Never give up! I just counting my own hair.
This is one, two, three and four, and more.
And more. And more.
I just can't listen the hair singing. While the sounds changing like a bowling pool at all. This aim. The more four.
Never smile in! We just already going on the morning and bleeding the part of aim.
We just a blood and part of our. The more of four.
Thursday, August 11, 2011
This is a piece
I've been losing my piece, listening the air swing. Just like I think its never gonna be so cold like this. Seems I do not ever feel this. What a piece! Then I'm just in, just following.
Would you bought me the other simple node to paid the pain? You just a liar, right?
And I keep myself losing my piece. A difficult task to be done in time. While the whole hole perfectly knocking my clock, puttin' on, I'm just in, just following.
Would you close it closer because of them? You just think you do, right? And I am not.
A simply question to ask, simply air to crack. You said. Then I was losing, eternally closing. Won't falling, though the smells calling. I knew that am a kid. Grand-kid.
I'd wanted to show what the piece I mean is. This is the rainbow which you never walk on. This is the part of ancient Roman I would never told. This is the part of that old. Yeah, this is a piece, the piece I've been following. Just on, putting on.
Because you will leave me in home to tell me to not to open the door. I do. Yeah, this am! What a piece.
Would you bought me the other simple node to paid the pain? You just a liar, right?
And I keep myself losing my piece. A difficult task to be done in time. While the whole hole perfectly knocking my clock, puttin' on, I'm just in, just following.
Would you close it closer because of them? You just think you do, right? And I am not.
A simply question to ask, simply air to crack. You said. Then I was losing, eternally closing. Won't falling, though the smells calling. I knew that am a kid. Grand-kid.
I'd wanted to show what the piece I mean is. This is the rainbow which you never walk on. This is the part of ancient Roman I would never told. This is the part of that old. Yeah, this is a piece, the piece I've been following. Just on, putting on.
Because you will leave me in home to tell me to not to open the door. I do. Yeah, this am! What a piece.
Wednesday, August 10, 2011
Sebuah Dialektika
Aku melihatnya berbaur dalam cahaya matari pagi.
Disana dan disini, tangan lusuhnya masih merayapi kesana kemari.
Tebaran sampah-sampah kota elegi, cuma jadi bias pagi dan sore hari.
Mereka, ketika ditanya, tak lagi punya angan untuk masa depan.
Mereka, ketika ditanya hanya punya putus asa.
Lalu dibagi-bagi, jadi kering yang tak menyuburkan lagi.
Ada suatu dialektika bahasa yang selalu memberi warna dalam setiap batasan persepsi kita. Dialektika yang subur sejalan dengan masih adanya sisian kiri di samping kanan juga selama masih adanya bagan atas sebelum bagan bawahnya. Dialektika bahasa ini pada suatu ketika juga menghampiri konsensus-konsensus manual dalam internal diri kita sendiri. Konkretnya, ini tentang suatu perspektif pribadi-pribadi dalam memberi label atas kejadian-kejadian yang menimpanya.
Dialektika bahasa memaksa kita membentuk suatu tabiat dan paparan eksistensi terhadap diri kita sendiri. Fantasi analognya, setiap orang memiliki dua kantong dalam perspektif dialektika bahasanya. Kantong pertama adalah kantong positif dan kantong kedua adalah kantong negatif. Setiap kita tak pernah berhenti mendefinisi, ini positif atau itu negatif. Lalu tanpa kita sadari kedua kantong itu selalu kita bawa kemana saja, baik dalam tidur ataupun bangunnya kita. Lengkapnya, setiap apapun yang masuk dalam kantong positif akan terurai layaknya O2 yang menutrisi dan memberi alir energi, sebaliknya setiap apapun yang masuk dalam kantong negatif akan bertransformasi menjadi semacam CO2 yang merusak dan meracuni.
Kita mengisi kedua kantong itu dengan serangkaian informasi yang ditangkap indera. Ketika misalnya kita mendapat nilai ujian percobaan yang belum dalam batas aman impian, kita tentu akan segera memasukkannya dalam salahsatu kantong dialektika bahasa pribadi kita. Jika kita membahasakan informasi atau kejadian tersebut sebagai suatu hal yang positif, maka bonusnya adalah asupan layaknya oksigen yang menyegarkan untuk terus berusaha. Sebaliknya jika kita tidak sanggup men-dialektika-kan kejadian atau informasi tersebut untuk disebut positif, maka satu nilai uji coba yang belum tersebut akan masuk dalam kantong negatif yang sebagai imbasnya meracuni kita dengan amarah dan sesal yang berkepanjangan.
