Thursday, August 16, 2012

Belasungkawa Pion Kaca


Oleh : Mira Fajriyah
         
Rumah ini kembali sepi. Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa kesunyian yang seperti ini akan jadi sebuah pil pahit yang tak kusukai juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, memperhatikan bunga yang ditanam di taman halaman depan, memasak pudding dan ikan laut kukus kesukaanku, ya, masakan lainnya juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, menuliskan segala keresahanku di bait-bait puisi yang tak mungkin dimengerti orang lain – kalau saja ada orang lain itu. Lalu di sore dan malam harinya, menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolahku, sesekali main game, juga menjahili beberapa anak menyebalkan di kelas lewat sms kalengan, ya, lalu tidur. Habis hidupku seharian dalam kesunyian, berduaan dengan diriku.
            Aku suka menulis. Entah, mungkin segala stimulus theoretical assumption yang selalu kudengar dari diskusi ayah ibuku terlalu menggunung di pelataran simpul kimia otakku. Aku suka menulis. Menulis apa saja. Seperti saat ini.
Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kali ini kesepian ini begitu menjijikkan. Membuatku mual dan berharap segalanya cepat berakhir. Tanpa pertolongan juga tanpa pena yang tiba-tiba bisa bicara. Seakan segalanya serba timpang, aku tak suka lagi berdua dengan diriku. Aku yang ini, yang tak suka dengan diriku, seakan jadi dua sisian yang tak saling berdampingan, dua pintu yang tak saling membuka. Bungkam seribu bahasa.
------------------
Beberapa hari lalu, teman ibuku datang di ruang tamu ini. Ia membawa serta dua anaknya yang menjijikkan, berumur lima dan empat tahun. Kedua anaknya itu kurasa sepasang anak perempuan yang mengidap sakit gila, menggelesorkan diri di karpet ruang tamu, lalu meraung-raung meminta dibelikan es krim. Dua-duanya, anak perempuan bau ingus yang mengidap kegilaan akut. Lalu ibuku dengan senyum tertahan yang kebingungan, Cuma bisa kelu menanggapinya. Juga temannya yang tak mampu menangani kedua anak busuknya. Aku menggelengkan kepala, masuk kamar dan menulis sebuah kalimat di sticky notes layar komputerku, anak setan juga ikut turun ke dunia bersama moyang mereka, abadi sampai neraka.
Baiklah, anggaplah kini aku tak lagi sendiri. Sebab kau telah dengan sabar menekuri kalimatku. Kau, lagi-lagi dengan sabar menyusun reaksi kimia di pelataran sinaps otakmu untuk merelakan beberapa informasi sampah dalam tulisanku ini, masuk dalam memori bawah sadarmu – yang sewaktu-waktu bisa saja keluar dan mengacaukan hidupmu. Bahwa kita kini tak dengan diriku yang tak kusukai atau dengan dirimu yang tak pernah kukenali.
Singkat cerita, aku tidur lagi siang itu. Lalu sorenya kudengar pintu kamarku diketuk perlahan. Membangunkanku yang lumayan sibuk dengan pembenahan instalasi alam warasku pasca mimpi di kedalaman jaringan neuron. Aku sempoyongan, perlahan kubuka pintu dan kudapati ibuku tersenyum simpul satu-satu senti seperti biasa. Membelai kepalaku. Ah, mengganggu saja.
Tapi ternyata aku salah. Kali ini beliau tak hanya sekedar menggangguku. Tapi untuk ke sekian kalinya akan melumat-habiskan hidup harianku. Katanya, seorang psikolog sudah kembali datang dengan setumpukan aplikasi tes IQ. Katanya, ini jadwalnya, jadwal enam bulananku, jadwal yang tak pernah kubuatkan lingkaran merah di kalender atau ku ingat setiap kali datang temponya. Aku mual, dengan segala ketidakwarasan ini.
------------------
            Umurku sembilan tahun. Aku asli keturunan China. Keturunan otak jenius professor ekonomi sosialis di Tokyo. Umurku Sembilan tahun. Ibuku seorang pengusaha butik hebat. Ia mengambil doctoral bidang ekonominya di Canberra, bertemu ayahku lalu mereka menikah. Umurku sembilan tahun. Aku membaca surat cerai kedua orangtuaku. Saat itu umurku lima tahun, masih siswi kelas dua primary school. Umurku Sembilan tahun. Dan aku dianggap punya keterbelakangan mental.
