianggap inkonsisten atau tidak. Ini soal mentalitas, personality dan pandangan hidup. Bagiku orang-orang yang rumit itu cuma beberapa sampahan gila yang jadi mutan dan hidup sementara.
Seperti kau mungkin, atau lebih tepatnya, aku.
Aku sebenarnya ingin bicara soal konsistensi. Entah dianggap inkonsisten atau tidak. Ini soal mentalitas, personality dan pandangan hidup. Bagiku orang-orang yang rumit itu cuma beberapa sampahan gila yang jadi mutan dan hidup sementara.
Seperti kau mungkin, atau lebih tepatnya, aku.
Thursday, September 27, 2012
Words count the worlds
We have some
problem to solve. Then we take some reason to flew it or burn it, lose it or
made up with it. Somebody called it as the term of maneuver. But I don’t. It
just more than we ever thinking of. Honestly,
cause we are the real problem that we having. There’s no other rational logic
to describe why do we knowing the mars and Pluto beside the sentence of “some
people said it before we born”.
So, that’s all
about the word counting the world. We said, we know then we called it as something
exist. Cause actually we are the point of this every movement and reason.
Why’d we said
afrika as a black and American as a white. Why’d we said that the elephant was
big then the ant was small. The nature was perfectly never be-with-child of
words. Except us.
What a
stressed.. ha… :D
Listening the
air swing, feeling the branch wing, reading this very-old-mess-book, how
despicable I am.
Tuesday, September 18, 2012
Palsu
Mudah melakukan
kesalahan dan mudah minta maaf. Mudah marah dan mudah untuk tidak membutuhkan
orang. Semua perspektif tentunya blur
dalam titik ini. Kita kembali dalam satu alur purifikasi hati, menerima atau
menolaknya mentah-mentah. Menjadikannya hikmah atau sekedar angkasa sejarah.
Kau
begitu menyenangkan, entahlah. Suatu kali aku bertemu sebuah jendela prisma. Luarannya
memantulkan hijau daun dan coklat tanah. Jendela dimana kau memanggilku dalam
sebuah kata surgawi. Mungkin tak sebegitu begini citra dan nalar menyukainya. Tapi
juga tak sebegininya begitu kau tak ingin membuka mata. Aku Cuma sekedar rindu.
Katamu
aku harus banyak mengalah. Sebab banyak orang-orang palsu. Sebab menghadapi
mereka adalah neraka bagimu. Bagi kau dan aku.
Katamu
aku harus banyak menyembunyikan simpul lintas dalam reaksi kimia otakku. Sebab banyak
orang-orang primitive yang suka mengeksploitir. Sebab seketika mereka bersidang
di hadapanmu dan menguraikan sebarisan kata yang intinnya, “kau bersalah”.
Katamu
aku harus. Sebab aku tak sekuat itu untuk palsu bagi orang-orang palsu. Setidaknya.
Tuesday, August 28, 2012
THE GAP between Us
Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk berubah. Yang ada cuma terlalu terlambat. Sama saja, benar atau tidak. Yang beda, salah dan kelirunya. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Dunia ini dikelilingi hal-hal lucu. Kenapa gajah bisa punya belalai panjang sementara jerapah hanya punya leher yang panjang. Asal mereka sama. Afrika, katanya. Hutan, spesifiknya. Yang ada datarannya, tambahannya. Savana? Semacam definisinya.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Kata Darwin. Yang ada cuma terlalu terlambat. Ketika gajah dan jerapah sama benarnya. Maka yang beda adalah kesalahan dan kekeliruan kata savana yang mendefinisikan asal mereka.
Berulang terus, maka dunia ini akan selalu lucu dalam pandanganmu.
Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Peradaban memegang tribulasinya dari per-alamian kesosialannya. Bangunan kemanusiaan itu cuma doktrin palsu perpanjangan logika alamiah.
Dunia ini dihibur oleh hal-hal membingungkan. Kenapa bahasa di dunia ada sekian juta sementara strukturasi organ manusia itu-itu saja. Kelahiran mereka sama. Dari ibu mereka, katanya. Orang tua mereka yang perempuan, spesifiknya. Ya, rahim masing-masing ibu mereka, tambahannya. Tangisan? Semacam definisinya.
Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Kata Kelsen. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Ketika manusia beda bahasa sebagai tribulasi sosialnya. Maka perpanjangan logika alamiah memang benar-benar asli adanya.
Luarbiasa, maka dunia ini akan selalu menghiburmu dengan setumpukan kebingungan.
Sebenarnya tidak ada yang terlalu keliru untuk terlambat. Baik mengenai beda jerapah maupun gajah. Baik mengenai kebingungan Kelsen soal pemurnian yang tanpa obat. Gila. Mati rasa.
Baik mengenai beda savana dan asal dataran. Baik mengenai beda tangisan dan kelahiran. Semua orang belum terlambat untuk keliru. Keliru soal hal lucu dan membingungkan. Keliru soal perhubungan keanehan dan fluktuasi kebatinannya saat menanggapi anehnya. Itu hal berbeda. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Baik Darwin maupun Kelsen. Mungkin juga jadi definisi yang terlalu. Terlalu tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Dunia ini dikelilingi hal-hal lucu. Kenapa gajah bisa punya belalai panjang sementara jerapah hanya punya leher yang panjang. Asal mereka sama. Afrika, katanya. Hutan, spesifiknya. Yang ada datarannya, tambahannya. Savana? Semacam definisinya.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Kata Darwin. Yang ada cuma terlalu terlambat. Ketika gajah dan jerapah sama benarnya. Maka yang beda adalah kesalahan dan kekeliruan kata savana yang mendefinisikan asal mereka.
Berulang terus, maka dunia ini akan selalu lucu dalam pandanganmu.
Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Peradaban memegang tribulasinya dari per-alamian kesosialannya. Bangunan kemanusiaan itu cuma doktrin palsu perpanjangan logika alamiah.
Dunia ini dihibur oleh hal-hal membingungkan. Kenapa bahasa di dunia ada sekian juta sementara strukturasi organ manusia itu-itu saja. Kelahiran mereka sama. Dari ibu mereka, katanya. Orang tua mereka yang perempuan, spesifiknya. Ya, rahim masing-masing ibu mereka, tambahannya. Tangisan? Semacam definisinya.
Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Kata Kelsen. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Ketika manusia beda bahasa sebagai tribulasi sosialnya. Maka perpanjangan logika alamiah memang benar-benar asli adanya.
Luarbiasa, maka dunia ini akan selalu menghiburmu dengan setumpukan kebingungan.
Sebenarnya tidak ada yang terlalu keliru untuk terlambat. Baik mengenai beda jerapah maupun gajah. Baik mengenai kebingungan Kelsen soal pemurnian yang tanpa obat. Gila. Mati rasa.
Baik mengenai beda savana dan asal dataran. Baik mengenai beda tangisan dan kelahiran. Semua orang belum terlambat untuk keliru. Keliru soal hal lucu dan membingungkan. Keliru soal perhubungan keanehan dan fluktuasi kebatinannya saat menanggapi anehnya. Itu hal berbeda. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Baik Darwin maupun Kelsen. Mungkin juga jadi definisi yang terlalu. Terlalu tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Thursday, August 16, 2012
Belasungkawa Pion Kaca
Oleh : Mira Fajriyah
Rumah ini kembali sepi. Aku tak pernah tahu sebelumnya,
bahwa kesunyian yang seperti ini akan jadi sebuah pil pahit yang tak kusukai
juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, memperhatikan bunga yang ditanam
di taman halaman depan, memasak pudding
dan ikan laut kukus kesukaanku, ya, masakan lainnya juga. Biasanya aku suka,
berdua dengan diriku, menuliskan segala keresahanku di bait-bait puisi yang tak
mungkin dimengerti orang lain – kalau saja ada orang lain itu. Lalu di sore dan
malam harinya, menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolahku, sesekali main
game, juga menjahili beberapa anak
menyebalkan di kelas lewat sms kalengan, ya, lalu tidur. Habis hidupku seharian
dalam kesunyian, berduaan dengan diriku.
