Maybe I'd thinking to not to talk with anyone else, beside my self. Maybe I'd thinking if I dont need them. I do my job as me. I do listen my song as me. I just especially interpreted everything by my way. I don't need the society.
Cause I'm not the one of them. I'm not the running vehicle, the great balloon or something like that. Perfectly I just thinking that maybe, I'm not the part of this all crazy people around me. Do I have my right to said that they was the crazy people? Surely I'm not.
So, how about to living on the forest, talk to the tree then fly with dragon? How about to have no friends? How about to surely did not need anyone else? I'm just me.
This all perfectly knocking my brain. This all perfectly having the main driver of this head. Willing to living on the forest or on the mermaid's empire, the deep sea under the land.
Monday, May 14, 2012
Saturday, May 12, 2012
The Condolences
Oke, mari kita refresh segala kepulan asap di kepala. Lalu nyanyikan suara jangkrik dan derit angin. Atau sembunyikan lilin di bawah tempat tidur dan biarkan ia meleleh di lantai. Sebab itu artinya kau menghindari penerangan dan membiarkannya mati putus asa. Sebab itu artinya kita sedang bersandiwara, bersama-sama duka dan percita-citaan.
Apa juga yang disebut kedukaan? Juga apa yang bisa dirujuk sebagai percitaan?
Kita tak pernah tahu aralnya, tapi entah, ia terdefinisi bersama kelahiran setiap kau. Setiap kau lahir. Ia direvitalisasi menuju definisi hakiki.
Maka bila saja bisa, terkirimkan kepulan asap di kepala pada satu konsistensi pribadi yang sengaja dikaburkan, akan kau teruskan. Bila segalanya semakin memanas, akan kau hentikan. Ini petuahnya dan kau bukan orang biasa, tentu saja. Kau berjalan di atas kebencian yang dikirimkan. Pula berpikir dilingkupi amarah yang disetting dari kejauhan. Mungkin kau berusaha menghalaunya.
Tipu dayamu itu, kurasa boleh juga. Bukankah kau katakan bahwa ilmu melebihi kiriman kejahatan? Bukankah kau yakinkan aku bahwa kepahamanmu itulah penyelamatnya? maka biarkan saja segala simultansi mekanis dari pilihanmu itu berjalan sedetak dengan kesempatan jantungmu merangkai nada.
Dari sanalah hikmah disemai. Dari sanalah hidayah diraih. Dari sanalah keberkahan dirangkumkan. Tak perlu banyak orang. Ini hanya tentang sebuah ruh yang berjalan menuju Tuhannya, katamu barusan.
Apa juga yang disebut kedukaan? Juga apa yang bisa dirujuk sebagai percitaan?
Kita tak pernah tahu aralnya, tapi entah, ia terdefinisi bersama kelahiran setiap kau. Setiap kau lahir. Ia direvitalisasi menuju definisi hakiki.
Maka bila saja bisa, terkirimkan kepulan asap di kepala pada satu konsistensi pribadi yang sengaja dikaburkan, akan kau teruskan. Bila segalanya semakin memanas, akan kau hentikan. Ini petuahnya dan kau bukan orang biasa, tentu saja. Kau berjalan di atas kebencian yang dikirimkan. Pula berpikir dilingkupi amarah yang disetting dari kejauhan. Mungkin kau berusaha menghalaunya.
Tipu dayamu itu, kurasa boleh juga. Bukankah kau katakan bahwa ilmu melebihi kiriman kejahatan? Bukankah kau yakinkan aku bahwa kepahamanmu itulah penyelamatnya? maka biarkan saja segala simultansi mekanis dari pilihanmu itu berjalan sedetak dengan kesempatan jantungmu merangkai nada.
Dari sanalah hikmah disemai. Dari sanalah hidayah diraih. Dari sanalah keberkahan dirangkumkan. Tak perlu banyak orang. Ini hanya tentang sebuah ruh yang berjalan menuju Tuhannya, katamu barusan.
Tuesday, May 8, 2012
SEMACAM
Inilah kira-kira pertama kalinya gue memakai literasi dari orang lain sejak beberapa tahun lalu. Ya, gue emang agak sulit terkesan, agak sombong, agak sinis dan sharp. (astaghfirullah). Gue agak jarang banget mengapresiasi orang, kecuali kalo gue tahu tu orang emang harus di support dengan cara begitu. Kadang, gue jadi maksain muji orang, dan keluarnya, "eh iya, he he, iya, bagus bagus, what a great."
Balik lagi ke literasi asing bernama SEMACAM. Ini gue dapetin dari echi. Anak Jakarta juga, temen gue-eloan di malang. Cuman, echi emang tipe orang yang 180 derajat beda sama gue. Yaah.. dia mellow gitulah, agak cengeng, lebay juga kadang-kadang, perhatian gitu, dan rajin mandi sama pake pelembab. Whahahaha pokoknya semua kejahatan yang gue lakukan biasanya echi yang paling anti juga. Mmmm biar gue pake literasi itu untuk pertama kali. SEMACAM naek busway ngintilin orang dia ga tertarik. SEMACAM baca buku 2000 halaman dia juga ga tertarik. SEMACAM ngomongin betapa kerennya cara-cara ngibulin orang yang gue dapetin inspirasinya, setau gue juga dia malah astaghfirullah-an.
SEMACAM orang baik kalo dibandingin gue gitu lah. Hahahhaa...
Dan gue sekarang, SEMACAM MAU MAKAN ORANG.
Ya, oke. That's all.
