Konstitusionalitas UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi No 143/PUU-VII/2009
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia
antara lain ditandai dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank
yang beroperasi dengan sistem syariah pertama di Indonesia pada 1992.[1]
Munculnya perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari
permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang
selain menyediakan jasa perbankan atau keuangan yang sehat, juga memenuhi
prinsip-prinsip syariah.
Setelah dikeluarkannya ketentuan
perundang-undangan tersebut, sistem perbankan syariah sejak tahun 1998
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Meningkatnya kesadaran beragama masyarakat dan kekhawatiran
pola-pola perbankan yang konvensional termasuk kategori haram, membuat
permintaan tersebut meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan ini tidak saja
terjadi di tanah air, melainkan juga pada tingkat global. Hal inilah yang
membuat banyak lembaga perbankan dunia yang membuat produk syariahnya, meskipun
penduduk dimana perbankan tersebut berada, mayoritas bukan muslim. Hal ini
terjadi karena potensi pasar mereka dari masyarakat yang beragama Islam cukup
signifikan. Bisnis
di bidang syariah yang terbukti mampu meningkatkan profit perusahaan. Apalagi
saat kenaikan harga minyak dunia, telah meningkatkan jumlah dana potensial di
Timur Tengah yang membutuhkan media berupa lembaga keuangan untuk penempatan
dana. Perkembangan ini bahkan akan terus berlanjut. Tahun 2010 diperkirakan
asset perbankan syariah global akan menunjukkan peningkatan. ternyata praktik-praktik dengan pola syariah
ini lebih menguntungkan dan memberikan keuntungan ekonomi masyarakat.
Perkembangan di bidang perbankan syariah ini, juga akan diikuti dengan
perkembangan di bidang keuangan lainnya. Obligasi syariah (sukuk) telah menjadi
primadona baru untuk menyerap likuiditas sekaligus sumber pendanaan baik
perusahaan maupun pemerintah.
Pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat di bidang keuangan syariah ini tentu saja membuka
peluang bagi Indonesia untuk juga ikut lebih aktif didalamnya. Pengalaman di
masa krisis menunjukkan bahwa bank (dan lembaga keuangan) syariah terbukti
mampu bertahan dari berbagai guncangan dan relatif tidak membutuhkan banyak
bantuan pemerintah. Ini berarti bahwa upaya pengembangan lembaga keuangan
syariah juga sekaligus akan membantu ketahanan perekonomian nasional. Untuk
itu, harus didesain kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan dan
pertumbuhan lembaga keuangan syariah. Salah
satu kebijakan pemerintah sebagai upaya strategis mengembangkan keuangan
syariah dengan obligasi (sukuk) adalah UU no.19 tahun 2008 mengenai penerbitan
Surat berharga syariah Negara (SBSN). yang melatar belakangi hadirnya sukuk
sebagai salah satu instrumen dalam sistem keuangan Islam adalah ketentuan
al-Quran dan al-Sunnah yang melarang riba, maysir, gharar,
bertransaksi dengan kegiatan atau produk haram, serta terbebas dari unsur tadlis.
Dengan Terbentuknya UU no. 19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tersebut, hendaknya bisa ditemukan
pembangunan ekonomi yang semakin baik lagi. dimana tujuan UU no.19 tahun 2008
itu sendiri adalah (1)
memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam
negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan benchmark
instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun
internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5)
mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri
maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6)
mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.
A.
Substansi UU no 19 2008
Analisis
UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara ini kami lakukan
dengan membedah poin-poin utama dalam materi pengaturan yang tercantum di
dalamnya. Untuk memudahkan kami merangkai logika terhadap kehendak UU tersebut,
kami menggunakan statute approach yang berbasis anasir materiil, yakni
abstraksi konsiderans, pemaparan objek UU, lembaga eksekutorial, perihal
mekanisme dan prosedural, pihak-pihak, dan variabel.
1.
Konsiderans
Syariah dipersepsikan sebagai instrument khusus yang
harus dioptimalkan pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Hal
ini juga bersinggungan langsung dengan strategi dan kebijakan pembangunan
nasional serta pengembangan berbagai instrumen keuangan yang mampu memobilisasi
dana publik secara luas. Pemerintah merasa perlu untuk mengatur keuangan
syariah ini dalam satu lembaga UU tersendiri antara lain disebabkan keuangan
syariah yang dianggap memiliki karakteristik tersendiri di samping peluang
besarnya dalam memajukan perekonomian nasional yang belum ter-optimalisasi.
