Tuesday, October 4, 2011

Pesona



Aku tak dapat menerka dengan leluasa. Tentang falsafah dugaanku yang paling asasi. Sebab prasangka ialah perkataan yang sedusta-dustanya. Pula bicaraku tak jadi vitamin yang menghindarkan aktivasi virus nalarku. Aku terpana.

Kini betapa ia riang gembira dalam rona bening wajahnya. Ah, bidadari surga. Kapankah kiranya katalisasi fana mengangkasa bersama tiupan sangkakala. Lalu jadi definan nuansa yang tak terdefinisi. Akhiran yang menyongsong tanpa akhir, di batas terminal yang tak ada lagi putar parkir.

Bahwasanya fir’aun mengakui juga kekeliruannya waktu garam menempel di batasan tenggorokannya. Pecahan pangkal dua udara di persemayaman gulita, terlambat sudah. Sebab kini ayat retoris itu sembilu mengiris jantungku, kita telah tahu yang pertama lalu mengapa tak belajar untuk transformasi lanjutannya?

Iya, manusia memang serba salah pula jadi serba benarnya. Kala sampai dentum tragedi atas darahnya, terhenti pula asupan oksigen ke otaknya, jadi gila. Kesana kemari mencari menang dan kalah. Lalu aku Cuma bisa kembali terpana.

Terpana, dibidik naluriah sinisme jembatan panjang yang melebar kemana-mana. Lewat mana?

Iya, T-E-R-P-A-N-A. Cuma menganga membasahi dengan sisa-sisa yang tersisa dalam intrik proporsional soal merah. Ini garisannya, usai itu ia bisa jadi merah-putih atau merah-kuning-hijau. Terserah kau.

Terkaanku memang tak dapatkan nada yang dimaksudkannya dengan seksama. Terlebih lagi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Berkhayal saja, sebab merdeka bukan lagi tentang undang-undang dasar 1945. Dan akuisisi material dustanya jadi asasi formil ekstase yang luarbiasa. Merajalela.

Baiklah, kini ia tak ingin disebut kupu madu dan kupu-kupu sayap merdu. Sebab manisnya bukan kecup glukosa di titipan simbol-simbol ganasnya. Ini lagi-lagi bukan tentang pola pintu stomata atau restorasi kromosom manusia yang 23. Dinamisasi. Dimana problematika jadi arogansi sosial yang membajak kerja-kerja pilot project sederetan rasi. Tanpa saksi.

Sehingga transporter waktu mengetukkan denyutnya dalam hitungan lima jari. Habis itu, pergi berlari. Bosan. Jadi sebuah paradoxal norm yang mencari pamit tanpa permisi. Dibebaskan, tutur kata tak lagi menuansa menghebatkan.

Lagi-lagi, jadi sejenis overdosis di penghujung perobatan keadilan yang basa-basi. Lagi-lagi, memang sakit yang sedusta-dustanya prasangka asasi. Caci maki.

No comments:

Post a Comment