Wangi angin. Mungkin kasar bila kita memulai sesuatu dengan mengeluh. Bahwa terkadang rintik hujan bisa jadi begitu tajam dan kita terlupa bahwa ia telah menitik basah. Melupakan hakekat keberadaannya karena sensasi yang dibawanya.
Aku masih ingin berdialektika. Masih ingin begitu jauh memahami. Tentang wangi angin dan hujan yang merintik.
Bahwa paradigma umum itu bukanlah seumum yang orang-orang katakan tentangnya. Aku dan kau, dapatkan tulisan ini dengan berbeda. Membaca huruf-huruf hijaiyah lewat aktualita-aktualita yang berbeda. Tidak sampai hati menimbang-nimbang putusan ilmiyyahnya.
Bahwa membawa dan dibawa. Bahwa meminta dan memberi. Kadang kita dibawakan sebuah pembawaan. Sebuah kepalsuan, sebuah klaim, kekosongan pemahaman. Kadang kita memintakan pemberian. Asing terhadap kefakiran diri sendiri. Sebab pada titik itu, hati yang kotor lupa darimana ia berasal.
Ah, aku jadi merasa begitu hinanya. Ah, aku jadi merasa begitu kerdilnya.
Ah, aku jadi lupa bagaimana derivasi-derivasi itu merangkai sebuah kronologi.
Serumitnya wangi angin memberikan ruh pada hujan yang merintik. Semoga menjadikan hikmah begitu mudah untuk disemai.
No comments:
Post a Comment