Aku suka menulis. Entah,
mungkin segala stimulus theoretical assumption yang selalu kudengar dari
diskusi ayah ibuku terlalu menggunung di pelataran simpul kimia otakku. Aku
suka menulis. Menulis apa saja. Seperti saat ini.
Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kali ini kesepian
ini begitu menjijikkan. Membuatku mual dan berharap segalanya cepat berakhir.
Tanpa pertolongan juga tanpa pena yang tiba-tiba bisa bicara. Seakan segalanya
serba timpang, aku tak suka lagi berdua dengan diriku. Aku yang ini, yang tak
suka dengan diriku, seakan jadi dua sisian yang tak saling berdampingan, dua
pintu yang tak saling membuka. Bungkam seribu bahasa.
------------------
Beberapa hari lalu, teman ibuku datang di ruang tamu ini.
Ia membawa serta dua anaknya yang menjijikkan, berumur lima dan empat tahun.
Kedua anaknya itu kurasa sepasang anak perempuan yang mengidap sakit gila,
menggelesorkan diri di karpet ruang tamu, lalu meraung-raung meminta dibelikan
es krim. Dua-duanya, anak perempuan bau ingus
yang mengidap kegilaan akut. Lalu ibuku dengan senyum tertahan yang
kebingungan, Cuma bisa kelu menanggapinya. Juga temannya yang tak mampu
menangani kedua anak busuknya. Aku menggelengkan kepala, masuk kamar dan
menulis sebuah kalimat di sticky notes layar komputerku, anak setan juga ikut turun ke dunia bersama
moyang mereka, abadi sampai neraka.
Baiklah, anggaplah kini aku tak lagi sendiri. Sebab kau
telah dengan sabar menekuri kalimatku. Kau, lagi-lagi dengan sabar menyusun
reaksi kimia di pelataran sinaps otakmu untuk merelakan beberapa informasi
sampah dalam tulisanku ini, masuk dalam memori bawah sadarmu – yang
sewaktu-waktu bisa saja keluar dan mengacaukan hidupmu. Bahwa kita kini tak
dengan diriku yang tak kusukai atau dengan dirimu yang tak pernah kukenali.
Singkat cerita, aku tidur lagi siang itu. Lalu sorenya
kudengar pintu kamarku diketuk perlahan. Membangunkanku yang lumayan sibuk
dengan pembenahan instalasi alam warasku pasca
mimpi di kedalaman jaringan neuron. Aku sempoyongan,
perlahan kubuka pintu dan kudapati ibuku tersenyum simpul satu-satu senti
seperti biasa. Membelai kepalaku. Ah, mengganggu saja.
Tapi ternyata aku salah. Kali ini beliau tak hanya
sekedar menggangguku. Tapi untuk ke sekian kalinya akan melumat-habiskan hidup
harianku. Katanya, seorang psikolog sudah kembali datang dengan setumpukan
aplikasi tes IQ. Katanya, ini jadwalnya, jadwal enam bulananku, jadwal yang tak
pernah kubuatkan lingkaran merah di kalender atau ku ingat setiap kali datang
temponya. Aku mual, dengan segala ketidakwarasan ini.
------------------
Umurku
sembilan tahun. Aku asli keturunan China.
Keturunan otak jenius professor ekonomi sosialis di Tokyo. Umurku Sembilan
tahun. Ibuku seorang pengusaha butik hebat. Ia mengambil doctoral bidang
ekonominya di Canberra, bertemu ayahku lalu mereka menikah. Umurku sembilan
tahun. Aku membaca surat cerai kedua orangtuaku. Saat itu umurku lima tahun,
masih siswi kelas dua primary school. Umurku Sembilan tahun. Dan aku
dianggap punya keterbelakangan mental.