            Bagi sebagian orang aku menggemaskan. Terutama bagi para tamu ibuku yang pecicilan mencari inspirasi dalam mempermudah bisnisnya. Bagi sebagian orang aku menyebalkan. Terutama bagi teman-teman sekelasku. Aku suka mengutuk mereka dengan ekspresi meyakinkan yang ku tiru di film-film fantasi. Aku suka menjahili mereka dengan sms kutukan dan melempari mereka dari belakang dengan pensil. Bagi sebagian orang aku amoral. Terutama bagi para guru di sekolahku. Aku sering keluar kelas ketika mereka menulis di papan. Aku sekali-dua kali ikut pelajaran jam olahraga dan kelas hobi, sisanya kutinggalkan. Bagi sebagian orang aku picik dan nakal. Aku sering ke perpustakaan dan memindah-mindahkan buku-buku yang tersusun rapi menurut skema kepustakaan. Aku beberapa kali membohongi guru BP dan menuduh temanku dengan berbagai alibi. Mereka tahu itu. Umurku hanya Sembilan tahun.
            Aku kelas enam SD dan dua bulan lagi tes nasionalku untuk keluar dari rutinitas sekolah dasar akan dilangsungkan. Ibuku bilang setelah lulus dengan nilai bagus, aku tak akan lagi dipaksa pergi ke sekolah. Aku akan menjadi dewasa dan aku akan punya lebih banyak hal menyenangkan. Ia hanya tahu umurku Sembilan tahun tapi tak tahu bahwa anak seumuranku tak bisa dibohongi dengan cara naïf macam itu. Semua orang tahu, sistem pendidikan menjijikkan ini mengharuskanku hadir dalam rutinitas belajar setidaknya sampai umurku Sembilan belas tahun. Tiga tahun SMP, tiga tahun SMA, empat tahun di perguruan tinggi. Masih jauh dan selama itu pula ibuku dan psikolog bodoh ini terus akan jadi momok yang menggelikan bagiku.
            Maka setumpukan buku kuisioner memalukan hadir di penglihatanku. Inilah masa-masa penjara itu. Kata Nizami penulis Persia kuno kisah Laila Majnun itu, lebih gila dari nuansa serigala padang pasir mengarungi penginderaanmu, merasuki khayalanmu tentang kecantikan duniawi, tapi itu semua bohong, kata-kata lukisan belaka. Aku mengantuk, memaksa tidur lagi.
Apa yang biasa kau pikirkan sebelum kau pergi dari rumah? Apa yang menurutmu biasanya dipikirkan anak umur Sembilan tahun sepertiku? Apakah kau pikir aku cuma suka dengan keterbatasan tinggi badanku ketika harus masuk wahana yang tak diperbolehkan selain untuk mereka yang di atas 100 sentimeter? Aku mengamuk. Di kediamanku. Menyelesaikan soal bau bangkai ini seraya memutar balik dan melurushadapkan pikirku tanpa pola tentang wahana halilintar dufan. Terus melakukannya sampai pukul delapan malam, lalu membuang pensil yang telah berjasa ikut serta dalam kegilaan ini, ke arah dapur sejauh 4 meter – dengan marah.
Mungkin seharusnya aku tak pernah dilahirkan saja. Mungkin seharusnya ayahku bukan orang luar Indonesia atau setidaknya Thionghoa Jakarta saja. Mungkin seharusnya ibuku tak perlu mengambil beasiswa doktoralnya waktu itu. Mungkin aku tak perlu dianggap sedikit lebih jenius dibandingkan teman sekelasku yang bukan anak profesor dan doktor ekonomi. Mungkin arena hidup ini memang berkelindan seperti yang dikatakan Tere Liye dalam Rembulan Tenggelam-nya. Rupanya aku benar butuh isian otak yang lebih bergizi lagi.
Agar hatiku lapang dan penuh bunga. Agar kebijaksanaan tumbuh dan kedewasaan mapan bercokol dalam setiap pertimbanganku. Agar aku tak perlu berharap jarum jam berputar ke belakang. Lalu ia berhenti pada masa ketika aku berumur tiga sampai lima tahun, sebelum hari kutemukan selembar akte pengadilan negeri di meja kerja ayahku. Ah, aku tak akan bicara seperti ini lagi.
