Tuesday, November 13, 2012

Reasonable touch


                Kadang kita tak pernah tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites, keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.           
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
                “Apa yang biasa kau sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam kegiatan social? Bagiku cintaku adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
                Matanya masih terkatup berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya. Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
                Aku suka berkata-kata rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical assumption yang membuatku sedari kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini dan  begitu tak sempat membuatku berpikir sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan “boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
                Sejak kapan aku peduli dengan ibuku?
                Pertanyaan semacam itu jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
                Orang sepertiku, pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
                Pernahkah kalian tahu bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya mampu melakukan sesuatu.
                Dosa yang pertama karena tak bersyukur dengan setting hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar. Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua, bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu segalanya. Haha.
                Keberadaan orang lain di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka. Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu. Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
                Aku bukanlah orang yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup menganggu bukan?
                Aku ingin punya sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku, setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
                Jalan raya kota malang searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka. Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
                Aku suka bertengkar, tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
                Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu. Kata ayahku.
                Tidak, aku sekedar ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA. Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian, dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana, menarik. Aku tidak.
                Di belakang itu, usai jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini tulisan kamu beneran?”
                “Iya bu, coba aja ibu cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
                “Selamat, nilai kamu tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
                “Bukannya Hadi yang nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
                “Bukan, saya hanya berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis, romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
                Seperti virus masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
                Tamat.
xxxxx
                Belum tamat.
                Sebab aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
                Kita bicara tentang hal lain saja. Lain kali.

1 comment:

  1. Jiwaku memang benar2 mati seketika itu juga. Mira, April 18th, 2019 :)

    ReplyDelete