Sunday, May 6, 2012

Warna Cahaya

Aku masih ingat sedikit, tentang bola kaca berwarna cahaya. Waktu itu di penghujung waktu-waktu sahur, kau bentangkan tanganmu ke arah timur. Setelahnya, bola kaca itu kau letakkan di atas meja tinggi kepunyaan ibuku. Sambil terus membalur hatimu dengan kebahagiaan, kau seru dengat begitu yakinnya, "Bola kaca berwarna Cahaya.". Ah lalu munculah literasi itu. Literasi warna cahaya.
Aku tak pernah tahu sebelumnya, jika saja memang sanggup ku ingini yang seperti itu. Tentang seberapa banyak pelajaran yang kudapatkan darimu. Tentang seberapa panjang deret kata yang melukiskan makna antara kau dan aku.
Ah, sahabat, jika saja bisa kukatakan begitu. Ah, sahabat, tak akan kutemui lagi sahabat sepertimu.

Kau bilang aku beruntung karena aku adalah aku. Dan kau beruntung. Karena kau adalah kau. Ya, ini tentang bersyukur, katamu. Dan  ah, kurasa aku mulai terjebak dalam kritik dialogis soal siapa yang lebih beruntung di antara kita.

Sebab bagiku, waktu itu bandingan faktorial pastilah ada intensitas pembedanya, kepekatan warna cahayanya, bahasamu. Haha. Aku mulai mengulur lagi hatiku pada kebekuan waktu kau tak akan kembali lagi. Haha. Aku mulai jadi pihak penderita yang mati rasa, habis dimakan kulit serangga.
Hingga semerbak bau merah jambu cuma bias dilekukan jingga-jingga. Hingga teduhnya hijau muda tak lagi menginginkan perpanjangan logika antara coklat akar dan batangnya.

Ini soal diferensiasi. Katamu lagi. Tapi bagiku ini soal frekuensi. Ah, tinggalkan saja. Kita bersepakat.

Kau dan aku. Siapa yang lebih beruntung? Sebab aku rindu kau. Dan kau tak mungkin demam karena rindu aku lagi.

No comments:

Post a Comment