2.
Objek
UU no 19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara di antaranya mengatur mengenai Surat Berharga
Syariah Negara atau yang disingkat SBSN seperti dalam pasal 1 bab 1 mengenai ketentuan
umum. SBSN merupakan surat berharga
negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. SBSN ini sesuai dengan isi pasal selanjutnya dibagi menjadi enam yakni[2],
1. SBSN Ijarah, yang diterbitkan berdasarkan Akad Ijarah;
Adalah suatu sertifikat yang memuat nama pemilik nya (investor)
dan melambangkan kepemilikan terhadap aset yang bertujuan untuk disewakan, atau
kepemilikikan manfaat dan kepemilikan jasa sesuai jumlah efek yang dibeli
denagn harapan mendapatkan keuntungan dari hasil sewa yang berhasil
direalisasikan berdasar transaksi ijarah.
Ketentuan akad ijarah sebagai berikut:
·
Objeknaya dapat berupa barang
(harta fisik yang bergerak, tak bergerah, harta perdagangan) maupun berupa jasa
·
Manfaat dari objek dan nilai
manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
·
Ruang lingkup dan jangka waktu
pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
·
Penyewa harus membagi hasil
manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah
·
Pemakaian manfaat harus menjaga
objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga
·
Pembeli sewa haruslah pemilik
mutlak.
Secara teknis, obligasi
ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
ü Investor
dapat bertindak sebagai penyewa , sedangkan emiten dapat bertindak sebagai
wakil investor.
ü Setelah
investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa
tersebut kepada emiten.
2.
SBSN Mudarabah, yang
diterbitkan berdasarkan Akad Mudarabah;
Yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan
perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab
al-maal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan
dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah
disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh
pihak yang menjadi penyedia modal.
3.
SBSN Musyarakah, yang
diterbitkan berdasarkan Akad Musyarakah;
Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian
atau akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan
modal untuk pembangunan proyek baru, mengembangkan proyek baru, mengembangkan
proyek yang telah ada atau membiayai kgiatan usaha.
4.
SBSN Istishna’,
yang diterbitkan berdasarkan Akad Istishna’;
Yaitu Sukuk yang diterbitkan
berdasarkan perjanjian atau akad Istisna’ di mana para pihak menyepakati
jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu
penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan
kesepakatan.
5.
SBSN yang diterbitkan
berdasarkan Akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
dan
6.
SBSN yang diterbitkan
berdasarkan kombinasi dari dua atau lebih dari Akad sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf
Pengeluaran SBSN dimaksudkan dalam rangka membiayai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek negara.
Dasar penerbitan SBSN yakni hanya pada Barang Milik Negara yang selanjutnya
disebut sebagai Aset SBSN. Materi SBSN setidak-tidaknya terdiri atas ketentuan dan syarat yang mengatur, antara lain:
a.
penerbit;
b.
Nilai Nominal;
c.
tanggal penerbitan;
d.
tanggal jatuh tempo;
e.
tanggal pembayaran Imbalan;
f.
besaran atau nisbah Imbalan;
g.
frekuensi pembayaran Imbalan;
h.
cara perhitungan pembayaran Imbalan;
i.
jenis mata uang atau denominasi;
j.
jenis Barang Milik Negara yang
dijadikan Aset SBSN;
k.
penggunaan ketentuan hukum yang
berlaku;
l.
ketentuan tentang hak untuk membeli kembali
SBSN sebelum jatuh tempo; dan
m.
ketentuan tentang pengalihan
kepemilikan.
3.
Lembaga Eksekutorial
Perusahaan
Penerbit SBSN yang didirikan pemerintah merupakan
lembaga eksekutorial dalam pengejawantahan Surat Berharga Syariah Negara.
Perusahaan ini dibuat berdasarkan UU SBSN yang artinya merupakan luaran organik
dan strategis dalam merealisasikan SBSN. Perusahaan penerbit SBSN
bertanggungjawab terhadap Menteri dan berkedudukan di wilayah NKRI. Perusahaan
penerbit ini juga wajib memisahkan aset SBSN dari aset perusahaannya.
