Tuesday, May 17, 2011

Ceramics

Rimbunan daun sepanjang jalan keramik itu terayunkan angin malam. Getar dingin menyelimuti bekuan udara. Sementara aku jadi buaiannya yang terlelapkan dalam sunyi yang menyala lembut. Jalan keramik yang punya titik titik kilauan, memantulkan sedikit cahaya dari bulan yang menari malam ini.

Dan aku tak pernah tahu bahwa kemudian hatiku jadi selembar putih sari, seakan membercak di dedaunan kering kemarau. Tentu saja, terlalu banyak hal yang tak kumengerti. Mati merangas, tak berkesempatan subur kedua kali.

Rindu. Rindu rasa rindu wanitaku. Rindu. Rindu naskah epilog rindu ceritaku.

Hingga sejatinya merah mudaku sekedar jadi titipan yang melayangkan roda roda zaman ke atas sandang dan pangan. Tanpa rumahnya yang berpucuk pada godaan senyum senyum malam. Ahh... rindu, kata macam apa lagi itu.

Bias darahku, naik ke atas kepalaku. Panas. Berkumpul mengepung dengan kerlingan piciknya yang mafhum. Ya, bahwa hatiku jadi selembar putih sari, membercak di dedaunan kering kemarau. Mati merangas, tak berkesempatan subur kedua kali. Bias, jatuh di simultansi medium darahku.

Rindu. Rindu rasa rindu wanitaku. Rindu. Rindu paras rindu matahariku.

Hingga rupanya detak nadaku digantungkan dalam pallet lukisan Tuhanku. Tanpa bening untuk menghapus warna-warna yang salah. Dan prisma dalam interpretasi ganda. Ahh... rindu, kata macam apa lagi itu.

Bahwa rimbunan daun di jalan keramik itu menempati indikatorisasi tertingginya. Di balik citra panah-panah cahaya yang musykil. Diayunkan angin malam, memantul jadi refleksi memilukan tentang tarian rembulanku.

Aku ingin terbang kembali. Subur untuk kedua kali.

No comments:

Post a Comment