Inilah sebabnya kedua kantong itu disebut perangkat dialektika bahasa. Sebab setiap kita bisa berdialog, berdialektika dengan bahasa-bahasa dan pembahasaan diri kita terhadap suatu konteks yang menimpa kita. Maka setiap kita berbeda, unik dan memiliki dua kantong dengan besaran yang tidak mungkin sama. Seseorang bisa saja memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya atau ia bercanda lagi dengan pagi dan esok hari. Seseorang bisa saja mengutuki para pejalan kaki yang menyebrang atau ia memperlambat laju kendaraannya untuk tersenyum bahagia. Ya, segalanya bisa saja jadi lebih indah jika begini caranya. Layaknya oksigen yang menutrisi dan memberi energi. Kita bisa jadi terus ‘hidup’ kembali.
Aku berfantasi punya kantong ajaib.
Satu saku untuk menyelesaikan semua masalahku.
Satu kali saja mengambil sesuatu. Lalu jadi aku.
Jadi aku butuh satu saku untuk memilih kata-kata dan caraku.
Kantong ajaib dialektika bahasaku. Lalu jadi aku.
Jadi aku memilih satu dari gudang saku.
Pilihanku untuk terus berprestasi dan maju.
Untuk kau juga, bersama-samaku.
Tafakur
Akhirnya rasa-rasaku menemui jaring tangkapnya dalam nuansa selaksa kata yang berkepanjangan. Jika habis waktu, waktu kata tak lagi bisa bicara. Waktu itu, kita berduka untuk asap yang hilang batas di kiamat hariannya. Rabb, aku belum habis perkara, dibisikkan nelangsa oleh syayathin yang jauh menganiaya. Rabb, maka tolonglah aku.
Bila saja kemudian aku dipungut pergi ke alam baka. Anyir memasak nanah jadi batu dan pukulan darah. Ah, aku ditampar dan digulingkan sejauh lolongan suara. Rabb, aku belum habis perkara, begitu basi selalu mengatakan basi, racun impuls yang mendilematika asa. Rabb, maka ampunilah aku.
Lalu bulu-bulu lintah tersapu pijar api yang menyala-nyala. Dibujuknya aku untuk makan buah yang panas menyiksa. Ya, Rabb, bila telah datang masa, aku mati tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ya, Rabb, sebab itu pasti adanya, di lekuk hidupku yang berputar tak mengangkasa, aku hanya sekedar insan belaka.
Bergetar halilintar. Bukan lagi rintik yang biasanya menitik licik. Ini jauh dari sekedar titik. Bukan juga seribu titik, atau titik setelah deret angka koma dan tanya. Ini bukan sekedar titik, titik seusai pergi hitungan angka. Akhirnya ini bukanlah titik, bukan titik yang pernah kuketahui.
Bila saja kemudian aku dipungut pergi ke alam baka. Anyir memasak nanah jadi batu dan pukulan darah. Ah, aku ditampar dan digulingkan sejauh lolongan suara. Rabb, aku belum habis perkara, begitu basi selalu mengatakan basi, racun impuls yang mendilematika asa. Rabb, maka ampunilah aku.
Lalu bulu-bulu lintah tersapu pijar api yang menyala-nyala. Dibujuknya aku untuk makan buah yang panas menyiksa. Ya, Rabb, bila telah datang masa, aku mati tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ya, Rabb, sebab itu pasti adanya, di lekuk hidupku yang berputar tak mengangkasa, aku hanya sekedar insan belaka.
Bergetar halilintar. Bukan lagi rintik yang biasanya menitik licik. Ini jauh dari sekedar titik. Bukan juga seribu titik, atau titik setelah deret angka koma dan tanya. Ini bukan sekedar titik, titik seusai pergi hitungan angka. Akhirnya ini bukanlah titik, bukan titik yang pernah kuketahui.
Tuesday, August 9, 2011
Mommy!
Kau lebih beruntung dariku. Sebab kau bisa banyak berkata-kata unuk menyenangkan hatimu, walaupun di embun jendela kamarmu seperti yang waktu itu. Saat aku hampir saja mengganggumu, anakku.
