Wednesday, June 1, 2011

Dilemma

Sebenarnya aku hanya ingin berkata-kata tentang desir asa yang kurasa. Ketika nyatanya selusupan cita dimakan nelangsa perimbangan intuisi pribadiku. Kami kalah.
Nyatanya, kenyataan berbalik jadi cekung tipis. Mengerdil membumikan diri sendiri. Lalu maya jadi belantara yang begitu lebatnya. Meraksasa, cembung mengangkasa.
Terkadang intuisiku memang dimakan serangga dilemma. Ceritanya, dua jembatan membentang di ketinggian jurang yang menggila. Menarik paksa kaki kanan-kiriku, jadi gelisah melangkah.
Kemana, aku harus cari peta intuisi pribadiku. Kami kalah.
Sebab katanya menang hanya ada di gantungan gemintang malam hari. Sebab katanya menang, memang digantung di penghujung langit yang tak berujung. Sama visinya, sama citanya. Sama gila.
Dilemma merajuk pada mekanisme intuisi pribadiku. Ketika arusnya mengkeroposi jalan-jalan menangku. Hingga selaksa penghujung benar jadi tak berujung. Dan kata, kata-kata mereka menggagalkan puasa cermin datar.
Sebab nyatanya, kenyataan memang berbalik jadi cekung tipis. Mengerdil membumikan diri sendiri. Lalu maya jadi belantara yang begitu lebatnya. Meraksasa, cembung mengangkasa.
Abnormal jika fraktur pikirmu mengucur merah dalam symbol nanah yang menganga. Sebab baiknya nanah selalu putih agar angkasa tetap jadi biru yang menyala. Baiknya cerita selalu putih agar jalan batu tetap abu-abu. Ya, kami kalah.

No comments:

Post a Comment