Bagi sebagian orang aku
menggemaskan. Terutama bagi para tamu ibuku yang pecicilan mencari inspirasi
dalam mempermudah bisnisnya. Bagi sebagian orang aku menyebalkan. Terutama bagi
teman-teman sekelasku. Aku suka mengutuk mereka dengan ekspresi meyakinkan yang
ku tiru di film-film fantasi. Aku suka menjahili mereka dengan sms kutukan dan
melempari mereka dari belakang dengan pensil. Bagi sebagian orang aku amoral. Terutama bagi para guru di
sekolahku. Aku sering keluar kelas ketika mereka menulis di papan. Aku
sekali-dua kali ikut pelajaran jam olahraga dan kelas hobi, sisanya
kutinggalkan. Bagi sebagian orang aku picik dan nakal. Aku sering ke
perpustakaan dan memindah-mindahkan buku-buku yang tersusun rapi menurut skema
kepustakaan. Aku beberapa kali membohongi guru BP dan menuduh temanku dengan
berbagai alibi. Mereka tahu itu. Umurku hanya Sembilan tahun.
Aku kelas enam SD dan dua
bulan lagi tes nasionalku untuk keluar dari rutinitas sekolah dasar akan
dilangsungkan. Ibuku bilang setelah lulus dengan nilai bagus, aku tak akan lagi
dipaksa pergi ke sekolah. Aku akan menjadi dewasa dan aku akan punya lebih
banyak hal menyenangkan. Ia hanya tahu umurku Sembilan tahun tapi tak tahu
bahwa anak seumuranku tak bisa dibohongi dengan cara naïf macam itu. Semua
orang tahu, sistem pendidikan menjijikkan ini mengharuskanku hadir dalam
rutinitas belajar setidaknya sampai umurku Sembilan belas tahun. Tiga tahun
SMP, tiga tahun SMA, empat tahun di perguruan tinggi. Masih jauh dan selama itu
pula ibuku dan psikolog bodoh ini terus akan jadi momok yang menggelikan
bagiku.
Maka setumpukan buku
kuisioner memalukan hadir di penglihatanku. Inilah masa-masa penjara itu. Kata Nizami penulis Persia kuno kisah Laila
Majnun itu, lebih gila dari nuansa
serigala padang pasir mengarungi penginderaanmu, merasuki khayalanmu tentang
kecantikan duniawi, tapi itu semua bohong, kata-kata lukisan belaka. Aku
mengantuk, memaksa tidur lagi.
Apa yang biasa kau pikirkan sebelum kau pergi dari rumah?
Apa yang menurutmu biasanya dipikirkan anak umur Sembilan tahun sepertiku?
Apakah kau pikir aku cuma suka dengan keterbatasan tinggi badanku ketika harus
masuk wahana yang tak diperbolehkan selain untuk mereka yang di atas 100
sentimeter? Aku mengamuk. Di kediamanku. Menyelesaikan soal bau bangkai ini
seraya memutar balik dan melurushadapkan pikirku tanpa pola tentang wahana
halilintar dufan. Terus melakukannya sampai pukul delapan malam, lalu membuang
pensil yang telah berjasa ikut serta dalam kegilaan ini, ke arah dapur sejauh 4
meter – dengan marah.
Mungkin seharusnya aku tak pernah dilahirkan saja.
Mungkin seharusnya ayahku bukan orang luar Indonesia atau setidaknya Thionghoa Jakarta saja. Mungkin
seharusnya ibuku tak perlu mengambil beasiswa doktoralnya waktu itu. Mungkin
aku tak perlu dianggap sedikit lebih jenius dibandingkan teman sekelasku yang
bukan anak profesor dan doktor ekonomi. Mungkin arena hidup ini memang berkelindan
seperti yang dikatakan Tere Liye
dalam Rembulan Tenggelam-nya. Rupanya
aku benar butuh isian otak yang lebih bergizi lagi.
Agar hatiku lapang dan penuh bunga. Agar kebijaksanaan
tumbuh dan kedewasaan mapan bercokol dalam setiap pertimbanganku. Agar aku tak
perlu berharap jarum jam berputar ke belakang. Lalu ia berhenti pada masa
ketika aku berumur tiga sampai lima tahun, sebelum hari kutemukan selembar akte
pengadilan negeri di meja kerja ayahku. Ah, aku tak akan bicara seperti ini
lagi.