Selain
Perusahaan penerbit, dikenal juga Wali amanat sebagai pihak lain yang ditunjuk
pemerintah dalam hal SBSN dikeluarkan langsung oleh pemerintah. Wali amanat ini
dalam pasal 15 UU no 19 tahun 2008 disebutkan memiliki tugas antara lain :
a.
melakukan perikatan dengan pihak lain
untuk kepentingan pemegang SBSN;
b.
mengawasi aset SBSN untuk kepentingan
pemegang SBSN; dan
c.
mewakili kepentingan lain pemegang
SBSN, terkait dengan perikatan dalam rangka penerbitan SBSN.
Rigitasi lebih lanjut mengenai
Wali amanat dan Perusahaan Penerbit SBSN sebagai lembaga eksekutorial dari UU
no 19 tahaun 2008 ini dapat dilihat dalam bab VI yang
melingkupi lima pasal, yakni pasal 13 sampai pasal 17 mengenai Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara dan Wali Amanat.
4.
Mekanisme dan Prosedural
Pada dasarnya setiap kerangka hukum ekonomi syariah memiliki tiga prinsip
dasar, yakni[3] :
1. Tauhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal
atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah
di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental
serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam
rangka menyebarkan misi hidupnya.
3. ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari
prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut
bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk
merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment), menghargai sumber
pendapatan (recpectable source of
earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and
wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Turunan atas
prinsip ini pula diadaptasi dalam penyelenggaraan mekanisme Surat Berharga
Syariah Negara dalam Bab IV UU SBSN yang dimulai dari pasal 5 sampai pasal 9.
Disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) bahwa penerbitan SBSN dapat dilaksanakan
secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (3) penerbitan SBSN yang dilakukan melalui
Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri Keuangan RI. Selain itu
Menteri juga harus mendapatkan persetujuan DPR RI dalam pengesahan rancangan
APBN. Sehingga titik poin penting dari penyelenggaraan putusan penerbitan SBSN
ini antara lain terletak pada Menteri Keuangan RI yang menjadi pion bestuur,
melalui perusahaan penerbit SBSN yang ditunjuk, dengan persetujuan DPR dan
dalam hal terntu wajib berkoordinasi dengan Bank Indonesia[4].
B.
Dilematika Konstitusionalitas
Dilematika
konstitusionalitas UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
atau yang lebih dikenal dengan UU SBSN pertama kali muncul ke permukaan ketika
diajukannya judicial review UU SBSN ke Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 2 November 2009[5].
Pokok gejolak inskonstitusionalitas yang dirasakan oleh pemohon terletak di
pasal 10 ayat (1) dan (2) huruf (a) dan (b) serta pasal 11 ayat (1) UU SBSN.
Pasal 10 antara lain
berbunyi,
1) Barang Milik Negara dapat digunakan
sebagai dasar penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara
dimaksud disebut sebagai Aset SBSN.
2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan; dan
b. selain tanah dan/atau bangunan.
Sementara pasal 11
berbunyi,
Penggunaan
Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas
Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam
rangka penerbitan SBSN.
Kedua
pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan pasal 28 H yang menjabarkan bahwa
negara menjamin setiap orang atas kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. Juga dengan pasal 34 yang berbunyi, Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Keterangan
DPR RI yang disampaikan oleh Adang Daradjatun meragukan legal standing para pemohon karena dianggap tidak memenuhi klausul
dirugikan secara spesifik ataupun potensial. Selanjutnya DPR RI juga
berpandangan bahwa[6] :
a.
bahwa konsep keuangan Islam secara
bertahap mulai diterapkan beberapa
negara Timur tengah pada periode tahun 1960-an yang
terus berkembang dan diadopsi tidak hanya
oleh negara-negara Islam di kawasan
Timur Tengah melainkan juga berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung
perkembangan keuangan Islam tersebut telah
didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis
syariah.
b.
bahwa konsep keuangan Islam didasarkan
prinsip moralitas dan keadilan,
karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa
selaras dan memenuhi
prinsip-prinsip syariah yaitu antara lain transaksi yang dilakukan para pihak bersifat adil,
halal, thaib, dan maslahat. Selain itu transaksi
dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur riba, yaitu unsur
bunga, maisire yaitu unsur spekulasi, gharal yaitu unsur ketidakpastian. Karateristik lain dari instrumen
keuangan syariah yaitu memerlukan adanya
transaksi pendukung yang tata cara dan
mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi konvesional pada umumnya.