Balik lagi ke literasi asing bernama SEMACAM. Ini gue dapetin dari echi. Anak Jakarta juga, temen gue-eloan di malang. Cuman, echi emang tipe orang yang 180 derajat beda sama gue. Yaah.. dia mellow gitulah, agak cengeng, lebay juga kadang-kadang, perhatian gitu, dan rajin mandi sama pake pelembab. Whahahaha pokoknya semua kejahatan yang gue lakukan biasanya echi yang paling anti juga. Mmmm biar gue pake literasi itu untuk pertama kali. SEMACAM naek busway ngintilin orang dia ga tertarik. SEMACAM baca buku 2000 halaman dia juga ga tertarik. SEMACAM ngomongin betapa kerennya cara-cara ngibulin orang yang gue dapetin inspirasinya, setau gue juga dia malah astaghfirullah-an.
SEMACAM orang baik kalo dibandingin gue gitu lah. Hahahhaa...
Dan gue sekarang, SEMACAM MAU MAKAN ORANG.
Ya, oke. That's all.
Sunday, May 6, 2012
Warna Cahaya
Aku masih ingat sedikit, tentang bola kaca berwarna cahaya. Waktu itu di penghujung waktu-waktu sahur, kau bentangkan tanganmu ke arah timur. Setelahnya, bola kaca itu kau letakkan di atas meja tinggi kepunyaan ibuku. Sambil terus membalur hatimu dengan kebahagiaan, kau seru dengat begitu yakinnya, "Bola kaca berwarna Cahaya.". Ah lalu munculah literasi itu. Literasi warna cahaya.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, jika saja memang sanggup ku ingini yang seperti itu. Tentang seberapa banyak pelajaran yang kudapatkan darimu. Tentang seberapa panjang deret kata yang melukiskan makna antara kau dan aku.
Ah, sahabat, jika saja bisa kukatakan begitu. Ah, sahabat, tak akan kutemui lagi sahabat sepertimu.
Kau bilang aku beruntung karena aku adalah aku. Dan kau beruntung. Karena kau adalah kau. Ya, ini tentang bersyukur, katamu. Dan ah, kurasa aku mulai terjebak dalam kritik dialogis soal siapa yang lebih beruntung di antara kita.
Sebab bagiku, waktu itu bandingan faktorial pastilah ada intensitas pembedanya, kepekatan warna cahayanya, bahasamu. Haha. Aku mulai mengulur lagi hatiku pada kebekuan waktu kau tak akan kembali lagi. Haha. Aku mulai jadi pihak penderita yang mati rasa, habis dimakan kulit serangga.
Hingga semerbak bau merah jambu cuma bias dilekukan jingga-jingga. Hingga teduhnya hijau muda tak lagi menginginkan perpanjangan logika antara coklat akar dan batangnya.
Ini soal diferensiasi. Katamu lagi. Tapi bagiku ini soal frekuensi. Ah, tinggalkan saja. Kita bersepakat.
Kau dan aku. Siapa yang lebih beruntung? Sebab aku rindu kau. Dan kau tak mungkin demam karena rindu aku lagi.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, jika saja memang sanggup ku ingini yang seperti itu. Tentang seberapa banyak pelajaran yang kudapatkan darimu. Tentang seberapa panjang deret kata yang melukiskan makna antara kau dan aku.
Ah, sahabat, jika saja bisa kukatakan begitu. Ah, sahabat, tak akan kutemui lagi sahabat sepertimu.
Kau bilang aku beruntung karena aku adalah aku. Dan kau beruntung. Karena kau adalah kau. Ya, ini tentang bersyukur, katamu. Dan ah, kurasa aku mulai terjebak dalam kritik dialogis soal siapa yang lebih beruntung di antara kita.
Sebab bagiku, waktu itu bandingan faktorial pastilah ada intensitas pembedanya, kepekatan warna cahayanya, bahasamu. Haha. Aku mulai mengulur lagi hatiku pada kebekuan waktu kau tak akan kembali lagi. Haha. Aku mulai jadi pihak penderita yang mati rasa, habis dimakan kulit serangga.
Hingga semerbak bau merah jambu cuma bias dilekukan jingga-jingga. Hingga teduhnya hijau muda tak lagi menginginkan perpanjangan logika antara coklat akar dan batangnya.
Ini soal diferensiasi. Katamu lagi. Tapi bagiku ini soal frekuensi. Ah, tinggalkan saja. Kita bersepakat.
Kau dan aku. Siapa yang lebih beruntung? Sebab aku rindu kau. Dan kau tak mungkin demam karena rindu aku lagi.
GALAU
Jadi gini, dia pergi kesana kemari mencari-mencari. Yang disananya kucari-cari tanpa henti, ternyata tanpa arti. Ah, gila, jadi dimana yang kesana kemarinya itu dicari? Sampai hati biarkan berjuta-juta pikir mengawang pergi. Mengambil impuls yang menusuk, mengaliri sinaps yang menyerusuk masuk, mati.
Parah, dipikirnya aku menyerah saja. Diam tak pernah berkata-kata, dari mulut antah berantah. Gila, dipikirnya aku biasa saja. Yang kesana kemarinya tiada juga bisa dipaksa.
Saudariku, where are you?
#guling-guling-galau#
Parah, dipikirnya aku menyerah saja. Diam tak pernah berkata-kata, dari mulut antah berantah. Gila, dipikirnya aku biasa saja. Yang kesana kemarinya tiada juga bisa dipaksa.
Saudariku, where are you?
#guling-guling-galau#
Subscribe to:
Posts (Atom)