Kau tentu lebih bahagia dariku. Sebab dengan semua kegilaanmu itu, paling aku cuma bisa tersenyum satu-satu senti saja. Tak pernah terlalu memarahimu juga.
Agar kau lebih beruntung dariku. Saat pelita tak ada harapan terbang lagi, pancarannya masih ada untuk melayang di awan-awan, katamu. Ah, kau begitu patut dirindukan.
Agar kau lebih bahagia dariku. Kata-kataku bukanlah kata halus seperti yang kau lakukan sore itu. Tanpa bicara. Ya, kupu-kupu madu, kupu sayapku. Kacamata, mata-mata hatiku. Sejauhnya sore hari, melangkah tak sengaja menemaniku sendiri. Katamu. Katamu di buku harianku.
Aku tak seberuntung itu. Pula tak sebahagia kau. Maka bukan lagi tentang aku ingin beruntung atau bahagia sepertimu. Sebab aku bukan. Aku cuma seorang ibu saja.
Aku cuma seorang ibu saja. Ya, seperti itu, seperti mau-mu.
Kau tentu lebih bahagia dariku. Sebab dengan semua kegilaanmu itu, paling aku cuma bisa tersenyum satu-satu senti saja. Tak pernah terlalu memarahimu juga.
Agar kau lebih beruntung dariku. Saat pelita tak ada harapan terbang lagi, pancarannya masih ada untuk melayang di awan-awan, katamu. Ah, kau begitu patut dirindukan.
Agar kau lebih bahagia dariku. Kata-kataku bukanlah kata halus seperti yang kau lakukan sore itu. Tanpa bicara. Ya, kupu-kupu madu, kupu sayapku. Kacamata, mata-mata hatiku. Sejauhnya sore hari, melangkah tak sengaja menemaniku sendiri. Katamu. Katamu di buku harianku.
Aku tak seberuntung itu. Pula tak sebahagia kau. Maka bukan lagi tentang aku ingin beruntung atau bahagia sepertimu. Sebab aku bukan. Aku cuma seorang ibu saja.
Aku cuma seorang ibu saja. Ya, seperti itu, seperti mau-mu.
Monday, August 8, 2011
Unconditional
Aku sedikit banyak mengukur nanar dalam presisi bulan di cahayaan senja menuju peraduan. Digulingkan ke kanan dan kirinya, bergidik memastikan bahwa disana sini memang hanya ada basi yang disegarkan. Aku hidup lagi.
Seperti katanya, aku memang tak pernah akan tahu apa-apa. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Hanya sekedar lalu lalang mataku jadi pemerhati desain lingkungan kotor sungai-sungai pinggiran kota-kota Malang raya.
Lalu diungkapkan kunang yang berkunang-kunang di pelita citra kembang kunangan, bias air bisa begitu canggihnya membuat pensil bengkok tanpa nyata. Tapi begitu seadanya, begitu imaji tunggalnya, jadi fantasi yang ditransformasi jadi fatamorgana. Aku tak tahu apakah akan hidup lagi. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Cuma basa belaka, kali ini saja.
Maka pantaslah jika suaraan gemintang jadi tak begitu seterang cahayanya. Atau nyaring suara binatang jadi tak secerah indah bentukannya. Sebab ia tak begitu. Jadi tak begitu bisa apa-apanya siapa.
Seperti katanya, aku memang tak pernah akan mengerti apa-apa. Bahwa substan terkadang dihalang pembatas biru berbentuk batu. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Tapi ini tentang bias yang bengkok di penghujung waktu-waktu yang tertentu. Di pinggiran jalan menuju hantu-hantu palsu, soal warna di irisan wanginya atau citra di lapisan kedua sandwitch daging asap setengah matangnya. Aih!LAPAR! Lapar kebasian yang disegarkan.
Agar jadi candu hatiku. Candunya para mati yang hidup kembali.
Biar senyum rembulan jadi atap yang selalu menutrisi bilik-bilik jantungku. Jika ada titiknya di pulasan make-up tebal sang kesungguhan, dihasut impuls syaraf halusinasi manusianya. Cuma basa di candu yang terpaksa membuatku terpana. Dibidik panah-panah syayathin yang menakutkan, mengelabui dengan sikut-sikut persekutuan dengan nalar kecut. Bukan subordinasi antara aku dan siapa.
Ya, Cukup tahu, luarbiasa!