Bukankah setiap orang berhak menjadikan dirinya sutradara dalam episode hidupnya? Tidak. Tentu saja. Kita hanyalah pion di atas papan takdir yang berkelindan. Inilah simfoninya.
Sama sepertimu, aku juga pion-pion itu. Di antara kita, ada pion kaca bersayap, kosong dan menyilaukan seraya terbang mengangkasa, melewati kotak-kotak hitam-putih. Di antara kita juga pion besi yang pejal, berat membawa dirinya, melewati satu demi satu perjalanan hitam-putih, teguh dan menyambut ketegaran di setiap persimpangan. Di antara kita juga ada pion air yang menguatkan, tembus cahaya dan tak pernah memakan yang lainnya, mengalir dan melewati batas-batas kecil. Di antara kita lebih banyaknya bukan pion kaca bersayap ataupun pion besi atau pion air. Kebanyakan kita tak terdefinisi dan mungkin saja irisan atau perpaduan dari variable pesona, ketegaran dan fleksibilitas. Kebanyakan kita tak tahu perkara pion-pion itu.
------------------
            Beberapa saluran televisi kabel cukup menarik bagiku. Aku suka discovery channel, BBC, dan tentu saja, nickelodeon. Aku tak suka film romance. Selain karena ibuku rajin berceramah soal virus sampahan dari konstruksi nalar film romance, aku memang tak mengerti alur logikanya. Sementara beberapa anak perempuan lain di kelasku memang gemar bicara soal film Spanyol yang baru-baru ini di tayangkan di saluran televisi swasta nasional. Aku samasekali tak kecewa, mereka tak tahu bahwa telah terjadi lonjakan statistic penduduk dunia, puisi Rendra dan Taufik Ismail, kekeringan di Afrika dan perang di kawasan Timur Tengah, bombardir AS atas Irak, atau tentang Patrick yang ternyata hanya disukai Gary berkat sepotong kue di kantong celananya. Kata ibuku, pengetahuan seperti itu lebih mapan dan lebih berguna daripada hafalan kisah cinta picisan.
            Aku jadi ingat. Beberapa tahun yang lalu aku sempat juga penasaran soal Romeo dan Juliet. Ibuku bilang itu pengetahuan orang dewasa. Tapi ayahku Cuma tertawa geli waktu itu, menggendongku, lalu ditanyainya aku, “darimana kau dapatkan informasi mahal semacam itu?”. Kulihat ibuku masam, seakan tahu ada hal menjengkelkan yang akan dihadapinya. Ya, setelah itu selama semingguan aku Cuma sibuk menghabiskan bacaan naskah drama shakespare 1778 dan kumpulan puisi Schumann yang diberikan ayahku. Sejak saat itu, aku tahu banyak mengenai “pengetahuan orang dewasa yang mahal itu” – sebuah simpulan yang ku-ambil dari definan kedua orangtuaku. Aku lumayan pintar untuk anak yang rata-rata lebih tua dua tahun dariku waktu itu, kata ayahku. Aku percaya saja, tak tahu itu pujian atau kebanggaannya atas diri pribadinya.
            Maka ketika seekor burung bersikeras mematuki jendela kaca kamarku, aku kembali terbangun dari lamunanku di meja belajar. Aku masih sendirian. Mengetahui bahwa aku kini tak suka berdua denganmu. Dengan tanpa diriku yang tak kusukai juga dirimu yang tak pernah ku kenali. Kita hentikan saja celotehan ini sampai disini. Aku masih menulis. Masih dengan pena yang tidak tiba-tiba bisa bicara.
            Ya, umurku Sembilan tahun. Tak bergerak dalam dinamisasi luaranku. Umurku sembilan tahun. Terlalu banyak berkata ‘aku’. Aku jadi potret penduduk ke-aku-anku. Dan aku sendiri, tak suka kesendirianku lagi. Umurku Sembilan tahun. Aku orang buangan dari perspektif diriku sendiri. Umurku Sembilan tahun. Dimarahi hati kecilku, memaksa burung merpati itu bicara padaku, mengertikah kau?

5 comments:

  1. keren mbaak :)
    benar2 anak 9tahun yg jenius!!!

    ReplyDelete
  2. ini imajinasi aja kok dek, bukan aku :)

    ReplyDelete
  3. seems like, it's you

    ReplyDelete
  4. Imajinasi, kadang ketika susah bertanya saya mengganti pernyataan itu dengan tambahan tanda tanya. hehe

    ReplyDelete
  5. sad little girl, ii'm feel sorry for her :'(

    ReplyDelete