Bukankah setiap orang berhak menjadikan dirinya sutradara
dalam episode hidupnya? Tidak. Tentu saja. Kita hanyalah pion di atas papan
takdir yang berkelindan. Inilah simfoninya.
Sama sepertimu, aku juga pion-pion itu. Di antara kita,
ada pion kaca bersayap, kosong dan menyilaukan seraya terbang mengangkasa,
melewati kotak-kotak hitam-putih. Di antara kita juga pion besi yang pejal,
berat membawa dirinya, melewati satu demi satu perjalanan hitam-putih, teguh
dan menyambut ketegaran di setiap persimpangan. Di antara kita juga ada pion
air yang menguatkan, tembus cahaya dan tak pernah memakan yang lainnya,
mengalir dan melewati batas-batas kecil. Di antara kita lebih banyaknya bukan
pion kaca bersayap ataupun pion besi atau pion air. Kebanyakan kita tak
terdefinisi dan mungkin saja irisan atau perpaduan dari variable pesona,
ketegaran dan fleksibilitas. Kebanyakan kita tak tahu perkara pion-pion itu.
------------------
Beberapa saluran televisi
kabel cukup menarik bagiku. Aku suka discovery
channel, BBC, dan tentu saja, nickelodeon.
Aku tak suka film romance. Selain
karena ibuku rajin berceramah soal virus sampahan dari konstruksi nalar film romance, aku memang tak mengerti alur
logikanya. Sementara beberapa anak perempuan lain di kelasku memang gemar
bicara soal film Spanyol yang baru-baru ini di tayangkan di saluran televisi
swasta nasional. Aku samasekali tak kecewa, mereka tak tahu bahwa telah terjadi
lonjakan statistic penduduk dunia, puisi
Rendra dan Taufik Ismail, kekeringan di Afrika dan perang di kawasan Timur Tengah,
bombardir AS atas Irak, atau tentang Patrick yang ternyata hanya disukai Gary
berkat sepotong kue di kantong celananya. Kata ibuku, pengetahuan seperti itu
lebih mapan dan lebih berguna daripada hafalan kisah cinta picisan.
Aku jadi ingat. Beberapa tahun
yang lalu aku sempat juga penasaran soal Romeo dan Juliet. Ibuku bilang itu
pengetahuan orang dewasa. Tapi ayahku Cuma tertawa geli waktu itu,
menggendongku, lalu ditanyainya aku, “darimana kau dapatkan informasi mahal
semacam itu?”. Kulihat ibuku masam, seakan tahu ada hal menjengkelkan yang akan
dihadapinya. Ya, setelah itu selama semingguan aku Cuma sibuk menghabiskan
bacaan naskah drama shakespare 1778 dan kumpulan puisi Schumann yang diberikan
ayahku. Sejak saat itu, aku tahu banyak mengenai “pengetahuan orang dewasa yang
mahal itu” – sebuah simpulan yang ku-ambil dari definan kedua orangtuaku. Aku
lumayan pintar untuk anak yang rata-rata lebih tua dua tahun dariku waktu itu,
kata ayahku. Aku percaya saja, tak tahu itu pujian atau kebanggaannya atas diri
pribadinya.
Maka ketika seekor burung
bersikeras mematuki jendela kaca kamarku, aku kembali terbangun dari lamunanku
di meja belajar. Aku masih sendirian. Mengetahui bahwa aku kini tak suka berdua
denganmu. Dengan tanpa diriku yang tak kusukai juga dirimu yang tak pernah ku
kenali. Kita hentikan saja celotehan ini sampai disini. Aku masih menulis.
Masih dengan pena yang tidak tiba-tiba bisa bicara.
Ya, umurku Sembilan tahun.
Tak bergerak dalam dinamisasi luaranku. Umurku sembilan tahun. Terlalu banyak
berkata ‘aku’. Aku jadi potret penduduk ke-aku-anku. Dan aku sendiri, tak suka
kesendirianku lagi. Umurku Sembilan tahun. Aku orang buangan dari perspektif
diriku sendiri. Umurku Sembilan tahun. Dimarahi hati kecilku, memaksa burung
merpati itu bicara padaku, mengertikah kau?
Subscribe to:
Posts (Atom)