Seperti katanya, aku memang tak pernah akan tahu apa-apa. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Hanya sekedar lalu lalang mataku jadi pemerhati desain lingkungan kotor sungai-sungai pinggiran kota-kota Malang raya.
Lalu diungkapkan kunang yang berkunang-kunang di pelita citra kembang kunangan, bias air bisa begitu canggihnya membuat pensil bengkok tanpa nyata. Tapi begitu seadanya, begitu imaji tunggalnya, jadi fantasi yang ditransformasi jadi fatamorgana. Aku tak tahu apakah akan hidup lagi. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Cuma basa belaka, kali ini saja.
Maka pantaslah jika suaraan gemintang jadi tak begitu seterang cahayanya. Atau nyaring suara binatang jadi tak secerah indah bentukannya. Sebab ia tak begitu. Jadi tak begitu bisa apa-apanya siapa.
Seperti katanya, aku memang tak pernah akan mengerti apa-apa. Bahwa substan terkadang dihalang pembatas biru berbentuk batu. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Tapi ini tentang bias yang bengkok di penghujung waktu-waktu yang tertentu. Di pinggiran jalan menuju hantu-hantu palsu, soal warna di irisan wanginya atau citra di lapisan kedua sandwitch daging asap setengah matangnya. Aih!LAPAR! Lapar kebasian yang disegarkan.
Agar jadi candu hatiku. Candunya para mati yang hidup kembali.
Biar senyum rembulan jadi atap yang selalu menutrisi bilik-bilik jantungku. Jika ada titiknya di pulasan make-up tebal sang kesungguhan, dihasut impuls syaraf halusinasi manusianya. Cuma basa di candu yang terpaksa membuatku terpana. Dibidik panah-panah syayathin yang menakutkan, mengelabui dengan sikut-sikut persekutuan dengan nalar kecut. Bukan subordinasi antara aku dan siapa.
Ya, Cukup tahu, luarbiasa!
Wednesday, August 3, 2011
Ultrav
Aku sengaja, secara tak sengaja menenun kait dalam tutupan jilbab merah mudamu yang cantik. Aku sengaja, secara tak sengaja terpesona. Bahwa runutan kecintaanmu itu adalah murni yang menyala wangi. Bahkan katamu, kalut cuma bias rasa yang terdefinisi begitu saja. Ya, sengaja dalam ketidaksengajaan yang tinggi.
Sementara itik kurus masih mencari makanannya di serasah rumput hutan cemara.
Secara tak sengaja pula ia telah sengaja mengajariku tentang larutan buih di jalan takdir yang rinci. Di relungan kaktus-kaktus gurun matari. Terik! Gersang menyengat. Sebab aku tak suka. Sengaja secara tak sengaja meninggalkan setting jernih yang putih di bias intensitas ultraviolet jalan-jalan raya.
Sejauh itu aku melangkah.
Tak sengaja, sengaja memilih jiwa. Jiwa yang bertaut dalam kait salut yang menyulut bakaran asap-asap rerumput. Aku katamu, satu, satu per satu jadi jalinan taman bunga warna warni. Aku katamu, mawar hijau itu. Ya, sebelum jadi putih atau kuning yang semestinya. Di jalan, jalan jalanan yang berjalan di bukaan jalan-jalan layang. Aku terpana. Sesengaja itu tak sengaja melangkah.
Luarbiasa!
Sementara itik kurus masih mencari makanannya di serasah rumput hutan cemara.
Secara tak sengaja pula ia telah sengaja mengajariku tentang larutan buih di jalan takdir yang rinci. Di relungan kaktus-kaktus gurun matari. Terik! Gersang menyengat. Sebab aku tak suka. Sengaja secara tak sengaja meninggalkan setting jernih yang putih di bias intensitas ultraviolet jalan-jalan raya.
Sejauh itu aku melangkah.
Tak sengaja, sengaja memilih jiwa. Jiwa yang bertaut dalam kait salut yang menyulut bakaran asap-asap rerumput. Aku katamu, satu, satu per satu jadi jalinan taman bunga warna warni. Aku katamu, mawar hijau itu. Ya, sebelum jadi putih atau kuning yang semestinya. Di jalan, jalan jalanan yang berjalan di bukaan jalan-jalan layang. Aku terpana. Sesengaja itu tak sengaja melangkah.
Luarbiasa!
Subscribe to:
Posts (Atom)