c.
bahwa secara filosofis, pengembangan
instrumen yang berbasis syariah perlu
segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan asset negara secara efisien dan untuk
mendorong terciptanya sistem keuangan yang
berbasis di dalam negeri juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.
d.
bahwa salah satu bentuk instrumen
keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan
oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah atau dikenal secara internasional
dengan istilah sukuk. Instrumen keuangan ini
pada prinsipnya sama dengan surat
berharga konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai
pengganti bunga, adanya suatu transaksi
pendukung, atau sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal sukuk yang diterbitkan, dan adanya
akad atau perjanjian antara pihak yang
disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut
merupakan barang milik negara.
e.
bahwa secara sosiologis, pembiayaan
keuangan negara melalui penerbitan
surat berharga oleh pemerintah berupa sukuk negaramempunyai implikasi yang luas
terhadap pemberdayaan masyarakat dalam
proses pembangunan ekonomi antara lain melalui pencitraan, good
governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan
sukuk di pasaran keuangan syariah akan
memfasilitasi terselenggaranya pengawasan
secara langsung oleh publik atas kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
f.
bahwa secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip
syariah mempunyai karateristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu
pengelolaan dan pengaturan secara khusus,
baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur surat
berharga syariah negara.
g.
bahwa terkait dengan dalil Pemohon
yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan (5)
serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan
bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat dan juga kepemilikan hukum atas suatu aset yang dikenal dengan konsep trust. Hal
tersebut mengingat pemindahtanganan barang
milik negara dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang
milik negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.
h.
bahwa dalam penerbitan SBSN, proses
transaksi barang milik Negara tersebut
adalah sebagai berikut, penjualan penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN tidak disertai dengan
pemindahan hak kepemilikan. Pemerintah
akan menyewa kembali BMN dari special
purpose vachel perusahaan
penerbit, tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas
pemerintahan, tidak terdapat permasalahan
dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on
balance sheet. Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi devolved,
{sic} aset SBSN akan tetap oleh dikuasai
pemerintah karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan
dokumen sales undertaking yaitu SPV
wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN.
i.
bahwa hal tersebut juga sudah
diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) undang-undang a quo.
j.
bahwa mncermati dalil-dalil Pemohon
menunjukkan bahwa Pemohon perlu
memahami undang-undang a quo secara
komprehensif dan tidak hanya
memahami secara parsial atau sebagian sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap
pemahaman tentang penggunaan BMN serta
aset SBSN, padahal dalam undang-undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa
devolved {sic} sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 undang-undang a quo yang
memberi kewenangan kepada
menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN membatalkan akad
sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
k.
bahwa dalam rapat panitia kerja keempat
tanggal 15 Maret 2008 terkait dengan
aset SBSN, disetujui dalam rapat Panja bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN
hanya terbatas pada penggunaan
hak manfaat bukan pemindahan hak kepemilikan. Hal ini terdapat dalam tanggapan-tanggapan fraksi di DPR.
Sehingga
di akhir putusannya MK menerima semua
keterangan pemerintah dan DPR RI dan menolak semua permohonan para
pemohon.[7]
Demikianlah pentas pengujian UU SBSN yang bermula dari pengajuan perkara pada
29 November 2009 hingga luaran Risalah sidang yang diluncurkan pada 16 Februari
2010. UU SBSN pada nyatanya divonis sesuai dengan arah konstitusionalitas UUD N
RI 1945.
[1] Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah bagi Pengembangannya. Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Di akses dari artikelkomplit2011.blogspot.com/2012/02/ekonomi-islam-di-indonesia-kontribusi.html pada 25 April 2012.
[3] Makalah Sistem Ekonomi
Islam. Dwi Utami handayani. file:///G:/MAKALAH%20SISTEM%20EKONOMI%20ISLAM_SYARIAH%E2%80%93Blog%20Ekonomi%20Syariah.htm. Di akses pada tanggal 25 April 2012.
No comments:
Post a Comment