Oke, mari kita refresh segala kepulan asap di kepala. Lalu nyanyikan suara jangkrik dan derit angin. Atau sembunyikan lilin di bawah tempat tidur dan biarkan ia meleleh di lantai. Sebab itu artinya kau menghindari penerangan dan membiarkannya mati putus asa. Sebab itu artinya kita sedang bersandiwara, bersama-sama duka dan percita-citaan.
Apa juga yang disebut kedukaan? Juga apa yang bisa dirujuk sebagai percitaan?
Kita tak pernah tahu aralnya, tapi entah, ia terdefinisi bersama kelahiran setiap kau. Setiap kau lahir. Ia direvitalisasi menuju definisi hakiki.
Maka bila saja bisa, terkirimkan kepulan asap di kepala pada satu konsistensi pribadi yang sengaja dikaburkan, akan kau teruskan. Bila segalanya semakin memanas, akan kau hentikan. Ini petuahnya dan kau bukan orang biasa, tentu saja. Kau berjalan di atas kebencian yang dikirimkan. Pula berpikir dilingkupi amarah yang disetting dari kejauhan. Mungkin kau berusaha menghalaunya.
Tipu dayamu itu, kurasa boleh juga. Bukankah kau katakan bahwa ilmu melebihi kiriman kejahatan? Bukankah kau yakinkan aku bahwa kepahamanmu itulah penyelamatnya? maka biarkan saja segala simultansi mekanis dari pilihanmu itu berjalan sedetak dengan kesempatan jantungmu merangkai nada.
Dari sanalah hikmah disemai. Dari sanalah hidayah diraih. Dari sanalah keberkahan dirangkumkan. Tak perlu banyak orang. Ini hanya tentang sebuah ruh yang berjalan menuju Tuhannya, katamu barusan.
No comments:
Post a Comment