Wednesday, February 20, 2013

The GAP (2)

Kehinaan karena permulaan menghinakan diri sendiri.
            Sebab marah adalah muaranya kerendahan akhlaq. Kekecewaan yang jadi kemarahan, kesedihan yang jadi kemarahan, kedengkian menjadi kemarahan, iri, sombong, lemah dan kekakuan yang bermuara jadi kemarahan. Lemahnya orang yang sering marah, hinanya mereka, permulaan karena menghinakan diri sendiri.
            Kemarahan itu ibarat aku. Ya, kerendahan akhlaq semacam itu. Ketika kusadari bahwa kemarahan yang ditumpuk menjadi kesedihan itu lebih khusyuk, lebih melankolis, lebih banyak air mata, lebih penuh kesyukuran.
-THE GAP-
Ini tentang hal lain. Tentang sesuatu yang benar-benar lain. Dimana fokus bicara akan menentukan akarnya. Di tempat dimana aku bisa berdiri dan memandangi dilematika faktorial antara aku dan setiap orang.
Biasa saja, sederhana saja. Tidak untuk menjadi beda. Tidak banyak aksesoris. Membuka kembali lembaran kasus demi kasus, dilematika dan perhelatan dunia. Yang dzahir, yang bathin.
Sebab katanya ‘hatiku ini ibarat tanah gersang’. Maka ‘tidak mudah bertumbuh tanaman di atasnya’. Namun ‘sekali mencengkram maka tak akan akarnya tercerabut’. Katanya ‘hatimu itu ibarat akaran tanah gersang’. Untuk ‘menemui akar tumbuhan sejatinya’. Yang ‘tak mampu tercerabut’. Sehingga ‘hatiku pun akaran tanah gersang, hatimu tanah gersang’. Dan ‘bagaimana bisa bertemu akaran dan tanah gersangnya?’.
“The one who confused for you was just the silly one.” Kata seseorang di masa lalu.
“Tidak akan tercurah kecintaan Allah untuk yang hatinya getir mencintai. Barakallah untuk orang-orang yang hatinya penuh kasih sayang.” Ujar seseorang setelahnya.
“I just transfer you the most precious things in life. The named is “perspective”. You just have to look to everything until you die, just found release yourself, you just can face it easily. It’s all the same, both of us” lanjutnya
“itu Cuma hasutan setan, jika kau berpikir sesempit hanya bertumpu pada saya dan ruangan ini. Begitu banyak orang yang dapat dijadikan saudara di luar sana. Bumi Allah begitu luas.” Katanya, khusyuk
            Kini aku telah bertemu tokoh-tokoh yang begitu kuat dalam imajinasiku. Mereka, keduanya, tokoh yang begitu membuatku bersyukur. Yang keduanya bertolakbelakang. Yang keduanya, kata-katanya selalu kudenngarkan sampai jelas, yang kusediakan memori khusus untuk mereka.
            “Bahwa yang ditinggalkan untuk ummat Islam ini hanyalah ilmu. Rasulullah saw bersabda, sebagian dari kalian mengambil banyak, sebagian lagi hanya sedikit. Tapi bahkan bukan imannya. Berdoalah, agar dikuatkan keimanan, agar luntur segala kepalsuan, dalam kuatnya juga hasutan setan.” Suara senyum renyahnya retak, aku merasakan kekhawatirannya walau tak melihat wajahnya
            “Wallahu’alam.” sambungnya
            “I will never confused, while I leave you. Even its on the forest. You just carry yourself by your big head-stone. Haha. Do what you want, on a track, you found what must. That’s all. Just see. It’s all the same about us.” Ujarnya lalu tertawa, memelukku yang di pangkuannya
            “Don’t let people see who’s the really you.” Katanya, mengakar, mencengkram, sebuah mainstream besar yang begitu luxurious, bagiku.
            “So I don’t need to have the-really-me. It’ll bother me so far.” Balasku. Ia terdiam.
            Kata-kataku mungkin telah terijabah pada saat itu juga.

No comments:

Post a Comment