Aku sedikit banyak mengukur nanar dalam presisi bulan di cahayaan senja menuju peraduan. Digulingkan ke kanan dan kirinya, bergidik memastikan bahwa disana sini memang hanya ada basi yang disegarkan. Aku hidup lagi.
Seperti katanya, aku memang tak pernah akan tahu apa-apa. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Hanya sekedar lalu lalang mataku jadi pemerhati desain lingkungan kotor sungai-sungai pinggiran kota-kota Malang raya.
Lalu diungkapkan kunang yang berkunang-kunang di pelita citra kembang kunangan, bias air bisa begitu canggihnya membuat pensil bengkok tanpa nyata. Tapi begitu seadanya, begitu imaji tunggalnya, jadi fantasi yang ditransformasi jadi fatamorgana. Aku tak tahu apakah akan hidup lagi. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Cuma basa belaka, kali ini saja.
Maka pantaslah jika suaraan gemintang jadi tak begitu seterang cahayanya. Atau nyaring suara binatang jadi tak secerah indah bentukannya. Sebab ia tak begitu. Jadi tak begitu bisa apa-apanya siapa.
Seperti katanya, aku memang tak pernah akan mengerti apa-apa. Bahwa substan terkadang dihalang pembatas biru berbentuk batu. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Tapi ini tentang bias yang bengkok di penghujung waktu-waktu yang tertentu. Di pinggiran jalan menuju hantu-hantu palsu, soal warna di irisan wanginya atau citra di lapisan kedua sandwitch daging asap setengah matangnya. Aih!LAPAR! Lapar kebasian yang disegarkan.
Agar jadi candu hatiku. Candunya para mati yang hidup kembali.
Biar senyum rembulan jadi atap yang selalu menutrisi bilik-bilik jantungku. Jika ada titiknya di pulasan make-up tebal sang kesungguhan, dihasut impuls syaraf halusinasi manusianya. Cuma basa di candu yang terpaksa membuatku terpana. Dibidik panah-panah syayathin yang menakutkan, mengelabui dengan sikut-sikut persekutuan dengan nalar kecut. Bukan subordinasi antara aku dan siapa.
Ya, Cukup tahu, luarbiasa!
No comments:
Post a Comment